Dania menghentikan langkahnya sejenak di ambang pintu kamar, kemudian perlahan berbalik. Pandangannya tajam menembus ruang di antara mereka, mata terfokus pada wajah Mark. Ia menahan napas sejenak sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan yang tak bisa lagi ia bendung.“Kau masih mencintai cinta pertamamu itu?” suaranya datar, hampir tanpa emosi, namun jelas mengandung kesedihan yang dalam.“Kau masih memikirkan wanita itu, meskipun kini kau telah menikah denganku?” lanjutnya.Mark menghela napas panjang, matanya menyapu ruang, seolah mencari jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk ini. “Dania …,” ucapnya lirih, tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu. “Aku akan memasak untuk makan malam nanti. Kita bisa bicara setelah itu.”Dania menggeleng pelan, tak tergoyahkan oleh usaha Mark untuk mengalihkan perhatian. “Aku sedang tidak nafsu makan, Mark,” jawabnya tegas, matanya tetap menatapnya tanpa henti, seolah menuntut kejujuran penuh dari pria di hadapannya.Mark meraih tangannya den
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Matahari perlahan meninggi di langit yang cerah, namun bagi Dania, pagi itu terasa sepi dan sunyi, hanya ditemani oleh desiran lembut ombak yang berulang kali menghantam pasir di tepi pantai.Di situlah ia duduk, kakinya terbenam dalam butiran pasir yang dingin, matanya menerawang jauh ke cakrawala, tempat langit dan laut menyatu dalam gradasi biru keabu-abuan.Ucapan Mark semalam terus bergema di benaknya, seperti badai yang berputar tanpa akhir, menghantam ketenangan hati yang sempat ia bangun. "Mark tidak punya perasaan," gumamnya, mengulang keyakinan yang sudah lama terpatri sejak pertama kali mereka bertemu.Sosok pria dingin, kaku, tak tergoyahkan, seolah hatinya tersembunyi di balik lapisan baja yang tak bisa ditembus siapa pun.Namun, kenyataan yang terungkap semalam membalikkan semua asumsi yang telah ia buat. "Ternyata, sebelum aku hadir dalam hidupnya, dia sudah memiliki seseorang yang menjadi pusat dunianya," bisiknya pada dirinya
Yonas terduduk di kursi kayu antik di ruang tamunya menatap dengan wajah tegang kala mendengar berita yang baru saja ia dengar dari Cindy dan Alex membuat jantungnya berdetak lebih kencang.Mark, pria yang selama ini ia harapkan untuk bergabung dengan keluarganya, telah menikah. Lebih mengejutkan lagi, ia kalah start dari wanita yang berhasil memenangkan hati Mark."Kau bercanda, kan?" Yonas menatap putrinya, Cindy, yang berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Wajahnya tampak marah, seperti seringai kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.“Tidak, Ayah. Mark sudah menikah, dan Ayah bahkan tidak tahu siapa wanita itu!” balas Cindy dengan suara tinggi. "Ayah selalu gagal mendekati Mark. Apa Ayah pikir pria seperti dia akan datang sendiri ke keluarga kita?"Yonas meremas jemarinya, merasa gugup dan malu. "Jangankan aku, Alex pun yang ayahnya lebih sering menolak tawaran perusahaan besar juga tidak pernah bisa menembus dinding dingin Mark," ujarnya, berusaha membela diri. Matanya m
Waktu telah berjalan seminggu sejak Mark dan Dania memulai bulan madu mereka, namun bagi Dania, perasaan campur aduk yang ia alami belum juga mereda.Setiap harinya, Dania merasa seperti berada di ambang sesuatu yang besar namun tak terlihat, sebuah ketidakpastian yang mengendap-endap di hatinya.Pagi itu, seperti biasa, ia duduk di bangku panjang yang menghadap langsung ke pantai, menikmati hembusan angin laut yang sejuk dan menenangkan.Suara deburan ombak yang tak henti-henti menghantam pantai memberikan irama konstan yang tak pernah berubah, kontras dengan pikirannya yang terus berputar.Matanya menerawang, sementara jemarinya menggenggam erat sandaran kursi di sebelahnya.Mark, di sisi lain, sibuk di dekatnya, berdiri sambil berbicara di telepon dengan Vicky, asistennya, tentang urusan kantor yang tak bisa ditunda. Meskipun mereka sedang dalam bulan madu, Mark masih terhubung erat dengan dunia bisnisnya.“Ya, aku tahu. Mereka sedang menungguku pulang. Tapi, jangan beri aku waktu
Hari terakhir di villa yang tenang dan penuh kenangan.Mark menghampiri Dania yang sedang duduk di gazebo sembari menikmati cokelat panas miliknya.“Aku baru saja menyewa dua sepeda. Ayo, bersepeda di sana,” ajak Mark kepada sang istri.“Bersepeda? Woah! Sudah lama juga aku tidak bersepeda. Ayo!” ucap Dania penuh antusias.Mark mengulas senyum dan menggenggam tangan Dania menuju pesisir di mana dia menaruh dua buah sepeda tersebut di sana.Sinar matahari yang hangat terasa menyentuh kulit, membuat setiap detik terasa begitu sempurna. Roda sepeda mereka berderak lembut di atas pasir yang masih basah oleh deburan ombak.Dania tersenyum lebar, merasakan angin laut yang menerpa rambutnya. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari setiap langkah kaki dan putaran roda sepeda. "Ini menyenangkan sekali," gumamnya dalam hati, perasaan ringan dan bebas seperti ketika masih anak-anak.Namun, sejenak kemudian, kebahagiaan itu tiba-tiba diselimuti perasaan aneh. Deja vu. Semua ini—bersepeda di
Kata-kata itu membuat Dania terdiam. Ia menatap Mark dengan hati yang berdebar-debar, merasakan kehangatan yang memancar dari pria yang berdiri di hadapannya. Kata-kata itu sederhana, namun penuh makna.Ada sesuatu dalam tatapan Mark yang membuatnya percaya—untuk pertama kalinya, mungkin, ia merasa bahwa Mark benar-benar tulus."Aku tidak menikahimu hanya untuk melupakan seseorang," lanjut Mark dengan nada yang lebih lembut. "Aku menikahimu karena aku ingin bersamamu. Bukan karena masa lalu, tapi karena masa depan yang kita miliki bersama."Dania menatap Mark yang kini menatap ke laut seraya meneguk air mineralnya. Pun dengan Dania. Akhirnya menoleh ke arah depan.“Kau pasti paham kenapa aku berpikir seperti itu, Mark,” kata Dania pelan.Mark mengangguk. “Ya. Aku paham,” ucapnya dengan pelan.Dania menoleh kemudian menghela napasnya dengan panjang. Sebenarnya ia ingin bertanya lagi, apakah Mark telah menaruh hati untuknya. Namun, ia tahan karena terlalu dini menanyakan hal tersebut.“
Mark merasakan amarah yang bergejolak di dalam dadanya. Wajahnya memerah, dan matanya berkilat tajam, memancarkan kemarahan yang selama ini ia pendam. Suara Alex, penuh dengan keyakinan dan otoritas, menggema di dalam ruangan. Namun kali ini, Mark tidak bisa lagi menahan dirinya."Apa yang kau katakan tadi semuanya salah!" suara Mark rendah namun menggigil penuh emosi. Ia menatap tajam ke arah ayahnya, seolah-olah menantang Alex untuk mengulanginya.Alex mengangkat alisnya, tetap tenang di tengah kemarahan putranya. "Apa yang aku katakan itu benar, Mark. Bahwa wanita itu bukan orang baik. Dia bukan untukmu, Mark. Kau buta oleh perasaannya. Kau tidak bisa melihat kenyataan."Sesyl yang berada di sudut ruangan tampak cemas, matanya berkali-kali bergeser dari Mark ke Alex, merasa ketegangan yang begitu kuat di antara keduanya. Ia tahu bahwa percakapan ini akan menjadi semakin buruk, dan ia merasa tak berdaya untuk menghentikannya.‘Kenapa Ayah berpikir seperti itu tentang Dania? Seperti
Sesyl melangkah keluar dari gedung perusahaan kakaknya dengan langkah cepat. Hembusan angin kota yang hangat menyambutnya ketika ia tiba di lobi, namun pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan berat yang baru saja terjadi di lantai atas.Tanpa berpikir panjang, ia meraih ponsel dari tasnya dan mulai mencari nama yang familiar dalam daftar kontak."Dania," gumamnya pelan sambil menekan tombol panggil.Beberapa detik kemudian, suara lembut dan akrab dari Dania terdengar di ujung sana. "Ya, Sesyl? Ada apa?" tanya Dania, suaranya terdengar heran mendapati panggilan tak terduga dari adik iparnya itu.Sesyl menarik napas panjang sebelum menjawab, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya penuh dengan hal-hal yang ingin ia bicarakan."Dania, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kau bisa menemuiku di Jizzi Café?" tanyanya, suaranya terdengar tegas namun tetap hangat."Huh? Kau ... ada di sini?" Dania terdengar terkejut. "Aku pikir kau masih di luar negeri, Sesyl."Sesyl