“Sebenarnya,” kata Dania pelan, mencoba mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya, “waktu itu, ibumu memang tidak secara langsung mengatakan kalau dia belum percaya sepenuhnya dengan pernikahan kita. Tapi … ada sesuatu dalam ucapannya yang membuatku berpikir.”Mark menoleh ke arahnya, alisnya terangkat, sorot matanya penuh tanda tanya. “Apa maksudmu?” tanyanya, nada suaranya tidak sepenuhnya waspada, tapi tetap ada keraguan di sana.Dania menghela napas, merasa ada sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. “Yang kukatakan tadi padamu, agar aku tetap berada di sisimu. Hanya saja, dari cara dia berbicara, aku merasa dia tahu sesuatu,” lanjutnya. “Seolah-olah … dia tahu bahwa pernikahan kita ini hanyalah pernikahan kontrak. Pernikahan tanpa cinta.”Mark terdiam sejenak, menatap Dania dengan serius. Bibirnya bergerak sedikit, tapi tidak ada kata yang keluar. Akhirnya, ia membuang pandangannya ke arah lain, ke laut yang tenang di kejauhan. “Lupakan apa yang dikatakan ibuku,” ujarnya,
"Melakukan yang seharusnya pasangan suami istri lakukan, Dania." Kalimat itu terucap dengan begitu tenang dari mulut Mark, namun efeknya bagi Dania seperti gelombang yang menggulung di dalam dadanya.Ada rasa takut yang tidak bisa ia abaikan, perasaan yang menghantuinya sejak awal pernikahan mereka.Meski ia tahu bahwa hubungan ini berlandaskan kontrak, perlahan segalanya mulai berubah, terutama sikap Mark yang semakin mendekat, semakin menginginkannya.Dania merasa terjebak, terhimpit antara keinginan untuk menghindar dan kesadaran bahwa ia harus memenuhi harapan Mark.Namun, ketika Mark mendekat lagi, tangan Dania perlahan naik, melingkar di leher suaminya, membalas ciumannya.Ciuman itu sederhana, tetapi ada sesuatu di baliknya—rasa takut, keraguan, dan keterpaksaan yang menyelimuti setiap gerakan bibirnya.Mark, yang merasakan tanggapan dari Dania, segera mengangkat tubuhnya dengan mudah. Dia menggendongnya, langkah-lan
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya matahari lembut menembus celah tirai kamar, menyinari sosok Dania yang masih berbaring di ranjang. Tubuhnya terasa remuk, seolah seluruh energinya terkuras habis. Rasa lelah menjalar di setiap otot, dan ada nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Ketika membuka mata, ia mengerang pelan, menyesuaikan diri dengan perasaan berat di kepalanya. Napasnya perlahan teratur saat ia mencoba mengumpulkan kesadarannya.Dania menggerakkan tangannya ke samping, mencari keberadaan Mark, suaminya. Namun, tangannya hanya menyentuh seprai kosong. "Di mana Mark?" gumamnya pelan, menoleh ke kanan dan kiri dengan mata setengah terpejam. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyelimuti kamar. Suara lembut burung berkicau dari luar terdengar samar, seolah mempertegas sunyi yang mendominasi ruangan.Dengan enggan, Dania bangkit dari ranjang dan duduk di tepinya. Pikirannya berkecamuk, merasa bingung dengan ketidakhadiran Mark di sisinya. "Tumben sekali pagi-pagi
Dania terbatuk-batuk, terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulut Mark. Suara pria itu terdengar begitu tenang dan biasa, seolah tidak ada beban dalam ucapannya, namun bagi Dania, kata-kata itu seperti petir di siang bolong.“Kenapa kau bertanya seperti itu, padahal kau sudah menyentuhku?” Dania akhirnya berbicara. Matanya menatap pria di hadapannya, mencoba mencari kejelasan dalam wajah yang selalu sulit dibaca itu.Mark hanya menatap balik dengan pandangan datar, seolah pertanyaannya tadi bukan hal besar. "Tinggal jawab saja, apa susahnya?" ucapnya dengan suara rendah, lalu menyesap kopi yang sudah dingin dari cangkirnya.Dania menghela napas panjang. "Aku tidak tahu," gumamnya pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. "Aku ... mempersilakanmu untuk menyentuhku hanya sebatas kewajibanku padamu, bukan karena ada perasaan di hatiku," tambahnya dengan suara lebih tegas, kini menatap mata Mark langsung.Mark menyunggingk
Betapa terkejutnya Dania saat melihat sosok yang memanggilnya di sebuah kafe tepi pantai itu. Angin laut yang lembut seolah berhenti berhembus, dan waktu seperti membeku saat ia mendengar suara yang begitu akrab, tetapi telah lama tak didengarnya.“Sesyl?” serunya, matanya membesar, dan tubuhnya langsung bangkit dari duduknya. Ia berjalan cepat, kemudian tanpa ragu memeluk erat wanita di hadapannya, seolah takut sahabat lamanya itu menghilang seperti ilusi.Sesyl, dengan aroma parfum yang sama seperti dulu, membalas pelukan itu, meski wajahnya menunjukkan keterkejutan yang setara.“Dania! Astaga, Tuhan! Aku tidak percaya kita bertemu di sini! Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanyanya sambil melepaskan pelukan mereka, masih memandang Dania dengan mata berbinar penuh rasa heran.Wajah Sesyl masih secantik dulu, meski ada garis-garis tipis di sudut matanya yang mungkin terbentuk dari tahun-tahun yang telah berlalu sejak mereka terakhir bertemu.Dania tersenyum tipis, dan tanpa sadar
"Apa yang kau lakukan di sini, Sesyl?" tanya Mark dengan nada yang hampir datar, tapi tajam seperti ujung belati yang menekan lembut kulit tanpa menusuk. "Tempat ini cukup jauh dari kantormu. Kau bolos lagi, huh?"“Jangan menuduh sembarangan, Mark,” ucap Sesyl tak terima dengan tuduhan kakaknya itu.“Lantas? Kau sedang mempromosikan parfum-mu itu di sini? Jauh sekali,” kata Mark, sepertinya pria ini belum puas membuat Sesyl sebal.Sesyl mendengus, tak mampu menyembunyikan rasa kesalnya. Tangan kecilnya dengan kasar meraih lengan Mark, menariknya dengan paksa menjauh dari Dania, wanita yang selama ini ia anggap sahabat dekatnya.“Dania. Aku pinjam kakakku … um, suamimu dulu.” Sesyl membawa Mark yang berada cukup jauh dari Dania.“Bagaimana mungkin kalian bisa menikah?” suaranya tercekat, mencerminkan keterkejutan yang belum hilang. Matanya berkilat tak percaya, berusaha memahami kenyataan di dep
Dania melangkah mendekati Mark dan Sesyl, yang masih berbincang dengan ekspresi yang lebih serius dari biasanya.“Mark,” ujar Dania dengan suara yang tenang, namun ada getaran halus yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. “Aku dan Sesyl menjadi sahabat setelah kecelakaan itu.”Sekilas, tampak keheningan itu semakin dalam. Kata-kata Dania seperti mengguncang sesuatu di antara mereka, membuat udara di sekitar terasa semakin berat.Sesyl, yang selalu penuh percaya diri, tertegun. Ekspresi bingungnya semakin jelas terpampang di wajahnya yang biasanya tenang.“Tunggu ... jadi selama ini kau pernah mengalami kecelakaan? Kenapa kau tidak pernah bilang?” Suara Sesyl terdengar patah, campuran dari keterkejutan dan rasa bersalah yang mendalam. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa sahabatnya pernah melalui tragedi besar tanpa ia ketahui.Dania menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena menurutku tidak penting, Sesyl. Bukan karena aku tak ingin memberitahumu.”Sesyl menghela napas p
Dania menghentikan langkahnya sejenak di ambang pintu kamar, kemudian perlahan berbalik. Pandangannya tajam menembus ruang di antara mereka, mata terfokus pada wajah Mark. Ia menahan napas sejenak sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan yang tak bisa lagi ia bendung.“Kau masih mencintai cinta pertamamu itu?” suaranya datar, hampir tanpa emosi, namun jelas mengandung kesedihan yang dalam.“Kau masih memikirkan wanita itu, meskipun kini kau telah menikah denganku?” lanjutnya.Mark menghela napas panjang, matanya menyapu ruang, seolah mencari jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk ini. “Dania …,” ucapnya lirih, tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu. “Aku akan memasak untuk makan malam nanti. Kita bisa bicara setelah itu.”Dania menggeleng pelan, tak tergoyahkan oleh usaha Mark untuk mengalihkan perhatian. “Aku sedang tidak nafsu makan, Mark,” jawabnya tegas, matanya tetap menatapnya tanpa henti, seolah menuntut kejujuran penuh dari pria di hadapannya.Mark meraih tangannya den