Share

2 : Kenyatahan Pahit

Penulis: Az Zidan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-05 22:37:55

2

Tirtha membuka pintu rumahnya dan sudah mendapati pria paruh baya berkacamata di ruang tamunya. Pria itu tersenyum tipis dan mendekati sang ayah.

“Pa? sudah lama?” sapa Tirtha. Pria itu menunduk untuk mencium tangan ayahnya.

“Ibumu sakit. Anak macam apa kamu?! Dia wanita yang melahirkan dan besarin kamu, Tirtha!” geramnya. Merasa bahwa anaknya sangat tidak tahu malu.

“Maaf, Pa. Tirtha akan pulang.”

“Emang udah seharusnya kamu pulang, Tirtha! Hartamu nggak bakal kamu bawa mati. Harusnya kamu bisa memprioritaskan ibumu!” amarah pria itu masih meletup tidak tertahankan.

“Maaf, Pa.” kepalanya tertunduk, ia tidak pernah dekat dengan pria itu. Tirtha canggung dengan ayahnya sendiri.

“Aku tunggu besok di rumah! Kalau kamu tidak juga pulang, tidak usah kembali sekalian, Tir! Di rumah kami masih punya keluarga terbaik!” sarkasnya. Lantas ia pun keluar dari rumah anak kandungnya sendiri.

Tirtha mengembuskan napasnya dengan kasar, lega sekaligus tidak enak hati. Dia sudah lama tidak menelepon ibunya sendiri. Waktunya habis untuk bekerja.

Jemarinya meraih benda persegi di kantong celananya. Kemudian menekan nomor snag ibu.

“Nak? Kamu apa kabar? Kenapa tidak pernah telpon ibu?” hati Tirtha seolah di remas. Begitu panggilannya terhubung, hal pertama yang ditanyakan oleh sang ibu adalah kabarnya.

“Maafin, Tirtha, Ma. Malam ini Tirtha akan pulang. Mama sakit apa?”

“Pasti Papamu datang ‘kan? Memang keras kepala. Kalian para pria tidak bisa diandalkan,” gerutu sang ibu diseberang.

“Tritha minta maaf, Ma. Aku tutup telponnya dulu, ya. Nanti kita ngobrol lagi di rumah,” pamitnya. Setelah mendengar jawaban dari snag ibu, laki-laki bertubuh tinggi itu mengakhiri panggilan tersebut.

Ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. Seharian dilanda hal-hal yang tidak terbayangkan.

Setelah satu jam mendinginkan isi kepala dan merehatkan tubuhnya ia lantas meninggalkan ruang tamu lalu membersihkan diri. Ia benar-benar akan pulang. Ancaman sang ayah tidak pernah bisa membuatnya tenang. Sang ayah tidak pernah bercanda dengan ucapannya.

Menempuh perjalanan selama tiga jam. Tirtha akhirnya tiba di rumah sang ibu. Malam semakin gelap, dan seluruh lampu di rumah itu telah padam. Nampaknya terjadi pemadaman masal di desanya. Hidup di desa terkadang masalah listrik dan benana alam lekat sekali.

Mobil sang ayah sudah teraprkir tepat di sebelahnya. Tirtha mengetuk pintu dan seraut wajah sang ayah kembali dia lihat.

“Pa—” Tirtha kembali membungkuk untuk menyahut tangan ayahnya guna ia cium. Kemudian ia masuk. Langsung menuju kamar sang ibu.

Melihat betapa tua orang tuanya. Guratan di telapak tangan itu tidak mampu menipu Tirtha lagi. Tangan itulah yang menrawatnya sedari bayi.

“Nak? Kamu benar-benar pulang? Kenapa tidak besok pagi saja?” ucap sang ibu dengan lemah.

“Tirtha tidak ingin mengingkari janjiku, Ma. Kenapa tidak telpon Tirtha kalau mama sakit?”

“Mama tidak ingin gangguin kamu.”

“Mama ngomong apa? Sekalipun Tirtha sibuk pasti bakalan angkat telpon Mama,” balasnya.

“Sudahlah lupakan. Kamu mau makan? Mama akan masak buatmu.”

“Tidak perlu, Tirtha tidak lapar. Mama istirahat saja. Besok kita ke dokter, ya.” Wanita tua itu mengangguk. kemudian memejamkan mata.

Tirtha keluar dari kamar sang ibu. Mendapati Awan, sang ayah duduk termenung di ruang tengah. Tirtha mendaratkan pantatnya di sofa tepat di samping sang ayah.

“Ibumu sakit parah, Tirtha. Dokter bilang kanker payudaranya sudah sampai stadium akhir. Jangan sampai beban pikirannya menggerogoti kesehatannya.”

“Mama kanker?” Tirtha sungguh terkejut dengan apa yang dituturkan oleh ayahnya. Selama ini sebegitu tak acuhnya Tirtha pada sang ibu sehingga sama sekali tidak tahu kondisinya.

“Itulah. Kamu tidak pernah tahu karena kamu sama sekali tidak perhatian padanya. Mau sampai kapan?”

“Tirtha minta maaf, Pa. apakah ada yang bisa dokter lakukan untuk Mama?”

Awan menggeleng. “Tidak ada. Operasi sudah dilakukan dua kali dan penyakit itu sudah mengakar ke semua tubuhnya. Dia hanya ingin melihatmu bahagia. Lalu apakah kamu pernah terlintas ingin membahagiakannya dengan apa yang diidamkan?”

Tirtha terdiam. Tidak mampu menjawab apa pun yang diucapkan oleh pria berusia senja itu.

“Lupakan! Istirahatlah.” Awan meninggalkan anaknya. Ia masuk ke kamar dan merebahkan tubuh di samping istrinya.

Sementara Tirtha larut dalam pikirannya sendiri. Sungguh, dia sama sekali tidak bisa menjalani hidup di desa. Lalu bagaimana sekarang? Ibunya sakit parah dan tidak mungkin juga dia akan meninggalkan wanita yang telah berjasa pada kehidupannya.

**

Di rumah, Akarsana. Wanita itu berdiam diri di dalam kamar setelah memasak makan malam untuk anaknya. Namun, hingga jam sepuluh makanan itu tidak juga disentuh oleh Cahaya. Akar mengetuk pintu kamar Cahaya dengan harapan gadis itu mau membukanya.

“Aya, ini Ibu. Bisa kamu buka pintu? Kita makan bareng, yuk!” Meskipun dia tidak selera makan, tetapi jika tidak dengan kata itu Cahaya tidak akan makan. Remaja dua belas tahun itu masih bungkam tidak mau menjawab.

“Boleh ibu masuk? Ibu mohon, Aya,” pinta Akar.

Lagi-lagi tetap hening. Akarsana menyerah, dia tidak akan menganggu anaknya. Bagaimanapun ini memang sulit untuk mereka berdua jalani.

“Kalau kamu lapar, makanannya ada di kulkas, ya. Ibu di kamar,” tambah Akarsana sebelum akhirnya meninggalkan pintu Cahaya.

Hingga malam larut pun, Akarsana tidak mampu terpejam. Ia terus menatap fotonya dan suami. Tanpa diminta dan tanpa Akarsana ingin, air matanya jatuh kembali. Ia mendekap bingkai mungil yang biasanya dia letakkan di nakas.

“Mas, kenapa secepat ini? Sebegitu yakinnya kamu sama aku? Sampai harus meninggalkan aku sendiri? Bagaimana aku jalani semuanya, Mas? Ini sulit,” lirih Akarsana.

Bagaimana dia harus merawat gadis remaja? Bagaimana dia harus memenuhi kebutuhan dan biaya sekolah Cahaya? Akarsana tidak tahu. Baru setengah hari dan itu sudah membuatnya tertekan, ketakutan, dan kalangkabut.

Belum lagi cicilan setiap bulan yang harus mereka tanggung. “Mas—” Akarsana merebahkan tubuhnya. Dia setia memeluk bingkai foto itu. Rindunya sudah mendekatinya. Kata-kata sudah tidak mampu dia lontarkan.

Jika, biasanya malam ini mereka akan talk pillow, membahas segala hal. Membicarakan aktivitas mereka seharian. Kini, kamar itu sepi, Akarsana sendirian dan tidak tahu harus apa kecuali berusaha mengusir kesedihannya.

Paginya, Akarsana keluar dari kamar. Dia benar-benar tidak tidur semalaman. Matanya kian tidak bisa terbuka lebar karena terlalu banyak menangis. Dia mencari keberadaan anaknya. Mendekati lagi pintu kamar Cahaya. Berusaha memanggil Cahaya, mengetuk pintu akan tetapi, tetap saja tidak ada jawaban dari dalam. Sampai Akarsana memutuskan untuk membukanya.

“Lancang banget buka-buka pintu kamar orang?!” sarkas Cahaya.

“Ibu tadi udah ngetuk pintu, Aya. Udah manggil kamu juga, kamu nggak jawab,” jelas Akarsana.

“Aku nggak sudi ngomong ama pembunuh!”

“Aya! Cukup! Aku ibumu. Mau tidak mau kamu harus menerima itu. Ada atau tidak ada ayahmu, kamu tetap tanggung jawabku. Jangan memulai pertengkaran,” tegas Akarsana yang tergulung emosi Cahaya.

Dia selalu sabar menghadapi remaja itu, akan tetapi dirinya selalu tidak dianggap. Padahal, Akar menerimanya dengan tulus. Tidak sekalipun Akar memperlakukan Cahaya dengan buruk.

“Keluar!” usir, Cahaya pada akhirnya. Ia mendorong tubuh Akar dan menutup pintu dengan kencang, hingga membuat Akar berjengit.

“Kuat, Akar! Seperti namamu. Akar adalah adalah kekuatan terbesar pohon. Meskipun Akarsana yang sebenarnya berarti menarik dan cantik. Namun, aku sungguh tidak butuh pengakuan sebegai Akarsana. Aku akan menjadi Akar. Kuat dan kokoh demi pohon rumah tangga ini. Aku akan berjuang, Mas. Kamu tenang saja, Cahaya akan tetap aku urus sebaik mungkin. Aku janji.” Ia bermonolog. Menguatkan diri yang sejatinya rapuh dan lemah.

Bab terkait

  • Terjerat Cinta Bos Suami   3 : Pekerjaan Baru

    Tiga hari setelah kepergian Ranu, Akarsana harus kembali bangkit. Ia bersiap untuk bekerja. Tiba-tiba ponsel bututnya bergetar di atas meja. Ia melangkahkan kaki mendekati meja di dapur itu. Nomor tidak dia kenali telah menghubunginya. Akarsana enggan untuk menjawabnya. Namun, berulangkali nomor yang sama itu mencobanya kembali.“Minta duit!” tangan Cahaya terulur untuk minta uang pada Akarsana. Gadis itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sudah tiga hari pula gadis itu membolos. Memang tidak akan mengubah segalanya. Keduanya harus tetap menjalani kehidupan seperti biasanya.“Apa yang kamu pakai, Aya? Rokmu terlalu pendek. Lepas! Kamu harus ganti yang lebih panjang.” Bukan memberikan apa yang Cahaya mau justru ia mengomentari pakaian remaja itu.“Apa susahnya ngasih duit, sih? Aya nggak minta komentarmu!” ketus Cahaya.“Aya, aku ibumu. Tolong, ibu mohon ganti rokmu, Aya!” perintah Akarsana.“Mau ngasih duit nggak?!” bentak Cahaya. Ia menoleh mencari keberadaan dompet ibu sambungnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-05
  • Terjerat Cinta Bos Suami   4 : Remaja Badung

    Sampai di sebuah gedung dengan bagunan tiga lantai. Akarsana memarkir sepedanya. Ia bingung harus menemui siapa. Sampai satpam yang menjaga pintu masuk itu bertanya pada gadis polos yang ada di depannya.“Mau bertemu siapa, Mbak?”“Maaf, Pak. Saya dapat telepon dari kantor ini tadi.”“Telepon dari siapa, Mbak? Barangkali saya bisa bantu memanggilnya,” ujar pria bertopi itu.Aduh! Bodoh banget, Akar. Kenapa nggak tanya tadi siapa namanya, pake acara lupa segala, umpat Akarsana dalam batinnya.“Mbak?” Pria jangkung itu memanggil Akar kembali, karena tidak juga mendapatkan jawaban.“Katanya pihak HRD, Pak. Beliau wanita, saya belum tahu namanya,” timpal Akarsana. Ia menjawab dengan jujur.“Oh— baik Anda bisa duduk di sana. Saya akan bertanya pada beliau apakah bisa ditemui atau tidak.” Akar mengangguk, ia mengikuti saran dari sang satpam dan duduk di bangku ruang tunggu.Tidak sampai lima menit, satpam itu keluar dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, berpakaian rapi,

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-17
  • Terjerat Cinta Bos Suami   5 : Sepeda Butut

    Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya. "Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah. Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng. "Aya kenapa—""Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya. Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang. Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang. "Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?""Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar. "Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan ua

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-07
  • Terjerat Cinta Bos Suami   6 : Tertipu

    Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekel

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-08
  • Terjerat Cinta Bos Suami   7 : Merindukanmu

    Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-09
  • Terjerat Cinta Bos Suami   8 : Jangan Mesum!

    Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-09
  • Terjerat Cinta Bos Suami   9 : Sombong

    “Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-10
  • Terjerat Cinta Bos Suami   10 : Mantan Istri

    Kegiatan yang dilalui Akarsana tetap begitu saja. Pulang kerja langsung ke pasar, sampai rumah masak dan beristirahat kurang dari lima jam. Ini adalah hari minggu pertama untuknya. Dia bisa menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Mencuci baju dan juga memantau aktivitas sang anak.“Aku mau main sama temen. Minta duit,” cetus Cahaya di ambang pintu belakang rumahnya. Melihat sang ibu sambung menjemur cuciannya.“Mau ke mana, Ya? Nggak mau nemenin ibu ke makam Ayah?” Akar mendekati sang anak. Menatap wajah remaja itu dengan intens dibarengi dengan senyuman hangat.“Bagi aja duit nggak usah banyak omong. Setiap hari aku juga udah di rumah. Mau main sekali seminggu aja masih nggak boleh?” sungut, Cahaya.“Boleh, kok. Tapi jangan pulang malam-malam, ya. Sebelum jam enam sudah harus ada di rumah.” Akar merogoh uang yang ada di dompet di atas kulkas.“Makin hari makin ngeselin aturanmu itu,” sergah Cahaya. Sembari menyambar kasar uang yang diulurkan oleh Akar.“Ini untuk kebaikanmu, Aya

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-11

Bab terbaru

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 34

    Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 33

    Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 32

    Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 31

    Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 30

    Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 29

    Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 28

    Semalam suntuk, Akarsana tidak mampu memejamkan matanya. Ia terus menangis hingga pagi datang.Melakukan segala pekerjaan di rumah itu tidak lagi semenyenangkan sebelumnya. Lebih banyak keterpaksaan ketimbang sebelumnya."Nak, Bapak sudah bilang sama Tirtha, kalau pernikahan kalian akan dilakukan dua Minggu lagi. Itu sudah hari yang paling baik di bulan ini," ujar Awan.Tidaklah dia melihat bahwa Akarsana tersiksa?"Terserah kalian. Maaf, Tuan. Sejujurnya, saya bisa menolak pernikahan ini, jika Anda tidak memaksa Pak Tirtha."Akar sudah tidak sanggup membayangkan banyak kemungkinan lagi. Dia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang siksa di dalam pernikahan. Dirinya yakin, bahwa Tirtha tidak akan pernah menerima keberadaannya."Maafkan, Bapak, Nduk. Tapi, Bapak hanya yakin sama kamu. Untuk itu, kamu kudu yakin juga, kalau—" Awan mendekati posisi Akarsana yang berdiri di depan wastafel pencuci piring. "Kalau akan tumbuh benih cinta di antara kalian. Tirtha akan menjaga dan melindungi kali

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 27

    Akarsana kembali ke kamarnya. Menghentikan perdebatan yang tidak pernah menemukan titik terang. Gadis itu mengabaikan rasa lelah, mengabaikan hawa panas yang melungkup seluruh tubuhnya. Melupakan tentang kesegaran mandi setelah bekerja. Dipikirannya hanya ada satu tindakan yang jelas tidak akan dia sesali, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu.Ia mengemas seluruh pakaiannya, barang-barang yang benar-benar miliknya. Tidak banyak, hanya seberat satu tas ransel saja. Ia meninggalkan seragam office girl-nya di atas ranjang."Aku bersumpah tidak menyesali pilihanku ini. Tidak ada yang mau dinikahi secara terpaksa 'kan?" Ia terus menggerutu. Muak dengan sikap Tirtha, muak dengan seluruh drama kehidupannya. Setelah gagal di pernikahan pertama, tentu saja Akarsana tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.Tangannya hendak meraih tuas pintu dari dalam kamarnya. Namun, daun pintu itu sudah terbuka terlebih dulu."Mau ke mana, kamu?" tanya Tirtha dengan enteng, tetapi seraut muka itu masih bengi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 26

    Senin pagi, berkat keuletan yang dimiliki oleh Akarsana, sekarang gadis itu bisa pergi bekerja dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan di rumah yang telah rampung dia kerjakan sejak pagi.Ketika hendak menyeret sepeda kayuh miliknya, saat itu juga Tirtha keluar dari pintu utama. Namun, sikapnya jauh berbeda dari sosok itu sebelumnya. Pria itu tidak menyapanya, hanya sekedar basa-basi mengajak berangkat bersama pun tidak. Terlebih lagi, ini masih sangatlah pagi untuk sekelas bos pergi bekerja. Biasanya, Tirtha akan tiba di kantor baru pukul sembilan."Anda tidak sarapan terlebih dulu?" tanya Akarsana. Gadis itu seharusnya tahu, bahwa sikap formalitas dan perhatian itu tidaklah digubris oleh laki-laki dengan kepribadian ganda itu.Nyatanya, Tirtha lekas melenggang memasuki mobil dan langsung menancap gas meninggalkan halaman rumahnya.Perasaan semenjak pulang kampung, dia menganggap bahwa semua ini salahku, batin Akarsana. Kendati, dia sama sekali tidak tahu akar masalah sebena

DMCA.com Protection Status