Semenjak mendengar penuturan Cindy siang tadi, Akar merasa bahwa dia benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Ranu.“Jika dia masih menjalin hubungan baik pun aku tidak akan marah. Tapi, tidak dengan sembunyi-sembunyi di belakangku ‘kan?” gerutu Akar.Tangan mungilnya sibuk menggeser tongkat pel-pelan ke kanan dan kiri, mulutnya mengerucut, dia jengkel dan sangat marah pada laki-laki yang usianya sudah berakhir. Hingga langkah mundurnya harus menabrak tubuh tinggi menjulang di belakangnya.“Akh— maaf,” sesal Akar. Ia memutar badan dan menyadari bahwa Tirthalah yang berdiri dengan mulut terkunci di ambang pintu pantry.Seperti biasa, Akar akan mengepel pantry dan membersihkan toilet sebelum akhirnya harus kembali ke rumah. Nahasnya, Tirtha selalu saja mengusik keberadaan Akar tanpa jelas apa keinginan sebenarnya.Begitu menyadari tatapannya memelas pada sang bos, Akar lekas menundukkan pandangan. Sementara Tirtha berusaha menahan dagu Akar, tetapi gadis itu lekas melangkah mundur.“Bapak ma
Tidak biasanya Cahaya bangun saat Akarsana sibuk di dapur. Gadis itu biasanya akan keluar dari kamar setelah jarum jam berada lebih di depan angka lima. Akan tetapi kali ini, ia duduk di kursi memerhatikan sang ibu yang harus ke sana kemari memasak. “Sudah bangun, Ya?” “Setelah ujian selesai, libur panjang. Aku mau ke rumah Mama,” celetuk Cahaya tanpa menghiraukan pertanyaan Akar. Saat itu Akar langsung membisu. Ia menatap dinding di depannya, kendati tangannya sibuk memarinasi daging ayam. “Dengerkan? Atau pura-pura budek? Aku izin karena ini bakalan lama, kurasa kamu akan senang kalau aku tidak di rumah,” papar Cahaya. “Kalau aku tidak izinkan apakah kamu mau menurut, Aya?” “Kamu nggak ada hak untuk melarang aku ketemu Mama, Akarsana.” Panggilan yang tidak seharusnya keluar dari mulut remaja seusia Cahaya. “Aku tidak melarang, Cahaya. Kamu boleh bertemu, tapi tidak dengan menginap,” jelas Akarsana dengan kepala dingin. Masih terlalu dini untuknya mengeluarkan tanduk. Akarsana
Sampai tiba di kantor, Akarsana lekas turun terlebih dulu. “Terima kasih, Pak,” ucap Akar. Kendati, dia kesal tetapi ia tahu bagaimana caranya menghargai kebaikan orang lain.Namun, Tirtha hanya bungkam dan seolah tidak mendengar apa pun yang diucapkan oleh Akarsana. Gadis itu lantas merangsek ke dalam kantor dan membagi pesanan mereka, sekaligus memberikan uang kembalian. Tidak sedikit mereka yang memberikan uang kembalian itu pada Akar setelah tahu permasalahan atas keterlambatannya.“Kenapa lama banget?” sergah Cindy, dia juga sudah kelaparan karena menantikan makanannya tidak kunjung datang.“Sepedaku rewel.”“Terus gimana? Kamu ngojek?” Akar menggeleng.“Aku bareng Pak Tirtha. Nggak tahu beliau mau ke mana,” pungkas Akar sebelum Cindy bertanya lebih lanjut.“Pak Tirtha memang sejak tadi belum ke kantor, jadi kalian bareng gitu?” Akar mengangguk dengan wajah yang masih tampak lelah.“Tumbenan, Pak Bos baik,” celetuk Cindy yang langsung didengar oleh Tirtha.“Jadi maksudmu, biasany
Dua manusia berbeda jenis itu berjalanan beriringan. Tirtha yang merasa kasihan dengan Akar sudah berinisiatif untuk membantu membawa tas jinjing milik wanita itu.“Sudalah, Pak! Lebih baik Bapak pergi, saja! Ngapain ikutin saya sampai rumah juga?” inilah jawaban, Akarsana. Dia menolak mentah-mentah. Dalam pikirannya jelas tahu kalau laki-laki sok baik itu senang dengan kondisinya sekarang.“Niatku baik. Mau minta maaf dan bantuin kamu,” jawab Tirtha dengan sikap semau-maunya.“Saya sudah maafin Bapak. Sekarang silakan Bapak pergi. Saya itu sedang pusing, jangan menambah beban dengan melihat Anda terus membuntuti saya terus. Motif bapak terselubung dan tidak jelas,” tukas Akarsana marah.Langkahnya ia percepat agar Tirtha tertinggal. Akan tetapi, kaki laki-laki yang lebih panjang dari Akarsana membuat langkahnya lebih lebar dari wanita itu.“Mau ke mana sekarang?”“Bukan urusan, Bapak!” sungut Akarsana.“Aku mau menawarkan bantuan. Ini serius.” Tirtha berhenti dan melipat tangan di de
“Akar! Enggak bawa makan lagi?” tanya salah satu karyawan yang menantikan makan siang dari Akarsana. Gadis itu menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Maaf, saya belum sempat,” kilahnya. Sekaranglah semuanya terpikir, bagaimana dia akan memasak untuk jualan, jika kerjanya harus dobel-dobel. Akarsana suka bekerja, dia hobi memasak, tetapi jika harus melakukannya secara bersamaan, mungkin tubuhnya akan roboh. Belum lagi tekanan dari Tirtha yang terkadang membuat dia ketakutan saat melihat wajah sangarnya. “Oh— besok bawa, ya. Kita udah kangen masakan kamu. Harganya naik juga nggak apa-apa. Asalkan nggak lebih dari dua puluh ribu aja, sih,” tukasnya. Akarsana mengangguk tanpa kata, dia melayangkan senyum agar tidak terlihat tak acuh. Beberapa karyawan di lantai satu pun membenarkan penuturan wanita yang mengajak bicara Akarsana. Lebih baik makan buatan Akar ketimbang harus menunggu lama, dan makan dengan rasa pas-pasan hanya karena harganya murah. Akar kembali ke pantry, ia tidak ada kesempat
"Saya terkadang heran dengan Anda. Sebentar Anda mengejek, mengolok saya sampai tidak terpikir apakah ucapan Anda menyakiti saya atau tidak. Tapi, kemudian Anda terdengar seperti orang benar. Dalam artian, tulus dan sangat ingin membantu saya."Kepala Akarsana masih setia untuk menunduk. Tangannya sibuk meremas ujung baju bermotif bunga kecil dengan warna pink. "Beginilah, aku. Aku tidak bisa menahan diriku. Aku tidak bisa mengerem ucapanku. Jadi, aku harap kamu bisa terbiasa, Akar."Tirtha mematikan saluran televisi. Ia ingin fokus dengan obrolan, yang tengah berlangsung, dengan begini keduanya bisa saling tahu maksud dan tujuan masing-masing. Akarsana yang ikut karena harus membayar utang, sedangkan Tirtha hadir untuk membantu dan berbagai maksud lainnya. Laki-laki selalu punya banyak kedok. "Jadi, apakah Bapak izinkan saya untuk memakai dapur, Anda?" Lagi-lagi Akar menanyakan hal itu. Karena itulah tujuannya menemui pria tersebut. "Boleh. Sebelum itu, aku ingin kamu ceritakan d
Tepat jam tiga pagi, Akarsana sudah selesai dengan segala persiapannya. Entah jam berapa gadis itu memulai. Pastinya, Akar hanya tidur dua jam. Seperti kebiasaanya di rumah. Akar selalu menyisihkan sebagian masakan itu untuk sarapan anaknya. Namun, kali ini beda. Ia menyisihkan untuk sang bos. Gadis itu juga menyiapkan bekal untuk Tirtha. Ini sudah kesepakatan. Menurut Akar hal ini juga tidak membebaninya. Sudah diizinkan untuk tinggal dan memakai dapur itu, sudah sangat untung baginya. Akar membiarkan kotak-kotak itu terbuka agar dingin sempurna dan bisa bertahan lama. "Buset! Kamu nggak tidur?" Tirtha masih dengan wajah bantal menuju dapur. "Bapak. Mau dibuatkan kopi atau teh?""Teh tawar saja." Akarsana dengan cekatan membuat apa yang diinginkan oleh Tirtha. Sementara pria itu mendekati kulkas dan meneguk air langsung dari botol. "Kelihatan enak banget ini. Kamu pinter masak lho. Kenapa nggak buka warung aja pas nikah sama Ranu?""Buka warung juga butuh modal, Pak. Kami mana a
Suasana kantor sudah sunyi. Sementara, Akarsana masih duduk di pantry sendirian. Pak Adul juga sibuk berjaga di pos depan setelah mengambil jatah kopinya.Akarsana tidak tahu harus pulang dengan cara apa. Tololnya baterai ponselnya lenyap. Jika berjalan ke depan Akarsana harus mengerahkan tenaganya. Tidak ada tongkat yang bisa ia gunakan untuk berjalan."Mau nginep?" celetuk Tirtha. Sejak Akarsana bergabung di kantornya, Tirtha lebih sering pulang telat. Entah, rasa penasarannya begitu menggebu pada sosok polos, lugu, dan manis dengan kulit eksotis itu. Akar benar-benar produk lokal yang tidak gagal. Namun, kehidupannya sangat-sangat jauh dibawah kata gagal."Bukan urusan, Bapak, kan?""Heh! Jelas urusanku. Kamu kerja di rumahku. Ini jatahmu masak makan malam buatku. Enak saja bilang bukan urusanku. Aku memperkerjakan kamu biar hemat uang makan," sembur Tirtha. Ia berjalan mendekati di mana Akar duduk."Jangan mendekat, Pak!" cegah, Akarsana. Dia sungguh takut jika pria itu berbuat n
Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru
Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup
Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka
Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi
Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik
Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini
Semalam suntuk, Akarsana tidak mampu memejamkan matanya. Ia terus menangis hingga pagi datang.Melakukan segala pekerjaan di rumah itu tidak lagi semenyenangkan sebelumnya. Lebih banyak keterpaksaan ketimbang sebelumnya."Nak, Bapak sudah bilang sama Tirtha, kalau pernikahan kalian akan dilakukan dua Minggu lagi. Itu sudah hari yang paling baik di bulan ini," ujar Awan.Tidaklah dia melihat bahwa Akarsana tersiksa?"Terserah kalian. Maaf, Tuan. Sejujurnya, saya bisa menolak pernikahan ini, jika Anda tidak memaksa Pak Tirtha."Akar sudah tidak sanggup membayangkan banyak kemungkinan lagi. Dia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang siksa di dalam pernikahan. Dirinya yakin, bahwa Tirtha tidak akan pernah menerima keberadaannya."Maafkan, Bapak, Nduk. Tapi, Bapak hanya yakin sama kamu. Untuk itu, kamu kudu yakin juga, kalau—" Awan mendekati posisi Akarsana yang berdiri di depan wastafel pencuci piring. "Kalau akan tumbuh benih cinta di antara kalian. Tirtha akan menjaga dan melindungi kali
Akarsana kembali ke kamarnya. Menghentikan perdebatan yang tidak pernah menemukan titik terang. Gadis itu mengabaikan rasa lelah, mengabaikan hawa panas yang melungkup seluruh tubuhnya. Melupakan tentang kesegaran mandi setelah bekerja. Dipikirannya hanya ada satu tindakan yang jelas tidak akan dia sesali, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu.Ia mengemas seluruh pakaiannya, barang-barang yang benar-benar miliknya. Tidak banyak, hanya seberat satu tas ransel saja. Ia meninggalkan seragam office girl-nya di atas ranjang."Aku bersumpah tidak menyesali pilihanku ini. Tidak ada yang mau dinikahi secara terpaksa 'kan?" Ia terus menggerutu. Muak dengan sikap Tirtha, muak dengan seluruh drama kehidupannya. Setelah gagal di pernikahan pertama, tentu saja Akarsana tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.Tangannya hendak meraih tuas pintu dari dalam kamarnya. Namun, daun pintu itu sudah terbuka terlebih dulu."Mau ke mana, kamu?" tanya Tirtha dengan enteng, tetapi seraut muka itu masih bengi
Senin pagi, berkat keuletan yang dimiliki oleh Akarsana, sekarang gadis itu bisa pergi bekerja dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan di rumah yang telah rampung dia kerjakan sejak pagi.Ketika hendak menyeret sepeda kayuh miliknya, saat itu juga Tirtha keluar dari pintu utama. Namun, sikapnya jauh berbeda dari sosok itu sebelumnya. Pria itu tidak menyapanya, hanya sekedar basa-basi mengajak berangkat bersama pun tidak. Terlebih lagi, ini masih sangatlah pagi untuk sekelas bos pergi bekerja. Biasanya, Tirtha akan tiba di kantor baru pukul sembilan."Anda tidak sarapan terlebih dulu?" tanya Akarsana. Gadis itu seharusnya tahu, bahwa sikap formalitas dan perhatian itu tidaklah digubris oleh laki-laki dengan kepribadian ganda itu.Nyatanya, Tirtha lekas melenggang memasuki mobil dan langsung menancap gas meninggalkan halaman rumahnya.Perasaan semenjak pulang kampung, dia menganggap bahwa semua ini salahku, batin Akarsana. Kendati, dia sama sekali tidak tahu akar masalah sebena