Share

5 : Sepeda Butut

Penulis: Az Zidan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-07 21:09:46

Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya.

"Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah.

Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng.

"Aya kenapa—"

"Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya.

Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang.

Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang.

"Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?"

"Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar.

"Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan uang untuk membayar cicilan motor yang biasa digunakan suaminya pulang pergi kerja.

"Lihatlah!" Satu pria lagi melemparkan buku yang berisi data-data pembayaran Akarsana.

Benar! Selama tiga bulan mereka telat membayarnya. Akar ingat betul memberikan uang itu pada sang suami. Dia meminta tolong karena sangat sibuk di resto kala itu.

Ternyata Ranu tidak membayarkan uangnya. Lalu— kemana perginha duit itu?

"Kalau tidak dibayar, buat apa uangnya?" lirih Akar yang masih didengar oleh dua pria berjaket kulit tersebut.

"Ya mana kita tahu! Jadi— kami akan bawa motornya!" serunya lagi.

"Tidak, Pak! Bagaimana saya pergi kerja kalau tidak ada motor?"

"Itu mah urusan kamu! Bukan urusan kami!" Tentu saja mereka tidak acuh. Kerabat bukan saudara apalagi.

Akarsana harus merelakan kendaraan satu-satunya yang dia miliki diangkut leasing. Tidak bisa menahan ataupun menangisinya. Kendati dia bisa saja berteriak kalap, tetapi bukankah itu akan memalukan untuknya?

Setelah kepergian dua laki-laki berotor besar itu, kini Cahaya berdiri disamping Akarsana dengan senyum jahatnya.

"Emang nggak bener jadi istri. Tahunya jajan doang! Mana bisa bantu ngejaga harta suami," sindirnya.

Padahal apa yang bisa Akarsana banggakan dan rebut dari suaminya? Harta saja tidak punya apalagi warisan?

Setelah berkata demikian Cahaya lantas sengaja mendorong bahu ibu tirinya dengan lengannya dan kemudian melenggang pergi.

Wanita dengan rambut bergelombang itu hanya diam membisu. Tidak ada gunanya menanggapi setiap kata yang diucapkan Cahaya. Dia lelah dengan perseteruan yang terjadi.

Akarsana kembali masuk ke dalam. Dia melihat masakannya gosong. Tahu yang dia goreng berubah menjadi hitam seperti arang. Anehnya kompor sudah mati. Dia ingat betul tadi sudah mematikan kompor itu. Belum lagi nasi yang dia letakkan di kotak bekal terguling dan jatuh ke lantai.

"Cahaya," gumamnya. Sangat lirih bahkan hampir tidak keluar suara itu.

Akarsana membersihkan kekacauan yang terjadi di dapur. Ia lantas pergi tanpa membawa bekal. Dia bisa membeli makan siang untuk hari ini saja.

Naik angkutan umum sekali saja tidak akan membuat dirinya rugi bukan? Akarsana akan membeli sepeda kayuh nanti. Dia masih punya uang gaji dan pesangon.

Pukul setengah sembilan, Akarsana tiba di rumah. Dia sangat terlambat. Seharusnya dia tiba lebih pagi.

"Maafkan aku, Cin. Aku terlambat banget," sesal Akarsana. Ia menatap wajah teman kerjanya dengan penuh rasa bersalah.

"Iya, kenapa? Finger dulu sana! Jangan diulangi lagi, ya," ucap Cindy.

Akarsana mengangguk. Pertama ia mendekati finger dan menempelkan jari jempolnya kemudian lekas bekerja. Membersihkan kamar mandi.

Begitu keluar dia kaget karena jam sudah tiba saatnya makan siang. Cindy memberikan catatan padanya. Ia harus membelikan makanan para karyawan itu sesuai dengan catatan di warung yang sudah diberi petunjuk oleh wanita berambut pendek itu. Akarsana harus mengayuh sepeda karena jarak yang cukup jauh.

"Hati-hati, Na!" Akarsana mengangguk. Sementara Cindy sibuk membuat kopi dan lain sebagainya.

**

Di desa, Tirta sudah berpamitan dengan sang ibu dan bapaknya. Pria itu harus kembali ke kota. Pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan terlalu lama. Banyak yang harus dipantau. Gudang beras, serta pabrik kertasnya.

"Hati-hati, Nak. Jangan sungkan untuk pulang. Jangan lupa telepon Mama, ya."

"Iya, Ma. Mama jaga kesehatan. Tirta janji akan buat Mama bahagia dan bangga," timpakan Tirtha.

"Bahagia Mama, tuh kalau kamu nikah cepat! Umurmu udah nggak muda," celetuk Awan. Pria itu geram dengan anaknya sendiri. Ada satu penyesalan di dalam hatinya, kenapa dulu ia bersikeras meminta Tirtha untuk meneruskan usahanya di usia sang anak masih sangat muda? Sekarang Awan harus membayar keterlambatan pernikahan pria tersebut.

"Kalau jodohnya sudah datang pasti Tirtha juga menikah, Pa. Tirtha pamit, ya." Ia mencium kembali punggung tangan ibu dan ayahnya. Kemudian menjauh dari sang ibu dan ayah.

Memasuki mobil dan siap untuk menyusuri jalanan siang ini. Sembari mendengarkan musik pada era 90an.

**

Di pasar, Akarsana yang sudah selesai dengan semua titipannya pun tercetus satu ide besar. Dia menyempatkan berkeliling sebentar. Ingin melihat-lihat harga sepeda kayuh serta membeli beberapa bahan makanan. Ia akan berjualan di nasi bungkus di kantornya. Daripada dia atau Cindy harus keluar sejauh ini.

Matanya melihat begitu banyak jenis sepeda yang bagus. Warna-warna yang indah. Mulai dari warna-warna cerah sampai warna pastel.

"Berapa yang hijau cyan itu, Pak?" Akarsana terpana dengan sepeda perempuan dengan keranjang dj bagian depan itu.

"2,5 juta, neng. Bagus itu, mau? Ini memang super banget. Keliatan terbaru," paparnya.

Akarsana sempat terkejut. Siapa kira harga sepeda semahal itu. Alhasil gadis itu hanya meringis keki. Dia ada dana segitu. Namun, kebutuhannya masih sangat banyak. Ia harus berhemat sampai gajian tiba.

"Oh— baik, Pak. Permisi," pamit Akarsana.

Ia memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah terlalu lama pergi. Saat di tengah jalan ia melihat becak montor yang mengangkut sepada wanita. Hampir mirip dengan yang di toko tadi. Bedanya sepeda ifu sudah lusuh dan banyak karat.

"Pak! Pak!" panggil Akarsana. Ia lantas segera memutar gasnya dan menghentikan bentor yang ada di depannya.

"Iya neng, ada apa?"

"Sepedanya dijual tidak? Itu masih bisa dipakai?"

"Bisa neng, tapi kondisinya sudah begini."

"Berapa, Pak?"

"100 ribu kalau mau bawa dah, neng."

"50 aja gimana, Pak?"

Akarsana masih mencoba menawar dengan harga rendah. Dia masih harus mengecat ulang sepeda itu. Pada akhirnya ia dapat harga tujuh puluh lima ribu. Lumayan, dari pada dia harus mengeluarkan uang dua juta lima ratus ribu.

Akarsana meminta tukang becak ifi untuk membuntutinya hingga tiba di kantor. Setelah membayar ia lantas lekas masuk meski matanya masih melihat kearah sepeda butut berwarna merah kusam itu.

Senyumnya mengembang. Ia langas memberikan makanan itu pada para karyawan. Mereka memilih sendiri pesanan mereka dengan Akar yang menjadi pemandu bicaranya. Memberitahukan apa-apa saja yang ada di dalam sana.

Bab terkait

  • Terjerat Cinta Bos Suami   6 : Tertipu

    Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekel

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-08
  • Terjerat Cinta Bos Suami   7 : Merindukanmu

    Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-09
  • Terjerat Cinta Bos Suami   8 : Jangan Mesum!

    Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-09
  • Terjerat Cinta Bos Suami   9 : Sombong

    “Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-10
  • Terjerat Cinta Bos Suami   10 : Mantan Istri

    Kegiatan yang dilalui Akarsana tetap begitu saja. Pulang kerja langsung ke pasar, sampai rumah masak dan beristirahat kurang dari lima jam. Ini adalah hari minggu pertama untuknya. Dia bisa menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Mencuci baju dan juga memantau aktivitas sang anak.“Aku mau main sama temen. Minta duit,” cetus Cahaya di ambang pintu belakang rumahnya. Melihat sang ibu sambung menjemur cuciannya.“Mau ke mana, Ya? Nggak mau nemenin ibu ke makam Ayah?” Akar mendekati sang anak. Menatap wajah remaja itu dengan intens dibarengi dengan senyuman hangat.“Bagi aja duit nggak usah banyak omong. Setiap hari aku juga udah di rumah. Mau main sekali seminggu aja masih nggak boleh?” sungut, Cahaya.“Boleh, kok. Tapi jangan pulang malam-malam, ya. Sebelum jam enam sudah harus ada di rumah.” Akar merogoh uang yang ada di dompet di atas kulkas.“Makin hari makin ngeselin aturanmu itu,” sergah Cahaya. Sembari menyambar kasar uang yang diulurkan oleh Akar.“Ini untuk kebaikanmu, Aya

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-11
  • Terjerat Cinta Bos Suami   11 : Diperdaya

    Semenjak mendengar penuturan Cindy siang tadi, Akar merasa bahwa dia benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Ranu.“Jika dia masih menjalin hubungan baik pun aku tidak akan marah. Tapi, tidak dengan sembunyi-sembunyi di belakangku ‘kan?” gerutu Akar.Tangan mungilnya sibuk menggeser tongkat pel-pelan ke kanan dan kiri, mulutnya mengerucut, dia jengkel dan sangat marah pada laki-laki yang usianya sudah berakhir. Hingga langkah mundurnya harus menabrak tubuh tinggi menjulang di belakangnya.“Akh— maaf,” sesal Akar. Ia memutar badan dan menyadari bahwa Tirthalah yang berdiri dengan mulut terkunci di ambang pintu pantry.Seperti biasa, Akar akan mengepel pantry dan membersihkan toilet sebelum akhirnya harus kembali ke rumah. Nahasnya, Tirtha selalu saja mengusik keberadaan Akar tanpa jelas apa keinginan sebenarnya.Begitu menyadari tatapannya memelas pada sang bos, Akar lekas menundukkan pandangan. Sementara Tirtha berusaha menahan dagu Akar, tetapi gadis itu lekas melangkah mundur.“Bapak ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-12
  • Terjerat Cinta Bos Suami   12 : Fakta Mengejutkan

    Tidak biasanya Cahaya bangun saat Akarsana sibuk di dapur. Gadis itu biasanya akan keluar dari kamar setelah jarum jam berada lebih di depan angka lima. Akan tetapi kali ini, ia duduk di kursi memerhatikan sang ibu yang harus ke sana kemari memasak. “Sudah bangun, Ya?” “Setelah ujian selesai, libur panjang. Aku mau ke rumah Mama,” celetuk Cahaya tanpa menghiraukan pertanyaan Akar. Saat itu Akar langsung membisu. Ia menatap dinding di depannya, kendati tangannya sibuk memarinasi daging ayam. “Dengerkan? Atau pura-pura budek? Aku izin karena ini bakalan lama, kurasa kamu akan senang kalau aku tidak di rumah,” papar Cahaya. “Kalau aku tidak izinkan apakah kamu mau menurut, Aya?” “Kamu nggak ada hak untuk melarang aku ketemu Mama, Akarsana.” Panggilan yang tidak seharusnya keluar dari mulut remaja seusia Cahaya. “Aku tidak melarang, Cahaya. Kamu boleh bertemu, tapi tidak dengan menginap,” jelas Akarsana dengan kepala dingin. Masih terlalu dini untuknya mengeluarkan tanduk. Akarsana

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-13
  • Terjerat Cinta Bos Suami   13 : Pergi

    Sampai tiba di kantor, Akarsana lekas turun terlebih dulu. “Terima kasih, Pak,” ucap Akar. Kendati, dia kesal tetapi ia tahu bagaimana caranya menghargai kebaikan orang lain.Namun, Tirtha hanya bungkam dan seolah tidak mendengar apa pun yang diucapkan oleh Akarsana. Gadis itu lantas merangsek ke dalam kantor dan membagi pesanan mereka, sekaligus memberikan uang kembalian. Tidak sedikit mereka yang memberikan uang kembalian itu pada Akar setelah tahu permasalahan atas keterlambatannya.“Kenapa lama banget?” sergah Cindy, dia juga sudah kelaparan karena menantikan makanannya tidak kunjung datang.“Sepedaku rewel.”“Terus gimana? Kamu ngojek?” Akar menggeleng.“Aku bareng Pak Tirtha. Nggak tahu beliau mau ke mana,” pungkas Akar sebelum Cindy bertanya lebih lanjut.“Pak Tirtha memang sejak tadi belum ke kantor, jadi kalian bareng gitu?” Akar mengangguk dengan wajah yang masih tampak lelah.“Tumbenan, Pak Bos baik,” celetuk Cindy yang langsung didengar oleh Tirtha.“Jadi maksudmu, biasany

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-14

Bab terbaru

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 34

    Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 33

    Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 32

    Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 31

    Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 30

    Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 29

    Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 28

    Semalam suntuk, Akarsana tidak mampu memejamkan matanya. Ia terus menangis hingga pagi datang.Melakukan segala pekerjaan di rumah itu tidak lagi semenyenangkan sebelumnya. Lebih banyak keterpaksaan ketimbang sebelumnya."Nak, Bapak sudah bilang sama Tirtha, kalau pernikahan kalian akan dilakukan dua Minggu lagi. Itu sudah hari yang paling baik di bulan ini," ujar Awan.Tidaklah dia melihat bahwa Akarsana tersiksa?"Terserah kalian. Maaf, Tuan. Sejujurnya, saya bisa menolak pernikahan ini, jika Anda tidak memaksa Pak Tirtha."Akar sudah tidak sanggup membayangkan banyak kemungkinan lagi. Dia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang siksa di dalam pernikahan. Dirinya yakin, bahwa Tirtha tidak akan pernah menerima keberadaannya."Maafkan, Bapak, Nduk. Tapi, Bapak hanya yakin sama kamu. Untuk itu, kamu kudu yakin juga, kalau—" Awan mendekati posisi Akarsana yang berdiri di depan wastafel pencuci piring. "Kalau akan tumbuh benih cinta di antara kalian. Tirtha akan menjaga dan melindungi kali

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 27

    Akarsana kembali ke kamarnya. Menghentikan perdebatan yang tidak pernah menemukan titik terang. Gadis itu mengabaikan rasa lelah, mengabaikan hawa panas yang melungkup seluruh tubuhnya. Melupakan tentang kesegaran mandi setelah bekerja. Dipikirannya hanya ada satu tindakan yang jelas tidak akan dia sesali, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu.Ia mengemas seluruh pakaiannya, barang-barang yang benar-benar miliknya. Tidak banyak, hanya seberat satu tas ransel saja. Ia meninggalkan seragam office girl-nya di atas ranjang."Aku bersumpah tidak menyesali pilihanku ini. Tidak ada yang mau dinikahi secara terpaksa 'kan?" Ia terus menggerutu. Muak dengan sikap Tirtha, muak dengan seluruh drama kehidupannya. Setelah gagal di pernikahan pertama, tentu saja Akarsana tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.Tangannya hendak meraih tuas pintu dari dalam kamarnya. Namun, daun pintu itu sudah terbuka terlebih dulu."Mau ke mana, kamu?" tanya Tirtha dengan enteng, tetapi seraut muka itu masih bengi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 26

    Senin pagi, berkat keuletan yang dimiliki oleh Akarsana, sekarang gadis itu bisa pergi bekerja dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan di rumah yang telah rampung dia kerjakan sejak pagi.Ketika hendak menyeret sepeda kayuh miliknya, saat itu juga Tirtha keluar dari pintu utama. Namun, sikapnya jauh berbeda dari sosok itu sebelumnya. Pria itu tidak menyapanya, hanya sekedar basa-basi mengajak berangkat bersama pun tidak. Terlebih lagi, ini masih sangatlah pagi untuk sekelas bos pergi bekerja. Biasanya, Tirtha akan tiba di kantor baru pukul sembilan."Anda tidak sarapan terlebih dulu?" tanya Akarsana. Gadis itu seharusnya tahu, bahwa sikap formalitas dan perhatian itu tidaklah digubris oleh laki-laki dengan kepribadian ganda itu.Nyatanya, Tirtha lekas melenggang memasuki mobil dan langsung menancap gas meninggalkan halaman rumahnya.Perasaan semenjak pulang kampung, dia menganggap bahwa semua ini salahku, batin Akarsana. Kendati, dia sama sekali tidak tahu akar masalah sebena

DMCA.com Protection Status