Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.
Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.
Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.
Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.
“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.
“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.
“Ma— maafkan saya, Pak,” sesalnya. Siapa dia? Siapa Tirtha yang harus datang kudu bilang-bilang padanya? Agar mereka bisa memainkan peran kerja sungguh-sungguh?
Tanpa menimpali ungkapan laki-laki berkemeja sky blue itu, Tirtha lekas memasuki lift untuk menuju ke ruangannya.
“Bapak sudah kembali?” sapa Maya saat melihat bosnya sudah ada di belakang meja kerjanya. Keterkejutan itu sama ditunjukkan layaknya pria yang ada di bawah tadi.
“Heran? Kenapa semua mempermasalahkan kehadiranku hari ini? Ada permainan apa yang kalian perankan, huh?” tutur Tirtha.
“Bukan begitu, Pak. Maksudnya, kalau bapak baru pulang kenapa tidak memilih untuk istirahat dulu saja di rumah?”
“Aku merindukanmu,” sergah Tirtha, kemudian melangkah mendekati Maya dan meraup bibirnya dengan lahap.
Ya! Merindukan sentuhan wanita binal itu. Gadis yang bekerja sebagai sekretaris merekap menjadi jalang Tirtha. Mungkin tidak hanya Tirtha, akan tetapi banyak juga wanita lain yang dijadikan pelampiasan bagi pria lajang berusia tiga puluh tahun itu.
Pergulatan bibir itu berlangsung memanas. Tanpa melepaskan ciuman, Tirtha dan Maya menggiring langkah menuju ruangan sang bos yang letaknya tidak jauh dari meja Maya. Mendorong pintu dengan punggung tinggi besar Tirtha dan menghilanglah mereka di balik pintu kaca buram tersebut.
“Lakukan dengan mulutmu, jangan terkena gigi,” perintah Tirtha. Ia menekan kepala Maya agar tertunduk di hadapannya. Sementara sang bos duduk di meja.
Dengan lihai, Maya membuka pengait ikat pinggang dan menurunkan resleting celana, dan— ya, mengeluarkan ketangkasan Tirtha, melahapnya pada bibir tipis Maya yang dibaluri lipstik berwarna Oranye terang.
Kepalanya naik turun dengan lincah, matanya melirik wajah sang bos yang terpejam menikmati betapa hangat rongga mulut kecil Maya.
Tirtha mendesis keenakan dan sesekali membuka matanya melihat cara sekretaris memainkan dirinya, menjulurkan lidahnya yang panjang, seolah memakan ice cream terlezat sejagat raya.
“Bagus. Teruskan, Maya. Kamu hebat,” pujinya. Dan— percayalah bahwa pujian itu hanya menguntungkan dirinya saja.
Rancauan dan desahannya menggema di satu ruangan itu. Tangan besar dengan jari panjang itu menekan kepala Maya kian dalam agar melesaklah lebih dalam kelakiannya. Kemudian sesuatu dalam dirinya meluncur dengan deras tepat di rongga mulut hingga ujung tenggorokan Maya.
Gadis itu kesulitan untuk bernapas hingga menunjukkan ekspresi hendak muntah.
“Telan!” Lagi-lagi perintah itu muncul dari laki-laki yang begitu disanjung oleh sang sekretaris. Padahalah, jelas bahwa dirinya hanya dimanfaatkan semata demi memuaskan hasrat bejat Tirtha.
“Bagus, Maya. Bagunlah.” Tirtha menarik bahu Maya dan mengusap bibir bawah wanita itu. Gadis bermata bulat itu terpejam merasakan sentuhan kecil yang begitu memabukkan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dengan harapan mulutnya akan kembali dilumat oleh sang laki-laki, akan tetapi—
“Keluarlah, sebelum ada yang datang. Dan— buatkan aku kopi,” pintanya.
Maya dengan wajah kecewa mengangguk. Padahal dia begitu ingin juga di puaskan. Akan tetapi, siapa dia? Haruskah dia meminta, ‘Bos, masuklah padaku?’ tidak mungkin jika hal itu tidak dikehendaki oleh Tirtha sendiri.
“Tunggu apalagi, Maya?” tambah Tirtha yang masih melihat Maya mematung sembari menatap wajah Bosnya dalam kebisuan.
“Baik, Pak.”
Setelah sepeninggalan Maya. Tirtha duduk di kursi kebanggaannya. Ia membalikkan kursi hitam itu guna menghadap ke jendela besar yang mempertontonkan ujung dari pepohonan tengah kota, hiruk pikuk kota di pagi hari ini. Kemudian memijit pelipisnya.
Pikirannya penuh dengan harapan dan impian yang belum bisa dia capai, tetapi apa? Bahkan dia sudah menjadi pengusaha yang bisa dibilang sukses. Dia punya gudang beras. Menyalurkan berton-ton beras ke segala penjuru kota. Memproduksi kertas, panenan, kopi, dan cengkeh.
Namun, kekayaannya tidak menjamin lahirnya sebuah kebahagiaan. Tirtha belum berhasil membahagiakan sang ibu. Bahkan, sekarang dia berlomba dengan usia Maharani yang tidak tahu bertahan hingga kapan?
**
Di pantry, Maya dengan sok berkuasa menunggu Akar yang tengah membuat kopi sesuai dengan permintaannya. Bisa saja gadis itu hanya menelepon dari mejanya, tetapi ia tidak ingin ketahuan oleh Tirtha bahwa belum juga berangkat memenuhi perintahnya.
“Yang enak, jangan terlalu pahit atau manis.” Berulangkali, wanita itu memberikan wejangan pada Akarsana.
“Iya, Bu.”
“Kamu baru ‘kan? Kalau sampai kopimu tidak enak, aku pastikan pekerjaanmu berakhir besok,” ancamnya.
Akar menoleh dengan mata yang membola. “Jangan, Bu. Saya akan buatkan kopi yang enak, saya janji.”
Akar sudah biasa membuat kopi untuk suaminya. Jadi, membuat kopi bukan hal yang sulit dan— berharap bahwa selera bosnya sama dengan sang suami. Kebetulan sejak kemarin dia bergulat dengan bubuk kopi dan gula tidak ada yang komplain akan racikan kopinya. Namun, juga tidak ada yang memujinya.
“Ini, Bu. Mau saya bawakan juga?” tawar Akar dengan maksud yang baik. Akan tetapi dari kacamata Maya, justru hal itu dianggap kurang ajar, dengan alasan cari muka pada sang bos.
“Nggak usah jadi manusia bermuka dua,” sengitnya sebelum membawa nampan dengan cangkir kopi tersebut.
Akar hanya menunduk, dia tidak ingin kurang ajar. Hingga akhirnya ia meminta maaf, kemudian menatap punggung Maya yang sudah tertelan oleh jarak antara pantry dan Lift.
“Santai saja, Na. Bu Maya memang begitu orangnya, tekanan kerja mungkin. Karena apa-apa yang dibutuhkan Bos pasti mintanya ke Bu Maya. Kalau salah yang disalahin juga pasti dia. Kamu sabar aja.”
Akar membalikkan tubuh, dia tidak menyadari bahwa Cindy ada di samping wastafel pencuci gelas dan piring. Entah kapan gadis itu keluar dari kamar mandi untuk para office boy dan office girl.
Gadis dengan rambut yang diikat ekor kuda itu mengangguk. “Lagian nggak setiap hari Bu Maya turun, Na. Kebanyakan dia akan telepon, kita yang naik. Aku yakin kamu bakalan meraskan naik lift itu ke lantai atas,” kelakar Cindy dengan senyuman manis dihiasi lesung pipit di pipinya. Akar tersenyum tipis sembari kembali mengangguk.
“Ya udah ayo! Lanjut kerja, sebentar lagi mereka pada minta makan siang.”
“Oh—ya, Cindy. Apakah boleh kita berjualan di kantor ini?”
“Kamu mau jualan? Boleh aja, nggak ada yang larang kok. Asalkan nggak ganggu mereka aja,” jawab Cindy.
“Aku ada rencana untuk jualan makan siang buat mereka, Cin. Karena lumayan kalau dipikir-pikir dari pada kita keluar panas-panas ke pasar ‘kan?”
“Benar! Itu ide yang bagus, Na. Soalnya kalau aku udah nggak sempet juga. Lagian kerja juga udah capek. Pulang ke rumah maunya rebahan. Kalau libur ya maen sama pacar,” tandas Cindy. Lagi-lagi dia terkekeh.
“Jadi aku nggak apa-apa dagang.”
“Gasslah!” Akar tersenyum sumringah. Gadis itu sungguh senang. Artinya dia akan punya tambahan uang tabungan.
**
Pukul tujuh malam, Akarsana, Cindy, dan Tomi sudah selesai dengan pekerjaannya. Cindy dan Tomi pulang dengan sepeda motornya sementara Akarsana kembali dengan sepeda kayuh butut yang dia beli kemarin siang.
Lantas ia menaikinya. Tidak buruk, pikirnya. Bersepeda malam hari dengan semilir angin ternyata begitu menyenangkan. Kendati banyak pasang mata yang melirik kondisi sepedanya.
Akarsana tak acuh, seburuk dan sedekil apa pun kendaraannya, mereka tidak berhak menjudge-nya, karena Akar membeli bukan dengan uang mereka. Gadis itu menyempatkan diri untuk pergi ke pasar yang memang buka saat jam malam saja.
Biasanya pasar itu beroperasi saat pukul tiga sore hingga tujuh pagi. Disanalah Akarsana saat ini berada. Dia mulai belanja untuk kebutuhan berdagangnya besok. Dia akan membeli ayam, udang, ikan, kemudian tahu dan tempe. Kemudian kotak-kotak bekal dari pasltik.
Setelah mendapatkan semua barang yang dia butuhkan ia lantas kembali membelah jalanan dan tiba di rumah saat jarum jam sudah berada tepat diangka sepuluh malam. Siapa kira bahwa belanja begitu saja menghabiskan waktu hampir tiga jam.
Wanita itu mengedarkan pandang. Tidak ada Cahaya, rumah juga tidak sebegitu berantakan layaknya kemarin. Makanan yang dihidangkan Akar pagi tadi juga tandas.
Akarsana menglungum senyum. Sejenak dia bisa merasakan secuil kebahagiaan karena Cahaya tidak membuat ulah. Belum cukup untuk itu.
Akar harus mencicil pekerjaannya. Dia merebus daging ayamnya, menggoreng tempe dan lain sebagainya. Agar besok pagi ia tinggal mengolahnya saja.
Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s
“Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari
Kegiatan yang dilalui Akarsana tetap begitu saja. Pulang kerja langsung ke pasar, sampai rumah masak dan beristirahat kurang dari lima jam. Ini adalah hari minggu pertama untuknya. Dia bisa menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Mencuci baju dan juga memantau aktivitas sang anak.“Aku mau main sama temen. Minta duit,” cetus Cahaya di ambang pintu belakang rumahnya. Melihat sang ibu sambung menjemur cuciannya.“Mau ke mana, Ya? Nggak mau nemenin ibu ke makam Ayah?” Akar mendekati sang anak. Menatap wajah remaja itu dengan intens dibarengi dengan senyuman hangat.“Bagi aja duit nggak usah banyak omong. Setiap hari aku juga udah di rumah. Mau main sekali seminggu aja masih nggak boleh?” sungut, Cahaya.“Boleh, kok. Tapi jangan pulang malam-malam, ya. Sebelum jam enam sudah harus ada di rumah.” Akar merogoh uang yang ada di dompet di atas kulkas.“Makin hari makin ngeselin aturanmu itu,” sergah Cahaya. Sembari menyambar kasar uang yang diulurkan oleh Akar.“Ini untuk kebaikanmu, Aya
Semenjak mendengar penuturan Cindy siang tadi, Akar merasa bahwa dia benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Ranu.“Jika dia masih menjalin hubungan baik pun aku tidak akan marah. Tapi, tidak dengan sembunyi-sembunyi di belakangku ‘kan?” gerutu Akar.Tangan mungilnya sibuk menggeser tongkat pel-pelan ke kanan dan kiri, mulutnya mengerucut, dia jengkel dan sangat marah pada laki-laki yang usianya sudah berakhir. Hingga langkah mundurnya harus menabrak tubuh tinggi menjulang di belakangnya.“Akh— maaf,” sesal Akar. Ia memutar badan dan menyadari bahwa Tirthalah yang berdiri dengan mulut terkunci di ambang pintu pantry.Seperti biasa, Akar akan mengepel pantry dan membersihkan toilet sebelum akhirnya harus kembali ke rumah. Nahasnya, Tirtha selalu saja mengusik keberadaan Akar tanpa jelas apa keinginan sebenarnya.Begitu menyadari tatapannya memelas pada sang bos, Akar lekas menundukkan pandangan. Sementara Tirtha berusaha menahan dagu Akar, tetapi gadis itu lekas melangkah mundur.“Bapak ma
Tidak biasanya Cahaya bangun saat Akarsana sibuk di dapur. Gadis itu biasanya akan keluar dari kamar setelah jarum jam berada lebih di depan angka lima. Akan tetapi kali ini, ia duduk di kursi memerhatikan sang ibu yang harus ke sana kemari memasak. “Sudah bangun, Ya?” “Setelah ujian selesai, libur panjang. Aku mau ke rumah Mama,” celetuk Cahaya tanpa menghiraukan pertanyaan Akar. Saat itu Akar langsung membisu. Ia menatap dinding di depannya, kendati tangannya sibuk memarinasi daging ayam. “Dengerkan? Atau pura-pura budek? Aku izin karena ini bakalan lama, kurasa kamu akan senang kalau aku tidak di rumah,” papar Cahaya. “Kalau aku tidak izinkan apakah kamu mau menurut, Aya?” “Kamu nggak ada hak untuk melarang aku ketemu Mama, Akarsana.” Panggilan yang tidak seharusnya keluar dari mulut remaja seusia Cahaya. “Aku tidak melarang, Cahaya. Kamu boleh bertemu, tapi tidak dengan menginap,” jelas Akarsana dengan kepala dingin. Masih terlalu dini untuknya mengeluarkan tanduk. Akarsana
Sampai tiba di kantor, Akarsana lekas turun terlebih dulu. “Terima kasih, Pak,” ucap Akar. Kendati, dia kesal tetapi ia tahu bagaimana caranya menghargai kebaikan orang lain.Namun, Tirtha hanya bungkam dan seolah tidak mendengar apa pun yang diucapkan oleh Akarsana. Gadis itu lantas merangsek ke dalam kantor dan membagi pesanan mereka, sekaligus memberikan uang kembalian. Tidak sedikit mereka yang memberikan uang kembalian itu pada Akar setelah tahu permasalahan atas keterlambatannya.“Kenapa lama banget?” sergah Cindy, dia juga sudah kelaparan karena menantikan makanannya tidak kunjung datang.“Sepedaku rewel.”“Terus gimana? Kamu ngojek?” Akar menggeleng.“Aku bareng Pak Tirtha. Nggak tahu beliau mau ke mana,” pungkas Akar sebelum Cindy bertanya lebih lanjut.“Pak Tirtha memang sejak tadi belum ke kantor, jadi kalian bareng gitu?” Akar mengangguk dengan wajah yang masih tampak lelah.“Tumbenan, Pak Bos baik,” celetuk Cindy yang langsung didengar oleh Tirtha.“Jadi maksudmu, biasany
Dua manusia berbeda jenis itu berjalanan beriringan. Tirtha yang merasa kasihan dengan Akar sudah berinisiatif untuk membantu membawa tas jinjing milik wanita itu.“Sudalah, Pak! Lebih baik Bapak pergi, saja! Ngapain ikutin saya sampai rumah juga?” inilah jawaban, Akarsana. Dia menolak mentah-mentah. Dalam pikirannya jelas tahu kalau laki-laki sok baik itu senang dengan kondisinya sekarang.“Niatku baik. Mau minta maaf dan bantuin kamu,” jawab Tirtha dengan sikap semau-maunya.“Saya sudah maafin Bapak. Sekarang silakan Bapak pergi. Saya itu sedang pusing, jangan menambah beban dengan melihat Anda terus membuntuti saya terus. Motif bapak terselubung dan tidak jelas,” tukas Akarsana marah.Langkahnya ia percepat agar Tirtha tertinggal. Akan tetapi, kaki laki-laki yang lebih panjang dari Akarsana membuat langkahnya lebih lebar dari wanita itu.“Mau ke mana sekarang?”“Bukan urusan, Bapak!” sungut Akarsana.“Aku mau menawarkan bantuan. Ini serius.” Tirtha berhenti dan melipat tangan di de
“Akar! Enggak bawa makan lagi?” tanya salah satu karyawan yang menantikan makan siang dari Akarsana. Gadis itu menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Maaf, saya belum sempat,” kilahnya. Sekaranglah semuanya terpikir, bagaimana dia akan memasak untuk jualan, jika kerjanya harus dobel-dobel. Akarsana suka bekerja, dia hobi memasak, tetapi jika harus melakukannya secara bersamaan, mungkin tubuhnya akan roboh. Belum lagi tekanan dari Tirtha yang terkadang membuat dia ketakutan saat melihat wajah sangarnya. “Oh— besok bawa, ya. Kita udah kangen masakan kamu. Harganya naik juga nggak apa-apa. Asalkan nggak lebih dari dua puluh ribu aja, sih,” tukasnya. Akarsana mengangguk tanpa kata, dia melayangkan senyum agar tidak terlihat tak acuh. Beberapa karyawan di lantai satu pun membenarkan penuturan wanita yang mengajak bicara Akarsana. Lebih baik makan buatan Akar ketimbang harus menunggu lama, dan makan dengan rasa pas-pasan hanya karena harganya murah. Akar kembali ke pantry, ia tidak ada kesempat
Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru
Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup
Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka
Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi
Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik
Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini
Semalam suntuk, Akarsana tidak mampu memejamkan matanya. Ia terus menangis hingga pagi datang.Melakukan segala pekerjaan di rumah itu tidak lagi semenyenangkan sebelumnya. Lebih banyak keterpaksaan ketimbang sebelumnya."Nak, Bapak sudah bilang sama Tirtha, kalau pernikahan kalian akan dilakukan dua Minggu lagi. Itu sudah hari yang paling baik di bulan ini," ujar Awan.Tidaklah dia melihat bahwa Akarsana tersiksa?"Terserah kalian. Maaf, Tuan. Sejujurnya, saya bisa menolak pernikahan ini, jika Anda tidak memaksa Pak Tirtha."Akar sudah tidak sanggup membayangkan banyak kemungkinan lagi. Dia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang siksa di dalam pernikahan. Dirinya yakin, bahwa Tirtha tidak akan pernah menerima keberadaannya."Maafkan, Bapak, Nduk. Tapi, Bapak hanya yakin sama kamu. Untuk itu, kamu kudu yakin juga, kalau—" Awan mendekati posisi Akarsana yang berdiri di depan wastafel pencuci piring. "Kalau akan tumbuh benih cinta di antara kalian. Tirtha akan menjaga dan melindungi kali
Akarsana kembali ke kamarnya. Menghentikan perdebatan yang tidak pernah menemukan titik terang. Gadis itu mengabaikan rasa lelah, mengabaikan hawa panas yang melungkup seluruh tubuhnya. Melupakan tentang kesegaran mandi setelah bekerja. Dipikirannya hanya ada satu tindakan yang jelas tidak akan dia sesali, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu.Ia mengemas seluruh pakaiannya, barang-barang yang benar-benar miliknya. Tidak banyak, hanya seberat satu tas ransel saja. Ia meninggalkan seragam office girl-nya di atas ranjang."Aku bersumpah tidak menyesali pilihanku ini. Tidak ada yang mau dinikahi secara terpaksa 'kan?" Ia terus menggerutu. Muak dengan sikap Tirtha, muak dengan seluruh drama kehidupannya. Setelah gagal di pernikahan pertama, tentu saja Akarsana tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.Tangannya hendak meraih tuas pintu dari dalam kamarnya. Namun, daun pintu itu sudah terbuka terlebih dulu."Mau ke mana, kamu?" tanya Tirtha dengan enteng, tetapi seraut muka itu masih bengi
Senin pagi, berkat keuletan yang dimiliki oleh Akarsana, sekarang gadis itu bisa pergi bekerja dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan di rumah yang telah rampung dia kerjakan sejak pagi.Ketika hendak menyeret sepeda kayuh miliknya, saat itu juga Tirtha keluar dari pintu utama. Namun, sikapnya jauh berbeda dari sosok itu sebelumnya. Pria itu tidak menyapanya, hanya sekedar basa-basi mengajak berangkat bersama pun tidak. Terlebih lagi, ini masih sangatlah pagi untuk sekelas bos pergi bekerja. Biasanya, Tirtha akan tiba di kantor baru pukul sembilan."Anda tidak sarapan terlebih dulu?" tanya Akarsana. Gadis itu seharusnya tahu, bahwa sikap formalitas dan perhatian itu tidaklah digubris oleh laki-laki dengan kepribadian ganda itu.Nyatanya, Tirtha lekas melenggang memasuki mobil dan langsung menancap gas meninggalkan halaman rumahnya.Perasaan semenjak pulang kampung, dia menganggap bahwa semua ini salahku, batin Akarsana. Kendati, dia sama sekali tidak tahu akar masalah sebena