Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.
Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.
“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.
Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekeliling sunyi dan sepi. Tidak ada yang berubah dari rumah itu, kecuali tumpukan piring kotor, gelas-gelas yang semuanya kotor serta butir-butir nasi yang memenuhi meja makan tempatnya duduk saat ini.
Helaan napas panjang keluar dari mulut wanita dua puluh enam tahun itu. Ternyata setelah tiba di rumah, ia tidak bisa langsung beristirahat.
Sayup-sayup terdengar gelak tawa dari luar, tidak lama pintu rumah terbuka. Cahaya dengan dua pria temannya masuk diringi tawa yang menjijikkan menurut Akar.
“Dari mana dan mau apa kamu bawa temanmu kemari?” sergah Akar dengan wajah tidak bersahabat. Dia tidak melarang siapapun datang ke rumahnya asalkan saat siang hari. Ini sudah lewat jam main, terlebih mereka— teman Cahaya adalah pria.
“Apa pedulimu?” serang Cahaya. Sungguh tidak ada hormat dari remaja itu untuk sang ibu.
“Kamu bilang wanita ini tidak di rumah? Gimana, sih, Ya. Sudahlah, kita pulang!” Mereka bubar, dua remaja laki-laki itu urung untuk melakukan rencananya yang entah apa, karena Akar sendiri tidak tahu maksud dari mereka.
“Puas sekarang?! Kenapa hidupmu tidak pernah memudahkan hidupku? Seharusnya kamu yang mati, bukan ayah!” cela, Cahaya.
“Seharusnya aku yang mengatakan itu, Aya! Seharusnya memang aku tidak hadir di rumah ini dan merawatmu,” timpal Akar santai. Dia sudah sangat lelah dengan pekerjaan di kantor sebagai OG.
Pulang ingin beristirahat, akan tetapi justru dibuat naik darah oleh bocah berusia dua belas tahun itu.
“Bagus kalau kamu menyesal sekarang, mending kamu pergi dari rumah ini. Toh, ibuku masih mau dan mampu mengurusku!” balas Cahaya dengan sengit.
“Benarkah? Benarkah seperti itu? Jika itu benar, anaknya tidak akan mencuri uang dari wanita yang mati-matian dibenci olehnya, bukan?”
Tanpa diduga, tangan kecil itu dengan kurang ajar menampar pipi Akarsana. Seharusnya Akar bisa saja menghalaunya akan tetapi tindakan tiba-tiba itu membuat Akar lengah. Pipinya terukir lima jari remaja tidak tahu malu tersebut.
Sunggingan senyum jahat Cahaya mengembang. Seakan dia menang melawan Akarsana.
Siapa kira, bahwa Akar justru membalasnya dengan menekan rahang Cahaya dengan kuat. “Kamu kira kamu siapa? Sekuat apa pun kamu menolakku, kau— tetap akan membutuhkanku, Aya! Dengar! Aku tidak akan ke mana pun sampai kau bisa mengurus dirimu sendiri dengan becus.”
Akar mendorong wajah itu hingga remaja tanggung tersebut terhuyung beberapa langkah ke belakang. “Tidak bisakah kamu menurut dan berterima kasih padaku? Jika kau tidak mau berbaik hati, setidaknya ikuti aturan di rumah ini dan ikuti peraturanku.”
Cahaya bungkam. Dia kira, Akar adalah wanita lemah sama seperti para perempuan di luaran sana yang tidak akan berani membalas segala tindakan anak kecil. Namun, Cahaya salah. Pikirannya hanya satu. Jika, dia melawan sekali lagi, bukan tidak mungkin wanita di hadapannya akan pergi dan Cahaya tidak akan lagi mendapatkan uang saku untuk sekolahnya.
Sebelum Cahaya pergi, Akar kembali berucap, “jika kamu ulang mengambil uangku lagi, untuk satu bulan kedepan kamu tidak akan mendapatkan jatah makan dan uang saku. Lalu, kamu pikirkan sendiri biaya SPP dan segala keperluanmu.”
Cahaya beringsut. Ia lantas menutup pintu kamar dengan kasar. Sementara Akar, mengernyit, ia masih merasakan kebas di pipi dan mengelusnya. Air matanya luruh, dia bisa berpura-pura kuat dan tegar. Dia bisa berani menghadapi apa pun yang terjadi antara dirinya dan Cahaya. Namun, semua itu tidak menutupi bahwa Akar sangat rapuh, bagaikan digerogoti rayap dari dalam, tetapi dia diharuskan untuk tetap tumbuh.
“Dulu— kukira menikah denganmu mampu membuatku bahagia, Mas. Ternyata kebahagiaan yang kau janjikan hanya sesaat. Delapan bulan? Apa-apaan? Aku baru menikah sekali, aku menerimamu dengan segala kekurangan yang tidak kau sebutkan, lalu— sekarang kau pergi begitu saja?” amukan Akar terlepas begitu ia mengurung diri di kamar.
Ia melemparkan bantal ke lantai, mengobrak-abrik tatanan seprei dan selimut. Bahkan ia menggulingkan lampu tidur di samping nakas. Kamarnya sudah tidak lagi rapi. Akar melampiaskan kemarahan pada benda-benda yang ada di sana.
Raungannya ia bekab dengan bantal. Tersedu-sedu sendirian. Dia merasa tertipu dengan segalanya.
**
“Maukah kamu menikah denganku, Akar? Aku memang bukan pria kaya raya, aku masih menjadi karyawan, tetapi aku bisa mencukupi kebutuhanmu.” Kata-kata yang terlontar dari mulut Ranu sungguh terdengar seperti sebuah kejujuran.
Namun, pernahkah dia menyebutkan bahwa dirinya memiliki anak seusia Cahaya?
“Aku memang duda, aku sudah memiliki satu anak. Dia ikut dengan ibunya, saat ini.”
Akar mengira kata saat ini bersifat untuk selamanya. Atau batas waktu yang lama. Akan tetapi dia salah. Kata saat ini yang diungkapkan oleh Ranu adalah hanya untuk sementara.
Tiga bulan setelah Akar menyetujui lamaran itu, dia langsung dinikahi secara siri, ya! Secara siri, bodohnya Akar mau-mau saja. Sungguh gadis desa yang malang bukan?
Begitu tiba di rumah Ranu, saat sore. Di situlah pertama kali, Cahaya bertemu dengan Akar. Begitupun dengan mantan istri pertama Ranu.
“Tidak buruk, kukira kau akan mencari wanita yang lebih berpengalaman ketimbang aku,” ledek wanita dengan polesan lipstik setebal aspal jalan tol.
“Tutup mulutmu dan pergilah dari rumahku!” usir Ranu kala itu.
“Ini rumahku, juga! Kamu tidak berhak mengusirku,” balas perempuan yang tidak Akar tahu siapa namanya.
“Tidak lagi! Sejak perceraian dan hak asuh anak ada ditanganku, kamu tidak berhak lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Dan— jangan pernah temui anakku!” marah Ranu pada mantan istrinya.
Akar hanya diam melihat pertengkaran itu dan tahu bahwa dirinya telah ditipu oleh Ranu. Apa yang dia lihat dari laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya? Akarsana terduduk lemas di kursinya.
Setelah kepergian wanita itu, Cahaya masuk ke kamarnya dan Ranu duduk di sisi Akar. Ia meraih jemari tangan wanita itu.
“Apa ini semua?” Gadis itu berbicara dengan serak. Ia bahkan tidak ingin menatap wajah Ranu.
“Maafkan aku, Akar. Kamu tidak seharusnya melihat pertengkaran ini,” sesal Ranu.
“Bukan itu. Kamu bilang anakmu ikut dengan ibunya ‘kan?”
“Aku bilang saat itu. Tapi— ya, aku salah karena tidak mengatakan bahwa hak asuh anak ada di tanganku. Dia— dia wanita jalang, Akar. Aku tidak mau anakku mengikuti jejaknya,” jelas Ranu dengan serius kala itu.
“Kenapa kamu tidak jujur padaku, Mas?”
“Aku hanya takut kamu tidak jadi menikah denganku, Akar.”
“Aku mencintaimu karena aku kira hanya kamu laki-laki yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, Mas. Aku—” Akarsana tidak bisa meneruskan ucapannya. Dia hanya menggedikkan bahunya. Kata-katanya hilang begitu saja.
“Aku minta maaf, seiring berjalannya waktu aku akan membuka semuanya, Akar. Tapi tolong maafkan aku. Aku akan menikahimu secara resmi setelah hari ini. Aku janji,” ujar Ranu.
“Maka, bolehkah aku meminta satu permohonan padamu?”
“Apa Akar? Aku akan kabulkan apa pun itu asalkan aku mampu.”
“Jangan gumuli aku sampai kamu benar-benar meresmikan hubungan kita secara hukum dan agama,” pungkas Akarsana. Masih dengan suara yang lirih.
“Tentu saja, tentu Akar. Itu bukan hal yang sulit, karena aku menikahimu bukan karena nafsu semata. Aku mencintaimu karena kegigihan dan ketangguhanmu, Akar.”
“Terima kasih, Mas.” Ranu memeluk tubuh Akarsana.
Memiliki wanita mandiri dan pekerja keras adalah satu impian Ranu. Dia bisa berjuang bersama dalam membina rumah tangga. Hingga, permintaan Akar pun tidak akan terasa berat untuk saat ini.
Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.
Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s
“Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari
Kegiatan yang dilalui Akarsana tetap begitu saja. Pulang kerja langsung ke pasar, sampai rumah masak dan beristirahat kurang dari lima jam. Ini adalah hari minggu pertama untuknya. Dia bisa menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Mencuci baju dan juga memantau aktivitas sang anak.“Aku mau main sama temen. Minta duit,” cetus Cahaya di ambang pintu belakang rumahnya. Melihat sang ibu sambung menjemur cuciannya.“Mau ke mana, Ya? Nggak mau nemenin ibu ke makam Ayah?” Akar mendekati sang anak. Menatap wajah remaja itu dengan intens dibarengi dengan senyuman hangat.“Bagi aja duit nggak usah banyak omong. Setiap hari aku juga udah di rumah. Mau main sekali seminggu aja masih nggak boleh?” sungut, Cahaya.“Boleh, kok. Tapi jangan pulang malam-malam, ya. Sebelum jam enam sudah harus ada di rumah.” Akar merogoh uang yang ada di dompet di atas kulkas.“Makin hari makin ngeselin aturanmu itu,” sergah Cahaya. Sembari menyambar kasar uang yang diulurkan oleh Akar.“Ini untuk kebaikanmu, Aya
Semenjak mendengar penuturan Cindy siang tadi, Akar merasa bahwa dia benar-benar hanya dimanfaatkan oleh Ranu.“Jika dia masih menjalin hubungan baik pun aku tidak akan marah. Tapi, tidak dengan sembunyi-sembunyi di belakangku ‘kan?” gerutu Akar.Tangan mungilnya sibuk menggeser tongkat pel-pelan ke kanan dan kiri, mulutnya mengerucut, dia jengkel dan sangat marah pada laki-laki yang usianya sudah berakhir. Hingga langkah mundurnya harus menabrak tubuh tinggi menjulang di belakangnya.“Akh— maaf,” sesal Akar. Ia memutar badan dan menyadari bahwa Tirthalah yang berdiri dengan mulut terkunci di ambang pintu pantry.Seperti biasa, Akar akan mengepel pantry dan membersihkan toilet sebelum akhirnya harus kembali ke rumah. Nahasnya, Tirtha selalu saja mengusik keberadaan Akar tanpa jelas apa keinginan sebenarnya.Begitu menyadari tatapannya memelas pada sang bos, Akar lekas menundukkan pandangan. Sementara Tirtha berusaha menahan dagu Akar, tetapi gadis itu lekas melangkah mundur.“Bapak ma
Tidak biasanya Cahaya bangun saat Akarsana sibuk di dapur. Gadis itu biasanya akan keluar dari kamar setelah jarum jam berada lebih di depan angka lima. Akan tetapi kali ini, ia duduk di kursi memerhatikan sang ibu yang harus ke sana kemari memasak. “Sudah bangun, Ya?” “Setelah ujian selesai, libur panjang. Aku mau ke rumah Mama,” celetuk Cahaya tanpa menghiraukan pertanyaan Akar. Saat itu Akar langsung membisu. Ia menatap dinding di depannya, kendati tangannya sibuk memarinasi daging ayam. “Dengerkan? Atau pura-pura budek? Aku izin karena ini bakalan lama, kurasa kamu akan senang kalau aku tidak di rumah,” papar Cahaya. “Kalau aku tidak izinkan apakah kamu mau menurut, Aya?” “Kamu nggak ada hak untuk melarang aku ketemu Mama, Akarsana.” Panggilan yang tidak seharusnya keluar dari mulut remaja seusia Cahaya. “Aku tidak melarang, Cahaya. Kamu boleh bertemu, tapi tidak dengan menginap,” jelas Akarsana dengan kepala dingin. Masih terlalu dini untuknya mengeluarkan tanduk. Akarsana
Sampai tiba di kantor, Akarsana lekas turun terlebih dulu. “Terima kasih, Pak,” ucap Akar. Kendati, dia kesal tetapi ia tahu bagaimana caranya menghargai kebaikan orang lain.Namun, Tirtha hanya bungkam dan seolah tidak mendengar apa pun yang diucapkan oleh Akarsana. Gadis itu lantas merangsek ke dalam kantor dan membagi pesanan mereka, sekaligus memberikan uang kembalian. Tidak sedikit mereka yang memberikan uang kembalian itu pada Akar setelah tahu permasalahan atas keterlambatannya.“Kenapa lama banget?” sergah Cindy, dia juga sudah kelaparan karena menantikan makanannya tidak kunjung datang.“Sepedaku rewel.”“Terus gimana? Kamu ngojek?” Akar menggeleng.“Aku bareng Pak Tirtha. Nggak tahu beliau mau ke mana,” pungkas Akar sebelum Cindy bertanya lebih lanjut.“Pak Tirtha memang sejak tadi belum ke kantor, jadi kalian bareng gitu?” Akar mengangguk dengan wajah yang masih tampak lelah.“Tumbenan, Pak Bos baik,” celetuk Cindy yang langsung didengar oleh Tirtha.“Jadi maksudmu, biasany
Dua manusia berbeda jenis itu berjalanan beriringan. Tirtha yang merasa kasihan dengan Akar sudah berinisiatif untuk membantu membawa tas jinjing milik wanita itu.“Sudalah, Pak! Lebih baik Bapak pergi, saja! Ngapain ikutin saya sampai rumah juga?” inilah jawaban, Akarsana. Dia menolak mentah-mentah. Dalam pikirannya jelas tahu kalau laki-laki sok baik itu senang dengan kondisinya sekarang.“Niatku baik. Mau minta maaf dan bantuin kamu,” jawab Tirtha dengan sikap semau-maunya.“Saya sudah maafin Bapak. Sekarang silakan Bapak pergi. Saya itu sedang pusing, jangan menambah beban dengan melihat Anda terus membuntuti saya terus. Motif bapak terselubung dan tidak jelas,” tukas Akarsana marah.Langkahnya ia percepat agar Tirtha tertinggal. Akan tetapi, kaki laki-laki yang lebih panjang dari Akarsana membuat langkahnya lebih lebar dari wanita itu.“Mau ke mana sekarang?”“Bukan urusan, Bapak!” sungut Akarsana.“Aku mau menawarkan bantuan. Ini serius.” Tirtha berhenti dan melipat tangan di de
Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru
Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup
Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka
Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi
Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik
Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini
Semalam suntuk, Akarsana tidak mampu memejamkan matanya. Ia terus menangis hingga pagi datang.Melakukan segala pekerjaan di rumah itu tidak lagi semenyenangkan sebelumnya. Lebih banyak keterpaksaan ketimbang sebelumnya."Nak, Bapak sudah bilang sama Tirtha, kalau pernikahan kalian akan dilakukan dua Minggu lagi. Itu sudah hari yang paling baik di bulan ini," ujar Awan.Tidaklah dia melihat bahwa Akarsana tersiksa?"Terserah kalian. Maaf, Tuan. Sejujurnya, saya bisa menolak pernikahan ini, jika Anda tidak memaksa Pak Tirtha."Akar sudah tidak sanggup membayangkan banyak kemungkinan lagi. Dia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang siksa di dalam pernikahan. Dirinya yakin, bahwa Tirtha tidak akan pernah menerima keberadaannya."Maafkan, Bapak, Nduk. Tapi, Bapak hanya yakin sama kamu. Untuk itu, kamu kudu yakin juga, kalau—" Awan mendekati posisi Akarsana yang berdiri di depan wastafel pencuci piring. "Kalau akan tumbuh benih cinta di antara kalian. Tirtha akan menjaga dan melindungi kali
Akarsana kembali ke kamarnya. Menghentikan perdebatan yang tidak pernah menemukan titik terang. Gadis itu mengabaikan rasa lelah, mengabaikan hawa panas yang melungkup seluruh tubuhnya. Melupakan tentang kesegaran mandi setelah bekerja. Dipikirannya hanya ada satu tindakan yang jelas tidak akan dia sesali, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu.Ia mengemas seluruh pakaiannya, barang-barang yang benar-benar miliknya. Tidak banyak, hanya seberat satu tas ransel saja. Ia meninggalkan seragam office girl-nya di atas ranjang."Aku bersumpah tidak menyesali pilihanku ini. Tidak ada yang mau dinikahi secara terpaksa 'kan?" Ia terus menggerutu. Muak dengan sikap Tirtha, muak dengan seluruh drama kehidupannya. Setelah gagal di pernikahan pertama, tentu saja Akarsana tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.Tangannya hendak meraih tuas pintu dari dalam kamarnya. Namun, daun pintu itu sudah terbuka terlebih dulu."Mau ke mana, kamu?" tanya Tirtha dengan enteng, tetapi seraut muka itu masih bengi
Senin pagi, berkat keuletan yang dimiliki oleh Akarsana, sekarang gadis itu bisa pergi bekerja dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan di rumah yang telah rampung dia kerjakan sejak pagi.Ketika hendak menyeret sepeda kayuh miliknya, saat itu juga Tirtha keluar dari pintu utama. Namun, sikapnya jauh berbeda dari sosok itu sebelumnya. Pria itu tidak menyapanya, hanya sekedar basa-basi mengajak berangkat bersama pun tidak. Terlebih lagi, ini masih sangatlah pagi untuk sekelas bos pergi bekerja. Biasanya, Tirtha akan tiba di kantor baru pukul sembilan."Anda tidak sarapan terlebih dulu?" tanya Akarsana. Gadis itu seharusnya tahu, bahwa sikap formalitas dan perhatian itu tidaklah digubris oleh laki-laki dengan kepribadian ganda itu.Nyatanya, Tirtha lekas melenggang memasuki mobil dan langsung menancap gas meninggalkan halaman rumahnya.Perasaan semenjak pulang kampung, dia menganggap bahwa semua ini salahku, batin Akarsana. Kendati, dia sama sekali tidak tahu akar masalah sebena