Share

Terjerat Cinta Bos Suami
Terjerat Cinta Bos Suami
Author: Az Zidan

1 : Kabar Duka

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2023-12-28 03:16:50

Hari ini resto benar-benar ramai, hingga semua karyawan harus sibuk ke sana kemarin tanpa kenal lelah. Tidak terkecuali Akarsana.

"Mbak!" panggil pengunjung yang baru saja duduk, mengangkat tangan menarik langkah Akarsana agar datang padanya. Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Ia datang dengan membawa buku berukuran sebesar telapak tangan.

"Iya, Nona. Mau pesan apa?" tanya Akarsana sopan.

Dua sejoli itu tampak berdiskusi untuk membicarakan pesanan. Akarsana mencatat apa yang mereka ingin. Berikut dengan toping apa saja yang tidak diinginkan, serta tingkat kematangan untuk olahan daging.

"Terima kasih," kata si cantik berkata sipit di depan Akar.

"Sama-sama, mohon ditunggu!" pinta Akar.

"Pelayan!" teriak orang berikutnya. Akar mengangguk disusul dengan senyuman yang manis. Sebelum mendekat pada pelanggan berikutnya, Akar mendekat pada meja yang terhubung dengan para koki. Ia memberikan secarik kertas itu dan kemudian berlari kecil, siap untuk mencatat pesanan lagi.

"Apa yang ingin Anda pesan, Tuan?" tanya Akar. Namun, sebelum pria itu menjawab ponsel Akar berdering. Bersamaan dengan ponsel milik pria yang hendak memesan.

"Angkatlah! Kamu juga! Sebaiknya kalian menjawab panggilan itu terlebih dulu," perintah salah satu pria yang duduk bersama dengan calon pemesan tadi.

Akar ingin tidak menggubris ponsel itu, tetapi benda itu terus berbunyi kecil dan bergetar di dalam saku roknya, hingga sangat menganggu dirinya.

“Mohon maaf, Tuan. Saya izin menjawabnya.” Dua pria yang duduk berhadapan itu mengangguk.

Secara bersamaan, keduanya menjawab. Mereka sama-sama terkejut. Akan tetapi, raut wajah Akarsana lebih terlihat mengkhawatirkan.

“Apa?!” Kedua orang itu sama-sama melontarkan kata yang sama. Sampai, laki-laki calon pemesan itu menoleh ke arah Akarsana. Akan tetapi tidak dengan wanita itu. Dia lantas lekas meninggalkan tempatnya saat ini. Menghadap pada manager resto dengan mata berkaca-kaca meminta izin untuk pulang lebih awal.

“Maafkan saya, Pak. Mas Ranu kecelakaan,” ungkap Akar. Dia tidak mampu lagi membendung air matanya. Sungguh, kabar itu bagai geledek tengah hari.

“Pulanglah! Tidak apa-apa.” Beruntung sang manager berbaik hati memberikan izin.

Sementara itu, laki-laki yang sebelumnya hendak memesan pun bangkit dari kursinya. Mereka urung untuk makan siang di resto itu. Kabar mendadak membuat sang penguasa muda kehilangan selera makannya.

“Saya minta maaf untuk kegagalan ini, Tuan Saga. Sungguh, ini diluar kendali saya,” ucapnya, seraya menjabat tangan klien yang hendak dia tangani.

“Tidak masalah, Tirtha. Saya bisa bicarakan ini dengan karyawanmu besok. Kita masih ada waktu.” Tirtha mengangguk dengan sedikit senyum di wajahnya dan kemudian masuk ke dalam mobilnya.

Akarsana pun juga pergi dengan angkutan umum. Di tengah perjalanan yang terasa sangat lama. Air mata terus membanjiri wajah polosnya. Dia tidak mampu menyembunyikan kesedihan dari penumpang lainnya.

Begitu tiba di depan rumah sakit, ia lekas berlari mendekati meja informasi dengan wajahnya yang sayu dan basah.

“Adakah korban kecelakaan yang terjadi hari ini, Sus.”

“Suster! Apa ada korban kecelakaan, barusan?”

Dua pertanyaan yang terlontar dari mulut manusia yang berbeda. Akarsana menoleh pada laki-laki yang berdiri tinggi menjulang di sebelahnya. Kemudian tidak acuh karena petugas telah mengatakan bahwa korban yang berjumlah dua orang itu berada di kamar mayat.

“Saya akan mengantar kalian untuk memastikan apakah mereka keluarga Anda atau bukan,” kata perempuan berpakaian rapi, dengan warna hijau telur asin itu.

Akarsana dan Tirtha mengangguk secara bersamaan lalu membuntuti wanita tersebut. Begitu tiba di ruang jenazah. Akar mendekati dua ranjang besi. Seseorang telah terbaring kaku di sana. Kain penutup itu bersimbah darah.

Tangan Akar gemetar bukan main. Air mata terus mengucur dengan deras tanpa mau berhenti. Wanita berusaia dua puluh enam tahun itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia harus mengontrol emosinya.

Sedangkan Tirtha sudah membuka penutup jenazah di sampingnya dan ia merangkus wajahnya. Dia benar karyawannya. Ia juga bisa pastikan bahwa jenazah yang kini dihadapan pelayan resto itu adalah Ranu, karyawan yang telah dia utus bersama dengan Indra.

Tirtha berdiam sejenak, ingin tahu ada hubungan apa antara wanita itu dengan Ranu. Begitu jemari lentik itu membuka kain putih, seketika tangisnya meledak.

“Mas Ranu! Tidak, Mas! Kamu tidak boleh pergi!” isaknya. Dia meraung hebat, memeluk tubuh yang tidak lagi bernyawa.

Tirtha melihatnya. Bahunya merosot, dia kehilangan dua karyawannya. Lalu, gadis itu harus kehilangan— entah, Tirtha tidak tahu. Apakah itu kakaknya atau justru— suaminya.

“Hei, tenanglah.” Tirtha menopang tubuh Akar agar tidak roboh.

Akar terus menepis tangan Tirtha. Saat ini tidak ada yang mampu membuatnya tenang. Dia kehilangan seseorang. Bagaimana bisa dia tenang.

“Suster, mereka benar orang-orang saya. Saya akan urus semuanya. Anda bisa mengurus jenazahnya.” Sang petugas pun mengangguk dan lantas meninggalkan keduanya.

Tirtha menelepon sekertarisnya untuk mengirim segala yang dibutuhkan guna mengantarkan jenazah-jenazah itu pulang ke rumah. Serta mengabari keluarga Indra.

Setelah itu, Tirtha kembali pada Akar. Dia tidak tega meninggalkan wanita itu sendirian. Namun, tidak tahu harus berbuat apa.

“Petugas akan memandikan jenazahnya. Sebaiknya kita keluar agar bisa lekas diurus,” kata Tirtha.

“Siapa kamu?! Kamu atau siapapun tidak berhak mencegahku! Aku hanya ingin memeluknya, dia tidak mati! Dia hanya lelah, pergilah!” usir Akar.

“Saya tahu ini berat. Tapi kamu tidak bisa lari dari kebenaran. Ranu pergi.”

Akar masih bergeming dia terus menangisi Ranu. “Jangan dengarkan dia, Mas. Kamu harus bangun. Aku tidak bisa merawat anak kita sendirian,” lirih Akar. Mata yang sudah sembap itu menatap wajah sang suami yang terpejam dengan rapat.

“Anak? Dia— dia istrinya?” pikir Tirtha, sungguh di luar dugaan. Tirtha hampir tidak percaya bahwa wanita muda itu istri dari Ranu, yang mana memang Ranu jauh terlihat lebih tua gadis.

“Aku minta maaf,” sesal Tirtha.

“Minta maaf? Apa yang sudah kamu lakukan pada suamiku?! Kamu membunuhnya?!” tuduh Akar.

“Pelankan suaramu. Mana mungkin aku membunuh karyawanku sendiri. Kita juga tahu kalau mereka kecelakaan. Dan— kamu juga tahu aku ada di resto saat kejadian ‘kan?” tegas Tirtha berusaha pelan agar suaranya tidak terdengar membentak.

Belum sempat mendebat ucapan Tirtha Akar terjatuh. Dia pingsan. Sigap tangan Tirtha menangkap tubuh wanita itu. Berteriak meminta bantuan pada petugas rumah sakit.

**

Akarsana dan jenazah suaminya sudah tiba di rumah. Wanita itu tampak pucat, dia kehilangan senyum. Dunianya sudah roboh. Kehilangan suami memang tidak berarti dia akan mati. Namun, semuanya akan semakin sulit. Mungkin juga tidak terkendali.

Seorang remaja tanggung berlari kencang. Kemudian dia lekas memeluk tubuh ayahnya yang telah terbungkus kain kafan. Air mata Akar kembali luruh. Dia tidak bisa melihat pemandangan itu.

“Aya, tenang.” Akar merengkuh tubuh anaknya. Dia berusaha menenangkan gadis itu meski dirinya sendiri tidak baik-baik saja.

Tirtha yang sedari tadi berada di sekitar Akar hanya bisa melihat duka yang keluarga itu rasakan. Dia tidak tega meninggalkan Akarsana sendirian. Sementara jenazah Indra akan diantar ambulans dan sekertarisnya ke rumah duka. Bagaimanapun, Tirtha tidak bisa berada di dua tempat sekaligus.

“Ini pasti gara-gara kamu ‘kan?! Kamu memang istri yang tidak becus!” tuduh Cahaya, anak Akarsana.

Akar menggeleng, dia sendiri kehilangan. “Hapus saja air mata buayamu itu! Dari awal aku tidak menyukaimu!” teriak Cahaya.

Akar menutup telinganya dan tertunduk. Dia sungguh malu, kini ada banyak warga yang melayat, tetapi anaknya sendiri justru berujar seolah dialah akibatnya.

“Begitu amat ingin menguasai harta Ranu. Kukira dia wanita baik-baik,” bisik seorang wanita yang baru saja memberikan ucapan bela sungkawa.

“Mana ada, istri muda baik? Yang ada terus morotin harta suami, ibu!” balas wanita lain lagi.

“Kalian ini bicara apa?! Orang sedang berduka kok digosipin! Pulang sana!” usir tetangga dekat Akar.

Sungguh, mulut mereka lebih pedas dari seblak level sepuluh. Akarsana tidak menanggapinya, membuka mulutnya saja sudah kesulitan baginya.

“Akar. Sabar, ya. Jangan hiraukan kata-kata mereka.” Wanita itu hanya mengangguk untuk menimpali ucapannya.

Sekarang jenazah Ranu dikebumikan. Akar menangis dalam diamnya. Dadanya sesak, dia membungkam mulutnya agar tidak berusara. Padahal kendati tidak dia lakukan tangisnya sudah teredam. Tangis yang sungguh menyesakkan. Berdiri di sampingnya, Cahaya. Remaja itu juga tidak kalah sedih. Kemudian bersama dalam kerumunan warga lain ada Tirtha yang tidak melepaskan pandang pada Akarsana. Hingga ponselnya berdering.

Tirtha menyingkir dan menjawab ponsel itu. Dia—

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Brahma Wijaya
awal yang menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Terjerat Cinta Bos Suami   2 : Kenyatahan Pahit

    2Tirtha membuka pintu rumahnya dan sudah mendapati pria paruh baya berkacamata di ruang tamunya. Pria itu tersenyum tipis dan mendekati sang ayah.“Pa? sudah lama?” sapa Tirtha. Pria itu menunduk untuk mencium tangan ayahnya.“Ibumu sakit. Anak macam apa kamu?! Dia wanita yang melahirkan dan besarin kamu, Tirtha!” geramnya. Merasa bahwa anaknya sangat tidak tahu malu.“Maaf, Pa. Tirtha akan pulang.”“Emang udah seharusnya kamu pulang, Tirtha! Hartamu nggak bakal kamu bawa mati. Harusnya kamu bisa memprioritaskan ibumu!” amarah pria itu masih meletup tidak tertahankan.“Maaf, Pa.” kepalanya tertunduk, ia tidak pernah dekat dengan pria itu. Tirtha canggung dengan ayahnya sendiri.“Aku tunggu besok di rumah! Kalau kamu tidak juga pulang, tidak usah kembali sekalian, Tir! Di rumah kami masih punya keluarga terbaik!” sarkasnya. Lantas ia pun keluar dari rumah anak kandungnya sendiri.Tirtha mengembuskan napasnya dengan kasar, lega sekaligus tidak enak hati. Dia sudah lama tidak menelepon

    Last Updated : 2024-01-05
  • Terjerat Cinta Bos Suami   3 : Pekerjaan Baru

    Tiga hari setelah kepergian Ranu, Akarsana harus kembali bangkit. Ia bersiap untuk bekerja. Tiba-tiba ponsel bututnya bergetar di atas meja. Ia melangkahkan kaki mendekati meja di dapur itu. Nomor tidak dia kenali telah menghubunginya. Akarsana enggan untuk menjawabnya. Namun, berulangkali nomor yang sama itu mencobanya kembali.“Minta duit!” tangan Cahaya terulur untuk minta uang pada Akarsana. Gadis itu sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sudah tiga hari pula gadis itu membolos. Memang tidak akan mengubah segalanya. Keduanya harus tetap menjalani kehidupan seperti biasanya.“Apa yang kamu pakai, Aya? Rokmu terlalu pendek. Lepas! Kamu harus ganti yang lebih panjang.” Bukan memberikan apa yang Cahaya mau justru ia mengomentari pakaian remaja itu.“Apa susahnya ngasih duit, sih? Aya nggak minta komentarmu!” ketus Cahaya.“Aya, aku ibumu. Tolong, ibu mohon ganti rokmu, Aya!” perintah Akarsana.“Mau ngasih duit nggak?!” bentak Cahaya. Ia menoleh mencari keberadaan dompet ibu sambungnya

    Last Updated : 2024-01-05
  • Terjerat Cinta Bos Suami   4 : Remaja Badung

    Sampai di sebuah gedung dengan bagunan tiga lantai. Akarsana memarkir sepedanya. Ia bingung harus menemui siapa. Sampai satpam yang menjaga pintu masuk itu bertanya pada gadis polos yang ada di depannya.“Mau bertemu siapa, Mbak?”“Maaf, Pak. Saya dapat telepon dari kantor ini tadi.”“Telepon dari siapa, Mbak? Barangkali saya bisa bantu memanggilnya,” ujar pria bertopi itu.Aduh! Bodoh banget, Akar. Kenapa nggak tanya tadi siapa namanya, pake acara lupa segala, umpat Akarsana dalam batinnya.“Mbak?” Pria jangkung itu memanggil Akar kembali, karena tidak juga mendapatkan jawaban.“Katanya pihak HRD, Pak. Beliau wanita, saya belum tahu namanya,” timpal Akarsana. Ia menjawab dengan jujur.“Oh— baik Anda bisa duduk di sana. Saya akan bertanya pada beliau apakah bisa ditemui atau tidak.” Akar mengangguk, ia mengikuti saran dari sang satpam dan duduk di bangku ruang tunggu.Tidak sampai lima menit, satpam itu keluar dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, berpakaian rapi,

    Last Updated : 2024-01-17
  • Terjerat Cinta Bos Suami   5 : Sepeda Butut

    Suara ketukan pintu yang bising membuat Akar sana lekas-lekas meninggalkan dapur. Ini baru jam setengah tujuh. Dia masih memasak bakal bekal makan siangnya. "Itu kuping budeg apa gimana, sih?! Nggak denger ada yang mau robohin pintu?!" teriak Cahaya yang baru keluar dari kamar. Ia siap berangkat ke sekolah. Lagi-lagi rok yang dikenakan remaja itu membuat Akarsana geleng-geleng. "Aya kenapa—""Sst! Berisik! Buka pintu tuh!" perintah Cahaya. Akar pergi bukan karena perintah itu. Ia melakukannya karena sudah jengah dengan teriakan dari luar yang memanggil nama suaminya dengan sangat kencang. Begitu daun pintu terbuka. Dua sosok pria berbadan besar dengan kepala botak menatap Akarsana dengan garang. "Maaf, Pak. Suami saya tidak ada di rumah. Ada urusan apa?""Heleh! Pake basa-basi. Bayar cicilan motornya! Kalian udah nunggak tiga bulan. Kalian kira itu motor bapak kalian!" bentaknya kasar. "Bulan kemarin saya bayar, Pak," sanggah Akarsana karena dia benar-benar sudah mengisihkan ua

    Last Updated : 2024-02-07
  • Terjerat Cinta Bos Suami   6 : Tertipu

    Pukul sepuluh malam, Akarsana tiba di rumah. Berkat sepeda butut yang belum ia perbaiki itu, ia mampu menghemat uang belanjanya. Nahas, saat hendak beli makan siang, dia baru menyadari bahwa uangnya telah hilang sebanyak tiga ratus ribu. Dia yakin betul ada lima ratus di dompetnya sebelum berangkat tadi. Seharusnya masih ada sisa 400 sekian setelah ia membayar angkot serta membeli sepeda paling tidak ada 300 sekian. Akan tetapi hanya uang pecahan kembalian dari sang sopir angkot yang dia miliki tadi.Untuk saat ini, Akarsana akan mempertahankan sepedanya saja. Tanpa memikirkan mengecatnya. Meski begitu masih bisa digunakan dengan layak. Keranjang di depannya juga masih berfungsi sekalipun penuh karat.“Ibu pulang, Aya,” sapanya kala membuka pintu utama. Seperti biasa, tidak ada sahutan atau balasan dari Cahaya. Seharusnya Akar sudah hapal betul akan situasi ini.Wanita itu mendekati teko dan menuangkan isinya dalam gelas, kemudian duduk di kursi dan meneguk isi gelasnya. Menatap sekel

    Last Updated : 2024-02-08
  • Terjerat Cinta Bos Suami   7 : Merindukanmu

    Pukul tiga sore kemarin Tirtha tiba di kota, pria itu tidak ingin menyempatkan diri untuk menyambangi kantornya, karena dua jam lagi, kerja para karyawannya usai.Sekarang dia kembali ke kantor tanpa ada yang tahu jika dirinya kembali setelah dua hari tidak datang. Begitu memasuki arena parkir matanya menatap sepeda butut karatan yang terparkir di sana.Dahinya mengerut, heran. “Apakah ada orang dijaman saat ini memakai sepeda jelek seperti itu?” gumamnya dalam hati.Pikiran itu lekas hanyut saat ia telah berhasil memakirkan mobilnya. Kemudian kakinya menggiring langkah memasuki area kantor. Semua terlihat terkejut dengan kedatangan Tirtha yang tiba-tiba. Lekas-lekas mereka semua berdiri dan membungkuk guna menyambut kedatangan pria muda yang beruntung.“Selamat datang, Pak. Kenapa kembali tidak bilang-bilang,” ucap salah satu pria yang bertugas menjadi pengawas di lantai dasar itu.“Ada peraturan seperti itu? Kukira di sini aku bisa keluar masuk sesukaku,” pungkas Tirtha tanpa dosa.

    Last Updated : 2024-02-09
  • Terjerat Cinta Bos Suami   8 : Jangan Mesum!

    Tidur baru tiga jam lamanya, Akarsana sudah harus bangun di jam tiga pagi. Ia mulai mengolah masakannya. Kemudian menyiapkan kotak-kotak bekal itu. Di hari pertama wanita itu tidak membawa banyak dagangannya. Hanya lima belas kotak. Pukul lima ia sudah siap dengan segala macam persiapan. Ia juga sudah menyiapkan bekal makan siang untuk Cahaya.“Aya, ayo! Bangun, sudah siang. Kamu bisa telat jika tidak lekas bangun.” Perempuan itu melenggang ke dalam kamar sang anak. Menggoyangkan sedikit tubuh Cahaya yang terbungkus dengan selimut. Akar mematikan kipas anginnya agar terasa gerah dan membuat remaja itu bangun.“Nyalakan lagi! Aku tidak mau sekolah!” berang Cahaya.“Kamu sakit?” Akarsana panik. Ia lekas duduk di bibir ranjang dan menyentuh dahi sang anak.“Kamu sakit apa, Aya?” ulang Akarsana dengan lembut. Dia tidak merasakan bahwa tubuh Cahaya demam.“Perutku sakit!” erang Cahaya.“Astaga, kenapa tidak bilang ibu, Nak? Tunggu sebentar, Ibu buatkan air hangat, ya?”“Pergilah! Perutku s

    Last Updated : 2024-02-09
  • Terjerat Cinta Bos Suami   9 : Sombong

    “Sudah baikan belum?” tanya Akar pada Cahaya begitu dirinya tiba di rumah. Bahkan ia belum sempat membasahi kerongkongannya.“Aku lapar, buat makan sana!” perintah Aya. Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu dengan baik dan benar, justru memerintah layaknya bos. Ia bahkan tidak peduli jika Akar baru saja kembali dari lelahnya bekerja.“Besok sudah bisa sekolah?”“Emangnya kenapa, sih? Takut banget aku nggak sekolah sehari?! Nggak bakal ngaruh apa-apa sama kehidupan kere kita ‘kan?” sengitnya.“Bukan begitu, Ya. Kamu sekolah cari ilmu. Kalau kamu nggak masuk sehari nanti nilai kamu bagaimana?”“Udahlah nggak usah sok peduli. Buat makan aja sana!” Cahaya menarik tangan Akar lalu ia keluarkan dari kamar, kemudian ia menutup pintu dengan kasar.Sorot mata hitam Akar hanya mampu memandangi daun pintu itu. Lalu memutuskan untuk mulai memasak. Perutnya sendiri sudah mulai perih. Ia hanya makan saat siang hari saja.Setelah usai dengan semua pekerjaan rumah dan menyiapkan bakal masak dini hari

    Last Updated : 2024-02-10

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 34

    Bab 34Akar tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalau, wanita yang berbincang dengan suaminya tadi adalah sosok yang dikisahkan Tirtha semalam. Mati-matian, Akar mengatur napas. Gadis itu, terduduk di bibir ranjang. Akar telah tiba di rumah dalam keadaan perut yang masih kosong sejak pagi tadi.Entah pukul berapa tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan seketika itu, Akar terbangun."Mau apa kamu?" tanya Akar dengan suara paraunya."Tolong buatkan aku kopi sama teh." Sebelah alis Akar terangkat, benaknya penuh tanya, kenapa pria itu meminta dua minuman berbeda dalam satu waktu."Aku tunggu di luar, kuharap cepat," imbuh Tirtha. Kemudian ia keluar.Akar menarik seluruh kesadarannya. Ia bangkit dan keluar dari kamarnya. Sorot mata sayu selepas tidur itu disambut dengan tatapan mata indah dari wanita yang sempat Akar lihat siang tadi.Perasaan Akar sudah tidak karuan, kecewa, sedih, marah—bukankah dia berhak marah? Statusnya sudah menjadi seorang istri, tetapi sang suami justru

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 33

    Sampai denting jam berbunyi berulang lima kali, Akarsana juga tidak mendapati sosok Tirtha di rumah. Andaikan dia punya keberanian untuk mengirim pesan. Keinginan itu sangat besar dalam dirinya. Ingin tahu di mana pria itu berada, tetapi ketakutannya lebih besar dari pada rasa penasaran yang bergelayut di benaknya. Tidak ambil pusing dengan semuanya, Akar lantas kembali berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Dia menyapu, mengepel dan juga mencuci baju. Semuanya terasa kosong. Akar akan pergi ke makam suaminya. Sekedar untuk menabur bunga, barangkali hal itu bisa membuatnya sedikit nyaman. Kendati Ranu menipunya, tetapi sikap pria itu tidak buruk, tidak sekalipun pernah bersikap kasar. Tidak pernah memukul dan juga membentak. Namun, tetap saja Ranu juga tidak lebih baik dari Tirtha dan sebaliknya. [Aku mau pergi ke makam] Akar mengirim pesan pada Tirtha. Kalau-kalau pria itu pulang awal dan tidak mendapati dirinya di rumah. Bukankah ini bukti cukup bahwa Akar berjuang untuk hidup

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 32

    Sekarang, Akarsana tahu alasan dibalik sikap Tirta. Bukan tidak mungkin baginya mendapatkan ketulusan yang sempat diberikan oleh pria itu. "Aku akan berusaha menemukan ketulusanmu, Tirtha." Ucapan itu meluncur begitu saja. Inilah titik di mana Akarsana percaya pada keyakinannya. Yakin, kalau suatu hari nanti laki-laki yang telah menjadi suaminya akan menjadi imam di keluarganya dengan sebaik-baiknya sikap. Tirtha bungkam. Seakan amarah dan kekecewaan masih melingkupi seluruh pikirannya. Namun, ia tidak melampiaskannya pada Akar, untuk kali ini. "Aku tidak tahu," lirih Tirtha kemudian. Akar mendekat pada posisi sang suami. Menarik tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku memaafkanmu, untuk sikap buruk yang terjadi beberapa hari ini, Tirtha. Kita bisa berusaha," ujar Akarsana. Luka di sudut bibirnya terasa tertarik dan perih, kala Akar harus memberikan senyum simpul itu. Akan tetapi, Tirtha menepis tangan gadis itu. Tangan yang kini juga terluka akibat kegilaan yang telah dilakuka

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 31

    Tidak ada makan, tidak ada istirahat. Tirtha benar-benar ingin membunuh Akarsana dengan caranya sendiri. Sekarang, tubuh gadis kurus itu kian kuyu. Matanya sembap karena terlalu banyak menangis. Terlalu banyak menanggung beban pikiran dan rasa sakit.Kakinya bergetar hebat, akibat perilaku Tirtha terhadapnya, akibat perut yang kosong belum terisi sejak acara pernikahannya usai."Apa kita perlu melakukannya lagi agar kau lekas hamil, Akar?""Kau gila! Kau manusia sinting, Tirtha."Merasa tidak perlu menggubris apa pun yang di katakan oleh gadis itu, Tirtha hanya tersenyum tipis sembari menikmati isapannya pada putung rokok."Pergilah kumohon. Aku ingin beristirahat dan makan," imbuh Akar dengan lemah. Ia masih tergeletak di atas kasur bersimbah keringat dan cairan bercinta, juga sisa-sisa tetesan air bekas mandinya."Oke, kamu benar. Kita butuh makan, setelah itu kembali pada usaha kita." Akarsana tidak ingin menanggapi apa yang dikatakan olehnya.Bayangan Tirtha menghilang di balik pi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 30

    Malam semakin mendekap tubuh Akarsana. Ia belum juga mendapatkan rasa kantuk dari pelupuk matanya. Kesadarannya sepenuhnya pulih. Hanya rasa lelah yang teramat menusuk seluruh rusuknya.Bola mata hitamnya terus menatap satu sosok yang teronggok di sisi lain ranjang. Akarsana terus waspada, takut-takut kalau sosok itu menyerangnya secara tiba-tiba.Keputusannya bulat, Akarsana ingin keluar dari ruangan yang menyekapnya sejak sore tadi. "Mau ke mana kau?" Suara berat nan ketus seketika menggema di sepenjuru ruangan."Keluar. Aku tidak bisa tidur di sini.""Kau harus! Bahkan wajib tidur di sini. Sebelum kau dinyatakan hamil, kau tetap di sini bersamaku!""Tapi aku tidak mau hamil dan mengandung anakmu! Aku tidak—" sebelum ucapannya usai.Rasa panas sudah menjalar ke pipinya. Tamparan keras diterima Akarsana. Hingga wajahnya menoleh sangat keras. Butiran air mata tanpa diminta meluncur begitu saja membasahi permukaan pipi gadis itu."Hentikan ucapan gilamu itu! Kau kira aku akan berbaik

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 29

    Bab 29Setelah rangkaian acara usai, rumah megah itu hanya menyisakan Tirtha dan Akarsana. Awan memutuskan untuk kembali ke kampung bersama dengan orang-orang kepercayaannya. Mengurus usahanya di desa yang sudah dia tinggalkan.Sebelumnya, pria tua itu sudah mewanti-wanti putranya agar memperlakukan Akar dengan baik."Ajak Akar bulan madu, Nak. Akarsana butuh itu," pesannya tadi. "Papa tenang saja, aku sudah mengaturnya." Seakan menenangkan dan memastikan kalau perintah sang ayah sudah ada dalam rencananya.Namun, kenyataannya adalah— sekarang, mereka berdua hanya berada di kamar milik Tirtha. "Kurasa bulan madumu cukup di kamar ini saja. Aku tidak ingin memberikan uangku sepeserpun untuk kebutuhanmu, Akar. Ingat! Pernikahan ini hanya sampai anakku lahir. Kemudian—""Aku harus pergi sejauh mungkin. Melupakan pernikahan serta anak yang pernah lahir dari rahimku," sela Akarsana. Dia sudah hafal konteks itu.Wanita yang masih berbalut dengan kebaya itu, tidak akan melupakan sejarah ini

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 28

    Semalam suntuk, Akarsana tidak mampu memejamkan matanya. Ia terus menangis hingga pagi datang.Melakukan segala pekerjaan di rumah itu tidak lagi semenyenangkan sebelumnya. Lebih banyak keterpaksaan ketimbang sebelumnya."Nak, Bapak sudah bilang sama Tirtha, kalau pernikahan kalian akan dilakukan dua Minggu lagi. Itu sudah hari yang paling baik di bulan ini," ujar Awan.Tidaklah dia melihat bahwa Akarsana tersiksa?"Terserah kalian. Maaf, Tuan. Sejujurnya, saya bisa menolak pernikahan ini, jika Anda tidak memaksa Pak Tirtha."Akar sudah tidak sanggup membayangkan banyak kemungkinan lagi. Dia tidak bisa hidup dalam bayang-bayang siksa di dalam pernikahan. Dirinya yakin, bahwa Tirtha tidak akan pernah menerima keberadaannya."Maafkan, Bapak, Nduk. Tapi, Bapak hanya yakin sama kamu. Untuk itu, kamu kudu yakin juga, kalau—" Awan mendekati posisi Akarsana yang berdiri di depan wastafel pencuci piring. "Kalau akan tumbuh benih cinta di antara kalian. Tirtha akan menjaga dan melindungi kali

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 27

    Akarsana kembali ke kamarnya. Menghentikan perdebatan yang tidak pernah menemukan titik terang. Gadis itu mengabaikan rasa lelah, mengabaikan hawa panas yang melungkup seluruh tubuhnya. Melupakan tentang kesegaran mandi setelah bekerja. Dipikirannya hanya ada satu tindakan yang jelas tidak akan dia sesali, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu.Ia mengemas seluruh pakaiannya, barang-barang yang benar-benar miliknya. Tidak banyak, hanya seberat satu tas ransel saja. Ia meninggalkan seragam office girl-nya di atas ranjang."Aku bersumpah tidak menyesali pilihanku ini. Tidak ada yang mau dinikahi secara terpaksa 'kan?" Ia terus menggerutu. Muak dengan sikap Tirtha, muak dengan seluruh drama kehidupannya. Setelah gagal di pernikahan pertama, tentu saja Akarsana tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.Tangannya hendak meraih tuas pintu dari dalam kamarnya. Namun, daun pintu itu sudah terbuka terlebih dulu."Mau ke mana, kamu?" tanya Tirtha dengan enteng, tetapi seraut muka itu masih bengi

  • Terjerat Cinta Bos Suami   Bab 26

    Senin pagi, berkat keuletan yang dimiliki oleh Akarsana, sekarang gadis itu bisa pergi bekerja dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan di rumah yang telah rampung dia kerjakan sejak pagi.Ketika hendak menyeret sepeda kayuh miliknya, saat itu juga Tirtha keluar dari pintu utama. Namun, sikapnya jauh berbeda dari sosok itu sebelumnya. Pria itu tidak menyapanya, hanya sekedar basa-basi mengajak berangkat bersama pun tidak. Terlebih lagi, ini masih sangatlah pagi untuk sekelas bos pergi bekerja. Biasanya, Tirtha akan tiba di kantor baru pukul sembilan."Anda tidak sarapan terlebih dulu?" tanya Akarsana. Gadis itu seharusnya tahu, bahwa sikap formalitas dan perhatian itu tidaklah digubris oleh laki-laki dengan kepribadian ganda itu.Nyatanya, Tirtha lekas melenggang memasuki mobil dan langsung menancap gas meninggalkan halaman rumahnya.Perasaan semenjak pulang kampung, dia menganggap bahwa semua ini salahku, batin Akarsana. Kendati, dia sama sekali tidak tahu akar masalah sebena

DMCA.com Protection Status