.
.
.
“Eh, Ran, kenapa dengan bajumu?” tanya Winda sesaat setelah aku memasuki rumahnya.
Mas Adam masih di depan. Dia sepertinya menungguku masuk sehingga aku tidak bisa langsung bercerita kepada Winda.
“Sttt … bentar ya Win. Tunggu genderuwonya pergi,” kataku berbisik sembari memberikan tanda supaya Winda melihat dari kaca siapa yang sedang nongkrong di depan pagar disana.
Winda sepertinya terkejut. Dari balik jendela kaca di ruang tamu, dia mengintip Mas Adam yang masih ada di depan.
“Ran, itu beneran Mas Adam nganter kamu pulang?” tanyanya dengan lirih supaya Mas Adam tidak mendengar.
Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai jawaban dari pertanyaan. Hingga beberapa menit kemudian, kami dapat mendengar suara mobil mulai menjauh dari sana. Mas Adam pasti sudah pergi, batinku ikut mengintip dari celah korden untuk memastikannya. Memang benar, Mas Adam telah pergi, jadi aku langsung duduk diikuti oleh Winda yang la
...Pagi hari ini lalu lintas terlihat begitu padat dari biasanya. Orang-orang mulai berangkat kerja yang membuat jalanan terasa begitu penuh dan sesak. Untung saja, tadi aku menjemput Sandra lebih pagi. Jadi kami berdua tidak akan terlambat masuk ke kantor.“Dam, thanks ya …,” ucap Sandra sembari mengeluarkan lipstiknya, “Sorry, aku pakai lipstick di sini. Kamu kepagian sih jemputnya,” imbuhnya.“It’s, Oke San. Aku jemput lebih pagi karena nanti kita ada rapat dengan client,” sahutku.“Dam, menurutmu, warna lipstiknya bagus ga?” tanyanya.Aku mengernyitkan alisku. Kali ini aku tidak tertarik untuk melihat Sandra memakai lipstiknya. Dan akupun tidak tertarik untuk mengomentari warnanya. Karena aku tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya sekedar mengangguk hanya supaya dia lega.Aku masih saja berfokus kepada jalanan di depanku. Jika waktunya masih cukup, mungkin ak
...Mas Adam masih ada pertemuan diluar dengan koleganya. Karena jam kantor telah usai, aku langsung pergi bersama Winda tanpa menghubunginya. Persetan dengan Mas Adam! Meskipun aku adalah isteri sekaligus sekretarisnya, rupanya dia lebih memilih Sandra untuk mendampinginya pada jamuan makan itu! gerutuku dalam hati.“Eh, Ran. Kamu kenapa melamun?” tanya Winda kepadaku.Aku menggelengkan kepalaku. Ini adalah acara penting Winda. Jadi aku tidak boleh membuatnya sedih karena masalah rumah tanggaku, batinku.“Aku baik-baik aja, Ran. Thanks ya, udah ajak aku kemari. Tempatnya bagus banget,” sahutku sembari melemparkan senyum kepadanya.“Sudah kuduga kamu pasti suka. Oh iya Rani, tunggu disini dulu ya. Aku mau mengantarkan baju-baju ini ke belakang panggung,” katanya seraya menenteng tas besar ditangannya.“Ok, Win. Semangat ya!” sahutku.Dunia fashion bukanlah sesuatu yang as
...Pria dengan kemeja putih dan dasi berwarna biru bergaris hitam itu menatapku sinis. Ditangannya, dia memegang sebuah ponsel yang siap untuk digunakannya. Hingga beberapa saat, aku melihatnya mengetik sesuatu dengan sangat cepat. Bahkan, sepertinya dia tidak perlu melihat kepada layar karena kedua matanya terus terpaku kepadaku.Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan, sampai akhirnya aku mendengar bunyi notifikasi pesan pada ponsel milikku.Ting!“Wah, senengnya ketemu cinta lama!” sindirnya dengan jemari yang masih lincah untuk mengetik pesan berikutnya.Itu adalah pesan dari Mas Adam. Ternyata dia juga datang ke acara ini dengan Sandra yang duduk disampingnya. Entah sejak kapan dia ada disana, tetapi sepertinya keberadaannya cukup lama untuk mendengar pembicaraanku dengan Raka.“Pantas saja, tadi di kantor tidak ada. Ternyata ada disini lagi bertemu dengan gebetan,” tambahnya lagi.Aku
...Meninggalkan gedung fashion show itu, Mas Adam membawaku ke sebuah café yang terletak di bukit Palma. Disana, kami sengaja memilih tempat duduk di sudut luar café dengan pemandangan pusat kota yang terlihat dari atas. Bukan karena ngin menikmati panorama, tetapi hal itu kami lakukan supaya kami bisa berbicara lebih leluasa karena tidak begitu terganggu oleh alunan musik atau lalu-lalang pengunjung yang datang silih berganti.Tepat dihadapanku, Mas Adam terlihat sedang mendekapkan kedua lengannya. Begitu tajam, dia memandangku lurus dan hampir tidak mengedipkan kedua matanya seolah aku telah melakukan sebuah kesalahan.“Aku tidak suka,” katanya.Untuk pertama kalinya, Mas Adam mengucapkan kalimat itu dalam 7 tahun pernikahan kami. Selama ini, dia tidak memperdulikan hal semacam ini karena memang aku tidak pernah punya teman pria.“Apa kau tidak dengar, Ran? Aku tidak suka kamu berteman den
Light Kiss after a Coffee?Adam POV...Beberapa hari setelah kesepakatan yang terjadi di café itu, suasana di antara aku dan Maharani berangsur-angsur tenang. Aku tidak perlu marah-marah karena Maharani selalu menolak Raka yang mulai datang terus ke kantorku untuk mendekatinya. Dan Maharani juga tidak perlu marah, karena aku juga sudah membatasi kedekatanku dengan Sandra.Suasana tenang seperti ini, sebenarnya sudah sangat lama aku rindukan. Tetapi, herannya, baru sekarang aku mendapatkannya, batinku sedikit merutuki kebodohanku yang tidak pernah mengajaknya berdiskusi bersama. Andai kata, sejak pertama aku mendiskusikan ketidak-sukaanku terhadap sikapnya, apakah mungkin kami berdua tidak akan sampai pada tahap perceraian? Batinku di dalam hati sebelum suara Maharani mengejutkanku.“Mas, ini kopinya,” katanya sambil membawa secangkir kopi hangat ditangannya.Seperti hari-hari sebelumnya semenjak perjanjian
...Aduh, bagaimana ini? kataku pada diriku sendiri. Adikku tidak bisa pindah universitas karena dia akan skripsi. Itu artinya, keperluan Bram tetaplah besar meskipun dia sudah setuju pindah kos dan menghemat uang jajannya. Menghela nafasku, aku lalu mulai memikirkan pekerjaan yang mungkin aku bisa lakukan ke depannya untuk tetap bisa menyekolahkannya. Tetapi apa itu? batinku sebelum aku mendengar sebuah suara ketukan dari luar.“Selamat sore, Mbak Maharani. Ada yang sedang menunggu mbak di lobi kantor,” ucap Santi reseptionis yang tiba-tiba datang menemuiku di kantor Mas Adam.Eh, siapa? batinku penasaran sebelum akhirnya aku melirik Mas Adam yang sedang asyik berdiskusi dengan Sandra di meja kerjanya. Kali ini, rasa cemburu di dalam hatiku tidak lebih besar dari rasa bersalah yang kurasakan terhadap Mas Adam. Mungkin, selama ini, aku memang telah menjadi beban bagi Mas Adam. Sehingga tidak heran, jika Mas Adam setuju saja untuk menc
...Sudah satu bulan berlalu, aku telah resmi menjadi model dari Michelle. Karena kondisiku yang masih menjadi sekretaris orang, Michelle memberiku jadwal untuk melakukan pemotretan hanya pada sore atau malam hari. Tidak lama, setiap pemotretan hanya memakan waktu sekitar dua jam pada setiap sesinya dengan jadwal 3 kali dalam seminggu.Dan sekarang, aku telah bersiap untuk mengikuti pemotretan ke-limaku yang bertema jungle pada bulan ini. Beberapa fotografer asing telah siap dengan kamera-kamera besar mereka, para make-up artis telah memberikan polesan terakhir pada make-up yang kukenakan, dan Michelle dengan tangannya sendiri sudah selesai menata gaun sutera hijau keluaran Channel yang sedang kupakai.“OK, girl. Are you ready? 1 … 2 … 3 … pose!” Cekrek! Cekrek! Cekrek!“Hold on! One more time. Ok, good …!” Cekrek! Cekrek! Cekrek!
. . . Sesampainya di rumah, aku masih merasakan kehampaan itu. Suasana rumah nampak begitu sepi ketika aku memasukinya. Meja-meja mulai tertutup debu dan juga barang-barang milikku mulai berantakan. Sungguh sangat berbeda dari bulan lalu dimana Maharani masih ada di dalam rumah kami. Setelah meletakkan tas kerjaku di atas meja, aku langsung terduduk lemas. Aku heran mengapa aku jadi tidak semangat bekerja seperti ini. Biasanya, aku selalu terpacu untuk mencari uang. Tetapi sekarang, rasanya tidak ada bensin yang membakar semangatku. Mengendurkan dasi biru bergaris hitam milikku, aku lalu merenung dan menyandarkan tubuhku ke atas sofa berwarna putih di rumah kami. Astaga, ada apa denganku? Batinku sebelum aku mendengar suara ketukan dari luar. Tok! Tok! Tok! “Iya, tunggu sebentar,” jawabku. Bergegas, aku keluar untuk membuka pintu rumah. Dan ternyata, disana ada Ibu Halimah yang telah berdiri dengan daster kebang