"Panji, cepat pergi dari sini, biar gue aja yang coba nahan mereka, elo harus segera sampai di markas," titah Reno temanku sesama mafia, sambil membantu beni menyiapkan senjata yang ada.
Aku mengangguk, meng-iyakan Reno.
Pagi ini tiba-tiba markas bayangan sindikat hitam kami, disatroni oleh Genta, dia adalah musuh bebuyutan sindikat kami.
Entah bagaimana caranya mereka bisa mengetahui markas bayangan ini, padahal semua akses sudah kami tutup rapat.
Entahlah.
Tanpa menunggu perintah dua kali, aku segera membawa semua untuk dibawa ke markas utama, tanpa membuang waktu panjang, aku segera masuk mobil tancap gas, membawa mobil ugal-ugalan membelah jalanan untuk satu tujuan, aku ingin segera sampai markas utama.
Selama di perjalanan aku masih tidak habis pikir, kenapa mereka bisa masuk padahal semua kemungkinan sudah kami pertimbangkan dengan baik dan teliti.
Kenapa Genta bisa mendapatkan akses markas bayangan kami?
Adakah pengkhianat diantara kami?
Semua pertanyaan bermain di dalam benakku, mengganggu konsentrasiku dalam membawa mobil.
Hingga tiba-tiba.
Ddduuuuuaaaaarrrrrrr.
Suara benturan keras terdengar memekakkan telinga, mobil yang kukemudikan kehilangan kendali, hingga menabrak batas jalan. Kemudian mobilku berguling masuk ke jurang.
Setelahnya aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Semua gelap seperti langit yang bergelayut mendung.
Ahh ...
***
Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri setelah peristiwa kecelakaan yang kualami.
Ketika aku mulai sadar, lamat-lamat aku mendengar suara, seperti dengungan suara lebah. Entah dari berapa jam yang lalu, suara itu memenuhi ruang di indra pendengaranku.
Hingga lambat laun suara itu mulai terdengar jelas, seperti suara orang yang sedang bercakap-cakap. Sebenarnya sudah sejak tadi juga aku mencoba membuka kedua mataku, namun rasanya berat, seperti diganduli beras beberapa puluh kilo rasanya.
Jangan ditanya bagaimana rasanya tubuh ini, karena sungguh, bahkan aku juga merasa sulit untuk menjelaskan. Rasa kebas dan matirasa begitu mendominasi tubuh ini, sangat sulit menggerakkan bagian tubuhku.
Ataukah justru antara otak dan syaraf-syaraf disetiap bagian tubuh seolah terputus hubungan, hingga mereka sulit menerima perintah dari otakku?
Entahlah.
Namaku adalah Panji, seorang Bodyguard alias tangan kanan Boz mafia di negeri ini. Seingatku, mobilku menabrak marka pembatas jalan dipegunungan, saat sindikat mafia lain, yang merupakan musuh bebuyutan dari sindikat mafia tempatku bekerja sedang berseteru.
Mereka mencoba untuk mengambil alih atau lebih tepatnya merebut dokumen penting yang berisikan database project bisnis trilyunan rupiah dari sindikat kami. Tentunya bukan bisnis yang halal, karena kami adalah mafia.
Tapi Dewi Fortuna rupanya sedang tidak berpihak padaku. Saat mencoba melarikan diri dari pengejaran mereka. Aku justru mengalami kecelakaan ini.
Huft ... entahlah sekarang aku sudah mati atau masih hidup. Karena sulit sekali bagiku untuk bergerak. Tapi telingaku sudah menangkap suara-suara.
Seiring dengan kesadaran yang semakin pulih, perlahan diri ini mulai bisa menggerakkan tubuh. Meskipun perlahan. Sedikit demi sedikit mulai bisa membuka kelopak mataku.
Kuedarkan pandanganku, mencoba mengenali tempat ini. Hey, tempat apa ini? Rasa heran seakan menyergap, kini aku berada di ruangan aneh.
Sebuah bilik terbuat dari bambu sederhana dan terkesan kuno, semakin membuat rasa heran semakin bertumpuk di dalam benak.
Kembali aku mengedarkan pandanganku meneliti ruangan ini, Di ruangan ini terdapat perabot-perabot kuno. Dipan yang terbuat dari kayu jati dilengkapi alas tikar pandan menjadi alas dari tubuhku.
Disamping kiriku ada meja kecil dan sebuah bokor kencana berisikan ramuan herbal, baunya yang khas tajam menusuk hidungku.
Dan heeyyy apa ini?
Aku semakin tersentak ketika menyadari penampilanku sendiri.
Betapa tidak?
Aku mengenakan pakaian adat Jawa, setelan celana berlapiskan kain batik lengkap dengan ikat pinggang seperti pakaian adat jawa pada umumnya yang biasa dipakai oleh kerabat pengantin dipesta pernikahan orang-orang jawa itu.
Aneh.
Seingatku aku tidak sedang mengikuti pesta pernikahan.
Kenapa aku berpenampilan seperti ini?
Duh ... aku benar-benar bingung. Kemudian berusaha bangun dari posisi tidur telentang, untuk mendapatkan jawaban dari semua keanehan ini. Akhirnya aku berhasil bangun.
Tapi belum sempurna tubuhku berdiri tiba-tiba oleng, sepertinya kondisiku kali ini sangat lemah. Secara tak sengaja tubuhku menubruk meja dan limbung.
prrrraaaanggggggg
brrrukkkkkkkk
Pintu bilik bambu terbuka dari luar. Seorang pria paruh baya tergopoh-gopong mendatangiku, kulihat sekilas dibelakangnya ada dua orang yang lebih muda datang memapahku. Dan membaringkanku kembali didipan kayu.
Aku menangkap ada gurat bahagia yang terlihat dari raut wajah mereka, demi melihat aku sudah terbangun.
"Nak mas sudah siuman, kenapa tidak memanggil pengawal untuk membantu?" ocehnya setelah selesai membaringkanku kembali di dipan.
"Nak mas jangan memaksakan diri untuk berdiri. Pasti masih lemah karena sudah tiga hari tidak sadarkan diri," lanjutnya sambil menuangkan minuman kedalam gelas yang terbuat dari kuningan.
"I-ini dimana?" tanyaku linglung.
Pak tua yang sedang menuangkan air sedikit berjinggat, wajahnya berubah saat mendengar ucapanku barusan.
"Apakah Nak mas sungguh tidak ingat? Apa Nak mas juga tidak ingat dengan kami?" tanyanya seraya membantuku duduk dan menyerahkan gelas ditangannya.
Aku hanya menggelengkan kepala lemah sambil memejamkan mata.
Bingung.
"Minumlah!" titahnya.
Aku menganggukan kepala. Minuman ini rasanya manis seperti madu, meluncur masuk kedalam kerongkonganku.
Krruuuukkkk.
Perutku lapar sekali. Perih.
"Ambilkan makanan untuk Nak Mas Arya," perintahnya kepada seorang pria yang lebih muda yang tadi membantuku berbaring.
Sepintas dia tersenyum padaku.
"Sendiko dawuh, Guru," ucapnya.
Oh, shittt.
Apa aku tidak salah dengar?
Kenapa mereka berbincang menggunakan ejaan bahasa yang telah hilang berabad silam?
Apakah aku kembali hidup dijaman prasejarah megalitikum atau kejaman masa dinasti sanjaya dan syailendra?
Huft, Hatiku mencebik.
Dan tunggu, tadi pria tua itu menyebutku dengan nama Arya.
Hey, namaku Panji, sejak kapan berubah menjadi Arya?
Ataukah aku sekarang adalah Arya kamandanu yang ada di film Tutur Tinular?
Apakah kalian tahu film Tutur Tinular?
Itu loh, serial film laga yang tayang di salah satu stasion tivi nasional. Oh My Lord.
Aku menggaruk rambutku yang tiba-tiba terasa gatal, eh kok gatal. Sudah berapa lama aku tidak mandi?
Entahlah.
Kupejamkan mataku, dan membuang napas gusar. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa, benarkah aku kini sedang terjebak di sebuah negeri dongen?
Apakah saat kecelakaan itu, aku menembus ruang dan waktu?
Terjebak di dalam lorong waktu atau pintu kemana saja yang dimiliki oleh Doraemon, dan membuatku terjebak di dunia ini.
Oh, Shitttt.
Aku terdiam tepekur. Memang hanya beginilah yang aku bisa lakukan sekarang. Meski sedang dilanda kebingungan tingkat akut, aku harus tetap tenang. Tidak boleh panik.
Selama ini aku sudah terbiasa hidup dalam dunia yang penuh dengan intrik dan keras. Hidup menjadi mafia itu tidak mudah, penuh tantangan dan ketegangan.
Nilai plusnya, aku terbiasa hidup dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi, itu sudah menjadi bagian dari hidupku.
Tidak boleh menampakkan kelemahan, terlebih saat ini aku belum tahu mereka itu kawan atau musuh. Khawatirnya mereka hanya akan memanfaatkan kondisiku.
Saat ini situasinya sangat memungkinkan, untuk dimanfaatkan orang lain. Karena aku sekarang rupanya sedang terjebak dalam sebuah raga asing, yang hidup di sebuah negeri antah berantah entah diabad berapa masehi.
Kkrrrrruuuuukkkkkkk
Sepertinya cacing-cacing didalam perutku sudah tidak sabar lagi. Untunglah pemuda yang tadi sudah kembali, membawa nampan kuningan yang penuh dengan makanan beraneka macam.
"Nak Mas pasti lapar. Silahkan makan dulu. Setelah itu kita akan lanjutkan kembali pembicaraan tadi," tukas Pak Tua itu seraya meninggalkan bilik bambu dimana aku kini terjebak.
Setelahnya aku makan dengan sangat lahap. Aku yakin mereka tidak meracuniku, karena tidak mungkin mereka menungguiku siuman jika berniat buruk meracuniku. Iyya kan?
Sudahlah sekarang ga usah mikir macem-macem. Yang penting makan dulu untuk memulihkan tenagaku.
***
"Nak Mas Arya tidak begitu mahir mengendalikan kuda, sehingga ketika Rangkuti tidak terkendali, Nak Mas terpental dan tidak sadarkan diri," ujar Pak Tua yang akhirnya aku tahu bernama Mpu Gandiswara itu.
Dialah pemilik Padhepokan ini.
Mungkinkah dia masih keturunannya Mpu Gandring?
Memangnya Mpu Gandring punya keturunan, ya?
Huft, entahlah. Aku tidak tahu pasti soalnya dalam buku sejarah yang kubaca tidak diceritakan secara detil nama istri dan anak dari Mpu Gandring, dia menikah apa tidakpun aku juga tidak tahu. Haha
"Apakah kita sekarang hidup dimasa Ken Arok?" tanyaku linglung.
Sungguh. Saat aku melihat kondisi diluar bilikku, semakin menambah syok saja. Suasana kuno seperti dalam serial film laga terbentang dan terpampang nyata di hadapanku.
Mereka berjinggat mendengar pertanyaanku.
"Nak Mas bahkan tidak ingat kita hidup dimasa Raja Bhre Kertabumi?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
Rupanya pria tua ini sedang dilanda kebingungan yang sangat. Mungkin dia bertanya-tanya pria dihadapannya kini, yang dia sebut sebagai Arya, menderita lupa ingatan yang akut.
Sebutan Amnesia mungkin akan membuat mereka semakin bingung. Tentu saja, karena jaman ini belum musim menyebut istilah dengan bahasa asing. Ini masih di jaman siapa tadi, Bhre Kertabumi katanya.
Siapa Bhre Kertabumi itu, ya?
Aduh kenapa aku selama ini acuh dengan pelajaran sejarah, sih.
Apalah aku ini. Hanya bodyguard dari seorang mafia yang licin seperti belut di negara ini. Profesi mafia tidak mengharuskan pandai dalam pelajaran sejarah, karena tidak penting. Yang penting bagi mafia adalah mahir bermain senjata, mahir beladiri, mahir mengidentifikasi berbagai macam obat terlarang, mahir menge-hack database. itu cukup bagiku.
Akhirnya mengalirlah cerita dari Mpu Gandiswara, bahwa namaku adalah Arya Wisesa. Putra Sulung seorang Akuwu di wilayah Puncu. Saat ini adalah masa akhir dari kerajaan Majapahit yaitu BraWijaya V. Nah, Bhre Kertabumi itu ternyata Brawijaya V raja majapahit.
Oh No, aku terjebak di jaman Majapahit, ya ampun.
Jangan bertanya Akuwu itu setara pejabat apa kalo dimasa sekarang, ya. Karena aku juga belum tahu detil. Hehehe. Yang pasti itu adalah jabatan masih dibawah adipati.
"Apakah aku harus lapor kepada Ayahandamu tentang keadaan Nak Mas yang lupa ingatan ini?"
tanya Mpu Gandiswara perlahan."Saya rasa tidak perlu, Guru. Mungkin saya hanya butuh waktu untuk mengingat kembali," sahutku meyakinkan.
Supaya orang didepanku ini percaya aku tidak apa-apa.
"Baiklah, satu pekan ini jika belum ada perubahan. Aku harus melaporkan pada Akuwu. Aku tidak mau disalahkan jika terjadi apa-apa denganmu, Nak Mas," Aku menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan.
Kemudian aku pamit untuk melihat sekeliling Padhepokan. Sendiri.
"Sebaiknya aku harus cepat belajar banyak hal. Jangan sampai aku celaka karena terjebak dalam raga yang aneh ini," desahku gundah.
Tapi bagaimana caranya aku belajar memahami, karena jaman ini tidak ada Smartphone.
Kenapa ya gawai canggihku tidak ikut terbawa?
Huhh, lagipula kalo misalkan terbawa emang dijaman ini sudah ada sinyal? Kan tidak ada tower. Duh ... iya juga, ya. Hahaha....
Baiklah mari kita belajar dengan cara tradisional saja. Bukankah malu bertanya sesat dijalan. Maka kita belajar dengan cara bertanya.
Ahaaa ... sepertinya aku menemukan ide briliant untuk mendapatkan informasi jati diri seorang Arya Wisesa.
Senyumku merekah, karena mendapatkan ide cerdas di tengah kegalauanku.
Satuhal yang patut disyukuri dari kesialanku, ketika jiwaku terjebak dalam raga asing di jaman antah berantah ini, aku masih membawa serta kemahiranku beladiri dan bermain senjata. Ini adalah kehendak Tuhan yang sangat luar biasa.Pasalnya, ini merupakan kenyataan yang sangat bertolak belakang dengan Arya Wisesa yang asli.Arya Wisesa adalah pemuda pecandu syair, pujangga picisan yang tidak mahir bermain olah kanuragan. Itulah kenapa Ayahandanya menginginkan dia belajar olah kanuragan di Padhepokan milik Mpu Gandiswara.Usai berhasil melatih satu jurus baru, biasanya Mpu Gandiswara akan melepas murid-muridnya untuk berburu dihutan. Hal ini dia lakukan untuk melatih kemahiran murid-muridnya.Tapi siapa sangka justru Itulah awal dari kisah tragis Arya Wisesa, dia terjatuh dari kuda yang hampir merenggut nyawanya. Dan tragisnya lagi, aku harus terlibat terjebak dalam tubuhnya.Oh shiiitttt.Entah apa yang menyebabkan kuda tunggangan
Embun menetes dari daun bunga terompet yang ada diluar bilikku. Pagi ini udara di Gunung Wilis sangat dingin, bisa menggigil jika tidak terbiasa. Tak kuhiraukan dinginnya udara pagi yang menerpa tubuhku, dengan langkah tegap kulangkahkan kakiku keluar dari bilik. Baru kusadari, di halaman bilikku yang tidak terlalu luas, beraneka tanaman bunga tersusun rapi dan tampaknya begitu terawat. Apakah Arya Wisesa yang merawat tanaman ini? Amazing. Tiba-tiba aku terpesona dengan pribadi Arya Wisesa. "Dia pasti seorang pria berhati lembut," gumamku dalam hati. Aku masih terpesona dengan pribadi Arya Wisesa yang lembut, dalam asumsiku. Karena tidak mungkin seorang pria kasar bisa merawat tanaman dan menatanya begitu apik seperti ini. Tiba-tiba terdeng
Setelah romo kembali ke istana, aku tidak mau buang-buang waktu untuk berleha-leha. Kutepis sejenak rasa penasaran untuk mengulik jati diri seorang Arya Wisesa, karena aku hanya punya waktu satu purnama. Biarlah nanti saja aku menuntaskan rasa penasaranku itu. Setelah satu purnama aku harus kembali pulang ke istana. Hari demi hari kuhabiskan untuk berlatih, dengan didampingi Mpu Gandiswara, aku berusaha mati-matian, semua kulakukan demi keselamatanku. Kukira ini yang terpenting saat ini. Biarlah rasa penasaran itu akan kutuntaskan seiring waktu. Tak perlu menjadi fokus utama. Orang bijak bilang, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Dan pepatah itu benar adanya. Tak ada yang sulit, jika kita memiliki kemauan yang besar untuk belajar. Karena keinginanku sangat kuat untuk belajar, aku menjadi lebih mudah memahami jurus-jurus yang kata Guru dulu begitu sulit difahami oleh Arya Wisesa. Bel
Ketika menyadari bahwa ini akan menjadi saat terakhir keberadaanku di padhepokan, dada ini tiba-tiba terasa nyeri. Ada rasa enggan untuk meninggalkan tempat ini, entah kenapa aku merasa nyaman, seperti berada dirumah sendiri.Mpu Gandiswara yang memiliki jiwa ketulusan sebagai seorang guru, Rangga Suta dan Nimas Ayu yang sudah seperti saudara sendiri begitu hangat menerima keberadaanku.Di sini aku merasakan memiliki keluarga, sesuatu yang tidak pernah aku miliki di dunia asalku. Iya, Panji hidup terlunta-lunta sejak kecil, menggelandang dan mengemis belas kasihan orang hanya sekedar untuk mengganjal perut dari rasa lapar."Duh, berat sekali meninggalkan tempat ini?" aku mendengus kasar.Tapi apa mau dikata, aku tidak punya pilihan lain, karena Romo Sura Wijaya tetap menyuruhku kembali ke istana. Aku tidak mungkin bisa menolak.Apalagi Romo juga mengabarkan bahwa ibunda Galuh Wangi sudah tidak sabar menunggu kepulanganku. Mungkin
emoga ada petunjuk yang kutemukan. Ketika aku mau naik diatas kuda sepintas aku lihat ada kalung tergeletak di atas tanah bekas pertempuran tadi. Aku beringsut mengambilnya, diikuti tatapan mata Nimas Ayu Larasati dan Rangga Suta penuh tanya."Ada apa, Raden?" tanya mereka serentak.❤️❤️❤️Kuperlihatkan pada mereka, sebuah kalung kalau menurut pendapat pribadiku, benda yang hanya dimiliki kaum bangsawan di jaman ini. Rangga Suta dan Nimas Ayu saling pandang."Aku akan menyimpannya, mungkin ada petunjuk tentang mereka," ujarku sembari memasukkan kalung itu di balik bajuku, mereka mengangguk paham.Kami bersiap melanjutkan perjalanan untuk keluar dari hutan. Suara kinjeng tangis yang tadi sempat terkalahkan oleh suara riuhnya pedang beradu pedang, kini mulai nyaring terdengar. Seolah membuktikan bahwa dialah pemilik suara hutan yang sesungguhnya.Suasana hutan kembali diliputi kesunyian, hanya dengungan kinjeng tangis yang terdengar meny
Setelah menempuh perjalanan dua hari, dengan berbagai halangan dan rintangan yang menghadang. (Udah kayak perjalanan kebarat mencari kitab suci aja. Hehehe)Tepat ketika matahari hampir tenggelam diufuk barat, kaki-kaki kuda kami telah menapaki jalan menuju rumahku, akhirnya sampailah kami bertiga di gerbang masuk kota raja, Istana Pakuwon Sang Akuwu Sura Wijaya.Di sepanjang jalan yang kami lalui, disisi kiri dan kanan jalan, berdiri tegak banyak umbul-umbul serta obor yang disusun sedemikian rupa, sehingga suasana senja yang temaram, tampak megah layaknya menyambut kedatangan tamu agung.Benar, tamu agung itu adalah aku, Arya Wisesa, calon pengganti Romoku kelak di istana ini. Sudah selayaknya jika kedatanganku di sambut sedemikian rupa. Hal ini membuatku sedikit tersanjung. Sangat berkebalikan dengan sosok Panji selama ini. Hiks...'Hey, aku hanyalah seorang mafia, hanya seorang bandit, siapa yang sudi memberi sambutan semegah ini pada seor
POV Nimas Ayu LarasatiBegitu berhasil keluar dari keroyokan Penjahat didalam hutan, kami melanjutkan perjalanan kembali. Berharap menemukan perkampungan untuk mencari kedai makan dan tempat beristirahat. Rasanya tubuh ini sudah sangat penat. Tapi siapa nyana, justru di kampung itu kami kembali berjumpa dengan para begundal menjijikkan, sok main perintah, sok berkuasa, dan sok kuat.Huh ... menjijikkan tidak tau malu, padahal hanya dengan beberapa jurus saja aku bisa melumpuhkan mereka semua yang berjumlah belasan orang. Tidak sesuai dengan mulut besarnya yang seolah-olah sanggup menggenggam dunia.Ini pertama kali aku turun gunung dari padhepokan, ibarat menguji kemampuan dan mendedikasikan ilmu yang kumiliki untuk membela yang lemah seperti nasihat Romo. Karena ini adalah pengalaman pertama, maka tentunya Romo tidak mungkin melepasku keluar sendirian untuk mengantar Raden Arya Wisesa. Romo memerintahkan Kangmasku yang paling gagah sedunia itu bersamaku m
POV Nimas Ayu Larasati"Benarkah itu, Kanda?" tanya Dyah Ayu Nareswari yang tiba-tiba sudah dibelakang kami berdua.Tatap matanya menyelidik pada kami berdua, aku hanya bisa menundukkan kepala. Rasanya tidak sanggup melihat tatapan mata yang terlihat begitu terluka milik gadis itu, sungguh aku sangat tidak tega melihatnya. Bagaimanapun aku juga seorang wanita, sangat tahu bagaimana rasanya merasa diabaikan. Aku bahkan tadi malam begitu terluka ketika menyaksikan dan mendengar kabar tentang rencana pernikahan mereka.Sungguh, Aku sangat tahu apa yang dia rasakan. Kecewa, merasa tidak dianggap atau bahkan merasa dikhianati, oleh calon suaminya. Atau justru menuduhku menggoda calon suaminya?"Dyah Ayu, ini tidak seperti yang kau bayangkan," terangku mencoba memperbaiki situasi."Aku tidak bertanya padamu, Nimas," jawabnya dingin.Baiklah, sebaiknya aku akan menyingkir dari mereka sekarang, supaya tidak memperumit keadaan. Aku
Enrico keluar dari ruang perawatan Panji tanpa pamit, dari wajahnya terlihat dia sangat gusar dengan permintaan Panji untuk resign dari sindikat mafia miliknya.Reno masih duduk termangu di sofa, tampak menyesalkan kenapa Panji harus secepat itu menyampaikan keinginannya untuk resign pada Enrico. Harusnya Panji memilih waktu yang tepat. Tapi semua sudah terlambat, Panji bahkan tidak terlihat menyesali ucapannya sama sekali.Reno mendengus pelan.Di sudut lain, Panji tampak menghela napas panjang. Dia memaklumi jika Enrico marah padanya. Setelah semua hal yang telah Enrico diberikan pada Panji untuk menyelamatkan nyawanya. Panji justru meminta padanya sebuah permintaan konyol sebagai balasannya, tentu Enrico gusar.Dalam keadaan kritis kemarin Enrico bisa saja mengabaikannya, toh dirinya bukan siapa-siapa, tapi Bos besarnya itu malah memberikan semua fasilitas perawatan yang terbaik untuk mengupayakan dia bisa kembali sadar. Tapi bukannya membalas ke
"Elo sholat, Nji?" pekik Reno saat masuk di ruangannya siang itu. Pagi tadi Reno mengirim chat tidak bisa datang membesuk karena harus menuntaskan tugas yang diberikan oleh Enrico padanya.Wajah pria itu terlihat bingung dan gusar, sorot matanya tajam seperti sedang menguliti Panji hidup-hidup.Ketika Reno datang, Panji sedang menjalankan sholat dhuhur 4 rakaat dengan khusyuk. Beberapa menit dia mematung di ambang pintu, sempat mengira salah masuk kamar pasien. Dia mengerjapkan kedua matanya seolah ingin meyakinkan diri. Dan dia memekik suara dengan keras setelah melihat sahabatnya sejak kecil ini selesai sholat."Nji, ini beneran elo?" tanya Reno ragu.Reno tahu betul, mereka tidak pernah belajar sholat. Tak heran jika dia sangat kaget melihat Panji begitu khusyuk sholat dan berdzikir. Selama ini mereka selalu berdua kemanapun.Darimana Panji belajar dan sejak kapan?"Yaelah, lebay banget sih Lo, sampai teriak gitu,"
Panji minta ijin suster untuk duduk di taman rumah sakit. Setelah seharian berbaring, dia butuh menghirup udara segar. Sebelumnya, tubuhnya bahkan sudah lebih dari sebulan terkapar di atas ranjang rumah sakit.Selepas sholat isya' seorang suster mengantarnya menuju taman. Dia harus melatih kedua kakinya untuk berjalan, karena sudah terlalu lama tidak di fungsikan, kedua kakinya terasa kaku untuk di gerakkan.Ketika koma Panji merasakan perjalanan spiritual, ada banyak kejadian yang telah dia temui di sana. Bertemu dengan orang baru, gurunya Mpu Gandiswara, Nimas Ayu Larasati, Rangga Suta dan yang lainnya. Dia tahu itu hanya sesuatu yang tidak nyata. Entah disebut halusinasi atau apa, yang jelas tubuhnya tengah terlelap di ruang intensive care unit. Tapi anehnya, kenapa pengaruhnya terasa begitu nyata?Seperti kebiasaan yang beribadah misalnya, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh seorang Panji satu kalipun dalam kehidupannya. Kini dia bahkan bisa melak
Hari ini Panji sudah diperbolehkan pindah di ruang perawatan, karena kondisinya semakin stabil. Secara fisik, dia sudah bisa dibilang sehat. Hanya saja pikirannya hampir tidak bisa menghilangkan bayangan kehidupannya bersama Nimas dan baby Husein. Bayangan mereka terus mengganggunya, apalagi terakhir dia harus pergi meninggalkan Nimas saat usia Husein masih 7 hari."Ya Allah, apakah mereka akan baik-baik saja tanpa gue?" gumamnya."Benarkah semua ini halusinasi, Nimas?" desisnya pelan."Hey, gue belum sholat sejak kemarin?" Panji panik.Tadi malam tidak ada yang menungguinya, karena Reno sedang menjalankan tugas dari Enrico untuk melacak keberadaan penyusup dalam organisasi mafia mereka.Waktu subuh masih tersisa, Panji mencoba bersusah payah untuk berjalan ke kamar mandi, karena kakinya sudah terlalu lama tidak difungsikan selama dia koma, tentu saja terasa kaku.Menjalankan dua raka'at sholat subuh dan berdzikir, membuat hatiny
Hari ini tepat 30 hari Panji dirawat di ICU RS Premier Surabaya. Setelah kecelakaan yang dialaminya sebulan yang lalu dia tidak sadarkan diri. Pria ini mengalami cedera Axonal Diffuse, cedera otak berat sehingga membutuhkan perawatan khusus di Intensive Care Unit. Enrico telah memberikan fasilitas VIP untuk merawat panji. Akan tetapi meskipun demikian banyak alat-alat canggih itu menempel di tubuhnya seperti ventilator, hingga mesin EKG/EEG, belum ada kemajuan yang berarti.Enrico bersikeras untuk terus melakukannya, karena mengingat mereka telah tumbuh bersama sejak kecil. Ya, semenjak papanya mengadopsi Panji, mereka telah menjadi saudara angkat. menurutnya jika tubuh Panji masih menunjukkan tanda kehidupan, masih ada harapan untuk sembuh. Jadi dia memutuskan untuk terus memberi fasilitas terbaik padanya.Status Enrico saat ini adalah bos besar mafia tempat Panji bekerja. Karena ada latar belakang saudara angkat inilah dia mengistimewakannya. Lagipula sel
"Baiklah, Botak. Aku akan berhati-hati," balasnya segera melesat terbang, melompat di atas genting dengan sangat ringan. Kemudian melesat dari satu bangunan ke bangunan lainnya, dan berhenti di wuwungan (atap bangunan) seolah menemukan keberadaan ruang Dyah Ayu Nareswari.❤️❤️❤️Sesosok tubuh tampak bersalto dari atap. Tubuh itu dibalut dengan pakaian serba hitam, melangkah mengendap-endap memasuki kaputren (istana para wanita, istri dan anak raja atau pejabat) dalem katumenggungan. Di tempat inilah Dyah Ayu Nareswari menghabiskan waktu dalam istana ini. Pria itu melangkah tanpa meninggalkan suara, sepertinya ilmu peringan tubuhnya sudah tinggi.Bahkan prajurit penjaga yang mondar mandir berjaga di kaputren tidak menyadari ada bayangan hitam melesat di dekat mereka.Bayangan hitam itu menembus masuk ke dalam kaputren, tapi begitu masuk ke dalam suasana tampak lengang. Bukankah biasanya kaputren berisi para wanita, kenapa sangat sepi? Brewok bertanya dalam
Suasana kembali senyap, tak ada lagi suara anak panah yang berdesing. Mata setajam elang masing-masing dari mereka mencoba menangkap siapa musuh yang datang.Di sisi lain Arya Wisesa dan pasukannya bisa bernapas lega mendapatkan bala bantuan, hal itu memang sudah dipertimbangkan oleh Arya sebelumnya. Menurutnya paman Tumenggung Hadi Wijaya pasti punya pemikiran yang sama dengannya."Alhamdulillah ... Paman Hadi Wijaya pasti telah datang," ujar Arya.Tidak ada yang berani bergerak, mereka semua bahkan menahan napas, seolah suara napas itu bisa membahayakan nyawa bagi mereka yang masih bersembunyi dalam kegelapan.Meski suasana sudah terang benderang di berbagai sisi, cahaya obor yang telah di siapkan oleh mahasura untuk perayaan kemenangannya malam ini, terpaksa dinyalakan lebih awal untuk mengenali musuh yang baru saja menyerang mereka.Hingga tiba di satu titik dua pasukan itu saling serang, aroma pertempuran kembali menguar dari kesunyian h
Sementara itu di hutan pinggiran desa komplotan pasukan Mahasura dari berbagai penjuru telah sampai. Pasukan berjumlah sekitar seribu orang, mereka terdiri dari para rampok dan begal yang telah berhasil di rekrut oleh Mahasura untuk menyerang istana Akuwu Sura Wijaya.Mereka telah dilatih selama 12 purnama untuk mempersiapkan pertempuran hari ini. Jadi meskipun mereka bukan tentara resmi kerajaan tapi sudah mendapatkan latihan yang setara dengan para tentara reguler istana."Dengar!" pekik Mahasura.Suara bising-bising yang tadi berdengung seperti suara lebah karena banyaknya manusia yang berbicara, tiba-tiba menghilang."Malam ini, kemungkinan rombongan pasukan dari gunung wilis akan tiba di sini, jadi mari kita siapkan jebakan," papar Mahasura."Kita akan menyergap mereka, hanya satu tujuanku, yaitu membunuh Arya Wisesa, kalian paham?""Paham," jawab semua serentak."Bagus, jauhkan dia dari gurunya dan siapapun, aku akan membunuhnya
"Nimas, aku mencintaimu," ucapnya seraya menciumi istrinya terus menerus dan memeluknya erat. Seolah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk melakukannya.Airmata tak berhenti menetes, hari ini Arya merasakan ganjalan teramat berat untuk meninggalkannya pergi ke istana. Entah kenapa ...Seolah kepergiannya kali ini bukan sekedar pergi ke istana, akan tetapi pergi ke sebuah lorong waktu yang akan membawanya kembali ratusan abad ke masa depan. Melemparkan dirinya kembali ke dunia asalnya."Nimas, jadilah masa depanku, kumohon," bisiknya kelu, seolah suaranya tercekat di tenggorokan."Akulah masa depanmu, Kanda, bukan hanya aku, tapi juga Husein Ibadurrahman, akan menjadi masa depanmu," jawab Nimas seraya menyunggingkan senyumnya yang memabukkan.Arya menghela napas panjang, dia berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara sebanyak yang dia bisa, untuk mengusir sesak. Bukan karena saturasi oksigennya di bawah normal, tapi sesak karena rasa takut kehila