Satuhal yang patut disyukuri dari kesialanku, ketika jiwaku terjebak dalam raga asing di jaman antah berantah ini, aku masih membawa serta kemahiranku beladiri dan bermain senjata. Ini adalah kehendak Tuhan yang sangat luar biasa.
Pasalnya, ini merupakan kenyataan yang sangat bertolak belakang dengan Arya Wisesa yang asli.
Arya Wisesa adalah pemuda pecandu syair, pujangga picisan yang tidak mahir bermain olah kanuragan. Itulah kenapa Ayahandanya menginginkan dia belajar olah kanuragan di Padhepokan milik Mpu Gandiswara.
Usai berhasil melatih satu jurus baru, biasanya Mpu Gandiswara akan melepas murid-muridnya untuk berburu dihutan. Hal ini dia lakukan untuk melatih kemahiran murid-muridnya.
Tapi siapa sangka justru Itulah awal dari kisah tragis Arya Wisesa, dia terjatuh dari kuda yang hampir merenggut nyawanya. Dan tragisnya lagi, aku harus terlibat terjebak dalam tubuhnya.
Oh shiiitttt.
Entah apa yang menyebabkan kuda tunggangannya tiba-tiba mengamuk, yang jelas Arya tidak mampu mengendalikan kudanya.
Memang tidak mudah mengendalikan kuda yang tengah mengamuk. Apalagi jika tidak diketahui penyebabnya apa, Arya Wisesa sudah mencoba menenangkan dengan caranya.
Akan tapi malang tak dapat lagi dihindarinya, bukannya menjadi tenang malah justru semakin menjadi-jadi. Dan terjadilah yang telah terjadi.
Jiwa Arya Wisesa masih polos, mungkin karena karakternya yang baik hati, hingga dia tidak menyangka kalau ada orang yang sengaja menginginkan kematiannya.
Kepolosan inilah yang membuatnya tidak bisa membaca siapa orang yang berpura-pura baik dengannya, dan orang yang beneran baik. Padahal harusnya di jaman ini, butuh kemampuan untuk mengenali orang orang yang setia dan pengkhianat.
Dari sejarah yang kubaca, di era kerajaan justru sering terjadi perebutan kekuasaan. Bahkan saling bunuh antar anggota keluarga sendiri, sering terjadi.
Artinya karakter polos Arya Wisesa tidak semestinya dia miliki. Apalagi dia adalah pewaris tahta ayahandanya.
Sepertinya inilah PR terbesarku sekarang. Aku harus segera menemukan siapa orang yang berniat jahat mencelakai Arya Wisesa.
Karena jika ada yang berniat jahat pada tubuh Arya Wisesa sekarang, sama artinya dia menjadikanku sebagai targetnya. Karena sekarang akulah Arya Wisesa itu.
Duh ... kenapa aku harus terjebak di raga ini?
Baiklah, aku harus bisa membongkar konspirasi jahat ini, harus menguak tabir rahasia penjahat yang menginginkan nyawaku. Sebelum semua terlambat.
Aku menduga peristiwa jatuhnya Arya Wisesa dari kuda dan membuatnya tidak sadarkan diri selama 3hari bukanlah sebuah kebetulan, melainkan konspirasi jahat dari orang yang mengincar tahtanya.
Selama dua hari ini aku secara mengendap-endap keluar dari bilikku, saat waktu berlatih telah usai. Beralasan ingin istirahat dibilik dan tidak ingin diganggu, aku mengunci bilikku dari dalam, kemudian keluar dengan cara tidak biasa. Dengan menyamar. Yap ... aku memutuskan untuk menyamar supaya mengetahui jati diri seorang Arya Wisesa.
Aku tentunya sangat ahli dalam bidang ini, karena profesiku sebagai mafia menurutku untuk bisa berperan menjadi apa saja dalam menjalankan aksiku.
Aku adalah Panji, tangan kanan Bos mafia hitam. Sindikat kami menjadi incaran polisi selama ini, jadilah kami harus pandai main kucing-kucingan dengan aparat.
Aku sangat mahir mengelabuhi dan lepas dari pengawasan intel selama ini. Jadi jangan meragukan kemampuanku, ini adalah salah satu keahlianku.
Hari ini ketiga kalinya aku melakukan penyamaran.
Kini aku sudah tiba disebuah kedai makan yang cukup ramai. Aku sengaja memilih tempat yang berada dipojokan supaya leluasa untuk mengawasi dan mencuri dengar tanpa menimbulkan kecurigaan orang-orang di sekitarku.
Lumayan juga terjebak dalam tubuh seorang Arya Wisesa, meski dia terlalu lemah, tapi soal fasilitas hidup dia memilikinya. Tidak usah khawatir dengan stok duit, karena dibiliknya tersimpan banyak kepeng.
Bekal dari orang tuanya yang seorang Akuwu membuat dia tidak pernah kehabisan stok kepeng. Sehingga aku bisa leluasa dalam penyamaran ini tanpa berfikir darimana mendapatkan uang untuk biaya membeli pakaian pendekar dan segala sesuatunya.
"Kisanak, mau pesan apa?" pelayan kedai mendatangiku dan menanyakan pesananku sambil menyunggingkan senyuman.
Aku memesan ayam panggang dan secangkir teh panas. Menu yang tidak berbeda jauh dengan menu di jaman modern. Hanya beda penyebutan dan tampilan saja yang terkesan kuno, tapi jika itu soal rasa, sama dengan ayam bakar lengkap dengan lalapan dan sambelnya.
Aku memasang telinga dan mata baik-baik. Kupastikan tidak ada satupun yang luput dari pengawasanku.
Nama Arya Wisesa rupanya sedang naik daun, dia adalah bintang yang bersinar cemerlang di sini. Hampir setiap orang yang singgah di kedai ini selalu membicarakannya. Baguslah. Sedikit memberi kemudahan untukku dalam mencari informasi.
"Kabarnya putra Akuwu Sura Wijaya sudah siuman, tapi kabar yang kudengar dia sekarang hilang ingatan," tukas seorang pemuda yang berada di meja sebelah kananku.
Di meja itu ada tiga orang seusiaku sedang memperbincangkan Arya.
"Apa salahnya Raden Arya Wisesa? Kenapa ada yang menginginkan dia celaka?" tanya pemuda di sebelahnya.
"Maksudmu kejadian itu bukan kecelakaan, tapi ada yang menginginkan kematian Raden Arya Wisesa?" tanya yang satunya lagi.
Wah, aku merasakan euforia. Beruntung sekali nasibku terjebak di tubuh orang yang lumayan tersohor di jaman ini. Sehingga aku sangat mudah mendapatkan informasi. Sudah segampang mendapatkan informasi dari tayangan infoteinment para artis saja.
"Kamu benar-benar bintang yang cemerlang, Arya Wisesa," gumamku lirih.
"Menurutmu apa pelakunya saudara tirinya itu?" sambil celingak celinguk kanan kiri salah satu dari mereka bertanya pada temannya.
"Hus, sudahlah bukan urusan kita, jangan sampai kita meregang nyawa gara-gara ikut arus perebutan tahta Akuwu Sura Wijaya," gertak salah satu dari mereka. Hingga akhirnya mereka bertiga menghabiskan minuman masing-masing dalam diam.
Oke baiklah satu keyword lagi kutemukan. Saudara tiri jahat. Siapa namanya, ya?baiklah nanti aku cari tau.
***
Terdengar suara ketukan pintu.
"Nak Mas Arya Wisesa, apakah masih terjaga?" suara Mpu Gandiswara sedikit berbisik terdengar di luar bilikku.
"Iya, Guru," jawabku seraya membuka pintu. Barangkali beliau membawa berita penting yang akan disampaikan untukku.
Beliau melangkah masuk kedalam bilikku, begitu aku mempersilahkan. Kemudian duduk di dipan kayu bersisihan denganku.
"Nak Mas Arya, bagaimana apa sudah ada perubahan dengan ingatanmu?" tanya Mpu Gandiswara. Matanya yang setajam mata elang menelisik sampai kedasar hatiku.
"Sepertinya tidak bisa langsung sempurna seperti sediakala, Guru. Tapi ada beberapa hal yang sudah kutemukan sepotong-sepotong seperti mata puzzle," gumamku.
Bahkan dengan Guruku sendiri aku tidak berani berkata jujur. Karena bagaimanapun aku harus sangat berhati-hati dengan siapapun di jaman ini.
Setidaknya aku sudah pernah membaca kisah Tunggul Ametung yang mati dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Ken Arok kemudian menguasai wilayahnya, bahkan jandanya yang sedang hamil juga diperistri oleh si pembunuh.
Kisah yang sangat sadis.
Jaman ini belum ada pejuang HAM sepeeti di jamanku. Tidak ada orang yang berani berteriak hak asasi manusia, karena semua kalah dengan titah Raja. Ketika Raja telah bertitah maka itu artinya menjadi hukum bagi seluruh rakyatnya. Jika rajanya kejam dan sewenang-wenang maka yang lemah akan terlindas. Sangat kejam bukan.
"Berita tentang diri Nak Mas sudah sampai kepada ayahandamu. Besok pagi Akuwu akan menjemputmu pulang," ujar Mpu Gandiswara sedikit tidak senang.
"Jujur, sebenarnya dalam keadaan seperti ini, Nak Mas lebih aman bila ada disini. Setidaknya dibawah pengawasanku, tidak ada yang berani secara terang-terangan menyelakaimu," lanjutnya kembali.
Mpu Gandiswara menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Tapi jika Ayahandamu menghendaki Nak Mas kembali, Kau harus berhati-hati. Belajarlah dari kejadian kemarin, yang hampir merenggut nyawamu. Jangan percaya siapapun, bahkan bayanganmu sendiri bisa pergi meninggalkanmu saat gulita," Kembali lelaki tua didepanku ini menghela nafas berat.
Kemudian dia beranjak menuju jendela yang terbuka. Menatap rembulan yang menggantung sendirian dilangit malam.
Aku mencoba berfikir mendalam. Mencoba memahami maksud dari perkataan lelaki tua ini.
Apakah pria didepanku ini tulus mengkhawatirkanku?
Seberapa berbahaya keadaan didalam rumahku sendiri, hingga Mpu Gandiswara tampak sangat mengkhawatirkan keselamatanku.
Intrik sebesar apa dibalik kemegahan Dalem Akuwu Sura Wijaya itu. Sungguh mengenali musuh dalam selimut tidaklah mudah. Aku harus sangat berhati-hati.
"Jika memungkinkan, aku akan meminta pada Akuwu Sura Wijaya untuk menunda kepulanganmu satu purnama lagi, setidaknya kau ada waktu untuk berlatih lebih keras sebagai bekal untuk melindungi dirimu sendiri, Nak Mas," lanjutnya lagi.
"Baik, Guru. Besok aku akan minta ijin kepada Romo untuk menunda kepulanganku satu purnama lagi," Jawabku.
Mungkin memang benar aku harus lebih banyak berlatih dulu di sini. Sebelum benar-benar harus berhadapan muka dengan musuhku yang belum kuketahui setingkat apa ilmu Kanuragan yang dimilikinya.
Aku tidak boleh gegabah, memang benar diriku yang asli mahir beladiri dan mahir bermain senjata. Tapi itu beladiri dan senjata jaman modern. Berbagai jenis senjata api aku bisa menggunakannya.
Tapi di jaman ini hanya ada senjata sejenis pedang atau panah yang membutuhkan keterampilan khusus yang harus diasah.
Sebaiknya memang aku harus membiasakan diri melatih dulu hingga benar-benar terampil menggunakan senjata-senjata itu.
Tunggulah, aku akan menjadi Arya Wisesa yang berbeda dengan sebelumnya. Akan kubuat semua mata terbelalak melihat perubahanku. Terutama mata musuh-musuhku.
Embun menetes dari daun bunga terompet yang ada diluar bilikku. Pagi ini udara di Gunung Wilis sangat dingin, bisa menggigil jika tidak terbiasa. Tak kuhiraukan dinginnya udara pagi yang menerpa tubuhku, dengan langkah tegap kulangkahkan kakiku keluar dari bilik. Baru kusadari, di halaman bilikku yang tidak terlalu luas, beraneka tanaman bunga tersusun rapi dan tampaknya begitu terawat. Apakah Arya Wisesa yang merawat tanaman ini? Amazing. Tiba-tiba aku terpesona dengan pribadi Arya Wisesa. "Dia pasti seorang pria berhati lembut," gumamku dalam hati. Aku masih terpesona dengan pribadi Arya Wisesa yang lembut, dalam asumsiku. Karena tidak mungkin seorang pria kasar bisa merawat tanaman dan menatanya begitu apik seperti ini. Tiba-tiba terdeng
Setelah romo kembali ke istana, aku tidak mau buang-buang waktu untuk berleha-leha. Kutepis sejenak rasa penasaran untuk mengulik jati diri seorang Arya Wisesa, karena aku hanya punya waktu satu purnama. Biarlah nanti saja aku menuntaskan rasa penasaranku itu. Setelah satu purnama aku harus kembali pulang ke istana. Hari demi hari kuhabiskan untuk berlatih, dengan didampingi Mpu Gandiswara, aku berusaha mati-matian, semua kulakukan demi keselamatanku. Kukira ini yang terpenting saat ini. Biarlah rasa penasaran itu akan kutuntaskan seiring waktu. Tak perlu menjadi fokus utama. Orang bijak bilang, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Dan pepatah itu benar adanya. Tak ada yang sulit, jika kita memiliki kemauan yang besar untuk belajar. Karena keinginanku sangat kuat untuk belajar, aku menjadi lebih mudah memahami jurus-jurus yang kata Guru dulu begitu sulit difahami oleh Arya Wisesa. Bel
Ketika menyadari bahwa ini akan menjadi saat terakhir keberadaanku di padhepokan, dada ini tiba-tiba terasa nyeri. Ada rasa enggan untuk meninggalkan tempat ini, entah kenapa aku merasa nyaman, seperti berada dirumah sendiri.Mpu Gandiswara yang memiliki jiwa ketulusan sebagai seorang guru, Rangga Suta dan Nimas Ayu yang sudah seperti saudara sendiri begitu hangat menerima keberadaanku.Di sini aku merasakan memiliki keluarga, sesuatu yang tidak pernah aku miliki di dunia asalku. Iya, Panji hidup terlunta-lunta sejak kecil, menggelandang dan mengemis belas kasihan orang hanya sekedar untuk mengganjal perut dari rasa lapar."Duh, berat sekali meninggalkan tempat ini?" aku mendengus kasar.Tapi apa mau dikata, aku tidak punya pilihan lain, karena Romo Sura Wijaya tetap menyuruhku kembali ke istana. Aku tidak mungkin bisa menolak.Apalagi Romo juga mengabarkan bahwa ibunda Galuh Wangi sudah tidak sabar menunggu kepulanganku. Mungkin
emoga ada petunjuk yang kutemukan. Ketika aku mau naik diatas kuda sepintas aku lihat ada kalung tergeletak di atas tanah bekas pertempuran tadi. Aku beringsut mengambilnya, diikuti tatapan mata Nimas Ayu Larasati dan Rangga Suta penuh tanya."Ada apa, Raden?" tanya mereka serentak.❤️❤️❤️Kuperlihatkan pada mereka, sebuah kalung kalau menurut pendapat pribadiku, benda yang hanya dimiliki kaum bangsawan di jaman ini. Rangga Suta dan Nimas Ayu saling pandang."Aku akan menyimpannya, mungkin ada petunjuk tentang mereka," ujarku sembari memasukkan kalung itu di balik bajuku, mereka mengangguk paham.Kami bersiap melanjutkan perjalanan untuk keluar dari hutan. Suara kinjeng tangis yang tadi sempat terkalahkan oleh suara riuhnya pedang beradu pedang, kini mulai nyaring terdengar. Seolah membuktikan bahwa dialah pemilik suara hutan yang sesungguhnya.Suasana hutan kembali diliputi kesunyian, hanya dengungan kinjeng tangis yang terdengar meny
Setelah menempuh perjalanan dua hari, dengan berbagai halangan dan rintangan yang menghadang. (Udah kayak perjalanan kebarat mencari kitab suci aja. Hehehe)Tepat ketika matahari hampir tenggelam diufuk barat, kaki-kaki kuda kami telah menapaki jalan menuju rumahku, akhirnya sampailah kami bertiga di gerbang masuk kota raja, Istana Pakuwon Sang Akuwu Sura Wijaya.Di sepanjang jalan yang kami lalui, disisi kiri dan kanan jalan, berdiri tegak banyak umbul-umbul serta obor yang disusun sedemikian rupa, sehingga suasana senja yang temaram, tampak megah layaknya menyambut kedatangan tamu agung.Benar, tamu agung itu adalah aku, Arya Wisesa, calon pengganti Romoku kelak di istana ini. Sudah selayaknya jika kedatanganku di sambut sedemikian rupa. Hal ini membuatku sedikit tersanjung. Sangat berkebalikan dengan sosok Panji selama ini. Hiks...'Hey, aku hanyalah seorang mafia, hanya seorang bandit, siapa yang sudi memberi sambutan semegah ini pada seor
POV Nimas Ayu LarasatiBegitu berhasil keluar dari keroyokan Penjahat didalam hutan, kami melanjutkan perjalanan kembali. Berharap menemukan perkampungan untuk mencari kedai makan dan tempat beristirahat. Rasanya tubuh ini sudah sangat penat. Tapi siapa nyana, justru di kampung itu kami kembali berjumpa dengan para begundal menjijikkan, sok main perintah, sok berkuasa, dan sok kuat.Huh ... menjijikkan tidak tau malu, padahal hanya dengan beberapa jurus saja aku bisa melumpuhkan mereka semua yang berjumlah belasan orang. Tidak sesuai dengan mulut besarnya yang seolah-olah sanggup menggenggam dunia.Ini pertama kali aku turun gunung dari padhepokan, ibarat menguji kemampuan dan mendedikasikan ilmu yang kumiliki untuk membela yang lemah seperti nasihat Romo. Karena ini adalah pengalaman pertama, maka tentunya Romo tidak mungkin melepasku keluar sendirian untuk mengantar Raden Arya Wisesa. Romo memerintahkan Kangmasku yang paling gagah sedunia itu bersamaku m
POV Nimas Ayu Larasati"Benarkah itu, Kanda?" tanya Dyah Ayu Nareswari yang tiba-tiba sudah dibelakang kami berdua.Tatap matanya menyelidik pada kami berdua, aku hanya bisa menundukkan kepala. Rasanya tidak sanggup melihat tatapan mata yang terlihat begitu terluka milik gadis itu, sungguh aku sangat tidak tega melihatnya. Bagaimanapun aku juga seorang wanita, sangat tahu bagaimana rasanya merasa diabaikan. Aku bahkan tadi malam begitu terluka ketika menyaksikan dan mendengar kabar tentang rencana pernikahan mereka.Sungguh, Aku sangat tahu apa yang dia rasakan. Kecewa, merasa tidak dianggap atau bahkan merasa dikhianati, oleh calon suaminya. Atau justru menuduhku menggoda calon suaminya?"Dyah Ayu, ini tidak seperti yang kau bayangkan," terangku mencoba memperbaiki situasi."Aku tidak bertanya padamu, Nimas," jawabnya dingin.Baiklah, sebaiknya aku akan menyingkir dari mereka sekarang, supaya tidak memperumit keadaan. Aku
POV Arya Wisesa"Benarkah itu, Kanda?" terdengar suara Dyah Ayu Nareswari sudah berada dibelakang kami.Aku tersentak mendengarnya, bagaimanapun ini adalah situasi yang sulit bagiku. Apapun yang kulakukan pasti akan ada hati yang terluka diantara dua gadis ini.Semenjak terjebak di tubuh Arya Wisesa, entah kenapa hatiku jadi selembut ini. Bahkan melukai perasaan seorang gadis aku tidak bisa, padahal biasanya aku mana pernah seperti ini. Aku mendesah panjang.Bahkan ketika gadis yang kucintai melangkah menjauh dariku, aku tak tahu harus berbuat apa. Entah terbuat dari apa hati gadis ini, meski aku melihatnya begitu terluka, Nimas mencoba menjelaskan pada Dyah Ayu, tapi sepertinya dia sudah terlanjur begitu marah pada gadisku.Aku tahu keduanya merasa terluka olehku, di satu sisi Nimas tersakiti dengan perjodohanku dengan putri pamanku, di sisi lain Dyah Ayu terluka mendengar kenyataan bahwa aku mencintai gadis lain.Aku hanya mamp
Enrico keluar dari ruang perawatan Panji tanpa pamit, dari wajahnya terlihat dia sangat gusar dengan permintaan Panji untuk resign dari sindikat mafia miliknya.Reno masih duduk termangu di sofa, tampak menyesalkan kenapa Panji harus secepat itu menyampaikan keinginannya untuk resign pada Enrico. Harusnya Panji memilih waktu yang tepat. Tapi semua sudah terlambat, Panji bahkan tidak terlihat menyesali ucapannya sama sekali.Reno mendengus pelan.Di sudut lain, Panji tampak menghela napas panjang. Dia memaklumi jika Enrico marah padanya. Setelah semua hal yang telah Enrico diberikan pada Panji untuk menyelamatkan nyawanya. Panji justru meminta padanya sebuah permintaan konyol sebagai balasannya, tentu Enrico gusar.Dalam keadaan kritis kemarin Enrico bisa saja mengabaikannya, toh dirinya bukan siapa-siapa, tapi Bos besarnya itu malah memberikan semua fasilitas perawatan yang terbaik untuk mengupayakan dia bisa kembali sadar. Tapi bukannya membalas ke
"Elo sholat, Nji?" pekik Reno saat masuk di ruangannya siang itu. Pagi tadi Reno mengirim chat tidak bisa datang membesuk karena harus menuntaskan tugas yang diberikan oleh Enrico padanya.Wajah pria itu terlihat bingung dan gusar, sorot matanya tajam seperti sedang menguliti Panji hidup-hidup.Ketika Reno datang, Panji sedang menjalankan sholat dhuhur 4 rakaat dengan khusyuk. Beberapa menit dia mematung di ambang pintu, sempat mengira salah masuk kamar pasien. Dia mengerjapkan kedua matanya seolah ingin meyakinkan diri. Dan dia memekik suara dengan keras setelah melihat sahabatnya sejak kecil ini selesai sholat."Nji, ini beneran elo?" tanya Reno ragu.Reno tahu betul, mereka tidak pernah belajar sholat. Tak heran jika dia sangat kaget melihat Panji begitu khusyuk sholat dan berdzikir. Selama ini mereka selalu berdua kemanapun.Darimana Panji belajar dan sejak kapan?"Yaelah, lebay banget sih Lo, sampai teriak gitu,"
Panji minta ijin suster untuk duduk di taman rumah sakit. Setelah seharian berbaring, dia butuh menghirup udara segar. Sebelumnya, tubuhnya bahkan sudah lebih dari sebulan terkapar di atas ranjang rumah sakit.Selepas sholat isya' seorang suster mengantarnya menuju taman. Dia harus melatih kedua kakinya untuk berjalan, karena sudah terlalu lama tidak di fungsikan, kedua kakinya terasa kaku untuk di gerakkan.Ketika koma Panji merasakan perjalanan spiritual, ada banyak kejadian yang telah dia temui di sana. Bertemu dengan orang baru, gurunya Mpu Gandiswara, Nimas Ayu Larasati, Rangga Suta dan yang lainnya. Dia tahu itu hanya sesuatu yang tidak nyata. Entah disebut halusinasi atau apa, yang jelas tubuhnya tengah terlelap di ruang intensive care unit. Tapi anehnya, kenapa pengaruhnya terasa begitu nyata?Seperti kebiasaan yang beribadah misalnya, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh seorang Panji satu kalipun dalam kehidupannya. Kini dia bahkan bisa melak
Hari ini Panji sudah diperbolehkan pindah di ruang perawatan, karena kondisinya semakin stabil. Secara fisik, dia sudah bisa dibilang sehat. Hanya saja pikirannya hampir tidak bisa menghilangkan bayangan kehidupannya bersama Nimas dan baby Husein. Bayangan mereka terus mengganggunya, apalagi terakhir dia harus pergi meninggalkan Nimas saat usia Husein masih 7 hari."Ya Allah, apakah mereka akan baik-baik saja tanpa gue?" gumamnya."Benarkah semua ini halusinasi, Nimas?" desisnya pelan."Hey, gue belum sholat sejak kemarin?" Panji panik.Tadi malam tidak ada yang menungguinya, karena Reno sedang menjalankan tugas dari Enrico untuk melacak keberadaan penyusup dalam organisasi mafia mereka.Waktu subuh masih tersisa, Panji mencoba bersusah payah untuk berjalan ke kamar mandi, karena kakinya sudah terlalu lama tidak difungsikan selama dia koma, tentu saja terasa kaku.Menjalankan dua raka'at sholat subuh dan berdzikir, membuat hatiny
Hari ini tepat 30 hari Panji dirawat di ICU RS Premier Surabaya. Setelah kecelakaan yang dialaminya sebulan yang lalu dia tidak sadarkan diri. Pria ini mengalami cedera Axonal Diffuse, cedera otak berat sehingga membutuhkan perawatan khusus di Intensive Care Unit. Enrico telah memberikan fasilitas VIP untuk merawat panji. Akan tetapi meskipun demikian banyak alat-alat canggih itu menempel di tubuhnya seperti ventilator, hingga mesin EKG/EEG, belum ada kemajuan yang berarti.Enrico bersikeras untuk terus melakukannya, karena mengingat mereka telah tumbuh bersama sejak kecil. Ya, semenjak papanya mengadopsi Panji, mereka telah menjadi saudara angkat. menurutnya jika tubuh Panji masih menunjukkan tanda kehidupan, masih ada harapan untuk sembuh. Jadi dia memutuskan untuk terus memberi fasilitas terbaik padanya.Status Enrico saat ini adalah bos besar mafia tempat Panji bekerja. Karena ada latar belakang saudara angkat inilah dia mengistimewakannya. Lagipula sel
"Baiklah, Botak. Aku akan berhati-hati," balasnya segera melesat terbang, melompat di atas genting dengan sangat ringan. Kemudian melesat dari satu bangunan ke bangunan lainnya, dan berhenti di wuwungan (atap bangunan) seolah menemukan keberadaan ruang Dyah Ayu Nareswari.❤️❤️❤️Sesosok tubuh tampak bersalto dari atap. Tubuh itu dibalut dengan pakaian serba hitam, melangkah mengendap-endap memasuki kaputren (istana para wanita, istri dan anak raja atau pejabat) dalem katumenggungan. Di tempat inilah Dyah Ayu Nareswari menghabiskan waktu dalam istana ini. Pria itu melangkah tanpa meninggalkan suara, sepertinya ilmu peringan tubuhnya sudah tinggi.Bahkan prajurit penjaga yang mondar mandir berjaga di kaputren tidak menyadari ada bayangan hitam melesat di dekat mereka.Bayangan hitam itu menembus masuk ke dalam kaputren, tapi begitu masuk ke dalam suasana tampak lengang. Bukankah biasanya kaputren berisi para wanita, kenapa sangat sepi? Brewok bertanya dalam
Suasana kembali senyap, tak ada lagi suara anak panah yang berdesing. Mata setajam elang masing-masing dari mereka mencoba menangkap siapa musuh yang datang.Di sisi lain Arya Wisesa dan pasukannya bisa bernapas lega mendapatkan bala bantuan, hal itu memang sudah dipertimbangkan oleh Arya sebelumnya. Menurutnya paman Tumenggung Hadi Wijaya pasti punya pemikiran yang sama dengannya."Alhamdulillah ... Paman Hadi Wijaya pasti telah datang," ujar Arya.Tidak ada yang berani bergerak, mereka semua bahkan menahan napas, seolah suara napas itu bisa membahayakan nyawa bagi mereka yang masih bersembunyi dalam kegelapan.Meski suasana sudah terang benderang di berbagai sisi, cahaya obor yang telah di siapkan oleh mahasura untuk perayaan kemenangannya malam ini, terpaksa dinyalakan lebih awal untuk mengenali musuh yang baru saja menyerang mereka.Hingga tiba di satu titik dua pasukan itu saling serang, aroma pertempuran kembali menguar dari kesunyian h
Sementara itu di hutan pinggiran desa komplotan pasukan Mahasura dari berbagai penjuru telah sampai. Pasukan berjumlah sekitar seribu orang, mereka terdiri dari para rampok dan begal yang telah berhasil di rekrut oleh Mahasura untuk menyerang istana Akuwu Sura Wijaya.Mereka telah dilatih selama 12 purnama untuk mempersiapkan pertempuran hari ini. Jadi meskipun mereka bukan tentara resmi kerajaan tapi sudah mendapatkan latihan yang setara dengan para tentara reguler istana."Dengar!" pekik Mahasura.Suara bising-bising yang tadi berdengung seperti suara lebah karena banyaknya manusia yang berbicara, tiba-tiba menghilang."Malam ini, kemungkinan rombongan pasukan dari gunung wilis akan tiba di sini, jadi mari kita siapkan jebakan," papar Mahasura."Kita akan menyergap mereka, hanya satu tujuanku, yaitu membunuh Arya Wisesa, kalian paham?""Paham," jawab semua serentak."Bagus, jauhkan dia dari gurunya dan siapapun, aku akan membunuhnya
"Nimas, aku mencintaimu," ucapnya seraya menciumi istrinya terus menerus dan memeluknya erat. Seolah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk melakukannya.Airmata tak berhenti menetes, hari ini Arya merasakan ganjalan teramat berat untuk meninggalkannya pergi ke istana. Entah kenapa ...Seolah kepergiannya kali ini bukan sekedar pergi ke istana, akan tetapi pergi ke sebuah lorong waktu yang akan membawanya kembali ratusan abad ke masa depan. Melemparkan dirinya kembali ke dunia asalnya."Nimas, jadilah masa depanku, kumohon," bisiknya kelu, seolah suaranya tercekat di tenggorokan."Akulah masa depanmu, Kanda, bukan hanya aku, tapi juga Husein Ibadurrahman, akan menjadi masa depanmu," jawab Nimas seraya menyunggingkan senyumnya yang memabukkan.Arya menghela napas panjang, dia berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara sebanyak yang dia bisa, untuk mengusir sesak. Bukan karena saturasi oksigennya di bawah normal, tapi sesak karena rasa takut kehila