Malam itu hujan begitu deras mengguyur kota. Sementara di tengah sepinya jalan terlihat gadis menyegerakan langkahnya—tertunduk sambil menangis menyaingi rintiknya suara hujan. Sesekali gadis itu melirik ke belakang, ‘Masih belum ada ternyata’. Ucapan dalam batinnya terus terulang, ia mengharapkan kedatangan seseorang, menyusulnya dan mengatakan maaf. Namun, ternyata ia tidak kunjung datang.
Jarak menuju tempat yang ia tuju sangat jauh, tetapi rasa sakit membuatnya ia tidak berpikir bahwa mustahil untuk melewatinya. Tidak ada kata lelah, ia hanya berpikir perasaan saat ini yang membuat lelah itu hanya biasa saja.
Beberapa tanjakan sudah ia lewati, jalanan sepi ia anggap ah biasa aja, sampai ia melewati pemakaman pun ia berani, padahal jika ia keadaan sadar mana berani berjalan sendirian dalam gelapnya malam beserta rintiknya hujan.
Hati yang sudah ia titipkan untuk bisa dijaga dengan setia malah dihancurkan, diremuk begitu saja, padahal ia sudah melewati cobaan yang suram, bentangan sabar sudah sangat sering ia telan, memadamkan api cemburu sudah biasa ia lakukan, tetapi makin ke sini ia hanyalah dijadikan boneka.
Sampai di sekretariat, gadis itu membuka pintu, terlihat laki-laki yang sangat ia kenal bersama dengan temannya sedang berduaan menonton film. Melihat begitu sakit berkecamuk murka di dadanya. Mereka melihat gadis itu sekujur tubuhnya basah, tetapi mereka tidak peduli.
Plak pintu kamar ia banting, tubuhnya ia lempar ke atas kasur. Menangis tersedu-sedu adalah cara yang ia bisa untuk saat ini.
Sepertinya amarahnya sudah tak tertahan lagi, kesabarannya sudah tak terbatas lagi. Ia membuka pintu, lalu ia berbicara lantang.
"Akak, ade mau ngomong." Gadis itu mendekati laki-laki yang sedang berbaring menatap ponselnya.
Wajah laki-laki itu menunjukkan ketidak sukaannya. Dan melirik ke sebelah kiri ke arah gadis yang sedang menonton televisi.
"Lagian dia sudah tahu kan hubungan kita." Gadis itu kembali berbicara sambil menahan air matanya.
Sedangkan gadis yang sedang menonton televisi, pura-pura tidak melihat.
"Kamu mau apa?" Laki-laki itu akhirnya mengeluarkan suara.
"Kebiasaan kalo ada orang lain, jangan ngomongin masalah kita. Hargai orang lain, nggak enak dilihatnya." Lelaki tersebut menarik lengannya menuju sebuah kamar
"Dia juga masalah buat kita, udah tahu ade istri akak kenapa dia masih menggoda akak." Gadis itu menunjuk gadis yang sedang menonton.
"Ih … apa aku nggak tahu apa-apa?" Gadis itu melengos pergi ke ruangan lain, membiarkan pertengkaran hebat yang akan dimulai.
"Kamu mau apa?" tanya laki-laki tersebut.
"Dia kan sudah tahu hubungan kita, ngapain masih ngumpet-ngumpet." Tangis gadis itu semakin kencang.
"Kita cuman nikah siri, di luar rumah kita sebatas mahasiswa dan dosen. Kamu harus profesional, kamu harus bisa melihat konteks." Bentak lelaki tersebut
"Akak, suruh ade buat tutup mulut? Ade nggak boleh memperlihatkan kalo ade sayang sama akak? Padahal dia udah tahu hubungan kita. Terus kenapa setiap dia merayu akak, akak biasa aja? Akak punya hubungan sama dia juga? Kenapa dia boleh sedangkan ade enggak? jawab?" Amarah gadis itu sudah tak terbendung lagi.
"Aku udah capek sama sikap kamu, aku udah berapa kali bilang jangan memperlihatkan kecemburuan kamu sama siapapun."
"Oh, akak capek? Ade juga capek harus sembunyi terus. Ade capek harus menjaga perasaan akak, padahal akak nggak pernah menjaga pernah menjaga perasaan ade. Ade harus inget, ade udah ikhlas jadi istri kedua akak, menikah hanya dengan pernikahan siri, tanpa ada bukti dari negara. Apa itu masih belum cukup buat akak bahagiain aku, jaga perasaan aku."
"Aku udah bilang pernikahan ini hanya sementara, kamu bisa cari laki-laki lain. Aku nggak akan pernah bisa jadi seutuhnya buat kamu."
"Akak tega! Aku udah pertaruhkan semuanya, sekarang bilang kaya gitu. Dulu akak janji mau jagain aku dari si brengsek Keiza, menyembuhkan lukaku untuk terus berjuang untuk hidup, memberikan harapan bahwa aku harus percaya diri kembali bahwa aku berhak bahagia meski masa lalu terus mengancam aku. Emang aku juga mencoba mencari pengganti akak, aku nggak pernah menolak dekat dengan laki-laki yang mendekatiku, tetapi butuh proses buat aku bisa melupakan akak. Aku nggak mau mereka cuman bahan pelarianku saja. Janji akak yang dulu pernah bilang ke ade semuanya omong kosong."
"Iya emang omong kosong, aku nyesel udah nikahin kamu. Aku udah capek, apa kamu nggak sadar, aku udah berubah, aku udah melepasmu, aku udah nggak pernah menafkahimu, itu semua agar kamu bisa bebas. Detik ini kamu udah bukan istriku lagi, aku talak kamu!"
Air mata gadis itu semakin deras, diiringi dengan derasnya hujan. Apa mungkin langit tahu, akan ada kesedihan yang berkepanjangan dimulai? Laki-laki itu meninggalkan gadis yang sedang menangis di ruang televisi, sedangkan dia memasuki kamar, dibantingnya pintu kamar. Gadis tersebut memasuki kamar sebelahnya, ia menangis sejadi-jadinya. Ia melihat cermin, menatap nanar wajah penuh pilu. Meratapi nasibnya, tidak pernah usai ujian silih berganti.
Padahal baru saja dia patah hati oleh laki-laki yang baru ia kenal beberapa hari, kali ini ia benar-benar patah lagi, hubungannya sudah retak. Dua tahun hanya menjadi istri simpanan, diiming-iming dibahagiakan, menjadi gadis yang paling bahagia hidup bersama laki-laki yang sangat penyayang. Namun, itu semua sudah berubah. Tidak bertahan lama, ada penyesalan dalam dirinya, tetapi semua sudah menjadi bubur. gadis itu pergi ke kamar mandi, membersihkan diri, mencuci muka sekadar membasuh air mata di pipinya, meski air mata di hatinya tidak akan pernah hilang.
Kemudian, dia kembali ke kamar, membaringkan tubuhnya yang penuh luka. Gadis itu menatap langit-langit, kembali mengulas pertemuannya dengan laki-laki yang dulu menjadi dosen pembimbingnya.
'Kenapa? Semua terjadi padaku? Akak pernah menyelamatkanku dari kematian, pernah membasuh lukaku dalam keputusasaan, mengulurkan tangan membantuku bangkit dari penderitaan. Apa sekarang sudah berbalik? Akak kini memberikan luka yang dulu pernah ia sembuhkan,' batin gadis itu meratap.
Sesekali mencoba menutup matanya untuk tidur, tetapi kesedihan telah merenggut raganya, 'Apa jadinya esok? Aku sudah tak sanggup,' batinnya kembali.
'Tetapi, aku tidak pernah menyesal telah mengenalnya. Setidaknya akak pernah membuatku bahagia, memberikan warna dihidupku, membantuku berdiri tegak dengan percaya diri, pernah menyelamatkan hidupku dari pacarku yang brengsek itu. Aku dulu pernah terjerumus dalam kebebasan berpacaran, sampai aku hamil di luar nikah. Akaklah yang membebaskanku darinya, dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Dulu ia pernah berkata kepadaku jika ingin menyembuhkan hati tentunya harus menemukan hati yang lain. Sekarang hati ini sudah patah olehmu, akak. Lalu, siapakah yang akan menyembuhkan hatiku? Bahkan butuh berbulan-bulan aku untuk bisa bangkit dari masa lalu, akak juga harus berkali-kali meyakinkan aku, merayuku untuk bisa bersama, kenapa sekarang menjadi terbalik?'
Hati dan pikiran seakan bersahut-sahutan, mereka seolah sedang berperang memutar memori kebersamaanku bersama akak, masa-masa aku terpuruk kembali terbayang. 'Kini bagaimanakah?'
***
Bersambung
Masa kecilmu merupakan cerminan didikan yang akan kamu tanam untuk anak-anakmu, itulah yang cocok untuk keluarga Hertawan.Lilyana del Putri, nama yang diberikan orang tuanya—Hertawan dan Sarinila orang tuanya, penuh arti bahwa gadis kecilnya akan tumbuh bak bunga, menjadi gadis periang seperti anak putri raja. Lily merupakan anak pertama dan memiliki dua adik—laki-laki dan perempuan.Lilyana gadis yang dipanggil Lily itu ternyata penuh dengan rahasia. Bertahun-tahun ia simpan rapat rahasia masa kecilnya sampai ia bertemu dengan dosen akhirnya mereka saling mencintai yang pernah menikahinya. Kini dia sudah di talak, menjadi gadis janda, meski hanya segelintir orang tahu bahwa ia pernah menikah. Lilyana adalah gadis yang penuh teka-teki hidupnya. Orang yang mengenalnya tidak sepenuhnya tahu, bahwa ada masa lalu yang tidak bisa lepas dari cengkraman memorinya.****Lima belas tahun yang lalu, saat Lily berusia delapan tahun—bersekolah kelas dua SD. Lily dididik oleh ayahnya dengan begi
Seorang Lily yang cantik, rupawan, idola di kampusnya, bahkan dosennya menyukainya. Tak sangka ia memiliki masa kecil yang tidak tumbuh dewasa bersamanya, mengurung dan tertanam dalam ingatannya, seperti tidak menginginkan pergi dari diri Lily. Kejadian yang membuat Lily traumatik yaitu pelecehan bertubi-tubi hadir menimpa dirinya. Waktu umurnya delapan tahun suatu hari Lily diajak ketiga temannya, satu laki-laki dan dua orang perempuan, Lily diajak berenang di kali. Setelah berenang, salah satu temannya mengajak Lily berbaring di atas batu tanpa busana apapun dan menyuruh laki-laki itu menimpa Lily. "Lily coba kamu baring di atas batu itu." Dengan polosnya Lily menuruti permintaan temannya, "Ahmad, kamu tengkurap di atas badan Lily."Entah apa yang membuat teman-temannya memiliki gambaran seperti itu. Seorang Lily yang tidak diberikan sex education menjadi buta bahwa hal itu adalah salah. Namun, sebelum itu terjadi, terdengar orang lewat berteriak kepada Lily."Hey, kalian lagi ng
Lilyana sudah beranjak dewasa ketika masa SMA tiba, Lilyana merasakan yang namanya jatuh cinta. Wijas merupakah laki-laki berkulit sawo matang, berhidung mancung dan berkaca mata. Ia sering menanyakan tentang Lilyana kepada Adawiyah—temannya."Lily, itu loh Wijas nanyain kamu terus," celetuk Adawiyah ketika sedang berjalan bersama Lily menuju rumah. Lilyana hanya menundukkan kepalanya. "Ngapain nanyain aku?" tanya Lily."Kayanya dia naksir kamu deh," rayu Adawiyah. "Itu loh orangnya yang pakai motor beat biru." Adawiyah mengarahkan kepala Lily ke arah Wijas yang sedang menyetir motonya, dan melewati mereka sambil tersenyum."Tuh kan senyum." "Ya kan biar kelihatan sopan aja," celetuk Lily."Eh mana ada senyumnya sampe manis gitu." Lilyana hanya bisa terdiam. Lilyana merupakan orang yang serba tidak enakan, meskipun ia beberapa kali di pandang sebelah mata, tetapi Adawiyah selalu menemaninya, ia teman dekat Lily dari awal masuk SMA. Pulang pergi selalu bersama jalan kaki, bersenda g
[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.[Hallo, Ly.]Mendengar panggi
Pagi yang begitu cerah, matahari bersinar tanpa terlambat sedetikpun, Lily membuka jendela ia melihat hamparan persawahan indah nan hijau, ia sesekali menghembuskan napas di udara sangat sejuk sekali. Seperti biasa setiap bangun tidur Lily membereskan tempat tidurnya, kemudian menyapu seisi rumah, mengepel, lalu mencuci piring. Hari ini Lily begitu bersemangat, dilakukan semua pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Semua sudah selesai, Lily mencuci tangannya. "Lily ayo sarapan?" Hertawan memanggil Lily. Lily pergi ke tempat meja makan, semua sudah berkumpul di sana. Dalam keluarga Lily setiap makan harus bersama-sama, selama makan sangat jarang ada obrolan, mereka hanya fokus pada makanan. Selesai makan mereka akan mencuci piringnya masing-masing. Usai makan Lily cepat-cepat ke kamar, ia memilih baju yang akan ia kenakan, beberapa baju ia coba di depan cermin, dirasa tidak ada yang pas, ia terus berlenggok, 'Aduh pakai baju apa nih?' Lily frustasi dan ia membanting tubuhnya ke kasur.
'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.***Seperti biasa Wijas menunggu Lily di warung Ceu Mala. Wijas menyambut Lily dengan senyuman paling indah, Lily mendekat dengan jarak yang hanya beberapa senti saja. "Wijas maafkan aku kemarin." Lily berucap pelan kemudian menundukkan kepalanya"Nggak, papa. Yuk kita berangkat." Lily dan Wijas berangkat ke sekolah.Setiap hari menjadi rutinitas baru bagi Lily dan juga Wijas, Wijas menjemput Lily, pulang sekolah mengantarkan Lily. Pada saat jam istirahat mereka menghabiskan bersama entah itu makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau ngobrol santai di bawah pohon rindang belakang sekolah. Bagi Lily dan Wijas sekolah merupakan tempat mereka bertemu, karena setiap libur Lily sangat sudah diajak main ataupun liburan. Wijas tidak masalah dengan hal itu, bagi Wijas bertemu setiap hari di sekolah sudah sangat cukup.***Enam bulan mereka berpacaran, 24 maret merupakan har
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya."Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.***Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan."Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas."Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas."Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan."Iya. Kamu sudah pesan konf
Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya. "Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba. "Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata. "Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana. "Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya. "Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua." Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas. "Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah. "Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah. "Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa
Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk. 'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.Sementara, Sarinila yang mendengar kegaduhan di ruang tamu."Ada apa?" tanya Sarinila kepada Hertawan."Itu anak makin ke sini jadi sering ngejawab kalau dibilangin!" Hertawan menghembuskan napasnya kasar."Lilyanan sudah pulang?" tanya Sarinila."Iya, siapa lagi yang pulang?" lanjutnya kesal, ia menjulingkan matanya sinis ke arah Sarinila.Akhir-akhir ini Sarinila sudah mulai peduli dengan keluarganya terhadap anak-anaknya, kali ini dia sedang mencoba agar merekatkan keluarga."Udah jangan marah-marah teru, Yah. Inget umur ah." Sarinila menuntun Hertawan aga
Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya. "Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba. "Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata. "Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana. "Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya. "Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua." Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas. "Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah. "Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah. "Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya."Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.***Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan."Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas."Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas."Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan."Iya. Kamu sudah pesan konf
'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.***Seperti biasa Wijas menunggu Lily di warung Ceu Mala. Wijas menyambut Lily dengan senyuman paling indah, Lily mendekat dengan jarak yang hanya beberapa senti saja. "Wijas maafkan aku kemarin." Lily berucap pelan kemudian menundukkan kepalanya"Nggak, papa. Yuk kita berangkat." Lily dan Wijas berangkat ke sekolah.Setiap hari menjadi rutinitas baru bagi Lily dan juga Wijas, Wijas menjemput Lily, pulang sekolah mengantarkan Lily. Pada saat jam istirahat mereka menghabiskan bersama entah itu makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau ngobrol santai di bawah pohon rindang belakang sekolah. Bagi Lily dan Wijas sekolah merupakan tempat mereka bertemu, karena setiap libur Lily sangat sudah diajak main ataupun liburan. Wijas tidak masalah dengan hal itu, bagi Wijas bertemu setiap hari di sekolah sudah sangat cukup.***Enam bulan mereka berpacaran, 24 maret merupakan har
Pagi yang begitu cerah, matahari bersinar tanpa terlambat sedetikpun, Lily membuka jendela ia melihat hamparan persawahan indah nan hijau, ia sesekali menghembuskan napas di udara sangat sejuk sekali. Seperti biasa setiap bangun tidur Lily membereskan tempat tidurnya, kemudian menyapu seisi rumah, mengepel, lalu mencuci piring. Hari ini Lily begitu bersemangat, dilakukan semua pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Semua sudah selesai, Lily mencuci tangannya. "Lily ayo sarapan?" Hertawan memanggil Lily. Lily pergi ke tempat meja makan, semua sudah berkumpul di sana. Dalam keluarga Lily setiap makan harus bersama-sama, selama makan sangat jarang ada obrolan, mereka hanya fokus pada makanan. Selesai makan mereka akan mencuci piringnya masing-masing. Usai makan Lily cepat-cepat ke kamar, ia memilih baju yang akan ia kenakan, beberapa baju ia coba di depan cermin, dirasa tidak ada yang pas, ia terus berlenggok, 'Aduh pakai baju apa nih?' Lily frustasi dan ia membanting tubuhnya ke kasur.
[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.[Hallo, Ly.]Mendengar panggi
Lilyana sudah beranjak dewasa ketika masa SMA tiba, Lilyana merasakan yang namanya jatuh cinta. Wijas merupakah laki-laki berkulit sawo matang, berhidung mancung dan berkaca mata. Ia sering menanyakan tentang Lilyana kepada Adawiyah—temannya."Lily, itu loh Wijas nanyain kamu terus," celetuk Adawiyah ketika sedang berjalan bersama Lily menuju rumah. Lilyana hanya menundukkan kepalanya. "Ngapain nanyain aku?" tanya Lily."Kayanya dia naksir kamu deh," rayu Adawiyah. "Itu loh orangnya yang pakai motor beat biru." Adawiyah mengarahkan kepala Lily ke arah Wijas yang sedang menyetir motonya, dan melewati mereka sambil tersenyum."Tuh kan senyum." "Ya kan biar kelihatan sopan aja," celetuk Lily."Eh mana ada senyumnya sampe manis gitu." Lilyana hanya bisa terdiam. Lilyana merupakan orang yang serba tidak enakan, meskipun ia beberapa kali di pandang sebelah mata, tetapi Adawiyah selalu menemaninya, ia teman dekat Lily dari awal masuk SMA. Pulang pergi selalu bersama jalan kaki, bersenda g
Seorang Lily yang cantik, rupawan, idola di kampusnya, bahkan dosennya menyukainya. Tak sangka ia memiliki masa kecil yang tidak tumbuh dewasa bersamanya, mengurung dan tertanam dalam ingatannya, seperti tidak menginginkan pergi dari diri Lily. Kejadian yang membuat Lily traumatik yaitu pelecehan bertubi-tubi hadir menimpa dirinya. Waktu umurnya delapan tahun suatu hari Lily diajak ketiga temannya, satu laki-laki dan dua orang perempuan, Lily diajak berenang di kali. Setelah berenang, salah satu temannya mengajak Lily berbaring di atas batu tanpa busana apapun dan menyuruh laki-laki itu menimpa Lily. "Lily coba kamu baring di atas batu itu." Dengan polosnya Lily menuruti permintaan temannya, "Ahmad, kamu tengkurap di atas badan Lily."Entah apa yang membuat teman-temannya memiliki gambaran seperti itu. Seorang Lily yang tidak diberikan sex education menjadi buta bahwa hal itu adalah salah. Namun, sebelum itu terjadi, terdengar orang lewat berteriak kepada Lily."Hey, kalian lagi ng
Masa kecilmu merupakan cerminan didikan yang akan kamu tanam untuk anak-anakmu, itulah yang cocok untuk keluarga Hertawan.Lilyana del Putri, nama yang diberikan orang tuanya—Hertawan dan Sarinila orang tuanya, penuh arti bahwa gadis kecilnya akan tumbuh bak bunga, menjadi gadis periang seperti anak putri raja. Lily merupakan anak pertama dan memiliki dua adik—laki-laki dan perempuan.Lilyana gadis yang dipanggil Lily itu ternyata penuh dengan rahasia. Bertahun-tahun ia simpan rapat rahasia masa kecilnya sampai ia bertemu dengan dosen akhirnya mereka saling mencintai yang pernah menikahinya. Kini dia sudah di talak, menjadi gadis janda, meski hanya segelintir orang tahu bahwa ia pernah menikah. Lilyana adalah gadis yang penuh teka-teki hidupnya. Orang yang mengenalnya tidak sepenuhnya tahu, bahwa ada masa lalu yang tidak bisa lepas dari cengkraman memorinya.****Lima belas tahun yang lalu, saat Lily berusia delapan tahun—bersekolah kelas dua SD. Lily dididik oleh ayahnya dengan begi