Masa kecilmu merupakan cerminan didikan yang akan kamu tanam untuk anak-anakmu, itulah yang cocok untuk keluarga Hertawan.
Lilyana del Putri, nama yang diberikan orang tuanya—Hertawan dan Sarinila orang tuanya, penuh arti bahwa gadis kecilnya akan tumbuh bak bunga, menjadi gadis periang seperti anak putri raja. Lily merupakan anak pertama dan memiliki dua adik—laki-laki dan perempuan.
Lilyana gadis yang dipanggil Lily itu ternyata penuh dengan rahasia. Bertahun-tahun ia simpan rapat rahasia masa kecilnya sampai ia bertemu dengan dosen akhirnya mereka saling mencintai yang pernah menikahinya. Kini dia sudah di talak, menjadi gadis janda, meski hanya segelintir orang tahu bahwa ia pernah menikah.
Lilyana adalah gadis yang penuh teka-teki hidupnya. Orang yang mengenalnya tidak sepenuhnya tahu, bahwa ada masa lalu yang tidak bisa lepas dari cengkraman memorinya.
****
Lima belas tahun yang lalu, saat Lily berusia delapan tahun—bersekolah kelas dua SD. Lily dididik oleh ayahnya dengan begitu keras dan tegas. Masih ingat bayang masa kecil penuh kekerasan, saat Lily membuat salah atau tidak bisa berhenti menangis, gak segan ayahnya memukulnya dengan sapu lidi atau memasukkannya ke dalam bak mandi.
Lily kecil sangat aktif, seperti masa kecil pada umumnya sering bermain dengan teman-temannya. Namun, karena sering berkelakuan seperti laki-laki, sering memanjat pohon oleh sebab itu ayahnya sering memarahinya, tetapi hal itu tidak membuatnya kapok.
"Lily turun dari pohon." Ayahnya menunjuk sambil bersiap memukul Lily dengan sapu lidi.
Ayahnya sangat keras terhadap Lily, yang ayahnya pikirkan hanyalah soal Lilyana bisa patuh padanya, padahal ada hal lain yang menjadi bumerang untuk Lilyana bahkan untuk orang tuanya. Ketidakamanan bagi Lily, bahwa tidak ada tempat baginya berteduh dan meminta pertolongan.
Pernah suatu malam Lilyana sedang asyik menonton televisi bersama adiknya, tiba-tiba pertengkaran dimulai dengan berebut remote. Ayahnya murka memerahi mereka dan memukulnya, "Waktunya tidur, ini sudah malam. Jangan ribut-ribut, ayah matiin aja televisinya."
Ibunya sosok yang acuh tidak bisa melindungi anak-anaknya, atau sekadar menghentikan perbuatan ayahnya, yang ibunya bisa hanya berdiam diri menyaksikan anak-anaknya menangis.
Hal itu membuat Lily tumbuh menjadi gadis pendiam, bersembunyi di balik ketakutan terhadap ayahnya.
Bagi ayahnya apa yang ia lakukan adalah benar, keras dan tegas dalam mendidik adalah hal yang perlu terlebih ia pernah diperlakukan seperti itu oleh ayah dan ibunya dan kenyataannya mampu mensukseskan dirinya.
Padahal mendidik dari generasi ke generasi perlu upgrade, tidak harus menyamakan dengan dulu. Padahal dimulai dengan kebersamaan, membuat rumah terasa indah, penuh dengan kebahagiaan tidak perlu dengan kekerasan dan amarah.
Anak-anaknya tidak ada yang berani terhadap ayahnya, bagi mereka ayahnya sosok monster. Bahkan ketika mereka memiliki kesulitan hanya akan menyulitkan dirinya sendiri karena tidak ada kepercayaan pada dirinya.
"Dasar anak bodoh, masa baca tulisan ini nggak bisa?"
"Baca yang benar, lihat tulisannya."
"Dasar anak yang tidak tahu diuntung, masa gini aja nggak becus."
Kata-kata itu yang terus membayangi pikiran Lily dan adiknya.
Ketika ia tidak mampu belajar apa yang ayahnya ajarkan, siap-siap menerima kata-kata yang tidak enak didengar, menoyorkan kepala, atau memukulnya dengan sapu lidi.
Pernah suatu waktu Lily belajar dengan giat pada saat kelas 4 SD, dan akhirnya Lily mendapatkan rangking ketiga di kelasnya. Namun, ayahnya biasa saja tidak ada kata bangga kepada Lily. Padahal ketika Lily salah ia dimarahi habis-habisan, tetapi ketika memiliki hal yang membanggakan hanya dianggap hanya hal biasa.
"Tuhan kenapa aku terlahir kedunia? apa salahku? Kenapa aku terlahir di keluarga yang tidak mau menerimaku? apa ayah dan ibu menyayangiku?" pertanyaan itu yang sering Lily tanyakan kepada Tuhannya.
Bahkan sebetulnya keluarga Lily penuh dengan rahasia, ayahnya yang dulu lahir dari keluarga keras dan tegas pula mengekang seluruh anggota yang berada di rumah. Ibunya yang acuh tidak memiliki rasa keibuan. Lily yang memiliki inner child, adik laki-lakinya tidak dewasa sangat cengeng bahkan dia sangat membenci ayahnya, kecuali adik perempuannya yang masih kecil memiliki berumur 4 tahun, ia periang.
Keluarga yang penuh drama, mereka dewasa dipenuhi dengan kecacatan mental.
"Kenapa kamu bolos sekolah?" tanya Hertawa kepada Heri—adiknya Lily.
"Males sama gurunya," jawab Heri enteng.
"Kamu udah sering bolos sekolah, sampe kepala sekolah bilang ke ayah."
"Yaudah, ayah aja yang sekolah." Heri meninggikan nada ucapannya dengan wajah menantang orang yang sedang iahadapi tersebut tanpa mengingat bahwa ia adalah ayahnya.
"Heri, kamu ngelawan ayah?" Heriawan tidak kalah tinggi nada ucapannya.
"Ya Heri nggak mau di sekolah itu, maunya pindah aja."
"Pindah-pindah enak aja kamu ngomong."
"Ayah mau pukul Heri? Silakan yah, udah sering ayah siksa Heri, siksa Kak Lily sama dek Nery. Itu yang buat ayah puas silakan. Padahal ayah nggak nanya kenapa Heri jadi kaya gini!"
Praak
Pintu kamar dibanting Heri, sementara Hertawan hanya bisa menahan amarah melihat sikap Heri kepadanya.
***
Dalam pikiran Hertawan apa yang dia lakukan sudah benar, tetapi dalam hatinya ia menolak kebenaran. 'Kenapa anak-anakku tidak dekat denganku, tidak pernah bercerita soal temannya atau hal yang menarik untuk sekadar cerita kepadaku,' batinnya. Egonya begitu tinggi, sangat sulit merubah yang dulu sering ia lakukan kepada anak-anaknya. Jika ia berubah sangat malu pada dirinya sendiri, ia hanya membiarkan kehidupan keluarga mengalir apa adanya tanpa memikirkan dampak yang sudah ia perbuat.
Hertawan—ayah dari Lilyana del Putri, hidup dengan penuh dendam bahwa dulu saat kecil hidupnya serba diatur oleh ayah dan ibunya. Dari memilih pendidikan hingga masalah perjodohan. Sarinila—istrinya adalah gadis yang dijodohkan orang tuanya, tidak ada perasaan awalnya. Namun, lambat laun mereka saling mencintai.
"Kamu, harus nurut sama orang tua. Kamu harus masuk ke SMA favorit di Kota Bandung," tegas ayahnya kepada Hertawan.
Hertawan hanya bisa tertunduk lesu, sudah berulang kali jalan hidupnya harus ditentukan ayahnya, seperti hidupnya pun berada dalam genggaman orang tuanya.
'Ah … aku harus belajar giat, kalo nggak hidupku terancam.' Hertawan membatin.
Sementara Sarinila mempunyai masa kecil serba tidak punya, bahkan kasih sayang pun tak didapatkan dari keluarganya, baginya sebuah keluarga itu cukup diam tidak banyak berbicara karena takut menjadi lebih runyam.
Sarinila hidup bersama enam saudara, Sarinila merupakan anak ketiga. Kakak pertamanya seorang laki-laki dan kakak kedua perempuan. Kakak laki-lakinya begitu galak, hal sepele pun akan menjadi ancaman baginya, padahal dia juga sangat nakal di masanya. Sarinila sering mengadu kepada ayahnya, dan begitulah kakak laki-lakinya sangat tidak suka dengan Sarinila. Di masa kecilnya tidak ada kerukunan meskipun banyaknya saudara, masing-masing, mengerjakan rumah yang sudah dijadwalkan ibunya. Hal inilah membuat Sarinila kurang peduli terhadap anak-anaknya.
Sarinila merupakan ibu yang banyak diam, hanya bisa mengikuti perintah Hertawan—suaminya, karena jika Sarinila membela anak-anaknya, ia sangat malah terhadap percekcokan. Namun, semakin anaknya besar ia lebih acuh lagi, ia lebih mendiamkan anak-anaknya. Banyak kekurangan yang Sarinila punya, jarang memasak, sering keluar rumah tanpa memberitahu dahulu.
"Ibu kamu mana Ly?" tanya Hertawan.
"Ng-ngak tahu, Yah. Ibu enggak bilang ke mana-mana." Lily menjawab sambil terbata-bata.
"Ibu kamu kebiasaan kalau nggak pernah bilang. Padahal ini sudah malam, cepet kamu salat terus tidur. Ibumu harus diberi pelajaran."
"A-yah, Nery mau susu." Nery mengucek mata yang sudah tak tahan kantun.
"Kakak buatkan ya. Tunggu dulu." Lily pergi ke dapur membuatkan Nery susu. Lima menit kemudian Lily memberikan susu kepada Nery dan langsung ia raih dot susunya.
Lampu rumah dimatikan oleh Hertawan, rumah serasa tak ada isinya, sengaja, supaya Sarinila tidak pergi tanpa meminta izin.
"Assalamualaikum, Lily, Heri, Nery, ibu pulang. Kok mati lampunya?" Sarinila mengetuk pintu beberapa kali.
Sementara di dalam rumah, Hertawan menyuruh Lily dan Heri tidak menjawab, menyuruh untuk diam. Nery sudah tertidur pulas setelah ia diberi minum susu oleh Lily.
Sudah sekitar setengah jam Sarinila memanggil dan menunggu di luar rumah, tetapi tak kunjung ada jawaban. Akhirnya Sarinila memutuskan untuk pergi ke rumah ibunya, kebetulan rumahnya tidak jauh dari kediamannya.
Hertawan menyadari bahwa Sarinila sudah pergi, Hertawa menyuruh Lily dan Lee untuk mencari Sarinila—ibunya.
'Aneh sekali ayah, tadi katanya biarkan ibu, jangan peduli sama ibu. Kenapa sekarang malah aku disuruh cari ibu?' Lily dalam batinnya.
Lily dan Lee pergi ke rumah neneknya, karena memang hanya rumah neneknya yang dekat. Ternyata benar, Sarinila ada di sana.
"Lily, Heri. Tadi ibu panggil-panggil," ucap Sarinila.
"Bu, ayo pulang, udah malam. Ibu ditungguin ayah." Lily menarik lengan Sarinila.
Hertawan, menunggu di teras rumah. Sesekali mondar-mandir memandang ke arah jalan. Menunggu kedatangan Sarinila, Lily dan Heri. Mereka Pun muncul, Hertawan begitu lega, tetapi hatinya masih diselimuti kemarahan dengan apa yang dilakukan Sarinila. Hertawan merasa ia tidak di hargai sebagai kepala rumah tangga.
***
Bersambung
Seorang Lily yang cantik, rupawan, idola di kampusnya, bahkan dosennya menyukainya. Tak sangka ia memiliki masa kecil yang tidak tumbuh dewasa bersamanya, mengurung dan tertanam dalam ingatannya, seperti tidak menginginkan pergi dari diri Lily. Kejadian yang membuat Lily traumatik yaitu pelecehan bertubi-tubi hadir menimpa dirinya. Waktu umurnya delapan tahun suatu hari Lily diajak ketiga temannya, satu laki-laki dan dua orang perempuan, Lily diajak berenang di kali. Setelah berenang, salah satu temannya mengajak Lily berbaring di atas batu tanpa busana apapun dan menyuruh laki-laki itu menimpa Lily. "Lily coba kamu baring di atas batu itu." Dengan polosnya Lily menuruti permintaan temannya, "Ahmad, kamu tengkurap di atas badan Lily."Entah apa yang membuat teman-temannya memiliki gambaran seperti itu. Seorang Lily yang tidak diberikan sex education menjadi buta bahwa hal itu adalah salah. Namun, sebelum itu terjadi, terdengar orang lewat berteriak kepada Lily."Hey, kalian lagi ng
Lilyana sudah beranjak dewasa ketika masa SMA tiba, Lilyana merasakan yang namanya jatuh cinta. Wijas merupakah laki-laki berkulit sawo matang, berhidung mancung dan berkaca mata. Ia sering menanyakan tentang Lilyana kepada Adawiyah—temannya."Lily, itu loh Wijas nanyain kamu terus," celetuk Adawiyah ketika sedang berjalan bersama Lily menuju rumah. Lilyana hanya menundukkan kepalanya. "Ngapain nanyain aku?" tanya Lily."Kayanya dia naksir kamu deh," rayu Adawiyah. "Itu loh orangnya yang pakai motor beat biru." Adawiyah mengarahkan kepala Lily ke arah Wijas yang sedang menyetir motonya, dan melewati mereka sambil tersenyum."Tuh kan senyum." "Ya kan biar kelihatan sopan aja," celetuk Lily."Eh mana ada senyumnya sampe manis gitu." Lilyana hanya bisa terdiam. Lilyana merupakan orang yang serba tidak enakan, meskipun ia beberapa kali di pandang sebelah mata, tetapi Adawiyah selalu menemaninya, ia teman dekat Lily dari awal masuk SMA. Pulang pergi selalu bersama jalan kaki, bersenda g
[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.[Hallo, Ly.]Mendengar panggi
Pagi yang begitu cerah, matahari bersinar tanpa terlambat sedetikpun, Lily membuka jendela ia melihat hamparan persawahan indah nan hijau, ia sesekali menghembuskan napas di udara sangat sejuk sekali. Seperti biasa setiap bangun tidur Lily membereskan tempat tidurnya, kemudian menyapu seisi rumah, mengepel, lalu mencuci piring. Hari ini Lily begitu bersemangat, dilakukan semua pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Semua sudah selesai, Lily mencuci tangannya. "Lily ayo sarapan?" Hertawan memanggil Lily. Lily pergi ke tempat meja makan, semua sudah berkumpul di sana. Dalam keluarga Lily setiap makan harus bersama-sama, selama makan sangat jarang ada obrolan, mereka hanya fokus pada makanan. Selesai makan mereka akan mencuci piringnya masing-masing. Usai makan Lily cepat-cepat ke kamar, ia memilih baju yang akan ia kenakan, beberapa baju ia coba di depan cermin, dirasa tidak ada yang pas, ia terus berlenggok, 'Aduh pakai baju apa nih?' Lily frustasi dan ia membanting tubuhnya ke kasur.
'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.***Seperti biasa Wijas menunggu Lily di warung Ceu Mala. Wijas menyambut Lily dengan senyuman paling indah, Lily mendekat dengan jarak yang hanya beberapa senti saja. "Wijas maafkan aku kemarin." Lily berucap pelan kemudian menundukkan kepalanya"Nggak, papa. Yuk kita berangkat." Lily dan Wijas berangkat ke sekolah.Setiap hari menjadi rutinitas baru bagi Lily dan juga Wijas, Wijas menjemput Lily, pulang sekolah mengantarkan Lily. Pada saat jam istirahat mereka menghabiskan bersama entah itu makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau ngobrol santai di bawah pohon rindang belakang sekolah. Bagi Lily dan Wijas sekolah merupakan tempat mereka bertemu, karena setiap libur Lily sangat sudah diajak main ataupun liburan. Wijas tidak masalah dengan hal itu, bagi Wijas bertemu setiap hari di sekolah sudah sangat cukup.***Enam bulan mereka berpacaran, 24 maret merupakan har
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya."Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.***Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan."Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas."Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas."Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan."Iya. Kamu sudah pesan konf
Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya. "Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba. "Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata. "Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana. "Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya. "Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua." Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas. "Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah. "Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah. "Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa
Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk. 'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.Sementara, Sarinila yang mendengar kegaduhan di ruang tamu."Ada apa?" tanya Sarinila kepada Hertawan."Itu anak makin ke sini jadi sering ngejawab kalau dibilangin!" Hertawan menghembuskan napasnya kasar."Lilyanan sudah pulang?" tanya Sarinila."Iya, siapa lagi yang pulang?" lanjutnya kesal, ia menjulingkan matanya sinis ke arah Sarinila.Akhir-akhir ini Sarinila sudah mulai peduli dengan keluarganya terhadap anak-anaknya, kali ini dia sedang mencoba agar merekatkan keluarga."Udah jangan marah-marah teru, Yah. Inget umur ah." Sarinila menuntun Hertawan aga
Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk. 'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.Sementara, Sarinila yang mendengar kegaduhan di ruang tamu."Ada apa?" tanya Sarinila kepada Hertawan."Itu anak makin ke sini jadi sering ngejawab kalau dibilangin!" Hertawan menghembuskan napasnya kasar."Lilyanan sudah pulang?" tanya Sarinila."Iya, siapa lagi yang pulang?" lanjutnya kesal, ia menjulingkan matanya sinis ke arah Sarinila.Akhir-akhir ini Sarinila sudah mulai peduli dengan keluarganya terhadap anak-anaknya, kali ini dia sedang mencoba agar merekatkan keluarga."Udah jangan marah-marah teru, Yah. Inget umur ah." Sarinila menuntun Hertawan aga
Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya. "Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba. "Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata. "Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana. "Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya. "Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua." Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas. "Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah. "Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah. "Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya."Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.***Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan."Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas."Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas."Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan."Iya. Kamu sudah pesan konf
'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.***Seperti biasa Wijas menunggu Lily di warung Ceu Mala. Wijas menyambut Lily dengan senyuman paling indah, Lily mendekat dengan jarak yang hanya beberapa senti saja. "Wijas maafkan aku kemarin." Lily berucap pelan kemudian menundukkan kepalanya"Nggak, papa. Yuk kita berangkat." Lily dan Wijas berangkat ke sekolah.Setiap hari menjadi rutinitas baru bagi Lily dan juga Wijas, Wijas menjemput Lily, pulang sekolah mengantarkan Lily. Pada saat jam istirahat mereka menghabiskan bersama entah itu makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau ngobrol santai di bawah pohon rindang belakang sekolah. Bagi Lily dan Wijas sekolah merupakan tempat mereka bertemu, karena setiap libur Lily sangat sudah diajak main ataupun liburan. Wijas tidak masalah dengan hal itu, bagi Wijas bertemu setiap hari di sekolah sudah sangat cukup.***Enam bulan mereka berpacaran, 24 maret merupakan har
Pagi yang begitu cerah, matahari bersinar tanpa terlambat sedetikpun, Lily membuka jendela ia melihat hamparan persawahan indah nan hijau, ia sesekali menghembuskan napas di udara sangat sejuk sekali. Seperti biasa setiap bangun tidur Lily membereskan tempat tidurnya, kemudian menyapu seisi rumah, mengepel, lalu mencuci piring. Hari ini Lily begitu bersemangat, dilakukan semua pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Semua sudah selesai, Lily mencuci tangannya. "Lily ayo sarapan?" Hertawan memanggil Lily. Lily pergi ke tempat meja makan, semua sudah berkumpul di sana. Dalam keluarga Lily setiap makan harus bersama-sama, selama makan sangat jarang ada obrolan, mereka hanya fokus pada makanan. Selesai makan mereka akan mencuci piringnya masing-masing. Usai makan Lily cepat-cepat ke kamar, ia memilih baju yang akan ia kenakan, beberapa baju ia coba di depan cermin, dirasa tidak ada yang pas, ia terus berlenggok, 'Aduh pakai baju apa nih?' Lily frustasi dan ia membanting tubuhnya ke kasur.
[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.[Hallo, Ly.]Mendengar panggi
Lilyana sudah beranjak dewasa ketika masa SMA tiba, Lilyana merasakan yang namanya jatuh cinta. Wijas merupakah laki-laki berkulit sawo matang, berhidung mancung dan berkaca mata. Ia sering menanyakan tentang Lilyana kepada Adawiyah—temannya."Lily, itu loh Wijas nanyain kamu terus," celetuk Adawiyah ketika sedang berjalan bersama Lily menuju rumah. Lilyana hanya menundukkan kepalanya. "Ngapain nanyain aku?" tanya Lily."Kayanya dia naksir kamu deh," rayu Adawiyah. "Itu loh orangnya yang pakai motor beat biru." Adawiyah mengarahkan kepala Lily ke arah Wijas yang sedang menyetir motonya, dan melewati mereka sambil tersenyum."Tuh kan senyum." "Ya kan biar kelihatan sopan aja," celetuk Lily."Eh mana ada senyumnya sampe manis gitu." Lilyana hanya bisa terdiam. Lilyana merupakan orang yang serba tidak enakan, meskipun ia beberapa kali di pandang sebelah mata, tetapi Adawiyah selalu menemaninya, ia teman dekat Lily dari awal masuk SMA. Pulang pergi selalu bersama jalan kaki, bersenda g
Seorang Lily yang cantik, rupawan, idola di kampusnya, bahkan dosennya menyukainya. Tak sangka ia memiliki masa kecil yang tidak tumbuh dewasa bersamanya, mengurung dan tertanam dalam ingatannya, seperti tidak menginginkan pergi dari diri Lily. Kejadian yang membuat Lily traumatik yaitu pelecehan bertubi-tubi hadir menimpa dirinya. Waktu umurnya delapan tahun suatu hari Lily diajak ketiga temannya, satu laki-laki dan dua orang perempuan, Lily diajak berenang di kali. Setelah berenang, salah satu temannya mengajak Lily berbaring di atas batu tanpa busana apapun dan menyuruh laki-laki itu menimpa Lily. "Lily coba kamu baring di atas batu itu." Dengan polosnya Lily menuruti permintaan temannya, "Ahmad, kamu tengkurap di atas badan Lily."Entah apa yang membuat teman-temannya memiliki gambaran seperti itu. Seorang Lily yang tidak diberikan sex education menjadi buta bahwa hal itu adalah salah. Namun, sebelum itu terjadi, terdengar orang lewat berteriak kepada Lily."Hey, kalian lagi ng
Masa kecilmu merupakan cerminan didikan yang akan kamu tanam untuk anak-anakmu, itulah yang cocok untuk keluarga Hertawan.Lilyana del Putri, nama yang diberikan orang tuanya—Hertawan dan Sarinila orang tuanya, penuh arti bahwa gadis kecilnya akan tumbuh bak bunga, menjadi gadis periang seperti anak putri raja. Lily merupakan anak pertama dan memiliki dua adik—laki-laki dan perempuan.Lilyana gadis yang dipanggil Lily itu ternyata penuh dengan rahasia. Bertahun-tahun ia simpan rapat rahasia masa kecilnya sampai ia bertemu dengan dosen akhirnya mereka saling mencintai yang pernah menikahinya. Kini dia sudah di talak, menjadi gadis janda, meski hanya segelintir orang tahu bahwa ia pernah menikah. Lilyana adalah gadis yang penuh teka-teki hidupnya. Orang yang mengenalnya tidak sepenuhnya tahu, bahwa ada masa lalu yang tidak bisa lepas dari cengkraman memorinya.****Lima belas tahun yang lalu, saat Lily berusia delapan tahun—bersekolah kelas dua SD. Lily dididik oleh ayahnya dengan begi