[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]
Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.
[Hallo, Ly.]
Mendengar panggilan Wijas dari sebrang teleponnya, Lilyana justru semakin tidak fokus.
[Hallo, Lilyana. Kamu denger aku.]
[Iya, aku denger,] jawab Lilyana.
[Gimana jawabannya?] tanya Wijas yang sudah dari tadi menunggu jawaban Lilyana.
[Jawaban apa?] Lilya malah balik bertanya.
[Lilyana, aku cinta sama kamu, aku udah suka sama kamu sejak lama, aku tertarik sama kamu. Maukah kamu jadi pacarku?] papar Wijas.
Pipi Lilyana memerah, ia tersenyum malu dan jantungnya berdegub kencang dua kali lebih cepat dari biasanya.
[Iya, Wijas,] jawab Lilyana singkat.
[Iya, kamu nerima aku jadi pacarmu?] Wijas bertanya memastikan dengan ucapan Lilyana.
[Iya … iya.] Lilyana gelagapan menjawab pertanyaan Wijas.
[Iya bener nerima?] Wijas semakin penasaran dengan jawaban Lilyana.
[Iya, Wijas. Aku terima.] Lilyana begitu malu, tak sadar teleponnya ia matikan lalu melemparnya ke atas kasur. Untung saja telepon genggamnya tidak jatuh jadi masih aman.
Malam itu Lilyana masih tidak percaya bahwa kini dia berpacaran, karena Lilyana belum pernah berpacaran, baru kali ini. Lilyana merasakan perasaan yang sungguh aneh, Lilyana membayangkan Wijas setiap saat. Lilyana duduk di depan kaca jendela, melihat langit cerah bertabur bintang, bulan merona berwarna kuning keemasan. Sungguh manis, Wijas berkacamata ketika membuka kacamatanya terlihat begitu sipit, berhidung mancung, berkulit sawo matang, tingginya tidak jauh dari Lilyana. Lilyana berjalan menuju ranjang kasurnya, membaringkan diri lalu menyelimutinya, mencoba menutup mata agar ia bisa tidur, tetapi malam itu Lilyana sungguh tidak sekalipun sanggup memejamkan matanya. 'Aduh, Wijas. Kenapa kamu menghantuiku? bagaimana dengan esok di sekolah. Mati aku!' Lilyana meringkuk lalu mematikan lampu diganti dengan lampu tidur, lalu Lilyana tertidur dengan perasaan gusar.
***
Seperti biasa Wijas menunggu di warung Ceu Mala untuk menjemput Lilyana, bukan tidak berani datang ke rumah, tetapi Lilyana tidak mengizinkan Wijas tahu rumahnya. Wijas tidak menanyakan kenapa dia tidak boleh mengetahui rumah Lilyana, karena belum saatnya Wijas mengetahui lebih jauh soal Lilyana dan keluarga. Lilyana datang dengan gugup kali ini, karena yang menjemputnya bukan lagi teman melainkan pacar.
"Ayo, berangkat." Wijas tersenyum dan bersiap motornya, kemudian Lilyana mengangguk menyetujuinya.
Selama perjalanan Wijas melirik di kaca spion melihat gadis yang kini sudah menjadi pacarnya, wajah Lilyana memerah mengetahui Wijas memperhatikannya. Wijas menarik tangan Lilyana agar berpegangan pada pinggangnya, Lilyana kaget tetapi ia merelakan tangannya agar menempel pada perut Wijas. Dielus tangannya Lilyana, Wijas tersenyum sambil melihat Lilyana di kaca spion. Sampailah mereka di sekolah, Adawiyah melihat Lilyana yang turun dari motor, Lilyana menarik tangan Adawiyah sebelum dia berkomentar soalnya dengan Wijas.
"Aku masuk duluan yah sama Adawiyah." Lilyana berlalu. Sementara Wijas tersenyum dan mengangguk.
Adawiyah sudah sangat ingin berbicara. Namun, Lilyana menutup mulutnya, "Eh, Ly. Kita mau ke mana?"
"Sutt …!"
Lilyana menarik lengan Adawiyah menuju toilet sekolah, setelah sampai baru Lilyana melepaskan tangannya.
"Kamu harus jujur sama aku, Ly. Kamu pasti …." Belum Adawiyah melanjutkan ucapannya Lilyana sudah menyela.
"Aku udah jadian sama Wijas," tegas Lilyana.
"Serius!" Adawiyah berteriak dan menutup mulutnya.
"Jangan kenceng-kenceng!"
"Ma .. af. Dari kapan?" Suara Adawiyah pelan.
"Kemarin sore, dia telpon aku. Aku bingung apa ini keputusan yang benar?" Lilyana lemas ia berbalik ke cermin toilet.
"Nggak papa, Ly. Kamu bisa mencoba dahulu. Aku yakin Wijas orangnya baik kok. Aku dukung kamu menjadi Wily." Adawiyah penuh semangat.
"Wily?" Lilyana membulatkan matanya dan memperhatikan wajah temannya itu dengan lekat, Lilyana bersiap jawaban apa yang akan Adawiyah ucapkan.
"Wijas dan Lily, bagus kan." Adawiyah terkekeh.
"Kirain apaan si." Lilyana kembali cemas.
"Dah nggak usah khawatir gitu. Yu, kota ke kelas. Nanti pacar kamu khawatir kok ceweknya nggak balik-balik." Adawiyah mengusap pundak Lilyana dan merangkulnya keluar toilet dan berjalan ke arah kelasnya. Mereka duduk bersamaan dan menyimpan tas di atas meja, Lilyana tertunduk. Selesai kelas Lilyana tak ingin jauh-jauh dari Adawiyah entah kenapa saat melihat Wijas jantungnya selalu berdebar.
"Ly, kamu pulang sama Wijas kan?" tanya Adawiyah.
"Nggak," jawab Lilyana singkat.
"Wijas, kamu gimana sih ini ceweknya anterin pulang dong!" terika Adawiyah mengagetkan Wijas yang mendekati mereka.
"Lah, ini kan mau aku anterin," celoteh Wijas.
"Tuh sana pulang. Hati-hati yah, Jas. Jangan ngebut," perintah Adawiyah.
"Huum …."
Wijas menyalakan motornya, disusul Lilyana menaiki motor.
"Pegangan dong, takut jatuh," pinta Wijas.
Lilyana menuruti permintaan laki-laki yang kini menjadi pacarnya itu.
"Ly, besok hari minggu."
"Iya … libur sekolah-kan." Lilyana menjawab polos.
"Kita jalan yu."
Lilyana tidak yakin apakah ayahnya akan mengizinkan dia keluar rumah.
"Aku nggak janji ya bisa."
"Kalo kamu bisa kirim pesan aja ya."
"Iya."
Sampai di warung Ceu Mala Lilyana menyuruh Wijas berhenti.
"Nggak sampai rumah?" tanya Wijas.
"Sampai sini aja ya." Lilyana turun, "Nggak papa kan."
"Iya nggak papa, mungkin kamu belum siap."
"Makasih ya, dah …." Lilyana berlalu dan melambaikan tangannya. Wijas berlalu meninggalkan Lilyana.
Sesampainya di rumah, Lilyana mengganti baju seragam dengan baju kaos pendek dan celana panjang. Lilyana turun dari kamarnya yang berada di lantai dua, dilihat ayahnya yang sedang makan.
"Ly, makan yu."
"Iya, Yah." Lilyana duduk berhadapan dengan ayahnya.
Sambil melirik ayahnya yang begitu lahap makan, Lily mencoba berbicara. "Ayah …."
"Hmm … apa, Ly?" Ayahnya menjawab tetapi pandangannya masih fokus dengan makanan yang ia santap.
"Kalo … Lily … besok main boleh?" tanya Lily dengan terbata-bata.
"Boleh, sama siapa? temen?"
"I … ya."
"Asal jangan lama, dzuhur sudah sampai di rumah," tegas ayahnya.
"Makasih yah, Ayah." Lily tersenyum, ternyata ayahnya mengizinkan ia pergi.
Selesai makan, Lily membereskan piring bekas makan yang sudah menumpuk di wastafel. Lalu, Lily pergi ke kamar untuk memberitahu Wijas. Lily mencari telepon genggamnya, ia lupa menyimpannya, di bawah bantal ia menemukan telepon genggam.
[Wijas, aku bisa pergi besok.]
[Aku jemput di rumah?]
[Jangan, jemput di tempat biasa aja.]
Lily tidak berani menyuruh Wijas menjemput di rumahnya, apa jadinya jika Hertawan—ayahnya mengetahui jika dia berkencan dengan laki-laki atau tahu bahwa dia telah memiliki kekasih, saat ini Lily sangat berhati-hati dengan gerak-geriknya agar tidak dicurigai.
Malam yang begitu tenang, bintang bertabur, bulan bersinar, tetapi gusar dalam hati Lily semakin tidak terjabarkan, Lily senang bisa berkencan dengan Wijas. Namun, ia takut dengan Hertawan—ayahnya, ia merasa apa yang ia lakukan berpacaran seperti ini adalah salah.
***
Bersambung
Pagi yang begitu cerah, matahari bersinar tanpa terlambat sedetikpun, Lily membuka jendela ia melihat hamparan persawahan indah nan hijau, ia sesekali menghembuskan napas di udara sangat sejuk sekali. Seperti biasa setiap bangun tidur Lily membereskan tempat tidurnya, kemudian menyapu seisi rumah, mengepel, lalu mencuci piring. Hari ini Lily begitu bersemangat, dilakukan semua pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Semua sudah selesai, Lily mencuci tangannya. "Lily ayo sarapan?" Hertawan memanggil Lily. Lily pergi ke tempat meja makan, semua sudah berkumpul di sana. Dalam keluarga Lily setiap makan harus bersama-sama, selama makan sangat jarang ada obrolan, mereka hanya fokus pada makanan. Selesai makan mereka akan mencuci piringnya masing-masing. Usai makan Lily cepat-cepat ke kamar, ia memilih baju yang akan ia kenakan, beberapa baju ia coba di depan cermin, dirasa tidak ada yang pas, ia terus berlenggok, 'Aduh pakai baju apa nih?' Lily frustasi dan ia membanting tubuhnya ke kasur.
'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.***Seperti biasa Wijas menunggu Lily di warung Ceu Mala. Wijas menyambut Lily dengan senyuman paling indah, Lily mendekat dengan jarak yang hanya beberapa senti saja. "Wijas maafkan aku kemarin." Lily berucap pelan kemudian menundukkan kepalanya"Nggak, papa. Yuk kita berangkat." Lily dan Wijas berangkat ke sekolah.Setiap hari menjadi rutinitas baru bagi Lily dan juga Wijas, Wijas menjemput Lily, pulang sekolah mengantarkan Lily. Pada saat jam istirahat mereka menghabiskan bersama entah itu makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau ngobrol santai di bawah pohon rindang belakang sekolah. Bagi Lily dan Wijas sekolah merupakan tempat mereka bertemu, karena setiap libur Lily sangat sudah diajak main ataupun liburan. Wijas tidak masalah dengan hal itu, bagi Wijas bertemu setiap hari di sekolah sudah sangat cukup.***Enam bulan mereka berpacaran, 24 maret merupakan har
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya."Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.***Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan."Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas."Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas."Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan."Iya. Kamu sudah pesan konf
Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya. "Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba. "Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata. "Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana. "Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya. "Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua." Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas. "Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah. "Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah. "Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa
Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk. 'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.Sementara, Sarinila yang mendengar kegaduhan di ruang tamu."Ada apa?" tanya Sarinila kepada Hertawan."Itu anak makin ke sini jadi sering ngejawab kalau dibilangin!" Hertawan menghembuskan napasnya kasar."Lilyanan sudah pulang?" tanya Sarinila."Iya, siapa lagi yang pulang?" lanjutnya kesal, ia menjulingkan matanya sinis ke arah Sarinila.Akhir-akhir ini Sarinila sudah mulai peduli dengan keluarganya terhadap anak-anaknya, kali ini dia sedang mencoba agar merekatkan keluarga."Udah jangan marah-marah teru, Yah. Inget umur ah." Sarinila menuntun Hertawan aga
Malam itu hujan begitu deras mengguyur kota. Sementara di tengah sepinya jalan terlihat gadis menyegerakan langkahnya—tertunduk sambil menangis menyaingi rintiknya suara hujan. Sesekali gadis itu melirik ke belakang, ‘Masih belum ada ternyata’. Ucapan dalam batinnya terus terulang, ia mengharapkan kedatangan seseorang, menyusulnya dan mengatakan maaf. Namun, ternyata ia tidak kunjung datang. Jarak menuju tempat yang ia tuju sangat jauh, tetapi rasa sakit membuatnya ia tidak berpikir bahwa mustahil untuk melewatinya. Tidak ada kata lelah, ia hanya berpikir perasaan saat ini yang membuat lelah itu hanya biasa saja. Beberapa tanjakan sudah ia lewati, jalanan sepi ia anggap ah biasa aja, sampai ia melewati pemakaman pun ia berani, padahal jika ia keadaan sadar mana berani berjalan sendirian dalam gelapnya malam beserta rintiknya hujan.Hati yang sudah ia titipkan untuk bisa dijaga dengan setia malah dihancurkan, diremuk begitu saja, padahal ia sudah melewati cobaan yang suram, bentangan
Masa kecilmu merupakan cerminan didikan yang akan kamu tanam untuk anak-anakmu, itulah yang cocok untuk keluarga Hertawan.Lilyana del Putri, nama yang diberikan orang tuanya—Hertawan dan Sarinila orang tuanya, penuh arti bahwa gadis kecilnya akan tumbuh bak bunga, menjadi gadis periang seperti anak putri raja. Lily merupakan anak pertama dan memiliki dua adik—laki-laki dan perempuan.Lilyana gadis yang dipanggil Lily itu ternyata penuh dengan rahasia. Bertahun-tahun ia simpan rapat rahasia masa kecilnya sampai ia bertemu dengan dosen akhirnya mereka saling mencintai yang pernah menikahinya. Kini dia sudah di talak, menjadi gadis janda, meski hanya segelintir orang tahu bahwa ia pernah menikah. Lilyana adalah gadis yang penuh teka-teki hidupnya. Orang yang mengenalnya tidak sepenuhnya tahu, bahwa ada masa lalu yang tidak bisa lepas dari cengkraman memorinya.****Lima belas tahun yang lalu, saat Lily berusia delapan tahun—bersekolah kelas dua SD. Lily dididik oleh ayahnya dengan begi
Seorang Lily yang cantik, rupawan, idola di kampusnya, bahkan dosennya menyukainya. Tak sangka ia memiliki masa kecil yang tidak tumbuh dewasa bersamanya, mengurung dan tertanam dalam ingatannya, seperti tidak menginginkan pergi dari diri Lily. Kejadian yang membuat Lily traumatik yaitu pelecehan bertubi-tubi hadir menimpa dirinya. Waktu umurnya delapan tahun suatu hari Lily diajak ketiga temannya, satu laki-laki dan dua orang perempuan, Lily diajak berenang di kali. Setelah berenang, salah satu temannya mengajak Lily berbaring di atas batu tanpa busana apapun dan menyuruh laki-laki itu menimpa Lily. "Lily coba kamu baring di atas batu itu." Dengan polosnya Lily menuruti permintaan temannya, "Ahmad, kamu tengkurap di atas badan Lily."Entah apa yang membuat teman-temannya memiliki gambaran seperti itu. Seorang Lily yang tidak diberikan sex education menjadi buta bahwa hal itu adalah salah. Namun, sebelum itu terjadi, terdengar orang lewat berteriak kepada Lily."Hey, kalian lagi ng
Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk. 'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.Sementara, Sarinila yang mendengar kegaduhan di ruang tamu."Ada apa?" tanya Sarinila kepada Hertawan."Itu anak makin ke sini jadi sering ngejawab kalau dibilangin!" Hertawan menghembuskan napasnya kasar."Lilyanan sudah pulang?" tanya Sarinila."Iya, siapa lagi yang pulang?" lanjutnya kesal, ia menjulingkan matanya sinis ke arah Sarinila.Akhir-akhir ini Sarinila sudah mulai peduli dengan keluarganya terhadap anak-anaknya, kali ini dia sedang mencoba agar merekatkan keluarga."Udah jangan marah-marah teru, Yah. Inget umur ah." Sarinila menuntun Hertawan aga
Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya. "Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba. "Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata. "Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana. "Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya. "Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua." Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas. "Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah. "Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah. "Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya."Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.***Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan."Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas."Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas."Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan."Iya. Kamu sudah pesan konf
'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.***Seperti biasa Wijas menunggu Lily di warung Ceu Mala. Wijas menyambut Lily dengan senyuman paling indah, Lily mendekat dengan jarak yang hanya beberapa senti saja. "Wijas maafkan aku kemarin." Lily berucap pelan kemudian menundukkan kepalanya"Nggak, papa. Yuk kita berangkat." Lily dan Wijas berangkat ke sekolah.Setiap hari menjadi rutinitas baru bagi Lily dan juga Wijas, Wijas menjemput Lily, pulang sekolah mengantarkan Lily. Pada saat jam istirahat mereka menghabiskan bersama entah itu makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau ngobrol santai di bawah pohon rindang belakang sekolah. Bagi Lily dan Wijas sekolah merupakan tempat mereka bertemu, karena setiap libur Lily sangat sudah diajak main ataupun liburan. Wijas tidak masalah dengan hal itu, bagi Wijas bertemu setiap hari di sekolah sudah sangat cukup.***Enam bulan mereka berpacaran, 24 maret merupakan har
Pagi yang begitu cerah, matahari bersinar tanpa terlambat sedetikpun, Lily membuka jendela ia melihat hamparan persawahan indah nan hijau, ia sesekali menghembuskan napas di udara sangat sejuk sekali. Seperti biasa setiap bangun tidur Lily membereskan tempat tidurnya, kemudian menyapu seisi rumah, mengepel, lalu mencuci piring. Hari ini Lily begitu bersemangat, dilakukan semua pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Semua sudah selesai, Lily mencuci tangannya. "Lily ayo sarapan?" Hertawan memanggil Lily. Lily pergi ke tempat meja makan, semua sudah berkumpul di sana. Dalam keluarga Lily setiap makan harus bersama-sama, selama makan sangat jarang ada obrolan, mereka hanya fokus pada makanan. Selesai makan mereka akan mencuci piringnya masing-masing. Usai makan Lily cepat-cepat ke kamar, ia memilih baju yang akan ia kenakan, beberapa baju ia coba di depan cermin, dirasa tidak ada yang pas, ia terus berlenggok, 'Aduh pakai baju apa nih?' Lily frustasi dan ia membanting tubuhnya ke kasur.
[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.[Hallo, Ly.]Mendengar panggi
Lilyana sudah beranjak dewasa ketika masa SMA tiba, Lilyana merasakan yang namanya jatuh cinta. Wijas merupakah laki-laki berkulit sawo matang, berhidung mancung dan berkaca mata. Ia sering menanyakan tentang Lilyana kepada Adawiyah—temannya."Lily, itu loh Wijas nanyain kamu terus," celetuk Adawiyah ketika sedang berjalan bersama Lily menuju rumah. Lilyana hanya menundukkan kepalanya. "Ngapain nanyain aku?" tanya Lily."Kayanya dia naksir kamu deh," rayu Adawiyah. "Itu loh orangnya yang pakai motor beat biru." Adawiyah mengarahkan kepala Lily ke arah Wijas yang sedang menyetir motonya, dan melewati mereka sambil tersenyum."Tuh kan senyum." "Ya kan biar kelihatan sopan aja," celetuk Lily."Eh mana ada senyumnya sampe manis gitu." Lilyana hanya bisa terdiam. Lilyana merupakan orang yang serba tidak enakan, meskipun ia beberapa kali di pandang sebelah mata, tetapi Adawiyah selalu menemaninya, ia teman dekat Lily dari awal masuk SMA. Pulang pergi selalu bersama jalan kaki, bersenda g
Seorang Lily yang cantik, rupawan, idola di kampusnya, bahkan dosennya menyukainya. Tak sangka ia memiliki masa kecil yang tidak tumbuh dewasa bersamanya, mengurung dan tertanam dalam ingatannya, seperti tidak menginginkan pergi dari diri Lily. Kejadian yang membuat Lily traumatik yaitu pelecehan bertubi-tubi hadir menimpa dirinya. Waktu umurnya delapan tahun suatu hari Lily diajak ketiga temannya, satu laki-laki dan dua orang perempuan, Lily diajak berenang di kali. Setelah berenang, salah satu temannya mengajak Lily berbaring di atas batu tanpa busana apapun dan menyuruh laki-laki itu menimpa Lily. "Lily coba kamu baring di atas batu itu." Dengan polosnya Lily menuruti permintaan temannya, "Ahmad, kamu tengkurap di atas badan Lily."Entah apa yang membuat teman-temannya memiliki gambaran seperti itu. Seorang Lily yang tidak diberikan sex education menjadi buta bahwa hal itu adalah salah. Namun, sebelum itu terjadi, terdengar orang lewat berteriak kepada Lily."Hey, kalian lagi ng
Masa kecilmu merupakan cerminan didikan yang akan kamu tanam untuk anak-anakmu, itulah yang cocok untuk keluarga Hertawan.Lilyana del Putri, nama yang diberikan orang tuanya—Hertawan dan Sarinila orang tuanya, penuh arti bahwa gadis kecilnya akan tumbuh bak bunga, menjadi gadis periang seperti anak putri raja. Lily merupakan anak pertama dan memiliki dua adik—laki-laki dan perempuan.Lilyana gadis yang dipanggil Lily itu ternyata penuh dengan rahasia. Bertahun-tahun ia simpan rapat rahasia masa kecilnya sampai ia bertemu dengan dosen akhirnya mereka saling mencintai yang pernah menikahinya. Kini dia sudah di talak, menjadi gadis janda, meski hanya segelintir orang tahu bahwa ia pernah menikah. Lilyana adalah gadis yang penuh teka-teki hidupnya. Orang yang mengenalnya tidak sepenuhnya tahu, bahwa ada masa lalu yang tidak bisa lepas dari cengkraman memorinya.****Lima belas tahun yang lalu, saat Lily berusia delapan tahun—bersekolah kelas dua SD. Lily dididik oleh ayahnya dengan begi