'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.
***
Seperti biasa Wijas menunggu Lily di warung Ceu Mala. Wijas menyambut Lily dengan senyuman paling indah, Lily mendekat dengan jarak yang hanya beberapa senti saja. "Wijas maafkan aku kemarin." Lily berucap pelan kemudian menundukkan kepalanya
"Nggak, papa. Yuk kita berangkat."
Lily dan Wijas berangkat ke sekolah.
Setiap hari menjadi rutinitas baru bagi Lily dan juga Wijas, Wijas menjemput Lily, pulang sekolah mengantarkan Lily. Pada saat jam istirahat mereka menghabiskan bersama entah itu makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau ngobrol santai di bawah pohon rindang belakang sekolah. Bagi Lily dan Wijas sekolah merupakan tempat mereka bertemu, karena setiap libur Lily sangat sudah diajak main ataupun liburan. Wijas tidak masalah dengan hal itu, bagi Wijas bertemu setiap hari di sekolah sudah sangat cukup.
***
Enam bulan mereka berpacaran, 24 maret merupakan hari lahir Lily. Sebelum hari itu tiba Wijas mengirimkan pesan kepada Lily.
[Ly, aku besok nggak bisa jemput kamu.]
Lily membaca pesan tersebut merasa aneh, karena Wijas tidak pernah absen menjemput atau mengantarnya. Namun, Lily menepis hal-hal buruk mengenai Wijas, Lily membalas pesan Wijas.
[Iya nggak papa.] Lily menjawab singkat. Lily mencari nomor yang sudah jarang dihubungi, Adawiyah temannya.
[Daw, besok berangkat sekolah bareng ya.]
Lima menit kemudian Adawiyah membalas pesan Lily.
[Tumben, ke mana si pacar?] Adawiyah bertanya. Lily cepat-cepat membalas meskipun Lily juga merasa aneh dengan Wijas.
[Dia yang bilang nggak bisa jemput.]
[Aku rasa ada hal yang mencurigakan.] Adawiyah mengompori.
[Ya nggak mesti setiap hari juga si harus dijemput dan diantar pulang.] Lily menjawab dengan hati gusar. Lily sesekali membalikkan badannya di kasur.
[Tetapi kan sudah berbulan-bulan kamu bareng loh sama Wijas. Masa iya dia seaneh ini, apa kamu curiga.] Adawiyah semakin membuat Lily panas.
Lily tidak menjawab pesan Adawiyah, ia merasa Adawiyah yang aneh, semakin ia membalas akan semakin panas hatinya.
***
Keesokan harinya Lily menunggu Adawiyah di depan warung Ceu Mala, tidak lama kemudian Adawiyah muncul dengan muka cengengesan.
"Kenapa, kamu?" tanya Lily.
"Nggak papa. Yuk berangkat." Adawiyah merangkul pundak Lily. Seperti biasa mereka berjalan sampai keluar komplek, kemudian menunggu angkutan umum lewat. Selama dalam angkot Lily melihat jalanan dari balik jendela, sesekali Adawiyah bertanya. Namun, Lily hanya tersenyum tipis kepada Adawiyah.
"Kamu jangan ngelamun, Ly." Adawiyah mencolek Lily.
"Aku nggak ngelamun!"
"Jangan ngegas dong!"
Lily mulai kesal dengan Adawiyah, tetapi Lily masih bisa menahan diri. Lily tidak menyukai jika perasaannya sedang tidak baik, lalu ada orang yang menggodanya, semakin kesal saja baginya. Angkutan umum sudah sampai di depan sekolah, mereka turun kemudian membayar ongkos. Mereka berjalan menuju kelas, sampai di meja Lily duduk dan menyimpan tas di atas meja. Lily mengamati seisi kelas tidak nampak Wijas, wajah Lily makin suram, nampak terlihat kegusaran dalam hatinya.
Sampai bel pun berbunyi Wijas belum juga datang, Lily membuang napas kasar, 'Apakah dia tidak datang ke sekolah,' batinnya. Kemudian Adawiyah menyentuh pundak Lily, "kayaknya Wijas gak datang deh. Emangnya semalam Wijas nggak ngomong apa-apa ke kamu?" tanya Adawiyah dengan penuh kecurigaan.
"Enggak," jawab Lily singkat dengan kebingungan, matanya masih menatap ke arah pintu berharap Wijas datang.
"Assalamualaikum."
Terdengar suara keras di balik pintu lalu Pintu itu terbuka Lily membulatkan matanya penuh, seakan-akan berharap Wijas datang. Ternyata Pak Doni yang datang semua siswa menjawab salam Pak Doni. Lily kembali menghembuskan napas secara perlahan. Pak Doni mengamati seluruh siswa yang hadir matanya tertuju kepada Lily.
"Lily, Wijas mana?" tanya Pak Doni.
"Bapak tanya saya?" sahut Lily.
"Iya, siapa lagi yang namanya Lily di sini, kamu pacarnya Wijas kan?"
Belum sempat Lily menjawab, Pak Doni kembali berbicara, "Kenapa dia bolos sekolah? tolong ya Lily berpacaran boleh tetapi jangan sampai lalai terhadap kewajiban, apalagi kalian masih sekolah. Tolong Nanti bilang ke Wijas!" jelas Pak Doni
Lily mengangguk lalu menundukkan kepalanya, Lily tidak bisa mengelak dengan ucapan Pak Doni, ia sangat malu merasa bersalah. Pak Doni menyimpan buku di atas meja dan membukanya, "Ok, sekarang kalian buka halaman 153, Bapak kasih waktu 10 menit untuk membaca." Pak Doni duduk di kursi memperhatikan siswa, semua siswa membuka buku LKS masing-masing. 10 menit kemudian Pak Doni bangkit dari duduk dan menulis sesuatu di papan tulis terdengar di balik pintu ada seseorang yang mengetuk pintu, ia mengucapkan salam semua siswa penasaran siapakah dia.
Pak Doni menjawab salam tersebut, "Masuk."
Pintu dibuka terlihat Wijas dengan keadaan yang sangat berantakan, baju seragamnya compang-camping dan sangat kotor.
"Kamu mau ngapain ke sini dengan baju sobek begini? Kamu habis tawuran? sini kamu ke depan." Pak Doni menarik tangan Wijas persis di depan siswa, Pak Doni menyilangkan tangannya di atas dada, ia beberapa kali menggelengkan kepalanya, mukanya memerah menahan amarah. Semua siswa terbelanga melihat Wijas sementara Lily melihatnya sangat terkejut hingga ia menutup mulut dengan kedua tangannya menggelengkan kepala. Pak Doni menunjuk Wijas sepertinya Pa Doni sudah tak tahan lagi, sementara Wijas yang masih dia seribu bahasa dan menatap tegak ke depan.
"Kamu ke sekolah dengan keadaan seperti ini lebih baik kamu enggak usah masuk ke sekolah, Wijas." Pak Doni terus menunjuk Wijas.
Wijas masih diam. Pak Doni menarik kerah baju Wijas, hingga tubuhnya terangkat, sementara Lily histeris melihat situasi seperti ini.
"Kamu nantangin saya?"
Lily yang sudah tidak tahan melihat kekasihnya akan menerima layangan tamparan, Lily bangkit dari duduknya dan memohon kepada Pak Doni.
"Pak, tolong jangan pak." Lily terisak.
"Apa kamu ikut-ikutan, mentang-mentang kalian ini berpacaran kamu bisa membela pacar kamu ini!" Pak Doni melepaskan tangannya kemudian mendorong tubuh Wijas hingga membentur papan tulis.
"Aw …" Wijas meringis.
Lily terdiam, lalu ia mendekati Wijas yang terkapar di lantai dengan diiringi tangisan. Pak Doni kembali mendekati Wijas, kali ini ia menarik tangannya hingga posisi setengah berdiri.
"Kamu ikut saya, kamu harus diberi pelajaran!" Pak Doni menyeret tubuh Wijas.
Lily melihat itu semakin menangis kencang.
"P-ak mau dibawa ke mana?" Lily bangkit kemudian ia berjalan menuju pintu. Namun, belum sempat keluar Adawiyah mendekati Lily.
"Lily, kamu nggak usah keluar," perintah Adawiyah, lalu Adawiyah menuntun Lily agar ia duduk.
"T-api …" Lily tidak bisa meneruskan ucapannya karena tangan Adawiyah menutup mulutnya.
BRAK
Suara letusan terdengar dari arah luar kelas. Siswa melihat ke arah pintu dan terlihat Wijas dan Pak Doni berjalan beriringan, semua siswa menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Adawiyah menuntun Lily agar ia berdiri mendekat ke arah Wijas yang sudah memegang kue dengan lilin yang menyala. Lily terharu, baru kali ini hari ulang tahunnya dirayakan, Lily berkali-kali menutup mulutnya, ia begitu tidak percaya. Kemudian lagu tersebut tiup lilinnya ….
"Lily, jangan bengong. Kamu harus tiup lilinnya." Adawiyah berbisik kepada Lily.
Lily menatap ke arah Wijas, Wijas tersenyum dan menganggukan kepala, ia memberikan isyarat agar Lily segera meniup lilin. Lily memejamkan mata sebentar, 'Terima kasih Tuhan. Semoga Wijas adalah sumber kebahagiaanku.' Lily berharap dalam hatinya. Kemudian ia meniup lilin yang sudah dari tadi hampir habis.
Sorak semua siswa dan disusul dengan tepuk tangan, seketika kelas menjadi tempat pesta banyak sekali hamparan kertas kecil berwarna-warni dari popper yang diputar. Tidak salah jika semua siswa dan bahkan Pak Doni ikut bekerjasama melakukan manipulasi kepada Lily, karena Wijas merupakan laki-laki terpopuler jadi sangat mudah baginya melakukan kejutan semacam ini kepada Lily. Lily tersenyum penuh kebahagiaan, Adawiyah tak kalah senang melihat sahabatnya begitu senang.
"Gimana nih berhasil kan rencananya?" celetuk Adawiyah.
"Iya berhasil, tapi gara-gara kamu aku jadi kena sial. Lihat ini baju seragamku sobek begini," keluh Wijas.
"Aku kira kamu memang sengaja pakai baju kaya gitu, biar mendramatisir peran," sambung Adawiyah sambil tertawa.
"Gila aja kali aku mesti kaya gini!" Wijas hampir meremas kepala Adawiyah. Namun, ditahan Lily.
"Kok bisa sih?" Lily bertanya.
"Nanti aja aku ceritain. Sekarang selamat ulang tahun!" Wijas mencolek pipi Lily dengan krim kue, Adawiyah dengan segera mengambil kue yang dipegang wijas sebelum ia berlari dan Lily dengan tanpa sadar mengejar Wijas.
"Ehm … ehm …." Pak Doni mendehem.
Wijas dan Lily berhenti dan menoleh ke arah Pak Doni.
"Kelas bapak udah selesai nih, karena waktunya sudah habis bapak ngasih tugas aja yah." Pak Doni berucap.
Semua siswa berkeluh.
"Kalian protesnya sama Lily dan Wijas aja. Oh iya buat Lily selamat ulang tahun ya!" Pak Doni tertawa.
"Terima kasih, Pak," ucap Lily.
Pak Doni mengangguk menjawab ucapan Lily, "Jangan lupa dikerjakan ya, tugasnya di halaman 155." Pak Doni berlalu keluar kelas.
"Mohon maaf ya semua, aku traktir makan deh di kantin habis ini," tawar Wijas.
"Yeay makan-makan, makan-makan." Adawiyah bersemangat.
Lily kelelahan mengejar Wijas akhirnya duduk disusul dengan Wijas.
"Kamu bawa baju ganti?" tanya Lily.
"Bawa," jawab Wijas.
"Aku ganti dulu ya." Wijas membawa baju yang ada di dalam tasnya dan ia pergi ke toilet, selang berapa saat Wijas kembali ke kelas.
Kemudian datang Bu Tuti dan mulai belajar bahasa indonesia. Satu jam telah berlalu, bel istirahat berbunyi.
"Daw, kue tadi kamu bagikan aja sama anak kelas," suruh Lily.
"Nggak akan kamu bawa pulang?" tanya Adawiyah.
"Nggak." Lily menjawab singkat.
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya.
"Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.
***
Bersambung
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya."Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.***Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan."Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas."Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas."Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan."Iya. Kamu sudah pesan konf
Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya. "Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba. "Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata. "Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana. "Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya. "Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua." Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas. "Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah. "Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah. "Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa
Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk. 'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.Sementara, Sarinila yang mendengar kegaduhan di ruang tamu."Ada apa?" tanya Sarinila kepada Hertawan."Itu anak makin ke sini jadi sering ngejawab kalau dibilangin!" Hertawan menghembuskan napasnya kasar."Lilyanan sudah pulang?" tanya Sarinila."Iya, siapa lagi yang pulang?" lanjutnya kesal, ia menjulingkan matanya sinis ke arah Sarinila.Akhir-akhir ini Sarinila sudah mulai peduli dengan keluarganya terhadap anak-anaknya, kali ini dia sedang mencoba agar merekatkan keluarga."Udah jangan marah-marah teru, Yah. Inget umur ah." Sarinila menuntun Hertawan aga
Malam itu hujan begitu deras mengguyur kota. Sementara di tengah sepinya jalan terlihat gadis menyegerakan langkahnya—tertunduk sambil menangis menyaingi rintiknya suara hujan. Sesekali gadis itu melirik ke belakang, ‘Masih belum ada ternyata’. Ucapan dalam batinnya terus terulang, ia mengharapkan kedatangan seseorang, menyusulnya dan mengatakan maaf. Namun, ternyata ia tidak kunjung datang. Jarak menuju tempat yang ia tuju sangat jauh, tetapi rasa sakit membuatnya ia tidak berpikir bahwa mustahil untuk melewatinya. Tidak ada kata lelah, ia hanya berpikir perasaan saat ini yang membuat lelah itu hanya biasa saja. Beberapa tanjakan sudah ia lewati, jalanan sepi ia anggap ah biasa aja, sampai ia melewati pemakaman pun ia berani, padahal jika ia keadaan sadar mana berani berjalan sendirian dalam gelapnya malam beserta rintiknya hujan.Hati yang sudah ia titipkan untuk bisa dijaga dengan setia malah dihancurkan, diremuk begitu saja, padahal ia sudah melewati cobaan yang suram, bentangan
Masa kecilmu merupakan cerminan didikan yang akan kamu tanam untuk anak-anakmu, itulah yang cocok untuk keluarga Hertawan.Lilyana del Putri, nama yang diberikan orang tuanya—Hertawan dan Sarinila orang tuanya, penuh arti bahwa gadis kecilnya akan tumbuh bak bunga, menjadi gadis periang seperti anak putri raja. Lily merupakan anak pertama dan memiliki dua adik—laki-laki dan perempuan.Lilyana gadis yang dipanggil Lily itu ternyata penuh dengan rahasia. Bertahun-tahun ia simpan rapat rahasia masa kecilnya sampai ia bertemu dengan dosen akhirnya mereka saling mencintai yang pernah menikahinya. Kini dia sudah di talak, menjadi gadis janda, meski hanya segelintir orang tahu bahwa ia pernah menikah. Lilyana adalah gadis yang penuh teka-teki hidupnya. Orang yang mengenalnya tidak sepenuhnya tahu, bahwa ada masa lalu yang tidak bisa lepas dari cengkraman memorinya.****Lima belas tahun yang lalu, saat Lily berusia delapan tahun—bersekolah kelas dua SD. Lily dididik oleh ayahnya dengan begi
Seorang Lily yang cantik, rupawan, idola di kampusnya, bahkan dosennya menyukainya. Tak sangka ia memiliki masa kecil yang tidak tumbuh dewasa bersamanya, mengurung dan tertanam dalam ingatannya, seperti tidak menginginkan pergi dari diri Lily. Kejadian yang membuat Lily traumatik yaitu pelecehan bertubi-tubi hadir menimpa dirinya. Waktu umurnya delapan tahun suatu hari Lily diajak ketiga temannya, satu laki-laki dan dua orang perempuan, Lily diajak berenang di kali. Setelah berenang, salah satu temannya mengajak Lily berbaring di atas batu tanpa busana apapun dan menyuruh laki-laki itu menimpa Lily. "Lily coba kamu baring di atas batu itu." Dengan polosnya Lily menuruti permintaan temannya, "Ahmad, kamu tengkurap di atas badan Lily."Entah apa yang membuat teman-temannya memiliki gambaran seperti itu. Seorang Lily yang tidak diberikan sex education menjadi buta bahwa hal itu adalah salah. Namun, sebelum itu terjadi, terdengar orang lewat berteriak kepada Lily."Hey, kalian lagi ng
Lilyana sudah beranjak dewasa ketika masa SMA tiba, Lilyana merasakan yang namanya jatuh cinta. Wijas merupakah laki-laki berkulit sawo matang, berhidung mancung dan berkaca mata. Ia sering menanyakan tentang Lilyana kepada Adawiyah—temannya."Lily, itu loh Wijas nanyain kamu terus," celetuk Adawiyah ketika sedang berjalan bersama Lily menuju rumah. Lilyana hanya menundukkan kepalanya. "Ngapain nanyain aku?" tanya Lily."Kayanya dia naksir kamu deh," rayu Adawiyah. "Itu loh orangnya yang pakai motor beat biru." Adawiyah mengarahkan kepala Lily ke arah Wijas yang sedang menyetir motonya, dan melewati mereka sambil tersenyum."Tuh kan senyum." "Ya kan biar kelihatan sopan aja," celetuk Lily."Eh mana ada senyumnya sampe manis gitu." Lilyana hanya bisa terdiam. Lilyana merupakan orang yang serba tidak enakan, meskipun ia beberapa kali di pandang sebelah mata, tetapi Adawiyah selalu menemaninya, ia teman dekat Lily dari awal masuk SMA. Pulang pergi selalu bersama jalan kaki, bersenda g
[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.[Hallo, Ly.]Mendengar panggi
Lilyana tidak tahan, ia langsung berlari ke kamarnya, ia menangis tersedu, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur lulu bangkit dan duduk. 'Sial, kenapa aku nggak kepikiran buat ngecek ponselku di kantin. Kalau aku tahu ponselku mati, aku bisa kirim pesan lewat Adawiyah,' kesal Lilyana.'Kenapa di hari ulang tahunku saja ayah tidak memberi aku pengecualian untuk memarahiku?' Lilyana menangis, ia memukul bantal kemudian ia banting.Sementara, Sarinila yang mendengar kegaduhan di ruang tamu."Ada apa?" tanya Sarinila kepada Hertawan."Itu anak makin ke sini jadi sering ngejawab kalau dibilangin!" Hertawan menghembuskan napasnya kasar."Lilyanan sudah pulang?" tanya Sarinila."Iya, siapa lagi yang pulang?" lanjutnya kesal, ia menjulingkan matanya sinis ke arah Sarinila.Akhir-akhir ini Sarinila sudah mulai peduli dengan keluarganya terhadap anak-anaknya, kali ini dia sedang mencoba agar merekatkan keluarga."Udah jangan marah-marah teru, Yah. Inget umur ah." Sarinila menuntun Hertawan aga
Lilyana yang mendengarkan cerita Wijas tadi begitu menyimak dengan baik, ia menyeka air matanya. "Loh kenapa kamu nangis?" tanya Wijas kaget melihat kekasihnya itu menangis tiba-tiba. "Ka-mu nggak perlu berlebihan," ucap Lilyana terbata-bata. "Oh, sayang nggak papa. Demi membahagiakan kamu." Wijas mengelus puncak kepala Lilyana. "Jantungku hampir saja copot lihat kamu berantem sama Pak Doni, keadaan kamu berantakan sekali sedih tahu." Lilyana memalingkan mukanya. "Cup cup cup. Maafkan aku, sebetulnya yang harus disalahkan itu Adawiyah dan Reza. Mana tuh anak dua." Reza dan Adawiyah yang sedang asik memakan kue tiba-tiba saling menatap Wijas dan Lilyana, Adawiyah mulutnya masih saja mengunyah tertawa mendengar ucapan Wijas. "Tapi kan sukses kejutannya," tutur Adawiyah. "Kenapa si kamu ngasih alamat toko kue di Komplek Asri? Nggak ada yang lain napa?" cecar Wijas kepada Adawiyah. "Ya kamu yang salah seharusnya dari kemarin kamu beli kuenya. Eh tahu nggak Wijas hampir saja lupa
Wijas mendekati meja Lily, Adawiyah mengerti dengan adanya Wijas, ia berdiri lalu menyuruh Wijas duduk. Adawiyah memotong kue tersebut, sementara Wijas mengambil potongan kue dan menyuapi Lily, Lily dengan tampak malu membuka mulutnya perlahan dan menggigit kue tersebut lalu ia mengunyahnya."Nih yang mau kue merapat!" teriak Adawiyah.Mereka menyerbu kue yang telah dipotong Adawiyah, lalu mereka membubarkan diri, ada yang ke kantin, ke toilet untuk mengganti baju olah raga.***Jam 05.25 WIB Wijas bersiap, ia telah mengenakan helm, lalu ponselnya berdering, Wijas merogoh ponsel yang ada di saku celananya lalu menekan tombol jawab dan ia sengaja menaikkan suara telepon tersebut agar ia tidak melepas helm yang sudah ia kenakan."Ya, ada apa lagi?" tanya Wijas."Kamu hapal kan jalannya? nanti kamu nyasar lagi?" Adawiyah balik bertanya kepada Wijas."Iya hapal kok. Ke komplek Asri kan yang jalannya itu banyak persawahan sama pabrik?" Wijas bertanya memastikan."Iya. Kamu sudah pesan konf
'Ah kenapa aku tadi marah sam Wijas? aku harus minta maaf atas sikapku yang tiba-tiba dingin.' Lily bergumam.***Seperti biasa Wijas menunggu Lily di warung Ceu Mala. Wijas menyambut Lily dengan senyuman paling indah, Lily mendekat dengan jarak yang hanya beberapa senti saja. "Wijas maafkan aku kemarin." Lily berucap pelan kemudian menundukkan kepalanya"Nggak, papa. Yuk kita berangkat." Lily dan Wijas berangkat ke sekolah.Setiap hari menjadi rutinitas baru bagi Lily dan juga Wijas, Wijas menjemput Lily, pulang sekolah mengantarkan Lily. Pada saat jam istirahat mereka menghabiskan bersama entah itu makan di kantin, membaca buku di perpustakaan, atau ngobrol santai di bawah pohon rindang belakang sekolah. Bagi Lily dan Wijas sekolah merupakan tempat mereka bertemu, karena setiap libur Lily sangat sudah diajak main ataupun liburan. Wijas tidak masalah dengan hal itu, bagi Wijas bertemu setiap hari di sekolah sudah sangat cukup.***Enam bulan mereka berpacaran, 24 maret merupakan har
Pagi yang begitu cerah, matahari bersinar tanpa terlambat sedetikpun, Lily membuka jendela ia melihat hamparan persawahan indah nan hijau, ia sesekali menghembuskan napas di udara sangat sejuk sekali. Seperti biasa setiap bangun tidur Lily membereskan tempat tidurnya, kemudian menyapu seisi rumah, mengepel, lalu mencuci piring. Hari ini Lily begitu bersemangat, dilakukan semua pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Semua sudah selesai, Lily mencuci tangannya. "Lily ayo sarapan?" Hertawan memanggil Lily. Lily pergi ke tempat meja makan, semua sudah berkumpul di sana. Dalam keluarga Lily setiap makan harus bersama-sama, selama makan sangat jarang ada obrolan, mereka hanya fokus pada makanan. Selesai makan mereka akan mencuci piringnya masing-masing. Usai makan Lily cepat-cepat ke kamar, ia memilih baju yang akan ia kenakan, beberapa baju ia coba di depan cermin, dirasa tidak ada yang pas, ia terus berlenggok, 'Aduh pakai baju apa nih?' Lily frustasi dan ia membanting tubuhnya ke kasur.
[Ly, maukah kamu menjadi pacarku?]Pesan itu masuk ke telepon genggam Lilyana, pesan dari Wijas yang bermaksud menanyakan apakah Lilyana bersedia menjadi pacarnya? Namun, Lily begitu polos justru bingung jawaban apa yang harus dijawab. Lilyana mondar mandir di area kamarnya, dari jendela ke pintu kamarnya, sesekali ia melihat cermin dan bermonolog, 'Apa aku tolak aja? terlalu cepat jika aku harus mengatakan iya. Aku baru mengenal Wijas satu bulan.' Lilyana kembali berjalan sambil menekuk kedua tangannya di pinggang kemudian tangan kanan menyentuh bibir, 'Aduh aku bingung nih? apa aku tanya Adawiyah aja ya? oh jangan-jangan, aku nggak mau Adawiyah ngeledek.' Lilyana sibuk dengan pikirannya, sementara telepon genggamnya kembali berdering, Lilyana kaget hingga menggemingkan dirinya, dilihat Wijas menelponnya. 'Aduh Wijas telpon lagi, angkat nggak ya?' Berulang kali telepon genggamnya berdering, akhirnya Lilyana memutuskan untuk mengangkat telepon dari Wijas.[Hallo, Ly.]Mendengar panggi
Lilyana sudah beranjak dewasa ketika masa SMA tiba, Lilyana merasakan yang namanya jatuh cinta. Wijas merupakah laki-laki berkulit sawo matang, berhidung mancung dan berkaca mata. Ia sering menanyakan tentang Lilyana kepada Adawiyah—temannya."Lily, itu loh Wijas nanyain kamu terus," celetuk Adawiyah ketika sedang berjalan bersama Lily menuju rumah. Lilyana hanya menundukkan kepalanya. "Ngapain nanyain aku?" tanya Lily."Kayanya dia naksir kamu deh," rayu Adawiyah. "Itu loh orangnya yang pakai motor beat biru." Adawiyah mengarahkan kepala Lily ke arah Wijas yang sedang menyetir motonya, dan melewati mereka sambil tersenyum."Tuh kan senyum." "Ya kan biar kelihatan sopan aja," celetuk Lily."Eh mana ada senyumnya sampe manis gitu." Lilyana hanya bisa terdiam. Lilyana merupakan orang yang serba tidak enakan, meskipun ia beberapa kali di pandang sebelah mata, tetapi Adawiyah selalu menemaninya, ia teman dekat Lily dari awal masuk SMA. Pulang pergi selalu bersama jalan kaki, bersenda g
Seorang Lily yang cantik, rupawan, idola di kampusnya, bahkan dosennya menyukainya. Tak sangka ia memiliki masa kecil yang tidak tumbuh dewasa bersamanya, mengurung dan tertanam dalam ingatannya, seperti tidak menginginkan pergi dari diri Lily. Kejadian yang membuat Lily traumatik yaitu pelecehan bertubi-tubi hadir menimpa dirinya. Waktu umurnya delapan tahun suatu hari Lily diajak ketiga temannya, satu laki-laki dan dua orang perempuan, Lily diajak berenang di kali. Setelah berenang, salah satu temannya mengajak Lily berbaring di atas batu tanpa busana apapun dan menyuruh laki-laki itu menimpa Lily. "Lily coba kamu baring di atas batu itu." Dengan polosnya Lily menuruti permintaan temannya, "Ahmad, kamu tengkurap di atas badan Lily."Entah apa yang membuat teman-temannya memiliki gambaran seperti itu. Seorang Lily yang tidak diberikan sex education menjadi buta bahwa hal itu adalah salah. Namun, sebelum itu terjadi, terdengar orang lewat berteriak kepada Lily."Hey, kalian lagi ng
Masa kecilmu merupakan cerminan didikan yang akan kamu tanam untuk anak-anakmu, itulah yang cocok untuk keluarga Hertawan.Lilyana del Putri, nama yang diberikan orang tuanya—Hertawan dan Sarinila orang tuanya, penuh arti bahwa gadis kecilnya akan tumbuh bak bunga, menjadi gadis periang seperti anak putri raja. Lily merupakan anak pertama dan memiliki dua adik—laki-laki dan perempuan.Lilyana gadis yang dipanggil Lily itu ternyata penuh dengan rahasia. Bertahun-tahun ia simpan rapat rahasia masa kecilnya sampai ia bertemu dengan dosen akhirnya mereka saling mencintai yang pernah menikahinya. Kini dia sudah di talak, menjadi gadis janda, meski hanya segelintir orang tahu bahwa ia pernah menikah. Lilyana adalah gadis yang penuh teka-teki hidupnya. Orang yang mengenalnya tidak sepenuhnya tahu, bahwa ada masa lalu yang tidak bisa lepas dari cengkraman memorinya.****Lima belas tahun yang lalu, saat Lily berusia delapan tahun—bersekolah kelas dua SD. Lily dididik oleh ayahnya dengan begi