“Apa kamu sudah menemukan gadis itu?” tanya Albert saat berbicara dengan seseorang di telepon.
“Sudah, Bos. Kami sudah menemukan gadis yang selama ini anda cari,” jawab anak buahnya.
“Sudah pastikan bahwa kalian tidak salah orang?”
“Kami tidak mungkin salah orang, Bos. Kami sudah menyelidiki latar belakang gadis itu dan sesuai dengan apa yang sudah bos informasikan.”
“Baiklah kalau begitu. Aku tidak mau tahu dengan cara apa, intinya aku ingin gadis itu ada di ranjangku malam ini juga,” perintah Albert dengan tegas dan langsung mengakhiri panggilan secara sepihak.
“Kali ini aku akan mendapatkanmu, Akira” ujar Albert sembari tersenyum licik di ruang kerjanya sendiri. Dia sudah membayangkan bagaimana rencana-rencana selanjutnya akan dia lakukan untuk menghancurkan kehidupan seorang gadis bernama Akira.
Albert Kenzi Erdinata adalah seorang pengusaha muda sukses pemilik perusahaan Lexie Company, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Kekayaan berlimpah yang dimilikinya adalah hasil dari keringatnya sendiri dan bukan semata warisan dari keluarga.
Meski sudah hidup bergelimang kemewahan, namun laki-laki itu kerapkali merasa hampa karena hanya hidup sebatang kara. Orang tuanya sudah lama meninggal. Ayahnya mengalami kecelakaan sementara ibunya meninggal karena bunuh diri.
Sejak kecil Albert sangat menyayangi ibunya yang bernama Tiana. Baginya, sang ibu adalah segalanya. Oleh sebab itu dia sangat terpukul dan kehilangan ketika Tiana sempat depresi hingga mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai tiga rumah mereka.
Bahkan kematian sang ibu telah merubah Albert menjadi seorang laki-laki yang keras. Hidupnya diliputi dendam. Hasratnya begitu menggebu untuk membalas penderitaan yang pernah dirasakan ibunya.
Sebenarnya Albert hanya meraba-raba masa lalu dari pernyataan terakhir ibunya. Dia masih ingat betul kata-kata itu sekalipun sudah bertahun-tahun berlalu.
“Sofia tidak boleh hidup bahagia. Dia sudah menghancurkan kehidupanku dengan Mas Adi. Aku tidak akan pernah rela dia dan putrinya bersenang-senang di atas penderitaanku.”
Kalimat itu terus menghantu menjadi mimpi buruk yang datang hampir setiap malam dalam kehidupan Albert. Bahkan lengkap dengan suara benturan keras saat tubuh ibunya melayang dan berakhir di halaman depan rumahnya. Mimpi-mimpi itu selalu menguatkan niat Albert untuk membalas dendam pada perempuan bernama Sofia dan putrinya.
Balas dendam itulah yang membuat Albert bekerja keras membangun bisnisnya. Dia berpikir dengan banyak harta maka dia akan lebih mudah menyewa jasa untuk melacak informasi tentang keluarga Sofia dan menjalankan balas dendamnya. Berdasarkan informasi dari orang suruhannya, Albert mengetahui bahwa Sofia memiliki seorang putri bernama Akira yang kini turut menjadi sasaran balas dendam Albert.
Dahulu, Albert hidup bahagia bersama Tiana dan Adi. Meski baru bertemu Adi setelah usianya sepuluh tahun, tapi Tiana mengatakan bahwa Adi adalah ayahnya yang selama ini baru kembali dari bekerja di luar negeri. Albert begitu bahagia dan merasa menjadi anak yang beruntung memiliki keluarga yang lengkap.
Namun semua kebahagiaan itu mulai surut ketika Tiana dan Adi menjadi sering bertengkar. Adu mulut menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari. Albert juga sering menyaksikan setiap kali ibunya menangis setelah bertengkar dengan sang ayah. Tiana juga pernah mengatakan bahwa Adi menjadi jarang mengunjungi mereka karena sibuk dengan Sofia dan bayinya.
Sampai suatu hari, ayah dan ibunya bertengkar hebat dan beberapa hari kemudian ayahnya mengalami kecelakaan. Tidak sampai di situ, perempuan bernama Sofia juga melaporkan ibunya kepada polisi sebagai pelaku pembunuhan berencana atas kecelakaan yang menimpa Adi. Ancaman hukuman penjara membuat Tiana depresi hingga nekat bunuh diri.
Hari kematian Tiana menjadi hari ketika Albert bersumpah akan membalas dendam pada keluarga Sofia. Sejak saat itu Albert hidup sebatang kara. Sejak saat itu pula hatinya dipenuhi amarah. Dia bertekad untuk melakukan segala cara demi membalaskan kematian ibunya. Termasuk dengan menyasar Akira, putrinya Sofia.
Sudah cukup lama dia mengintai sang gadis melalui orang suruhannya. Malam nanti dia akan melancarkan rencana pertamanya untuk menghancurkan Akira. Dia tak segan-segan untuk merenggut sesuatu yang paling berharga dari diri gadis itu. Bahkan menurut Albert, rasa kehilangan kehormatan tidak akan lebih sakit daripada kehilangan yang dia derita saat kematian Tiana.
***
Malam itu Akira sedang berjalan berdua dengan temannya yang bernama Clarissa. Mereka baru saja pulang dari mengajar les Bahasa Inggris di sebuah lembaga English Course. Akira adalah seorang fresh graduate yang baru saja lulus beberapa bulan yang lalu dari kuliah jenjang sarjana.
Sementara mencari pekerjaan yang lebih mumpuni sesuai latar belakang pendidikannya, Akira memilih mengisi waktu dengan menjadi guru les bahasa. Kebetulan kemampuan Bahasa Inggris yang dimilikinya bisa dia manfaatkan untuk mendapatkan penghasilan sementara.
Sebenarnya kelas dimulai pada sore hari mulai dari jam tiga sampai jam setengah lima . Tapi hari itu mereka terpaksa harus pulang lebih akhir karena masih ada rapat antar tutor yang membahas pembukaan pendaftaran peserta les untuk periode baru.
“Ra, aku pamit duluan ya. Soalnya aku sudah ada janji dengan Garen. Dia akan menjemputku untuk makan malam bersama,” ujar Clarissa saat mereka sedang menapaki jalan raya tak jauh dari tempat les. Tepat saat sebuah motor berhenti di samping mereka. Akira tahu temannya itu sudah cukup lama berpacaran dengan Garen, teman kuliah mereka saat di kampus.
“Cie…enaknya ada yang perhatian,” goda Akira pada Clarissa.
“Makanya kamu suruh Daffa jemput juga dong,” kata Clarissa. Daffa adalah kekasih Akira.
“Tidak usah. Aku tidak mau merepotkannya.”
“Kamu terlalu sungkan sama pacar sendiri. Ya sudah kalau begitu aku duluan ya. Take care,” pamit Clarissa.
Malam itu terpaksa Akira menyusuri jalanan malam seorang diri setelah Clarissa dijemput oleh sang kekasih. Jarak tempuh dari tempat les ke rumah memakan waktu sekitar lima belas menit dengan menggunakan angkutan umum. Akira berniat untuk menunggu bus kota di halte terdekat saat tiba-tiba sebuah tangan kekar membekapnya dari arah belakang.
Gadis itu berusaha melawan saat dua orang berbaju serba hitam menyeret dan membawanya masuk ke dalam mobil. Tidak sampai disitu, mereka kemudian mengikat kedua tangan dan kaki Akira serta menutup mulutnya dengan kain. Akira sempat memandangi orang-orang bertopeng itu namun tak dapat mengenali mereka.
Kegaduhan dan rasa takut mulai memenuhi batin Akira. Siapakah orang yang memiliki niat jahat seperti itu padanya. Selama ini dia merasa tidak memiliki musuh. Tidak tahu pasti apa yang akan dilakukan orang-orang berbaju hitam pada dirinya. Berpikir positif pun sudah tidak bisa membantu dalam keadaan seperti itu.
Mobil berhenti di sebuah rumah kosong. Dua orang laki-laki berbadan kekar menyeret Akira ke sebuah kamar lalu menguncinya dari luar. Akira tidak mengenali di mana tepatnya dia berada. Tak lama setelah kepergian dua orang itu, tampak seorang pria bertopeng datang menemui Akira.
Akira sendiri tidak bisa menebak siapa laki-laki itu. Tapi dari penampilannya, dia bisa menyimpulkan bahwa mungkin dia adalah bos dari para penculik tadi. Hal itu terlihat dari setelan jas yang digunakan sang lelaki meski Akira tak dapat melihat jelas karena wajahnya tertutup topeng.
Laki-laki itu kemudian mendekat ke arah Akira dan membuka tali serta kain yang membekap mulut. Sementara Akira semakin merasa takut.
“Siapa kamu? Apakah kamu yang sudah menyuruh orang-orang itu untuk menculikku?” tanya Akira memberanikan diri. Akira semakin takut saat pertanyaannya justru disambut tawa keras laki-laki itu.
“Kamu tidak perlu tahu siapa aku,” jawab laki-laki bertopeng dengan sinis.
“Apa kita saling mengenal? Apa alasanmu melakukan semua ini padaku?” cecar Akira. Laki-laki itu justru mendekat dan mengangkat dagu Akira dengan satu tangannya.
“Aku tidak suka pada orang yang terlalu banyak bertanya, Manis. Lebih baik nikmati saja malam ini. Aku jamin kamu pasti tidak akan pernah melupakannya untuk seumur hidup,” ujar laki-laki itu dengan sedikit tawa yang menyiratkan kelicikan.
“Jangan macam-macam padaku,” ungkap Akira mulai gemetar dan merasa terdesak. Ikatan yang sudah terlepas membuat Akira berinisiatif untuk melarikan diri namun sayang pintu itu terkunci rapat.
“Kau tidak akan bisa lari dariku, Akira” ucap laki-laki bertopeng kembali membuat Akira tercengang karena orang itu mengetahui namanya.
Laki-laki itu semakin berjalan mendekat ke arah Akira yang merasa terdesak dan semakin merapatkan tubuhnya pada pintu kayu. Meski berkali-kali bergumam agar tak mendekat, nyatanya laki-laki itu tidak sedikit pun menghentikan langkahnya. Bahkan Akira mulai dapat mendengar deru napas sang lelaki menyentuh kulitnya.
Akira berusaha berontak saat laki-laki itu ingin memaksakan kehendaknya. Namun sekeras apa pun berusaha tetap saja si laki-laki bertopeng lebih kuat. Bahkan Akira hanya bisa meringis saat laki-laki itu menampar dan menyeret Akira ke tempat tidur.
Laki-laki itu terus melakukan segala yang diinginkannya meski hanya menikmati secara sepihak. Sementara Akira hanya menangis pilu melihat harga dirinya dirusak sedemikian rupa. Begitu menyayangkan hal beharga yang selama ini ia jaga harus jatuh pada laki-laki bertopeng yang bahkan tidak ia ketahui dengan jelas identitasnya. Akira merasa jijik setiap kali mendengar suara kenikmatan yang dilantunkan sang lelaki. Setiap itu pula batinnya terasa teriris.
Laki-laki itu menghentikan aktivitasnya saat merasa puas dengan dirinya sendiri. Entah jam berapa laki-laki bertopeng pergi, Akira tidak tahu pasti. Perempuan itu langsung tertidur setelah merasa kesakitan di sekujur tubuhnya.
Akira baru terbangun saat sinar mentari menerobos masuk dari celah jendela kamar yang tertutup tirai tipis. Ia kembali menangis dan meratapi nasib saat melihat tubuh polosnya hanya tertutup selimut. Kembali teringat bayang-bayang kejadian menyeramkan yang terjadi semalam.
Akira merasa dirinya begitu hina. Ia hanya bisa memeluk lutut dan mendekap dirinya sendiri yang merasa begitu rapuh tak berdaya. Ia merasa menjadi gadis bodoh yang tidak bisa menjaga diri dan kehormatannya sendiri, itulah penyesalan terdalamnya.
Akira berusaha bangkit perlahan meski rasa sakit masih terasa di beberapa bagian tubuhnya. Ia memunguti kembali pakaiannya yang sudah tercecer di lantai dan memakainya. Setelah sedikit merapikan penampilannya yang cukup berantakan, Akira tak sengaja melihat secarik kertas bersama beberapa lembar uang di atas nakas samping tempat tidur.
“Terima kasih untuk semalam. Aku sangat menikmatinya,” tulis lelaki bertopeng itu.
Akira hanya bisa berteriak dan meremas kertas itu sebagai pelampiasannya. Melihat beberapa lembar uang kertas itu semakin mengiris hati Akira. Dia merasa tak berharga sebab kehormatannya ditukar dengan sejumlah uang. Namun apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Kesuciannya sudah hilang dalam waktu semalam.
Akira berjalan lunglai masuk ke dalam rumahnya. Kedatangannya langsung disambut dengan celoteh kekhawatiran dari sang ibu, Sofia. Ibu mana yang tak khawatir jika putri tunggalnya sudah semalaman tidak pulang ke rumah. Apalagi selama ini Sofia memang selalu menjaga Akira dengan baik sebab baginya Akira adalah hartanya yang paling berharga.“Sayang, kamu dari mana saja?” tanya Sofia langsung menghambur ke hadapan Akira setelah melihat kedatangan putrinya itu. Tak lupa memperhatikan kondisi putrinya dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk memastikan semua baik-baik saja.“Maafkan, Akira. Semalam Akira tidak pulang ke rumah dan tidak sempat mengabari mama,” ujar Akira merasa bersalah. Ia tidak bisa membayangkan jika sang ibu mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi padanya. Akira tidak ingin membuat Sofia kecewa dan bersedih.“Memangnya semalam kamu ke mana? Mama hubungi berkali-kali juga tidak terjawab.”“Semalam Akira masih ada rapat penting di tempat les. Akhirnya Akira memutuska
Meratap tidak akan bisa merubah keadaan atau mengembalikan sesuatu yang sudah hilang. Hari demi hari Akira berusaha menyingkirkan belenggu trauma yang mendera diri. Dia berusaha untuk kembali bangkit demi keluarganya. Mencoba berdamai dengan kenyataan hidup dan mengikhlaskan segala yang sudah terjadi termasuk perihal Daffa yang sudah pergi.Semakin hari kebutuhan hidup terasa semakin menumpuk. Mengandalkan gaji sebagai guru les dan hasil usaha catering yang dilakukan Sofia juga tidak cukup. Terlebih setelah lulus kuliah dan mendapatkan gelar sarjana, Akira merasa tertuntut untuk memiliki pekerjaan yang lebih layak serta keuangan yang stabil. Oleh karena itu dia berusaha bangkit dari semua kesedihannya dengan cara menyibukkan diri mencari pekerjaan baru.Akira mulai mencari berbagai lowongan pekerjaan. Tak sekali dua kali pula ia mengirimkan berkas lamaran ke beberapa perusahaan. Sampai suatu hari saat bercerita pada Clarissa di tempat les, temannya itu menyarankan Akira untuk melamar
Pagi itu Akira begitu bersemangat untuk memulai pekerjaan barunya. Dia berhasil diterima sebagai asisten CEO di sebuah perusahaan besar. Sebuah jabatan yang terbilang cukup bergengsi bagi seorang lulusan baru seperti dirinya.Akira bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu dan menjalani pekerjaannya sebaik mungkin. Lagi pula dia menggantungkan harapan besar pada pekerjaan itu. Dia berharap gajinya dari pekerjaan baru bisa membuat taraf hidup keluarga mereka menjadi lebih baik.Saat dinyatakan diterima di Lexie Company, Akira yang sebelumnya bekerja di lembaga English course langsung mengajukan surat pengunduran diri. Dia sempat datang ke sana dan berpamitan langsung dengan teman-teman tutor. Mereka semua merasa kehilangan tapi juga ikut bahagia dengan pekerjaan baru Akira.Tapi satu orang yang membuat Akira merasa paling berhutang budi adalah sahabatnya, Clarissa. Sahabatnya itulah yang menyarankan Akira untuk melamar pekerjaan di perusahaan itu bahkan memberikan kartu nama sa
“Akira, datang ke ruangan saya sekarang juga,” titah Albert melalui telepon. Akira segera bangkit dan keluar dari ruangannya untuk memenuhi panggilan sang atasan. Entah apa yang akan Albert tugaskan lagi kali ini. Padahal setumpuk berkas yang dia berikan beberapa hari yang lalu juga belum selesai.“Ada apa bapak memanggil saya ke mari?” tanya Akira setelah tiba di ruangan Albert.“Tolong buatkan saya kopi,” perintah laki-laki itu dengan santainya bahkan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Bapak menyuruh saya membuat kopi?” tanya Akira merasa heran. Dia berpikir pekerjaan itu bukanlah tugasnya. Lagi pula Albert bisa memanggil OB atau OG untuk hal itu.“Apa perintah saya kurang jelas? Apa kamu tidak bisa membuat secangkir kopi?” ujar Albert tak bersahabat membuat Akira mengurungkan niat untuk berkomentar. Protesnya hanya ia simpan dalam hati.“Bisa, Pak. Saya akan membuatnya sekarang juga,” jawab Akira singkat dan langsung berlalu menuju dapur.Sembari menyeduh kopi, Akira m
Bekerja sebagai personal assistant bagi seorang Albert Kenzi ternyata cukup membuat Akira harus menyediakan kesabaran berlapis-lapis. Tak jarang sikap atasannya itu terasa sangat menyebalkan. Terkadang Akira curiga bahwa Albert sengaja memerintahkan hal-hal aneh untuk mengerjai dirinya.Hari itu Albert memerintahkan Akira ikut bersamanya untuk meninjau pembangunan proyek. Mereka hanya pergi berdua tanpa Levin. Albert memerintahkan Levin tetap di kantor untuk mengerjakan tugas lain. Dia hanya mengajak serta seorang sopir.Tak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi itu. Sebelum benar-benar memasuki area pembangunan, Albert dan Akira mengenakan pakaian khusus untuk keselamatan kerja. Akira menemani Albert berkeliling melihat proses pembangunan gedung. Perempuan itu bahkan juga membuntuti dan menjadi pendengar setia ketika Albert asik berbicara dengan sang arsitek.Cuaca hari itu cukup terik. Akira merasa kepanasan. Apalagi di sebuah tanah lapang dengan bangunan yang belum beratap membua
Rasanya ingin berteriak sekeras mungkin. Bagaimana Akira tak terpukul dengan fakta kehamilan itu sedangkan dirinya bahkan tidak tahu siapa ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Dia merasa begitu bodoh karena tidak mengetahui laki-laki mana yang sudah merenggut hal paling berharga dari dirinya.Akira merasa tak berdaya dan hanya menangis sebagai pelampiasan perasaannya. Dia tidak peduli lagi sekalipun masih ada Albert di hadapannya. Akira tidak peduli jika Albert memperhatikan kondisinya sekarang.Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti apa yang sedang dia rasakan dalam hati. Amarah dan kebencian yang justru tertuju pada diri sendiri. Dia merasa gagal menjaga diri.Sekarang Akira merasa tak punya gambaran masa depan. Hidupnya sudah benar-benar hancur. Impiannya sudah rata dengan tanah. Dia tidak tahu bagaimana akan melanjutkan hidup.Mungkinkah takdir menginginkannya menjadi seorang ibu dari anak tanpa ayah, menanggung kehamilan tanpa suami dan membesarkan anaknya sebagai seorang s
Akira berjalan dengan langkah gontai memasuki rumah. Dia masih begitu terpukul dengan kenyataan bahwa dirinya kini sedang mengandung. Seandainya dia tahu siapa yang telah menghamilinya, mungkin dia masih bisa berusaha meminta pertanggung jawaban. Tapi hal itu adalah pilihan yang tidak pernah dia miliki.Kedatangan Akira tak lepas dari pengetahuan Sofia. Ibu itu merasa penasaran karena putrinya kembali ke rumah saat masih jam kerja.“Kamu sudah pulang, Sayang?” tanya Sofia sontak mengalihkan perhatian Akira. Dia tampak gelagapan harus menghadapi ibunya dalam kondisi seperti itu.“Iya, Ma. Akira pulang lebih cepat,” jawabnya singkat. Berharap sang ibu tidak menaruh kecurigaan apa pun. Dia harus berbohong dan mencari alasan karena tidak siap untuk memberitahu ibunya tentang apa yang sebenarnya ia alami.“Tapi kenapa? Kamu sakit?” tanya Sofia sembari memegangi kedua pipi putrinya. Meneliti wajah Akira yang terlihat kusut.“Hanya sedikit tidak enak badan, Ma. Tidak perlu khawatir. Atasanku
Akira mendapatkan jatah libur dan beristirahat di rumah selama tiga hari. Tapi nyatanya selama itu pula ia merasa tubuhnya semakin tidak nyaman saja. Gejala-gejala yang biasa terjadi pada ibu hamil muda semakin terasa.Akira sering mual dan pusing di pagi hari. Ia juga merasa tubuhnya mudah lelah jika melakukan banyak aktivitas. Sofia pun ikut merasa heran saat beberapa kali mendapati Akira sedang mual-mual. Ibu itu menjadi khawatir dengan kesehatan putrinya.“Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja, Sayang?” ujar Sofia pada suatu ketika sontak membuat Akira terlonjak kaget.“Buat apa, Ma? Itu tidak perlu,” tolak Akira dengan halus.“Tentu saja untuk memeriksakan kondisi kesehatanmu. Kamu bahkan sudah libur bekerja dan beristirahat di rumah tapi sepertinya justru semakin parah. Kamu juga sering mual akhir-akhir ini. Mungkin asam lambungnya naik.”“Tidak, Ma. Akira tidak mau ke dokter. Akira baik-baik saja. Besok aku akan kembali bekerja,” ujar Akira meyakinkan ibunya.Akira sengaja me