Rasanya ingin berteriak sekeras mungkin. Bagaimana Akira tak terpukul dengan fakta kehamilan itu sedangkan dirinya bahkan tidak tahu siapa ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Dia merasa begitu bodoh karena tidak mengetahui laki-laki mana yang sudah merenggut hal paling berharga dari dirinya.
Akira merasa tak berdaya dan hanya menangis sebagai pelampiasan perasaannya. Dia tidak peduli lagi sekalipun masih ada Albert di hadapannya. Akira tidak peduli jika Albert memperhatikan kondisinya sekarang.
Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti apa yang sedang dia rasakan dalam hati. Amarah dan kebencian yang justru tertuju pada diri sendiri. Dia merasa gagal menjaga diri.
Sekarang Akira merasa tak punya gambaran masa depan. Hidupnya sudah benar-benar hancur. Impiannya sudah rata dengan tanah. Dia tidak tahu bagaimana akan melanjutkan hidup.
Mungkinkah takdir menginginkannya menjadi seorang ibu dari anak tanpa ayah, menanggung kehamilan tanpa suami dan membesarkan anaknya sebagai seorang single parent. Hanya itu pilihan yang dia miliki. Akira tentu tidak mungkin mengambil langkah yang salah dengan menggugurkan calon bayi tak berdosa dalam rahimnya.
Setelah kondisi Akira dinyatakan baik-baik saja, mereka pun pulang dari rumah sakit. Gadis itu tak banyak bicara. Sementara Albert juga kebingungan harus menunjukkan sikap seperti apa.
“Di mana alamat rumahmu?” tanya Albert setelah mereka masuk ke dalam mobil.
“Untuk apa, Pak?”
“Saya merasa dalam kondisi seperti ini lebih baik kamu pulang ke rumah saja. Tidak perlu ikut kembali ke kantor dulu,” kata Albert.
“Tapi bagaimana dengan jam kerjanya?” tanya Akira.
“Tidak perlu pikirkan itu. Kami akan mengantarmu sampai rumah.”
Setelah menyebutkan alamat rumahnya, Albert pun memerintahkan sang sopir untuk mengantar mereka ke sana. Akira juga tidak menolak keputusan Albert itu. Dia memang membutuhkan waktu untuk sendiri dulu.
Selama perjalanan pulang pikirannya terus berkelana memikirkan langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Bagaimana nasib pekerjaannya karena kini bahkan atasannya sudah tahu kalau dia sedang hamil di luar nikah.
Akira tidak tahu apa yang dipikirkan Albert tentang dirinya. Namun pasti bukan penilaian baik yang terlintas dalam pikiran laki-laki itu setelah mengetahui Akira hamil tanpa seorang suami. Setidaknya itulah dugaan Akira. Dia terus menahan tangis selama di mobil.
Mobil itu berhenti di jalan raya depan rumah Akira. Akira segera turun dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu mobil Albert kembali melaju untuk ke arah kantor. Untuk sementara itu Albert merasa cukup tenang.
Albert sengaja menyuruh Akira pulang lebih awal. Dia harus menetralkan kebingungannya sendiri setelah mengetahui berita kehamilan Akira. Bagaimana ia tidak panik jika tahu tiba-tiba dirinya akan menjadi seorang ayah dari bayi hasil hubungan one night stand. Padahal semua itu hanya ia niatkan sebagai upaya balas dendam.
Baru tiba di kantor, Albert tak sengaja bertemu dengan Levin saat keluar dari lift. Sebagai orang terdekat, Levin tentu bisa melihat jelas kegusaran yang sedang dirasakan Albert. Apa lagi kedatangannya yang hanya seorang diri membuat Levin semakin bertanya-tanya.
“Ada apa denganmu?” tanya Levin dengan nada bicara santai. Dia tahu dalam keadaan ini harus memposisikan diri sebagai teman. “Dan di mana Akira? Bukankah tadi kalian pergi bersama?” lanjutnya.
“Dia sudah pulang ke rumahnya,” jawab Albert singkat.
“Tidak seperti biasanya. Dalam rangka apa kamu membiarkan karyawanmu pulang lebih awal?” kata Levin mempertanyakan sikap Albert yang tak biasa.
“Ada hal besar yang telah terjadi, Levin. Tapi aku tidak bisa menceritakannya di sini,” kata Albert sembari melirik kanan kiri.
Levin pun mengerti bahwa pembicaraan itu pasti ada hubungannya dengan rahasia yang mereka simpan. Setelah mendapat isyarat dari Albert, dia pun mengekor langkah temannya itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Jadi katakan padaku, hal besar apa yang kau maksud?” tanya Levin setelah mereka hanya berdua di ruang tertutup.
“Aku sendiri tidak bisa percaya hal ini. Aku akan menjadi seorang ayah,” ucap Albert sembari memijat pelipisnya.
“Apa? Kamu akan menjadi seorang ayah? Jangan bercanda, Al. Kau bahkan belum menikah,” ujar Levin sembari menertawakan temannya itu.
“Seharusnya kamu yang tidak bercanda dalam hal ini. Aku serius. Akira sedang hamil.” Tutur Albert sontak membuat tawa Levin langsung terhenti seketika. Ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih serius.
“Maksudnya Akira sedang mengandung anakmu?” ujar Levin memastikan.
“Ya begitulah. Tapi dia tetap tidak tahu kalau aku pelakunya.”
“Ini gila, kawan. Kamu baru melakukannya sekali dan langsung membuat hamil anak orang. Kau memang luar biasa. Tapi kau juga ceroboh karena tidak menggunakan pengaman,” gumam Levin sembari menepuk-nepuk pundak Albert. Tentu saja tangan Levin langsung ditepis oleh Albert.
“Kenapa kau malah menyindirku tentang hal itu. Sekarang lebih baik kamu membantuku berpikir apa yang akan aku lakukan pada Akira selanjutnya,” kata Albert kesal.
Levin tak kalah dibuat bingung dengan permasalahan itu. Apalagi Albert juga mengatakan tidak ingin terikat lebih jauh denga kehidupan Akira. Padahal mau tidak mau, kehadiran anak itu sudah menjadi seutas benang akan terus menghubungkan mereka berdua.
Kecuali jika Albert begitu sampai hati untuk mengabaikan akibat perbuatannya dan menelantarkan darah dagingnya sendiri. Itu tentu mudah dia lakukan sebab rahasia tentang kejahatannya pada Akira masih tersimpan rapi.
Albert tidak perlu mengakui apa pun dan membiarkan Akira yang menanggung dan mengurus anak itu seorang diri. Tapi tentu saja ia tidak berpikir setega itu. bagaimana pun juga dia butuh seorang pewaris.
Sekarang dia berada dalam posisi sulit. Menyakiti Akira sama saja menyakiti calon anaknya sendiri. Meski begitu, Albert tidak bisa berhenti. Balas dendamnya pada Akira belum tuntas.
Ia belum merasa puas menyakiti gadis itu demi membalas sakit hati sang ibu. Bahkan setelah melihat tangisannya di rumah sakit, itu pun tak mampu mengetuk hati Albert untuk menyudahi semuanya.
Albert memikirkan cara lain untuk balas dendam. Dia tidak akan bisa lagi menyusahkan Akira dengan pekerjaan-pekerjaan berat yang dapat membahayakan kesehatan janinnya. Bagaimana pun juga sasarannya adalah Akira dan ibunya, bukan janin itu.
Sekarang dia harus lebih berhati-hati dalam bertindak. Balas dendamnya tidak boleh sampai menyakiti calon anak dalam rahim Akira.
“Baiklah, Akira. Mulai sekarang kita akan bermain secara halus,” gumam Albert sembari tersenyum licik.
“Apa yang kau katakan?” tanya Levin melihat ekspresi Albert seperti sedang menerawang. “Kamu sudah menemukan jalan keluar atas permasalahanmu dengan Akira?” tanyanya lagi.
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” kata Albert menyeringai.
“Apa?”
“Lihat saja nanti,” jawab Albert singkat dan mengandung rahasia. Membuat Levin penasaran dengan apa yang direncanakan Albert selanjutnya.
Sejujurnya Levin tidak begitu suka jika Albert sudah bermain teka-teki seperti itu. Pasalnya, terkadang Albert akan melakukan sesuatu tanpa pertimbangan panjang yang pada akhirnya dapat merugikan dirinya sendiri. Seperti saat merusak diri Akira malam itu.
Waktu itu Levin sempat menyatakan tidak setuju dengan rencana Albert untuk menjebak Akira dan merenggut kehormatannya. Tapi terkadang memang sangat sulit membelokkan Albert dari apa yang sudah menjadi ambisinya. Albert memutuskan tindakan itu tanpa memberitahu Levin terlebih dahulu.
Bukan Levin ingin terlalu ikut campur dalam kehidupan Albert, tapi sejujurnya hal seperti itulah yang Levin khawatirkan sejak awal. Sekarang ketakutannya menjadi kenyataan bahwa Albert bisa saja terjebak sendiri dalam upaya balas dendamnya. Apalagi ditambah dengan kehadiran benih dalam rahim gadis yang sudah dinodainya.
“Sepertinya kamu peduli pada calon anak itu, Al. apa kamu akan bertanggung jawab terhadapnya?”
Akira berjalan dengan langkah gontai memasuki rumah. Dia masih begitu terpukul dengan kenyataan bahwa dirinya kini sedang mengandung. Seandainya dia tahu siapa yang telah menghamilinya, mungkin dia masih bisa berusaha meminta pertanggung jawaban. Tapi hal itu adalah pilihan yang tidak pernah dia miliki.Kedatangan Akira tak lepas dari pengetahuan Sofia. Ibu itu merasa penasaran karena putrinya kembali ke rumah saat masih jam kerja.“Kamu sudah pulang, Sayang?” tanya Sofia sontak mengalihkan perhatian Akira. Dia tampak gelagapan harus menghadapi ibunya dalam kondisi seperti itu.“Iya, Ma. Akira pulang lebih cepat,” jawabnya singkat. Berharap sang ibu tidak menaruh kecurigaan apa pun. Dia harus berbohong dan mencari alasan karena tidak siap untuk memberitahu ibunya tentang apa yang sebenarnya ia alami.“Tapi kenapa? Kamu sakit?” tanya Sofia sembari memegangi kedua pipi putrinya. Meneliti wajah Akira yang terlihat kusut.“Hanya sedikit tidak enak badan, Ma. Tidak perlu khawatir. Atasanku
Akira mendapatkan jatah libur dan beristirahat di rumah selama tiga hari. Tapi nyatanya selama itu pula ia merasa tubuhnya semakin tidak nyaman saja. Gejala-gejala yang biasa terjadi pada ibu hamil muda semakin terasa.Akira sering mual dan pusing di pagi hari. Ia juga merasa tubuhnya mudah lelah jika melakukan banyak aktivitas. Sofia pun ikut merasa heran saat beberapa kali mendapati Akira sedang mual-mual. Ibu itu menjadi khawatir dengan kesehatan putrinya.“Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja, Sayang?” ujar Sofia pada suatu ketika sontak membuat Akira terlonjak kaget.“Buat apa, Ma? Itu tidak perlu,” tolak Akira dengan halus.“Tentu saja untuk memeriksakan kondisi kesehatanmu. Kamu bahkan sudah libur bekerja dan beristirahat di rumah tapi sepertinya justru semakin parah. Kamu juga sering mual akhir-akhir ini. Mungkin asam lambungnya naik.”“Tidak, Ma. Akira tidak mau ke dokter. Akira baik-baik saja. Besok aku akan kembali bekerja,” ujar Akira meyakinkan ibunya.Akira sengaja me
“Ingat apa yang dikatakan dokter tadi. Kamu harus lebih hati-hati dalam menjaga kesehatanmu. Jaga pola makan dan istirahat yang cukup,” ujar Albert saat mereka sudah keluar dari ruangan Dokter Mega. Dia memberikan wejangan dengan mengulang penjelasan dokter. Akira hanya menanggapinya dengan diam.Mereka kemudian berjalan menuju mobil. Albert mengemudikan sendiri mobil itu dan menyuruh Akira untuk duduk di kursi depan bersebelahan dengannya. Mobil melaju dan membelah jalanan menuju arah kantor.Di tengah perjalanan, Albert tiba-tiba menghentikan mobilnya. Akira kebingungan saat Albert mengajaknya turun di depan sebuah toko sepatu. Tak menunggu waktu lama, Albert langsung menarik Akira untuk masuk ke dalam.Albert berkeliling melihat deretan sepatu wanita. Sementara Akira masih tak mengerti apa-apa. Laki-laki itu kemudian memilih sebuah flat shoes dan meminta Akira mencobanya.“Bapak ingin membeli sepatu untuk siapa?” tanya Akira sudah tak dapat menahan rasa ingin tahunya.“Memangnya ak
Stevia benar-benar melakukan aksinya. Diam-diam dia mulai sering memperhatikan Akira. Setelah artikel kehamilan, hal yang menguatkan dugaan Stevia adalah saat dia menyadari Akira selalu memakai flat shoes setiap kali masuk kerja. Padahal di awal-awal dulu, ia sempat melihat gadis itu memakai sepatu hak tinggi. Lagi pula Albert sendiri memang memberlakukan aturan bahwa setiap karyawan harus selalu menjaga penampilan.Tidak hanya itu, Stevia beberapa kali juga mendapati Akira sedang mual-mual dan muntah di toilet. Stevia tidak bisa menahan diri lagi. Akhirnya pada suatu ketika dia menceritakan hal itu pada teman karyawannya yang bernama Kania.“Kamu tahu Akira bukan?” ujar Stevia.“Akira yang menjadi asisten Pak Albert itu?” tanya Kania memastikan. Saat itu mereka berdua sedang berjalan di lorong kantor.“Iya. Akira yang itu.”“Aku pernah melihatnya beberapa kali. Memangnya kenapa?”“Sebenarnya aku mencurigai sesuatu tentang dia,” gumam Stevia.“Curiga bagaimana?” tanya Kania mulai ikut
Beberapa hari terakhir suasana kantor terasa cukup memanas. Para karyawan sudah berkerumun dan mulai berbincang-bincang tentang kabar yang sedang terendus. Isu yang disebarkan oleh Stevia sudah menarik banyak perhatian dari karyawan baik laki-laki maupun perempuan.Sudah beberapa hari belakangan itu Akira mendapatkan tatapan aneh dan bisikan-bisikan tidak nyaman tentang dirinya. Akira belum tahu pasti bahwa orang-orang itu sedang membicarakan tentang kehamilannya. Hanya saja tatapan-tatapan mengintimidasi itu cukup membuatnya salah tingkah.Pagi itu Akira justru dihadapkan pada permasalahan yang lebih besar. Stevia mulai berulah dan melancarkan aksinya. Akira datang lebih siang dari biasanya karena dirinya masih mengalami morning sickness yang cukup parah.Saat Akira menginjakkan kaki di pintu utama kantor, Stevia langsung menghadangnya. Akira yang terkejut tak sempat bertanya apa pun karena Stevia langsung menarik tangan gadis itu agar ikut bersamanya. Stevia menempatkan Akira di dep
“Maaf, Pak. Tapi harga diri saya akan semakin habis jika saya masih melanjutkan pekerjaan ini. Saya permisi,” ujar Akira menolak ajakan Albert. Gadis itu langsung berlari keluar dari kantor.“Tunggu, Akira,” panggil Albert yang tak dihiraukan oleh Akira.Akira terus berjalan membawanya lukanya seorang diri. Tak peduli meski Albert terus memanggilnya beberapa kali. Dia tidak bisa berada lebih lama di tempat itu. Apa yang terjadi padanya hari itu sungguh memalukan.Dia merutuki nasibnya yang begitu buruk. Deretan peristiwa itu pun terbayang satu persatu. Kesuciannya direnggut secara paksa, hubungan percintaannya yang berakhir dengan Daffa, mengandung janin tanpa tahu siapa ayahnya, dan kini juga dipermalukan di tempatnya bekerja.Akira sadar suatu saat kejadian itu pasti dia alami. Sekuat apa pun dia berusaha menyimpan aib itu pasti akan terbuka juga. Kenyataannya pun begitu. Kebohongannya sudah terkuak tanpa menunggu perutnya membesar dulu.Akira menangis. Sekarang gadis itu merasa sen
Akira berpikir keras mencari cara agar sang ibu tidak mengetahui tentang kehamilannya. Dia yakin lambat laun Sofia pasti akan curiga jika melihat sikap anehnya. Sebelum itu terjadi, Akira harus melakukan sesuatu untuk mengantisipasi.Satu-satunya cara yang dia miliki hanyalah pergi dari rumah itu dan meninggalkan Sofia. Setidaknya untuk sementara sampai bayinya lahir. Perihal kehadiran bayi itu nantinya akan dia pikirkan lagi.Memutuskan pergi dari rumah bukanlah perkara mudah. Akira kembali harus berpikir di mana dia akan tinggal nantinya. Sebenarnya tidak tega pula hatinya meninggalkan sang ibu seorang diri. Tapi dia berpikir itu lebih baik dari pada kehadirannya justru akan menyulitkan Sofia. Dia tidak mau sang ibu ikut menanggung kesalahannya dan menerima cemoohan dari masyarakat sekitar.Terbersit dalam pikiran Akira sebuah ide untuk pindah sementara ke rumah Clarissa, teman baiknya. Dia ingat bahwa selama ini Clarissa hanya tinggal sendiri. Dulu Clarissa mengatakan bahwa orang t
“Sekarang aku sudah hancur, Clarissa. Aku tidak tahu bagaimana akan melanjutkan hidup ke depannya. Tapi satu-satunya orang yang masih ingin aku jaga hatinya hanyalah ibuku,” kata Akira setelah dia menceritakan masalahnya pada Clarissa.“Apa Tante Sofia juga sudah tahu tentang hal ini?” tanya Clarissa antusias.“Belum. Oleh sebab itu aku tetap ingin merahasiakannya dari mama. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kekecewaannya jika tahu bahwa putrinya sedang mengandung tanpa tahu siapa ayah dari bayinya. Lagi pula jika aku tetap di sana, maka lambat laun masyarakat akan tahu dan ibuku juga akan menjadi sasaran celaannya.”“Lalu apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”“Aku berpikir untuk pindah dari rumah sementara. Setidaknya sampai anak ini lahir. Aku jelas tidak mungkin menggugurkannya, Clarissa,” ujar Akira memberitahu rencana dalam pikirannya.“Tapi kamu akan pergi ke mana, Ra? Dengan alasan apa kamu akan meninggalkan rumah?” tanya Clarissa.“Sebenarnya kedatanganku ke sini tidak ha