Meratap tidak akan bisa merubah keadaan atau mengembalikan sesuatu yang sudah hilang. Hari demi hari Akira berusaha menyingkirkan belenggu trauma yang mendera diri. Dia berusaha untuk kembali bangkit demi keluarganya. Mencoba berdamai dengan kenyataan hidup dan mengikhlaskan segala yang sudah terjadi termasuk perihal Daffa yang sudah pergi.
Semakin hari kebutuhan hidup terasa semakin menumpuk. Mengandalkan gaji sebagai guru les dan hasil usaha catering yang dilakukan Sofia juga tidak cukup. Terlebih setelah lulus kuliah dan mendapatkan gelar sarjana, Akira merasa tertuntut untuk memiliki pekerjaan yang lebih layak serta keuangan yang stabil. Oleh karena itu dia berusaha bangkit dari semua kesedihannya dengan cara menyibukkan diri mencari pekerjaan baru.
Akira mulai mencari berbagai lowongan pekerjaan. Tak sekali dua kali pula ia mengirimkan berkas lamaran ke beberapa perusahaan. Sampai suatu hari saat bercerita pada Clarissa di tempat les, temannya itu menyarankan Akira untuk melamar kerja pada perusahaan Lexie Company.
“Jadi kemarin aku sempat dapat info dari temanku bahwa CEO perusahaan itu sedang mencari asisten baru untuk menggantikan asisten lama yang resign karena melahirkan dan memilih untuk fokus menjadi ibu rumah tangga. Mungkin kamu tertarik untuk melamar kerja di sana. Bekerja sebagai asisten aku rasa gajinya lumayan lho. Apalagi kamu butuh uang untuk hidupmu dan Tante Sofia kan,” ujar Clarissa memberikan tawaran.
“Tapi apa aku bisa bekerja di perusahaan sebesar itu?” ungkap Akira ragu.
“Ya ampun, Ra. Kamu itu perempuan yang cerdas. Yakin pada dirimu sendiri bahwa kamu bisa menjalani pekerjaan itu. Apalagi skill Bahasa Inggrismu juga bagus. Aku rasa itu bisa jadi nilai tambah agar kamu dipertimbangkan.”
“Baiklah kalau begitu nanti aku coba dulu,” ujar Akira.
“Oke. Kamu langsung saja hubungi orang ini ya,” kata Clarissa sembari memberikan sebuah kartu nama. Akira menerima dengan senang hati dan menyimpannya di dalam tas.
Sepulang dari tempat les, Akira meraih kembali kartu nama yang sempat diberikan Clarissa. Dia berniat menghubungi nomor yang tertera di sana. Ternyata panggilan langsung tersambung dengan sekretaris perusahaan yang bernama Levin.
Sekretaris itu mengatakan bahwa memang atasan mereka sedang mencari seorang asisten. Akira diminta datang langsung untuk wawancara kerja dengan membawa berkas sesuai yang disyaratkan dalam ketentuan pendaftaran.
Keesokan harinya, Akira tak menunda waktu untuk mendatangi panggilan wawancara. Sebelum pergi dia sempat berpamitan dan meminta doa pada sang ibu agar semuanya dilancarkan. Akira pergi dengan menggunakan jasa ojek online. Sesampainya di kantor, Akira langsung menemui resepsionis dan mengatakan keperluannya.
Gadis cantik bernama Melisa itu pun mengarahkan Akira menuju ruangan sekretaris Levin. Baru setelah itu, Levin yang kemudian mengantar ke ruangan bosnya. Akira dipersilahkan masuk dan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan meja sang CEO.
“Bos, ini Nona Akira yang akan menjalani wawancara untuk lowongan asisten menggantikan posisi Tiara,” tutur Levin pada laki-laki yang masih serius menatap layar laptopnya.
“Nona Akira, perkenalkan ini adalah Pak Albert, pemilik perusahaan Lexie Company. Dia yang akan mewawancarai anda secara langsung. Anda akan bekerja untuknya jika nanti diterima,” lanjut Levin.
“Selamat pagi, Pak Albert” sapa Akira mengalihkan perhatian laki-laki itu.
“Pagi. Jadi kamu yang ingin menggantikan Tiara menjadi asisten saya? Bisa apa kamu?” tanya Albert sembari memandang Akira dengan tatapan sinis.
Akira sempat merasa terintimidasi dengan tatapan itu. Akira kemudian menyerahkan berkas-berkas yang dibawanya. Untuk beberapa saat Albert tampak membolak-balik kertas itu.
“Jadi kamu fresh graduate?” tanya Albert.
“Iya, Pak. Saya baru lulus sebagai sarjana ilmu komunikasi.”
“Belum memiliki pengalaman kerja sebelumnya?”
“Saya belum pernah bekerja pada sebuah perusahaan. Tapi sebelumnya saya menjadi guru les Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus.”
“Bagaimana menurutmu, Levin? Apakah dia pantas mengisi posisi itu?” tanya Albert meminta pertimbangan pada sekretarisnya.
“Kalau menurut saya sih tidak ada salahnya, Pak. Penguasaan dalam bidang ilmu komunikasi dan kemampuan berbahasa asing bisa menjadi pertimbangan yang cukup untuk menerimanya,” jawab Levin.
“Baiklah kalau begitu. Ambilkan kontraknya sekarang,” perintah Albert yang langsung dipatuhi oleh Levin. Albert kemudian menyodorkan berkas kontrak itu kepada Akira.
“Ini adalah kontrak kerja sama yang harus kamu tanda tangani. Saya beri kamu waktu lima menit untuk membaca kontrak itu dan tanda tangan jika memang kamu ingin bekerja di sini,” titah Albert langsung membuat Akira menelan ludah kasar.
“Membaca kontrak kerja sebanyak dua puluh lebih halaman dalam waktu lima menit? Mana cukup?” gerutu Akira dalam batinnya. Meski begitu dia tidak ingin terlihat mengeluh untuk tugas pertama yang sederhana.
Tak sempat membaca secara detail, Akira hanya membolak-balik kontrak itu sekilas dan langsung tanda tangan. Sama sekali tak terlintas kemungkinan buruk tentang ketentuan dalam kontrak itu. Akira percaya perusahaan besar seperti Lexie Company pasti sangat profesional.
“Ini, Pak. Saya sudah tanda tangan kontraknya,” ujar Akira sembari menyerahkan kembali berkas itu.
“Baiklah. Kontrak ini akan saya simpan. Kalau begitu saya ucapkan selamat bergabung dengan perusahaan kami. Kamu bisa masuk bekerja mulai besok,” ucap Albert sembari menjabat tangan Akira.
Akira tersenyum gembira berhasil mendapatkan pekerjaan itu. Tidak hanya Albert, Levin pun mengucapkan selamat pada Akira dan mengantar gadis itu keluar dari ruangan atasannya. Sebelum meninggalkan kantor, Levin sempat memberikan arahan agar Akira tidak datang terlambat esok hari sebab Albert tidak suka orang yang tidak tepat waktu.
Akira mengangguk mengerti dan berlalu setelah mengucapkan permisi. Perasaannya terlalu didominasi bahagia hingga ia tak merasakan keanehannya. Bukankah terlalu mudah baginya bisa diterima bekerja di perusahaan sebesar itu.
Sementara dalam ruangannya, Albert tersenyum puas merasa meraih kemenangan. Levin yang kembali menemuinya juga mengerti apa yang sedang dirasakan Albert. Levin juga salah satu orang yang terlibat dalam rencana laki-laki itu.
“Selamat datang, Akira. Kamu sudah terjebak lebih jauh dalam permainanku,” ucap Albert sembari menyeringai licik.
“Kau sungguh serius menjalankan semua rencana ini hingga melibatkan gadis itu dalam urusan pekerjaan,” komentar Levin.
“Aku akan melakukan apa pun untuk memenuhi hasratku, Levin. Sekarang kamu simpan dengan baik kontrak yang sudah dia tanda tangani. Kontrak itu akan menjadi senjata untuk menekannya agar menuruti segala perintahku,” kata Albert.
“Aku akan mengikuti semua yang kamu perintahkan. Tapi aku hanya ingin berpesan satu hal. Jangan sampai membawa Akira terlibat lebih jauh dalam hidupmu justru akan membuatmu jatuh. Aku harap pekerjaan kita tetap berjalan secara profesional meski di balik alasanmu mempekerjakan gadis itu adalah bagian dari upaya balas dendam,” pesan Levin.
Albert hanya tersenyum mendengar nasihat dari Levin. Baginya Levin bukan sekedar sekretaris tapi juga seorang sahabat. Levin tahu tentang rencana balas dendam Albert pada Akira. Termasuk perbuatan bejat sang atasan yang sudah menodai kesucian gadis polos itu.
Levin tahu motif balas dendam Albert karena ibunya Akira yang bernama Sofia sudah merebut ayah Albert dari Tiana hingga menyebabkan ibu temannya itu depresi dan bunuh diri. Meski begitu Levin tetap kasihan pada Akira. Gadis itu menjadi sasaran balas dendam teman sekaligus atasannya meski tidak tahu apa-apa.
Pagi itu Akira begitu bersemangat untuk memulai pekerjaan barunya. Dia berhasil diterima sebagai asisten CEO di sebuah perusahaan besar. Sebuah jabatan yang terbilang cukup bergengsi bagi seorang lulusan baru seperti dirinya.Akira bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu dan menjalani pekerjaannya sebaik mungkin. Lagi pula dia menggantungkan harapan besar pada pekerjaan itu. Dia berharap gajinya dari pekerjaan baru bisa membuat taraf hidup keluarga mereka menjadi lebih baik.Saat dinyatakan diterima di Lexie Company, Akira yang sebelumnya bekerja di lembaga English course langsung mengajukan surat pengunduran diri. Dia sempat datang ke sana dan berpamitan langsung dengan teman-teman tutor. Mereka semua merasa kehilangan tapi juga ikut bahagia dengan pekerjaan baru Akira.Tapi satu orang yang membuat Akira merasa paling berhutang budi adalah sahabatnya, Clarissa. Sahabatnya itulah yang menyarankan Akira untuk melamar pekerjaan di perusahaan itu bahkan memberikan kartu nama sa
“Akira, datang ke ruangan saya sekarang juga,” titah Albert melalui telepon. Akira segera bangkit dan keluar dari ruangannya untuk memenuhi panggilan sang atasan. Entah apa yang akan Albert tugaskan lagi kali ini. Padahal setumpuk berkas yang dia berikan beberapa hari yang lalu juga belum selesai.“Ada apa bapak memanggil saya ke mari?” tanya Akira setelah tiba di ruangan Albert.“Tolong buatkan saya kopi,” perintah laki-laki itu dengan santainya bahkan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Bapak menyuruh saya membuat kopi?” tanya Akira merasa heran. Dia berpikir pekerjaan itu bukanlah tugasnya. Lagi pula Albert bisa memanggil OB atau OG untuk hal itu.“Apa perintah saya kurang jelas? Apa kamu tidak bisa membuat secangkir kopi?” ujar Albert tak bersahabat membuat Akira mengurungkan niat untuk berkomentar. Protesnya hanya ia simpan dalam hati.“Bisa, Pak. Saya akan membuatnya sekarang juga,” jawab Akira singkat dan langsung berlalu menuju dapur.Sembari menyeduh kopi, Akira m
Bekerja sebagai personal assistant bagi seorang Albert Kenzi ternyata cukup membuat Akira harus menyediakan kesabaran berlapis-lapis. Tak jarang sikap atasannya itu terasa sangat menyebalkan. Terkadang Akira curiga bahwa Albert sengaja memerintahkan hal-hal aneh untuk mengerjai dirinya.Hari itu Albert memerintahkan Akira ikut bersamanya untuk meninjau pembangunan proyek. Mereka hanya pergi berdua tanpa Levin. Albert memerintahkan Levin tetap di kantor untuk mengerjakan tugas lain. Dia hanya mengajak serta seorang sopir.Tak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi itu. Sebelum benar-benar memasuki area pembangunan, Albert dan Akira mengenakan pakaian khusus untuk keselamatan kerja. Akira menemani Albert berkeliling melihat proses pembangunan gedung. Perempuan itu bahkan juga membuntuti dan menjadi pendengar setia ketika Albert asik berbicara dengan sang arsitek.Cuaca hari itu cukup terik. Akira merasa kepanasan. Apalagi di sebuah tanah lapang dengan bangunan yang belum beratap membua
Rasanya ingin berteriak sekeras mungkin. Bagaimana Akira tak terpukul dengan fakta kehamilan itu sedangkan dirinya bahkan tidak tahu siapa ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Dia merasa begitu bodoh karena tidak mengetahui laki-laki mana yang sudah merenggut hal paling berharga dari dirinya.Akira merasa tak berdaya dan hanya menangis sebagai pelampiasan perasaannya. Dia tidak peduli lagi sekalipun masih ada Albert di hadapannya. Akira tidak peduli jika Albert memperhatikan kondisinya sekarang.Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti apa yang sedang dia rasakan dalam hati. Amarah dan kebencian yang justru tertuju pada diri sendiri. Dia merasa gagal menjaga diri.Sekarang Akira merasa tak punya gambaran masa depan. Hidupnya sudah benar-benar hancur. Impiannya sudah rata dengan tanah. Dia tidak tahu bagaimana akan melanjutkan hidup.Mungkinkah takdir menginginkannya menjadi seorang ibu dari anak tanpa ayah, menanggung kehamilan tanpa suami dan membesarkan anaknya sebagai seorang s
Akira berjalan dengan langkah gontai memasuki rumah. Dia masih begitu terpukul dengan kenyataan bahwa dirinya kini sedang mengandung. Seandainya dia tahu siapa yang telah menghamilinya, mungkin dia masih bisa berusaha meminta pertanggung jawaban. Tapi hal itu adalah pilihan yang tidak pernah dia miliki.Kedatangan Akira tak lepas dari pengetahuan Sofia. Ibu itu merasa penasaran karena putrinya kembali ke rumah saat masih jam kerja.“Kamu sudah pulang, Sayang?” tanya Sofia sontak mengalihkan perhatian Akira. Dia tampak gelagapan harus menghadapi ibunya dalam kondisi seperti itu.“Iya, Ma. Akira pulang lebih cepat,” jawabnya singkat. Berharap sang ibu tidak menaruh kecurigaan apa pun. Dia harus berbohong dan mencari alasan karena tidak siap untuk memberitahu ibunya tentang apa yang sebenarnya ia alami.“Tapi kenapa? Kamu sakit?” tanya Sofia sembari memegangi kedua pipi putrinya. Meneliti wajah Akira yang terlihat kusut.“Hanya sedikit tidak enak badan, Ma. Tidak perlu khawatir. Atasanku
Akira mendapatkan jatah libur dan beristirahat di rumah selama tiga hari. Tapi nyatanya selama itu pula ia merasa tubuhnya semakin tidak nyaman saja. Gejala-gejala yang biasa terjadi pada ibu hamil muda semakin terasa.Akira sering mual dan pusing di pagi hari. Ia juga merasa tubuhnya mudah lelah jika melakukan banyak aktivitas. Sofia pun ikut merasa heran saat beberapa kali mendapati Akira sedang mual-mual. Ibu itu menjadi khawatir dengan kesehatan putrinya.“Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja, Sayang?” ujar Sofia pada suatu ketika sontak membuat Akira terlonjak kaget.“Buat apa, Ma? Itu tidak perlu,” tolak Akira dengan halus.“Tentu saja untuk memeriksakan kondisi kesehatanmu. Kamu bahkan sudah libur bekerja dan beristirahat di rumah tapi sepertinya justru semakin parah. Kamu juga sering mual akhir-akhir ini. Mungkin asam lambungnya naik.”“Tidak, Ma. Akira tidak mau ke dokter. Akira baik-baik saja. Besok aku akan kembali bekerja,” ujar Akira meyakinkan ibunya.Akira sengaja me
“Ingat apa yang dikatakan dokter tadi. Kamu harus lebih hati-hati dalam menjaga kesehatanmu. Jaga pola makan dan istirahat yang cukup,” ujar Albert saat mereka sudah keluar dari ruangan Dokter Mega. Dia memberikan wejangan dengan mengulang penjelasan dokter. Akira hanya menanggapinya dengan diam.Mereka kemudian berjalan menuju mobil. Albert mengemudikan sendiri mobil itu dan menyuruh Akira untuk duduk di kursi depan bersebelahan dengannya. Mobil melaju dan membelah jalanan menuju arah kantor.Di tengah perjalanan, Albert tiba-tiba menghentikan mobilnya. Akira kebingungan saat Albert mengajaknya turun di depan sebuah toko sepatu. Tak menunggu waktu lama, Albert langsung menarik Akira untuk masuk ke dalam.Albert berkeliling melihat deretan sepatu wanita. Sementara Akira masih tak mengerti apa-apa. Laki-laki itu kemudian memilih sebuah flat shoes dan meminta Akira mencobanya.“Bapak ingin membeli sepatu untuk siapa?” tanya Akira sudah tak dapat menahan rasa ingin tahunya.“Memangnya ak
Stevia benar-benar melakukan aksinya. Diam-diam dia mulai sering memperhatikan Akira. Setelah artikel kehamilan, hal yang menguatkan dugaan Stevia adalah saat dia menyadari Akira selalu memakai flat shoes setiap kali masuk kerja. Padahal di awal-awal dulu, ia sempat melihat gadis itu memakai sepatu hak tinggi. Lagi pula Albert sendiri memang memberlakukan aturan bahwa setiap karyawan harus selalu menjaga penampilan.Tidak hanya itu, Stevia beberapa kali juga mendapati Akira sedang mual-mual dan muntah di toilet. Stevia tidak bisa menahan diri lagi. Akhirnya pada suatu ketika dia menceritakan hal itu pada teman karyawannya yang bernama Kania.“Kamu tahu Akira bukan?” ujar Stevia.“Akira yang menjadi asisten Pak Albert itu?” tanya Kania memastikan. Saat itu mereka berdua sedang berjalan di lorong kantor.“Iya. Akira yang itu.”“Aku pernah melihatnya beberapa kali. Memangnya kenapa?”“Sebenarnya aku mencurigai sesuatu tentang dia,” gumam Stevia.“Curiga bagaimana?” tanya Kania mulai ikut