Akira berjalan lunglai masuk ke dalam rumahnya. Kedatangannya langsung disambut dengan celoteh kekhawatiran dari sang ibu, Sofia. Ibu mana yang tak khawatir jika putri tunggalnya sudah semalaman tidak pulang ke rumah. Apalagi selama ini Sofia memang selalu menjaga Akira dengan baik sebab baginya Akira adalah hartanya yang paling berharga.
“Sayang, kamu dari mana saja?” tanya Sofia langsung menghambur ke hadapan Akira setelah melihat kedatangan putrinya itu. Tak lupa memperhatikan kondisi putrinya dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk memastikan semua baik-baik saja.
“Maafkan, Akira. Semalam Akira tidak pulang ke rumah dan tidak sempat mengabari mama,” ujar Akira merasa bersalah. Ia tidak bisa membayangkan jika sang ibu mengetahui apa yang sebenarnya sudah terjadi padanya. Akira tidak ingin membuat Sofia kecewa dan bersedih.
“Memangnya semalam kamu ke mana? Mama hubungi berkali-kali juga tidak terjawab.”
“Semalam Akira masih ada rapat penting di tempat les. Akhirnya Akira memutuskan untuk menginap di rumah teman karena sudah terlalu larut malam. Akira juga tidak sempat melihat ponsel karena terlalu kelelahan dan langsung tidur di sana,” jawab Akira mengarang cerita.
“Tapi kenapa sepertinya kamu terlihat sangat kelelahan dan penampilanmu…,” ujar Sofia terhenti dan kembali memperhatikan penampilan putrinya. Ia seperti melihat ada yang berbeda dengan Akira.
“Ma, aku hanya lelah saja. Aku pamit istirahat dulu ya,” pamit Akira sengaja memotong dan menghindari ibunya. Dia tidak ingin Sofia semakin curiga apalagi genangan air di kelopak matanya belum sepenuhnya surut.
“Ya sudah kalau begitu. Mama sudah lebih tenang karena kamu sudah di rumah sekarang. Istirahat saja dulu. Nanti kalau sudah bangun langsung makan ya. Mama sudah siapkan masakan untuk kamu,” ujar Sofia penuh pengertian.
“Aku memang sudah pulang ke rumah, tapi dalam keadaan tidak utuh, Ma” ujar Akira membatin. Tak sanggup rasanya mengingat kejadian naas yang menimpanya semalam.
Setelah berpamitan pada sang ibu, Akira langsung berlalu ke kamarnya. Dia menghempaskan tubuh kotornya di tempat tidur dan kembali menangisi nasibnya. Sesekali gadis itu juga merutuki takdir yang membuatnya mengalami kejadian buruk itu. Apalagi Akira bahkan tidak tahu siapa laki-laki yang sudah merenggut kehormatannya.
Belum surut air mata, belum tenang jiwa, dering telepon kembali mengalihkan perhatian Akira. Sebuah panggilan masuk dari Daffa, kekasih yang sudah empat tahun menjalin hubungan dengan Akira. Gadis itu berusaha menghentikan isaknya sebelum menjawab panggilan dari Daffa.
“Halo, Ra. Bagaimana kabarmu?” tanya Daffa setelah panggilan telepon tersambung.
“Aku baik, Daffa” jawab Akira berbohong.
“Kamu sedang ada kegiatan nggak?” tanya Daffa lagi.
“Memangnya kenapa?”
“Rencananya aku ingin mengajakmu bertemu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Apa kamu bisa? Ya itu pun kalau kamu sedang tidak sibuk.”
“Kapan?”
“Kalau nanti sore bagaimana?” tawar Daffa.
“Oke. Aku bisa menyempatkan waktu untuk menemuimu nanti.”
“Kalau begitu, kita bertemu di kafe biasa ya. Sampai jumpa,” ujar Daffa menutup panggilan dengan nada gembira. Akira tidak tahu apa sebabnya.
Teringat Daffa membuatnya semakin merasa bersalah pada lebih banyak orang. Tidak hanya ibu, secara tidak langsung Akira juga sudah mengkhianati Daffa. Dia berpikir apakah kiranya Daffa masih bisa menerima dirinya jika tahu apa yang sudah terjadi semalam. Rasanya Akira tidak kuat memikirkan hal itu.
Setelah cukup lama menumpahkan air mata kesedihannya, Akira beranjak untuk membersihkan diri. Ia menatap dirinya dalam cermin. Menyibak rambut yang menutupi memar di wajah bekas tamparan laki-laki bertopeng. Tidak hanya itu, bekas tanda kepemilikan di beberapa bagian tubuh kembali menggores batin Akira.
Seandainya dia tahu siapa pelakunya, mungkin dia bisa melaporkan kejadian yang dia alami pada polisi atas tuduhan pemerkosaan. Tapi bagaimana bisa semua itu ia lakukan sedangkan dia sendiri tidak tahu identitas asli si laki-laki bertopeng. Akira hanya bisa menyesali diri semata.
Sore harinya, Akira berusaha keras untuk menenangkan diri dan mulai bersiap untuk menemui Daffa. Ia sudah berjanji akan menemui kekasihnya meski sebenarnya masih tersisa sedikit trauma untuk keluar rumah. Akira mendatangi kafe tempat biasa mereka bertemu. Ternyata Daffa sudah lebih dulu tiba di sana.
“Sudah lama menunggu?” tanya Akira.
“Tidak juga. Silahkan duduk. Aku sangat merindukanmu,” ujar Daffa sembari tersenyum dengan begitu manisnya. “Oh ya, aku juga sudah memesan minuman kesukaan kamu,” imbuh Daffa perhatian.
“Terima kasih, Daffa. Kamu memang selalu tahu apa yang aku suka. Oh ya, memangnya ada apa kamu mengajakku bertemu di sini?” tanya Akira.
“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujar Daffa sembari meraih tangan Akira dan menggenggamnya.
“Hubungan kita sudah berjalan selama empat tahun, Ra. Selama itu pula aku merasa kita memiliki banyak kecocokan. Aku merasa nyaman bersamamu. Aku pikir sudah saatnya kita membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius. Apalagi kita juga sudah sama-sama lulus. Jika kamu bersedia, aku akan segera melamarmu kepada keluarga,” ujar Daffa benar-benar membuat Akira terkejut.
“Apa yang kamu bicarakan ini, Daffa?” tanya Akira dengan gelisah. Tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Akira Callista, bersediakah kamu menjadi pendamping hidupku?” tanya Daffin menegaskan niat tulusnya sembari menatap lekat wajah sang pujaan hati.
“Tidak, Daf. Ini tidak mungkin,” ucap Akira merasa sesak dada. Dia sontak melepas genggaman tangan Daffa.
“Apa yang tidak mungkin, Ra? Bukankah kamu juga sangat mencintaiku. Apa kamu tidak mau hubungan kita diresmikan ke jenjang yang lebih serius? Aku pikir kamu akan bahagia mendengar hal ini.”
“Semua sudah berubah, Daf. Sepertinya aku tidak bisa menikah denganmu,” ucap Akira sembari memejamkan mata berusaha menguatkan dirinya.
“Tapi kenapa? Apa perasaanmu sudah berubah padaku?” tanya Daffa menuntut jawaban.
“Tidak begitu. Aku masih sangat mencintaimu. Tapi maaf aku tidak bisa menerima lamaran itu,” tolak Akira dan langsung beranjak dari kursinya. Dia berlari keluar dari kafe dan langsung diikuti oleh Daffa. Daffa berusaha menghentikan Akira dan meminta penjelasan.
“Kamu tidak bisa pergi sebelum menjelaskan semuanya, Ra. Kenapa kamu menolak lamaranku?” tagih Daffa sembari menahan tangan Akira.
Akira hanya bisa menangis. Seharusnya dia bahagia hendak dilamar oleh laki-laki yang ia cintai. Tapi setelah kembali mengingat apa yang terjadi pada dirinya semalam, rasanya tidak mungkin dia bisa bersatu dengan Daffa. Belum tentu Daffa mau menerima Akira sebagai istri jika mengetahui dirinya sudah tidak suci lagi.
“Aku tidak bisa menjadi istrimu, Daffa. Aku sudah tidak virgin,” ucap Akira dengan nada bergetar. Menjelma petir yang menggelegar bagi Daffa yang mendengar. Seketika genggaman laki-laki itu lepas dari tangan Akira.
“Jadi selama ini kamu sudah mengkhianatiku, Akira?” tanya Daffa tak percaya.
“Aku tidak pernah mengkhianatimu, Daffa. Aku sangat mencintaimu dan aku tidak pernah menjalin hubungan dengan orang lain. Aku selalu setia kepadamu,” jawab Akira sembari terisak.
“Kalau memang kamu setia lantas mengapa semua itu bisa terjadi?” ujar Daffa mulai emosi.
“Aku diperkosa,” jawab singkat Akira kembali meluruhkan air mata.
“Apa? Siapa yang berani melakukannya padamu, Akira? Jawab aku!”
“Aku tidak tahu, Daf. Aku sungguh tidak mengenali pelakunya.”
“Ini konyol, Akira. Bagaimana aku bisa percaya bahwa kamu diperkosa oleh orang tak dikenal dan bukan melakukannya atas dasar suka sama suka? Apa pun alasannya, aku kecewa padamu. Mulai hari ini hubungan kita sudah berakhir. Aku tidak bisa menerima bekas orang lain,” ucap Daffa serta merta meninggalkan Akira yang menangis seorang diri.
Perkataan terakhir Daffa benar-benar seperti duri yang menusuk hati. Akira sadar dirinya memang sudah kotor dan belum tentu seseorang dapat menerimanya. Dia memang tidak pantas untuk Daffa. Setelah kehilangan kehormatan, Akira juga harus menanggung rasa sakit kehilangan seorang laki-laki yang sangat dicintai.
Akira meratap diri. Seharusnya hari itu dia bisa berbahagia dan menerima lamaran Daffa dengan suka cita. Mereka kemudian menggelar pernikahan dan hidup berdua sebagai suami istri untuk selamanya. Itu adalah impian yang sudah lama mereka rangkai bersama. Tapi semua itu kini hancur hanya karena musibah satu malam yang tak diinginkan.
Meratap tidak akan bisa merubah keadaan atau mengembalikan sesuatu yang sudah hilang. Hari demi hari Akira berusaha menyingkirkan belenggu trauma yang mendera diri. Dia berusaha untuk kembali bangkit demi keluarganya. Mencoba berdamai dengan kenyataan hidup dan mengikhlaskan segala yang sudah terjadi termasuk perihal Daffa yang sudah pergi.Semakin hari kebutuhan hidup terasa semakin menumpuk. Mengandalkan gaji sebagai guru les dan hasil usaha catering yang dilakukan Sofia juga tidak cukup. Terlebih setelah lulus kuliah dan mendapatkan gelar sarjana, Akira merasa tertuntut untuk memiliki pekerjaan yang lebih layak serta keuangan yang stabil. Oleh karena itu dia berusaha bangkit dari semua kesedihannya dengan cara menyibukkan diri mencari pekerjaan baru.Akira mulai mencari berbagai lowongan pekerjaan. Tak sekali dua kali pula ia mengirimkan berkas lamaran ke beberapa perusahaan. Sampai suatu hari saat bercerita pada Clarissa di tempat les, temannya itu menyarankan Akira untuk melamar
Pagi itu Akira begitu bersemangat untuk memulai pekerjaan barunya. Dia berhasil diterima sebagai asisten CEO di sebuah perusahaan besar. Sebuah jabatan yang terbilang cukup bergengsi bagi seorang lulusan baru seperti dirinya.Akira bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu dan menjalani pekerjaannya sebaik mungkin. Lagi pula dia menggantungkan harapan besar pada pekerjaan itu. Dia berharap gajinya dari pekerjaan baru bisa membuat taraf hidup keluarga mereka menjadi lebih baik.Saat dinyatakan diterima di Lexie Company, Akira yang sebelumnya bekerja di lembaga English course langsung mengajukan surat pengunduran diri. Dia sempat datang ke sana dan berpamitan langsung dengan teman-teman tutor. Mereka semua merasa kehilangan tapi juga ikut bahagia dengan pekerjaan baru Akira.Tapi satu orang yang membuat Akira merasa paling berhutang budi adalah sahabatnya, Clarissa. Sahabatnya itulah yang menyarankan Akira untuk melamar pekerjaan di perusahaan itu bahkan memberikan kartu nama sa
“Akira, datang ke ruangan saya sekarang juga,” titah Albert melalui telepon. Akira segera bangkit dan keluar dari ruangannya untuk memenuhi panggilan sang atasan. Entah apa yang akan Albert tugaskan lagi kali ini. Padahal setumpuk berkas yang dia berikan beberapa hari yang lalu juga belum selesai.“Ada apa bapak memanggil saya ke mari?” tanya Akira setelah tiba di ruangan Albert.“Tolong buatkan saya kopi,” perintah laki-laki itu dengan santainya bahkan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Bapak menyuruh saya membuat kopi?” tanya Akira merasa heran. Dia berpikir pekerjaan itu bukanlah tugasnya. Lagi pula Albert bisa memanggil OB atau OG untuk hal itu.“Apa perintah saya kurang jelas? Apa kamu tidak bisa membuat secangkir kopi?” ujar Albert tak bersahabat membuat Akira mengurungkan niat untuk berkomentar. Protesnya hanya ia simpan dalam hati.“Bisa, Pak. Saya akan membuatnya sekarang juga,” jawab Akira singkat dan langsung berlalu menuju dapur.Sembari menyeduh kopi, Akira m
Bekerja sebagai personal assistant bagi seorang Albert Kenzi ternyata cukup membuat Akira harus menyediakan kesabaran berlapis-lapis. Tak jarang sikap atasannya itu terasa sangat menyebalkan. Terkadang Akira curiga bahwa Albert sengaja memerintahkan hal-hal aneh untuk mengerjai dirinya.Hari itu Albert memerintahkan Akira ikut bersamanya untuk meninjau pembangunan proyek. Mereka hanya pergi berdua tanpa Levin. Albert memerintahkan Levin tetap di kantor untuk mengerjakan tugas lain. Dia hanya mengajak serta seorang sopir.Tak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi itu. Sebelum benar-benar memasuki area pembangunan, Albert dan Akira mengenakan pakaian khusus untuk keselamatan kerja. Akira menemani Albert berkeliling melihat proses pembangunan gedung. Perempuan itu bahkan juga membuntuti dan menjadi pendengar setia ketika Albert asik berbicara dengan sang arsitek.Cuaca hari itu cukup terik. Akira merasa kepanasan. Apalagi di sebuah tanah lapang dengan bangunan yang belum beratap membua
Rasanya ingin berteriak sekeras mungkin. Bagaimana Akira tak terpukul dengan fakta kehamilan itu sedangkan dirinya bahkan tidak tahu siapa ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Dia merasa begitu bodoh karena tidak mengetahui laki-laki mana yang sudah merenggut hal paling berharga dari dirinya.Akira merasa tak berdaya dan hanya menangis sebagai pelampiasan perasaannya. Dia tidak peduli lagi sekalipun masih ada Albert di hadapannya. Akira tidak peduli jika Albert memperhatikan kondisinya sekarang.Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti apa yang sedang dia rasakan dalam hati. Amarah dan kebencian yang justru tertuju pada diri sendiri. Dia merasa gagal menjaga diri.Sekarang Akira merasa tak punya gambaran masa depan. Hidupnya sudah benar-benar hancur. Impiannya sudah rata dengan tanah. Dia tidak tahu bagaimana akan melanjutkan hidup.Mungkinkah takdir menginginkannya menjadi seorang ibu dari anak tanpa ayah, menanggung kehamilan tanpa suami dan membesarkan anaknya sebagai seorang s
Akira berjalan dengan langkah gontai memasuki rumah. Dia masih begitu terpukul dengan kenyataan bahwa dirinya kini sedang mengandung. Seandainya dia tahu siapa yang telah menghamilinya, mungkin dia masih bisa berusaha meminta pertanggung jawaban. Tapi hal itu adalah pilihan yang tidak pernah dia miliki.Kedatangan Akira tak lepas dari pengetahuan Sofia. Ibu itu merasa penasaran karena putrinya kembali ke rumah saat masih jam kerja.“Kamu sudah pulang, Sayang?” tanya Sofia sontak mengalihkan perhatian Akira. Dia tampak gelagapan harus menghadapi ibunya dalam kondisi seperti itu.“Iya, Ma. Akira pulang lebih cepat,” jawabnya singkat. Berharap sang ibu tidak menaruh kecurigaan apa pun. Dia harus berbohong dan mencari alasan karena tidak siap untuk memberitahu ibunya tentang apa yang sebenarnya ia alami.“Tapi kenapa? Kamu sakit?” tanya Sofia sembari memegangi kedua pipi putrinya. Meneliti wajah Akira yang terlihat kusut.“Hanya sedikit tidak enak badan, Ma. Tidak perlu khawatir. Atasanku
Akira mendapatkan jatah libur dan beristirahat di rumah selama tiga hari. Tapi nyatanya selama itu pula ia merasa tubuhnya semakin tidak nyaman saja. Gejala-gejala yang biasa terjadi pada ibu hamil muda semakin terasa.Akira sering mual dan pusing di pagi hari. Ia juga merasa tubuhnya mudah lelah jika melakukan banyak aktivitas. Sofia pun ikut merasa heran saat beberapa kali mendapati Akira sedang mual-mual. Ibu itu menjadi khawatir dengan kesehatan putrinya.“Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja, Sayang?” ujar Sofia pada suatu ketika sontak membuat Akira terlonjak kaget.“Buat apa, Ma? Itu tidak perlu,” tolak Akira dengan halus.“Tentu saja untuk memeriksakan kondisi kesehatanmu. Kamu bahkan sudah libur bekerja dan beristirahat di rumah tapi sepertinya justru semakin parah. Kamu juga sering mual akhir-akhir ini. Mungkin asam lambungnya naik.”“Tidak, Ma. Akira tidak mau ke dokter. Akira baik-baik saja. Besok aku akan kembali bekerja,” ujar Akira meyakinkan ibunya.Akira sengaja me
“Ingat apa yang dikatakan dokter tadi. Kamu harus lebih hati-hati dalam menjaga kesehatanmu. Jaga pola makan dan istirahat yang cukup,” ujar Albert saat mereka sudah keluar dari ruangan Dokter Mega. Dia memberikan wejangan dengan mengulang penjelasan dokter. Akira hanya menanggapinya dengan diam.Mereka kemudian berjalan menuju mobil. Albert mengemudikan sendiri mobil itu dan menyuruh Akira untuk duduk di kursi depan bersebelahan dengannya. Mobil melaju dan membelah jalanan menuju arah kantor.Di tengah perjalanan, Albert tiba-tiba menghentikan mobilnya. Akira kebingungan saat Albert mengajaknya turun di depan sebuah toko sepatu. Tak menunggu waktu lama, Albert langsung menarik Akira untuk masuk ke dalam.Albert berkeliling melihat deretan sepatu wanita. Sementara Akira masih tak mengerti apa-apa. Laki-laki itu kemudian memilih sebuah flat shoes dan meminta Akira mencobanya.“Bapak ingin membeli sepatu untuk siapa?” tanya Akira sudah tak dapat menahan rasa ingin tahunya.“Memangnya ak