“Kita ke rumah sakit saja, ya.” Untuk kesekian kalinya Jace meminta Jovie untuk bersedia pergi ke rumah sakit. Rasa khawatir pria tampan itu sangat terlihat jelas. Dia marah pada dirinya yang tak berhasil menangkap penabrak Jovie.Jovie dengan cepat menggeleng. Dia bahkan harus mengatakan tidak berkali-kali dan membiarkan Jace mengekor padanya sampai masuk ke dalam ruang kerjanya.“Bekas memarnya terlalu besar, aku khawatir ada tulang yang retak, atau pendarahan di dalam, atau—”“Aku baik-baik saja, Jace,” potong Jovie meyakinkan agar Jace tidak khawatir. “Hanya perlu dikompres es saja. Imajinasimu terlalu berlebihan. Memarnya akan segera hilang.”Jace tak melepaskan pandangannya pada memar di lengan Jovie yang mulai terlihat keunguan. “Tapi rasanya pasti sakit, kan? Setidaknya kau akan mendapat obat penahan nyeri kalau ke rumah sakit.”Jovie tertawa mendengar kekhawatiran Jace yang menurutnya berlebihan. “Kau pernah dengar kalau obat penahan nyeri bisa dibeli bebas di apotek?”Jace m
Seringai terlihat dari wajah Cassy saat Jace mulai menyerah. Posisinya yang tadi meringkuk seakan menahan sakit, sekarang telah beringsut mendekat pada Jace, menciptakan gestur menggoda. Gaun tidur berbahan satin yang sengaja dia kenakan menampakkan lekuk tubuhnya saat merayap pada pangkuan Jace.“Hanya ada satu cara agar perutku membaik, Jace. Kau menjadi milikku,” ucap Cassy, dengan suara menggoda.Jace mengepalkan kedua tangannya. Helaan napas yang dalam lolos dari dirinya. Saat ini dia tak lagi bisa menoleransi sikap Cassy. Menurutnya ini sudah keterlaluan. Sikap kekanak-kanakan Cassy telah berhasil membuatnya terlihat seperti pria yang tak bisa menepati janji di mata Jovie.“Turun dari pangkuanku, Cassy!” suara Jace teredam, berusaha untuk menahan emosi yang mulai menjalar.Cassy menggeleng manja. Tubuhnya semakin dirapatkan pada Jace, mencoba untuk mengundang gairah sang casanova. Sembulan kenyal di bagian dada, menghimpit tubuh Jace. Kedua mata Cassy menggelap, malam ini yang d
Laju mobil tak berbelok di jalur yang seharusnya. Jovie menoleh ke kiri dan kanan, mencoba untuk membaca situasinya. “Jace, kau tidak lupa jalan menuju ke apartemenku, kan?”Jace menggeleng sambil menyeringai tipis. “Bahkan ketika mabuk pun aku bisa sampai di apartemenmu, tandanya aku mengingat dengan jelas arah ke sana.”Jovie kembali melempar pandangannya melalui jendela mobil, kemudian menengok ke belakang. Keningnya mengerut, bersiap untuk protes pada Jace. “Ini bukan jalan menuju ke apartemenku!”“Siapa yang bilang kita akan pergi ke apartemenmu?” ucap Jace santai tanpa dosa. “Ada tempat yang ingin aku kunjungi bersamamu.”Jovie hampir mengumpat karena sikap seenaknya sendiri yang selalu dilakukan oleh Jace. “Kau menculikku!”Jace menghela napasnya. “Semua orang menunggu untuk kuculik, dan kau justru marah, Nona Montgomery?”“Jace!! aku tidak sedang dalam mode bercanda!” Jovie melayangkan sorot tajamnya pada Jace yang bahkan tidak memandangnya.“Begitu pun juga denganku, Jovie. A
Kesalahan yang tidak untuk disesali. Sepertinya itu adalah ungkapan yang paling tepat untuk situasi Jovie sekarang. Meskipun badannya mulai menggigil sampai kedua tangannya memeluk erat dirinya sendiri dan berusaha untuk bergerak lebih banyak untuk mengusir rasa dingin, tapi dia tidak menyesali sedikit pun hal yang baru saja dia lakukan. Kapan lagi bisa bermain air pantai tanpa memikirkan beban di kehidupannya, kan?Jovie tersenyum saat melihat Jace berlari dari toko souvenir yang berada di pinggiran pantai. Di tangannya terlihat sedang menenteng kantong belanjaan besar. Melihat Jovie yang berdiri di sebelah mobil, membuat Jace berlari ke arah wanita itu dengan kening mengerut.“Kenapa kau tidak masuk ke dalam mobil? Kau jadi kedinginan.” Jace menangkupkan handuk yang baru saja dia beli ke tubuh Jovie.“Aku tidak ingin mengotori mobilmu. Lagi pula ini tidak terlalu dingin.” Jovie merapatkan handuk yang saat ini telah menutupi tubuhnya.Jace menghela napasnya. “Maaf karena hanya ada ka
“Shit!” Cassy membanting ponselnya ke lantai setelah melihat postingan foto di akun sosial media milik Jace bersama dengan Jovie di pantai. Wajah wanita itu tampak memerah, menahan amarah pada Jace. Puluhan pesan dan panggilan keluar yang diabaikan oleh Jace, ternyata karena pria itu sedang bersama dengan wanita lain.“Jace sialan!” Vas bunga yang baru saja dia beli beberapa hari lalu juga ikut terkena amukannya. Pecahan beling berserak di lantai, tergeletak di atas genangan air dan beberapa tangkai mawar. Hati Cassy hancur. Lebih dari itu, dia benar-benar tidak bisa megendalikan emosinya.Dengan gerakan ceroboh, dia mengambil lagi ponselnya dan kembali membuka foto Jace. Kedua jari tangannya mencubit layar untuk memperbesar wajah Jovie. Sorot matanya terlihat dalam, amarah yang tadinya Cassy lontarkan untuk Jace, kali ini telah dia targetkan pada Jovie.“Kau, wanita jalang! Aku tidak akan pernah tinggal diam dengan semua ini. Aku pastikan kau tidak akan pernah bahagia!”***Jovie men
Kembali ke rutinitas Jovie di setiap hari minggu, berbelanja kebutuhan dapur untuk pekan berikutnya. Tak perlu membutuhkan waktu lama karena tidak banyak yang harus dia beli. Hanya buah-buahan, roti, dan beberapa bungkus olahan daging. Setelah menyelesaikan acara belanjanya, Jovie bergegas keluar dari supermarket.Akhir-akhir ini cuaca semakin dingin, tapi sepertinya tak masalah karena akhir-akhir ini juga, kehidupan Jovie menjadi sedikit berwarna. Mungkin karena dia mulai mengalah pada egonya untuk mengakui bahwa dia mulai memiliki perasaan pada Jace? Entahlah, yang jelas, musim gugur yang biasanya membuat wanita itu menjadi lebih sering lelah, pada saat ini tidak dirasakannya lagi.Jovie berjalan cepat melewati area parkiran luas di depan supermarket, dia harus memburu bus yang akan lewat lima belas menit lagi. Namun, saat dia berjalan dengan tatapan lurus ke depan, tiba-tiba saja ada seseorang yang menabrak pundaknya dari belakang dan berlari begitu saja.Kantong belanjaan Jovie te
“Oh shit!” umpat Jace tertahan.Di sebelahnya, Jovie memperhatikan dan tertawa kencang. Teriakan kembali diserukan, keduanya terangkat, bersamaan dengan perahu kora-kora yang mereka naiki sekarang terangkat lebih tinggi ke arah belakang.“Kau takut, Jace?” tanya Jovie di sela-sela teriakannya.Jace menoleh cepat, mengubah ekspresi wajahnya dan menyeringai. “Hah! Siapa bilang? Kau tidak lihat aku sedang menikmatinya?”Jovie tertawa karena ucapan Jace dan raut wajahnya benar-benar tidak selaras. Tangan Jace mengepal kencang, mencoba untuk disembunyikan dari Jovie. Menyadari hal itu, Jovie segera meraih tangan Jace dan menggenggamnya erat.“Hei, kau akan merasa lega kalau ikut berteriak. Ikut aku!” teriak Jovie lagi sambil mencondongkkan badannya ke Jace.Jovie mengangkat tinggi tangan Jace, dan keduanya mulai berteriak kencang saat kora-kora menghempas cepat ke depan. Secara ajaib, semua kecemasan yang Jace rasakan tadi perlahan menghilang. Dia merasa terbebas saat berteriak, perasaan s
“Seharusnya kau lebih sering mengajak kami untuk makan siang di luar seperti ini, Corey.” Jace menyeringai, ketika berbagai macam menu makanan terhidang di meja mereka.“Kau tahu aku pria yang sibuk, bukan?” jawab Corey santai tanpa beban.Jace mendengkus. “Kau mengatakannya seakan hanya kau saja yang sibuk di sini. Aku dan Jovie juga sama-sama sibuk.”Corey menatap keduanya, lalu seringai tipis tersungguing di wajahnya. “Benar juga, kalian memang akhir-akhir ini terlihat sangat sibuk. Benar begitu, Jovie?”Jovie hampir tersedak makanannya saat Corey melempar pertanyaan padanya secara tiba-tiba. Dengan cepat, Jace menyodorkan segelas air minum pada Jovie.“Thanks, Jace.” Jovie terlihat sedikit tersipu.Sebagai perayaan kecil untuk berlangsungnya kerja sama antara Luxio Hotel dan perusahaan milik Jace, Corey siang ini mengajak Jace dan Jovie makan siang di sebuah restoran. Cukup sulit untuk menyesuaikan jadwal mereka bertiga, tapi di sinilah mereka sekarang. Saling berbicara santai dan