Terakhir kali Jace mengajak Jovie pergi ke rumah sakit waktu tangan wanita itu tergores sebelum mereka ke taman hiburan tempo hari, Jovie bisa dengan mulus menolaknya. Namun saat ini, wanita itu tak bisa lagi menolak karena ada Corey yang ikut menyeretnya ke rumah sakit. Meskipun sepanjang jalan Jovie telah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, tetap tak membuat dua pria itu mendengarkannya.“Tak ada luka yang serius? pernapasannya baik-baik saja? Tadi dia sempat menghirup banyak asap.” Corey menanyakan hal itu dengan terburu-buru pada dokter yang sedang merawat luka bakar ringan di lengan Jovie.“Semua baik-baik saja, hanya luka bakar ringan ini yang harus diobati agar tidak menjadi infeksi.” Dokter menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari luka Jovie. “Setelah perawatan ini selesai, Nona Montgomery diperbolehkan untuk pulang,” imbuhnya lagi.Jace dan Corey menghela napas lega bersamaan. Sementara Jovie melempar tatapan menuntut pada keduanya. Beberapa saat setelah dokter sele
Tatapan Jace terlihat dalam ke arah Cassy. Pria itu jelas mengetahui semua hal yang diucap oleh wanita itu, Cassy tak akan pernah membiarkan siapa pun merebut apa yang menjadi miliknya. Namun, sepertinya Jace harus kembali meluruskan sesuatu.“Sayangnya,” Jace berbisik pada telinga Cassy, kedua tangannya mengarah ke pinggang wanita itu, bersiap untuk mendorongnya kembali. “Aku tidak pernah menjadi milikmu. Dan sekarang, get the fuck out of here!” Sebelah tangan Jace mengangkat gagang intercom, menyambung pada sekretarisnya di luar. “Bawa wanita ini keluar dari ruanganku sekarang juga!”Cassy menatap garang pada Jace. Tak terima karena dia kembali ditolak setelah usahanya untuk mengancam. “Jace! kau akan menyesal telah melakukan hal ini padaku!”Jace menatap tajam pada wanita itu, menegaskan bahwa dia tidak takut sedikit pun dengan gertakan kecil semacam itu. “Aku justru akan menyesal jika tidak segera menyingkirkanmu, Cassy. Kau sudah keterlaluan, dan aku tidak akan membiarkanmu mend
“Kau benar-benar datang,” ucap Jovie saat dia melihat Jace di depan gedung apartemennya.Jace tersenyum. “Sudah kubilang aku akan menjemputmu. Masuklah, tidak ada yang tertinggal?”Jovie menggeleng, gerakannya patuh saat Jace menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Satu tangan Jace melindungi kepala wanita itu agar tidak terbentur bagian atas pintu mobil.“Obat juga sudah dibawa?” tanya Jace lagi setelah dia duduk di belakang kemudi.“Aman, semua sudah kubawa.” Jovie menunjukkan satu kantong tempat dia menaruh obat dan vitaminnya.Jace meraih tangan Jovie, memperhatikan luka Jovie yang telah diganti dengan plester luka baru. “Aku harap tidak pernah melihatmu terluka lagi, Jovie.”Jovie terkekeh sambil menarik tangannya. “Aku tidak bisa berjanji untuk itu, Jace, tapi aku akan berusaha untuk terus berhati-hati agar tidak terluka.”Jace menatap Jovie lembut. “Aku akan menjagamu agar tidak terluka lagi.”Wajah Jovie bersemu merah. Secepat mungkin dia mengalihkan pandangannya dan berpura-pura me
Sebuah hal yang tidak berani diharapkan oleh Jovie pada Jace adalah sebuah pernyataan cinta. Banyak hal yang dia pertimbangkan sampai memutuskan untuk tidak berharap, tapi di sinilah Jovie saat ini, berdiri di depan Jace dengan perasaan campur aduk yang membuat matanya berkaca-kaca.Tubuh Jovie masih mematung dengan keterkejutan, dan kondisi mata yang masih berkaca-kaca. Bohong jika dia tidak terharu. Wanita cantik itu bahagia mendengar pernyataan cinta yang lolos di bibir Jace, tapi tiba-tiba ingatannya teringat tentang bagaimana dirinya dan Jace bisa saling mengenal.“Jace, tapi kau—” Lidah Jovie terus kelu, di kala mengingat sesuatu yang menjadi awal mula dirinya mengenal Jace.“Tapi apa, hm?” Jace membelai pipi Jovie lembut.Sentuhan Jace bagaikan aliran listrik, memberikan sengatan dan seolah melumpuhkan organ saraf tubuh Jovie. “J-Jace, k-kau, kan memiliki banyak wanita di hidupmu. Iya, kan? A-apa semua wanita kau perilakukan seperti ini?” Lidah Jovie mulai memberanikan diri mer
Baru sekitar beberapa menit yang lalu Jovie masuk ke dalam apartemennya setelah pulang kerja. Saat dia duduk sambil meminum segelas air, tiba-tiba saja teringat dengan tawaran dari Jace untuk pindah ke penthouse dan tinggal bersama.Tentu saja Jovie tak langusng menjawab, dia mengatakan akan memikirnya terlebih dahulu. Pindah tempat bukan hal yang mudah bagi Jovie, lagi pula hubungan mereka baru sehari dimulai. Rasanya seperti terlalu cepat jika dia memutuskan untuk tinggal bersama.Bukan berarti juga Jovie adalah tipe konvensional yang menentang tinggal bersama. Tidak sama sekali. Dia hanya merasa takut jika semua hal dimulai dengan terburu-buru akan menimbulkan sakit hati yang teramat dalam.Bisa dibilang, percintaannya selama ini adalah nol. Hal paling mendasar yang menyebabkannya seperti itu adalah karena dia memiliki trauma tersendiri pada sebuah hubungan karena melihat orang tuanya. Berpisah dengan menyakitkan, dan membuatnya tak bisa menikmati kasih sayang orang tua.Oleh karen
Jovie sudah mulai bersiap untuk pulang ketika tiba-tiba Corey masuk ke dalam ruangannya dengan raut wajah serius dan sorot mata yang menatap tajam pada dirinya. Jovie mengerutkan kening, sambil menunggu Corey sampai berada di hadapannya, bersandar di meja kerja sementara dirinya sendiri masih duduk di kursi kerjanya.“Ada masalah apa? Kenapa wajahmu terlihat menyeramkan?” tanya Jovie dengan tatapan bingung.Corey melipat kedua tangannya di depan dada dengan tetap mengarahkan pandangannya lurus ke arah Jovie. “Katakan sejujurnya padaku. Kau dan Jace sekarang memiliki hubungan selain partner kerja?”Dada Jovie menjadi berdebar saat mendengar pertanyaan Corey. Saat ini, setiap dia mendengar nama Jace atau apa pun yang berkaitan dengan pria itu, jantungnya langusng berdebar tak karuan. Jovie tersenyum malu, sambil sedikit menganggukkan kepalanya dia menjawab, “Sebenarnya aku sudah berencana untuk menceritakan hal ini padamu, tapi ternyata justru kau yang bertanya lebih dulu.”Corey menyi
Jovie menatap heran pada sebuah kotak paket yang tergeletak di depan pintu apartemennya saat dia pulang kerja. Kotak yang tidak seberapa besar itu bahkan sangat ringan, mampu diraih oleh satu tangan oleh Jovie. Tidak ada nama pengirim yang tertera, tapi jelas tertulis bahwa penerima paket itu adalah dirinya.“Aneh,” gumamnya.Pasalnya, selama ini tidak pernah ada paket yang datang karena Jovie selalu membeli semua barang yang dia butuhkan langsung ke toko. Dia hampir tidak pernah berbelanja online kecuali untuk memesan makanan.Paket misterius itu pun pada akhirnya dia bawa masuk ke dalam apartemen dan diletakkan di atas meja ruang santai. Jovie penasaran dengan isinya, tapi dia merasa harus mandi air hangat dulu biar lelah di tubuhnya sedikit berkurang.Setelah mandi dan menyantap makan malam sederhananya, dia teringat dengan paket misterius yang masih berada di atas meja depan tv. Perlahan, dia membuka paket itu dan langsung terkejut ketika melihat isi di dalamnya. Puluhan fotonya y
Jovie keluar dari ruangannya, dengan kening mengerut dan langkah cepat. Beberapa detik yang lalu, interkom dari resepsionis berdering dan menyampaikan bahwa ada tamu asing yang memaksa untuk bertemu dengan Jovie. Entah siapa pun itu, Jovie merasa dia harus segera menemuinya.“Jovie Montgomery?” sapa seseorang itu dengan raut wajah ramah.Jovie tersenyum, menunjukkan sikap sopan dan ramah yang memang menjadi hal wajib pada setiap jasa pelayanan. “Benar, ada yang bisa dibantu?”“Ah, maafkan aku. Seharusnya aku mengenalkan diriku lebih dulu. Cassy Cowen.” Cassy mengulurkan tangannya pada Jovie, dengan anggun.Jovie membalas jabatan tangan Cassy sambil tersenyum. “Ada yang bisa kubantu, Nona Cowen?”Cassy menggandeng lengan Jovie sambil terkekeh. “Panggil saja aku Cassy, boleh aku memanggilmu Jovie saja? Aku ingin bersikap akrab denganmu.”Jovie merasa sangat aneh, tapi entah kenapa dia tidak bisa menolaknya. “Oke, Cassy. Boleh aku tanya, ada keperluan apa menemuiku? Kurasa aku tidak memi
“Jovie, Kiddos! Bisakah kalian berkumpul di ruang santai sebentar?!” teriak Jace, sepulang dari kantor, di awal liburan musim panas yang telah dinantikan oleh keluarganya.Judith dan Jonan bahkan sampai hampir begadang semalaman karena merayakan hari bebasnya untuk libur selama musim panas. Jika saja Jovie tidak mengomel dan menghentikan paksa kegiatan mereka, sudah dipastikan bahwa mereka berdua tidak akan beranjak dari ruang bermainnya.Tak lama kemudian, Jovie yang sepertinya baru saja selesai mandi, berjalan tergopoh dengan wajah bingung. Rambutnya bahkan masih setengah basah, tidak sempat berlama-lama dikeringkan dengan hair dryer karena teriakan dari Jace. Sementara Judith dan Jonan, mereka berlari dengan tatapan antusias, bercampur dengan sedikit takut. Mungkin saja, hari ini mereka akan dimarahi oleh Jace karena semalam tidak segera tidur.“Ada apa, Jace? Apa ada masalah?” tanya Jovie waspada.Jace tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Judith dan Jonan sedi
Keluarga bahagia Jovie telah beberapa bulan ini tinggal di mansion. Sekarang, Judith dan Jonan telah memiliki halaman yang luas untuk bermain. Kamar mereka pun telah masing-masing. Selain itu, Jace juga memperkerjakan beberapa pelayan dan pengasuh pribadi untuk kedua anaknya.Hal itu membuat Jovie menjadi lebih banyak waktu bersantai. Seperti saat ini, ketika dia menemani Jace yang sedang berenang. Wanita itu duduk di kursi malas di pinggir kolam renang, bersantai sambil membaca novel.Setelah beberapa kali putaran bolak-balik, Jace naik dari kolam, menuju ke istrinya yang telah memandangnya sambil tersenyum.“Di mana anak-anak?” tanya Jace.“Sedang tidur bersama pengasuh. Dari pagi mereka membuat para pengasuh kewalahan karena harus menuruti keinginan mereka untuk camping dadakan di halaman depan,” jawab Jovie.Jace tertawa, membayangkan bagaimana sibuknya mengurus dua anak yang sangat aktif itu. “Kurasa mereka tidak akan bangun sampai sore nanti.”Jovie mengangguk setuju. “Tampaknya
“Hei, Honey. Bisa minta tolong panggilkan Judith dan Jonan untuk makan? Dari tadi mereka terlihat sibuk di kamarnya. Makan siang sebentar lagi akan selesai,” ucap Jovie tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan yang berdesis berisik karena potongan daging yang baru saja dia masukkan.“Sure,” ucap Jace.Hari minggu yang cerah, tidak ada jadwal yang mengharuskan mereka untuk pergi. Dari pagi Judith dan Jonan telah sibuk, entah apa yang sedang mereka lakukan. Sementara Jace menikmati waktu santai dengan melihat film dan sesekali bermain game di ponsel.Semenjak berkeluarga, dia benar-benar membuat hari minggu sebagai hari bebas kerja. Entah itu urusan pekerjaan kantor, ataupun urusan di klub. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya.Jace mengetuk pintu kamar si kecil yang masih sharing bedroom. Saat pintu dibuka, Judith dan Jonan melonjak kaget, sambil berusaha menyembunyikan sesuatu di balik tubuh kecil mereka.Jace menyipitkan kedua matanya, kemudian menutup pintu dan mendekat pad
“This is for you, Mom,” ucap Judith, memberikan sebuah surat pada Jovie yang akan dibawa ke ruang operasi oleh perawat.Hari ini adalah jadwal operasi kelahiran anak kedua dari Jovie dan Jace. sementara Judith yang baru datang bersama dengan orang tua Jace, terlihat sangat antusias untuk menyambut kehadiran adiknya.“Apa ini, Sayang?” tanya Jovie, dengan nada lembut yang selalu dia ucapkan pada anaknya.Judith tersenyum, menampilkan gigi kelincinya yang lucu. “Untuk Mom agar semangat. Aku akan menunggu Mom dan adik bayi di sini.”Jovie tersenyum, sambil membuka lipatan kertas berwarna pink muda itu.*Mommy yang paling cantik, semangat ya. Judith tunggu adik bayi lahir. I love you, Mommy!*Senyum haru terukir di wajah Jovie. Dia kemudian merengkuh Judith, dan memeluknya erat. “Terima kasih, Sayang. I love you too.” Ucapnya, kemudian mencium kedua pipi Judith dan kening putrnya tersebut.Orang tua Jace mendekat, memeluk Jovie bergantian dan mengatakan untuk tidak khawatir. Jovie mengang
Kepulan asap tipis membumbung tinggi dari cangkir berisi kopi yang sedang dipegang oleh Jovie. Rutinitas pagi yang selalu dia lakukan di pagi hari. Menikmati morning coffe time di kursi balkon, sembari menunggu suami dan anaknya bangun untuk sarapan.Satu tangan menelusup lembut melalui belakang lehernya, mengalung dan menggantung di depan dadanya. Detik berikutnya, kecupan pagi mendarat di pipi dari Jace yang tidak pernah dia lewatkan selama lebih dari empat tahun pernikahan mereka.“Good morning, Nyonya Sherwood. Apakah tidurmu semalam nyenyak?” tanya Jace, bermanja di pundak Jovie.Jovie meletakkan cangkirnya di atas meja, lalu menarik Jace untuk berada di depannya. Pria tampan itu pindah, berjongkok dengan satu lutut sambil menatap penuh cinta pada Jovie. Meskipun pernikahan mereka telah berlangsung lama, tapi tidak memudar sedikit pun rasa cinta Jace pada istrinya tersebut. Bahkan, setiap hari bertambah lebih besar.“Tentu saja, Tuan. Kau membuatku tidur dengan sangat nyenyak,” u
“Bisakah sore ini aku ke tempatmu?” tanya Jace, dengan raut wajah serius dengan ponsel menempel di telinganya. Sementara sorot kedua matanya tetap fokus pada laporan penjualan yang tertera di layar monitor.“Oh, great! Aku akan ke sana sekarang. See you soon!”Jace menghela napas, kemudian berdiri dan menyambar kunci mobil yang tergeletak di dekat gagang telpon interkom ruang kerjanya. Langkahnya bergegas cepat, seakan sedang mengejar hal penting yang tidak boleh sampai dilewatkan.Tak lama kemudian, Jace telah sampai di halaman sebuah mansion. Helaan napas kembali terdengar, mengawali raut gelisahnya yang semakin terlihat. Meskipun begitu, kakinya terlihat tegas saat mulai memasuki pintu masuk mansion.“Kalian sudah berada di sini semua?!” Jace tak percaya melihat Zayn dan Andre yang telah duduk santai di sofa ruang santai.Kedua rekannya itu melambai singkat, tanpa beranjak dari posisi duduknya masing-masing. Dari arah dapur, Vintari menyapa Jace sambil membawa satu nampan penuh ber
“Kita akan kembali ke Amerika, kan?” Jace kembali mencoba untuk membujuk Jovie agar mau kembali pulang bersamanya.Jovie tak langsung menjawab. Dia hanya menoleh sebentar, kemudian kembali mencari baju di gantungan lemari. “Jika kau kembali menanyakan hal yang sama berulang kali, aku akan membatalkannya dan melanjutkan kontrak di sini selama beberapa tahun ke depan.”Mendengar itu, membuat Jace langsung melempar majalah yang tadi dia bolak-balik tanpa berniat untuk membacanya. Secepatnya, dia berdiri di belakang Jovie, kemudian memeluknya dari belakang.“Jangan, aku tidak bisa jauh lagi dari kalian,” ucap Jace sambil mengelus perut Jovie lembut.‘Tapi,” ujar Jovie. “Aku harus pergi ke suatu tempat dulu hari ini.”“Ke mana?” tanya Jace.Jovie tersenyum. “Ke acara penting dari orang yang sangat kusayangi.”Jace memicingkan kedua matanya. “Orang yang kau sayang? Ada orang lain lagi selain diriku?”Jovie terkekeh sambil mengangguk. “Kau nanti akan tahu. Bersiap-siaplah, jam enam sore kita
Sepanjang perjalanan Jace untuk menemui Jovie, dia mendapatkan tekanan yang cukup menghantam sisi egonya untuk berkompetisi sebagai seorang pria. Ada pertanyaan yang muncul tentang, mungkinkah Corey menyukai Jovie?Perkataan Corey sebelum dia menutup telpon terakhirnya dengan Jace, membuatnya merasa harus lebih dulu untuk kembali meyakinkan pada Jovie bahwa semua masalah yang terjadi di antara mereka adalah salah paham.Tujuan awal Jace setelah keluar sampai di Seoul adalah Luxio Hotel. Kamar Predisen Suite telah di-booking tanpa sepengetahuan dari Jovie. Setelah memastikan bahwa barang-barangnya telah aman berada di kamar, dia kembali turun ke lobby untuk menunggu Jovie pulang kerja.Sementara itu, Jovie yang tidak menaruh curiga sedikit pun, malam ini turun dengan tenang setelah memastikan semua pekerjaannya selesai. Baby bump di perutnya mulai terlihat. Sesekali dia mengusap perutnya setiap kali dia merindukan Jace. Bahkan hari ini pun dia masih memikirkannya.Berkali-kali Jovie me
Situasi yang tercipta di ruangan kerja Corey tidak bisa dibilang baik-baik saja. suasana tegang mendominasi, mencekam, berusaha saling mengatur emosi untuk tidak meledak.“Sekali lagi aku tidak akan memberi tahu di mana Jovie saat ini berada.” Suara Corey sedingin es, tidak ada niatan sedikit pun untuk membocorkannya lagi.Namun Jace juga tidak menyerah begitu saja. Dia terus dalam pendiriannya untuk mencari tahu di mana Jovie saat ini berada. “Corey, please! Ada hal yang harus kuperbaiki dengannya!”Shit!Corey tidak bisa menahan amarahnya lagi. Kata-kata Jace dari tadi terdengar seperti gonggongan yang hanya menyakitkan telinganya. Cukup satu kali dia memberikan jalan untuk pria itu memperbaiki kesalahan. Nyatanya? Justru semakin membuat Jovie terpuruk sampai di titik saat ini.“Berengsek!” Corey melayangkan tinjunya pada wajah Jace.Jace ambruk, terjatuh ke belakang karena tidak siap dengan pukulan Corey yang tiba-tiba. Meskipun begitu, dia tidak berusaha membalas. Sejatinya, dia j