Tatapan Jace terlihat dalam ke arah Cassy. Pria itu jelas mengetahui semua hal yang diucap oleh wanita itu, Cassy tak akan pernah membiarkan siapa pun merebut apa yang menjadi miliknya. Namun, sepertinya Jace harus kembali meluruskan sesuatu.“Sayangnya,” Jace berbisik pada telinga Cassy, kedua tangannya mengarah ke pinggang wanita itu, bersiap untuk mendorongnya kembali. “Aku tidak pernah menjadi milikmu. Dan sekarang, get the fuck out of here!” Sebelah tangan Jace mengangkat gagang intercom, menyambung pada sekretarisnya di luar. “Bawa wanita ini keluar dari ruanganku sekarang juga!”Cassy menatap garang pada Jace. Tak terima karena dia kembali ditolak setelah usahanya untuk mengancam. “Jace! kau akan menyesal telah melakukan hal ini padaku!”Jace menatap tajam pada wanita itu, menegaskan bahwa dia tidak takut sedikit pun dengan gertakan kecil semacam itu. “Aku justru akan menyesal jika tidak segera menyingkirkanmu, Cassy. Kau sudah keterlaluan, dan aku tidak akan membiarkanmu mend
“Kau benar-benar datang,” ucap Jovie saat dia melihat Jace di depan gedung apartemennya.Jace tersenyum. “Sudah kubilang aku akan menjemputmu. Masuklah, tidak ada yang tertinggal?”Jovie menggeleng, gerakannya patuh saat Jace menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Satu tangan Jace melindungi kepala wanita itu agar tidak terbentur bagian atas pintu mobil.“Obat juga sudah dibawa?” tanya Jace lagi setelah dia duduk di belakang kemudi.“Aman, semua sudah kubawa.” Jovie menunjukkan satu kantong tempat dia menaruh obat dan vitaminnya.Jace meraih tangan Jovie, memperhatikan luka Jovie yang telah diganti dengan plester luka baru. “Aku harap tidak pernah melihatmu terluka lagi, Jovie.”Jovie terkekeh sambil menarik tangannya. “Aku tidak bisa berjanji untuk itu, Jace, tapi aku akan berusaha untuk terus berhati-hati agar tidak terluka.”Jace menatap Jovie lembut. “Aku akan menjagamu agar tidak terluka lagi.”Wajah Jovie bersemu merah. Secepat mungkin dia mengalihkan pandangannya dan berpura-pura me
Sebuah hal yang tidak berani diharapkan oleh Jovie pada Jace adalah sebuah pernyataan cinta. Banyak hal yang dia pertimbangkan sampai memutuskan untuk tidak berharap, tapi di sinilah Jovie saat ini, berdiri di depan Jace dengan perasaan campur aduk yang membuat matanya berkaca-kaca.Tubuh Jovie masih mematung dengan keterkejutan, dan kondisi mata yang masih berkaca-kaca. Bohong jika dia tidak terharu. Wanita cantik itu bahagia mendengar pernyataan cinta yang lolos di bibir Jace, tapi tiba-tiba ingatannya teringat tentang bagaimana dirinya dan Jace bisa saling mengenal.“Jace, tapi kau—” Lidah Jovie terus kelu, di kala mengingat sesuatu yang menjadi awal mula dirinya mengenal Jace.“Tapi apa, hm?” Jace membelai pipi Jovie lembut.Sentuhan Jace bagaikan aliran listrik, memberikan sengatan dan seolah melumpuhkan organ saraf tubuh Jovie. “J-Jace, k-kau, kan memiliki banyak wanita di hidupmu. Iya, kan? A-apa semua wanita kau perilakukan seperti ini?” Lidah Jovie mulai memberanikan diri mer
Baru sekitar beberapa menit yang lalu Jovie masuk ke dalam apartemennya setelah pulang kerja. Saat dia duduk sambil meminum segelas air, tiba-tiba saja teringat dengan tawaran dari Jace untuk pindah ke penthouse dan tinggal bersama.Tentu saja Jovie tak langusng menjawab, dia mengatakan akan memikirnya terlebih dahulu. Pindah tempat bukan hal yang mudah bagi Jovie, lagi pula hubungan mereka baru sehari dimulai. Rasanya seperti terlalu cepat jika dia memutuskan untuk tinggal bersama.Bukan berarti juga Jovie adalah tipe konvensional yang menentang tinggal bersama. Tidak sama sekali. Dia hanya merasa takut jika semua hal dimulai dengan terburu-buru akan menimbulkan sakit hati yang teramat dalam.Bisa dibilang, percintaannya selama ini adalah nol. Hal paling mendasar yang menyebabkannya seperti itu adalah karena dia memiliki trauma tersendiri pada sebuah hubungan karena melihat orang tuanya. Berpisah dengan menyakitkan, dan membuatnya tak bisa menikmati kasih sayang orang tua.Oleh karen
Jovie sudah mulai bersiap untuk pulang ketika tiba-tiba Corey masuk ke dalam ruangannya dengan raut wajah serius dan sorot mata yang menatap tajam pada dirinya. Jovie mengerutkan kening, sambil menunggu Corey sampai berada di hadapannya, bersandar di meja kerja sementara dirinya sendiri masih duduk di kursi kerjanya.“Ada masalah apa? Kenapa wajahmu terlihat menyeramkan?” tanya Jovie dengan tatapan bingung.Corey melipat kedua tangannya di depan dada dengan tetap mengarahkan pandangannya lurus ke arah Jovie. “Katakan sejujurnya padaku. Kau dan Jace sekarang memiliki hubungan selain partner kerja?”Dada Jovie menjadi berdebar saat mendengar pertanyaan Corey. Saat ini, setiap dia mendengar nama Jace atau apa pun yang berkaitan dengan pria itu, jantungnya langusng berdebar tak karuan. Jovie tersenyum malu, sambil sedikit menganggukkan kepalanya dia menjawab, “Sebenarnya aku sudah berencana untuk menceritakan hal ini padamu, tapi ternyata justru kau yang bertanya lebih dulu.”Corey menyi
Jovie menatap heran pada sebuah kotak paket yang tergeletak di depan pintu apartemennya saat dia pulang kerja. Kotak yang tidak seberapa besar itu bahkan sangat ringan, mampu diraih oleh satu tangan oleh Jovie. Tidak ada nama pengirim yang tertera, tapi jelas tertulis bahwa penerima paket itu adalah dirinya.“Aneh,” gumamnya.Pasalnya, selama ini tidak pernah ada paket yang datang karena Jovie selalu membeli semua barang yang dia butuhkan langsung ke toko. Dia hampir tidak pernah berbelanja online kecuali untuk memesan makanan.Paket misterius itu pun pada akhirnya dia bawa masuk ke dalam apartemen dan diletakkan di atas meja ruang santai. Jovie penasaran dengan isinya, tapi dia merasa harus mandi air hangat dulu biar lelah di tubuhnya sedikit berkurang.Setelah mandi dan menyantap makan malam sederhananya, dia teringat dengan paket misterius yang masih berada di atas meja depan tv. Perlahan, dia membuka paket itu dan langsung terkejut ketika melihat isi di dalamnya. Puluhan fotonya y
Jovie keluar dari ruangannya, dengan kening mengerut dan langkah cepat. Beberapa detik yang lalu, interkom dari resepsionis berdering dan menyampaikan bahwa ada tamu asing yang memaksa untuk bertemu dengan Jovie. Entah siapa pun itu, Jovie merasa dia harus segera menemuinya.“Jovie Montgomery?” sapa seseorang itu dengan raut wajah ramah.Jovie tersenyum, menunjukkan sikap sopan dan ramah yang memang menjadi hal wajib pada setiap jasa pelayanan. “Benar, ada yang bisa dibantu?”“Ah, maafkan aku. Seharusnya aku mengenalkan diriku lebih dulu. Cassy Cowen.” Cassy mengulurkan tangannya pada Jovie, dengan anggun.Jovie membalas jabatan tangan Cassy sambil tersenyum. “Ada yang bisa kubantu, Nona Cowen?”Cassy menggandeng lengan Jovie sambil terkekeh. “Panggil saja aku Cassy, boleh aku memanggilmu Jovie saja? Aku ingin bersikap akrab denganmu.”Jovie merasa sangat aneh, tapi entah kenapa dia tidak bisa menolaknya. “Oke, Cassy. Boleh aku tanya, ada keperluan apa menemuiku? Kurasa aku tidak memi
Jovie tak pernah menyangka bahwa dirinya akan melihat pemandangan yang sama sekali tidak dia inginkan. Sesuatu yang selama seminggu ini telah coba dia tepiskan sampai akhirnya mengalah untuk menemui Jace. Namun sepertinya dia datang di waktu yang salah—atau justru di waktu yang benar?Jace membelalakkan matanya saat melihat Jovie berdiri di ujung lorong, melihatnya dengan tatapan tak percaya karena sedang berpelukan dengan wanita lain. Bukan, Jace bahkan tidak membalas pelukan Cassy. Namun sudah pasti Jovie salah paham dengan posisi Jace.“Lepaskan!” desis Jace pada Cassy.Cassy menyeringai, dia tetap mengeratkan pelukannya sampai Jace harus mendorongnya dengan sedikit kencang karena Jovie mulai berbalik pergi.“Jangan pergi, Jace!” ucap Cassy sambil menarik lengan Jace.Jace menatap tajam pada Cassy, menepis tangan wanita itu cepat dan segera mengejar Jovie yang hampir mencapai lift. Jace semakin mempercepat kakinya untuk berlari, beruntung sebelah tangannya berhasil menahan pintu sa