“Apa katamu?” Elena mengulang pertanyaannya.“Nyonya Kate menghilang.”Satu tetes air mata mengalir dari mata Mary. Mata Elena membelalak seketika. Pandangannya beredar ke sekeliling.“Di sini? Kapan?”“Baru saja aku membelikan air minum tapi waktu kembali, Nyonya sudah tidak ada.”“Sudah hubungi Carl?”“Sudah, Nyonya.”“Kita cari di sekitar sini dulu. Aku akan membantu.”Elena memanggil sopirnya yang sedang berdiri di sekitar taman untuk membantu mereka mencari, demikian pula untuk sopir Kate. Sementara keempat orang itu menyisir area sekitar sebaik mungkin. Seraya mencari, karena tak ada tanda-tanda Kate, Elena menelepon Carl.“Halo, Carl, apa kau bisa melacak ponsel Kate?”“Kami sedang mencobanya. Aku meminta rekaman cctv di sekitar taman.”“Apa kita perlu lapor polisi?”“Jangan dulu. Kita cari sendiri sementara waktu.”“Aku akan membantu mencari di sini dulu kalau begitu.”“Ya, terima kasih, Elena.” Setelah menutup panggilan Elena, Carl mengordinasikan para bo
Aroma cairan kimia yang tidak begitu familer terasa di hidungnya, membuat Kate perlahan membuka mata indahnya. Meski rasa pusing masih menguasainya, Kate memaksa matanya membuka sempurna. Napasnya seolah terhenti saat mendapati ruangan gelap dan pengap terasa menghimpitnya. Pantas saja bau kimia yang Kate duga adalah dari obat bius itu tercium kuat di ruangan sempit itu. Sadar jika mulutnya dibungkam dengan tali agar tak bisa bicara, tangan, dan kakinya juga terikat membuat tubuhnya terasa pegal. Berusaha mengingat kembali apa yang terjadi sebelum ia kehilangan kesadaran, Kate mulai menyadari sepenuhnya jika ia telah diculik. Pertanyaannya, siapa yang menculiknya? Leti atau Lucchee? Dengan posisinya saat ini, untuk bisa bangkit berdiri, ia cukup kesulitan, karena perutnya yang memasuki kehamilan 5 bulan hampir berlalu. Kate berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki beberapa orang dan salah seorang pria itu men
Pria tinggi besar itu keluar dari kantor polisi. Langkahnya melambat saat tiba di sebuah bangku panjang. Tatapannya menerawang ke langit malam hari itu yang kelam dan mendung. Seorang pria berambut cokelat menghampirinya.“Bagaimana laporannya?” tanya Edmund.“Lancar. Aku masih tak bisa percaya, mereka membuang ponsel Kate.”“Mungkin karena sudah menduga kita akan melacak ponselnya.”Ed mendengus dengan kesal. Ia bersandar pada bangku kursi dengan napas berat.“Tadi sore dia datang ke kantor. Kami bertengkar hebat. Seharusnya tadi aku memaksanya tinggal atau mengejarnya saat di lift.”Carl mengacak-acak rambutnya sesaat. Tatapannya sekelam langit. “Apa kau menyesal?”“Lebih dari itu, seharusnya aku membalas perasaannya.”“Dia bukan wanita yang begitu ekspresif, tapi, yang kutahu tentang kakakku itu, jika dia sudah menentukan sesuatu, dia akan mengejar dan mempertahankannya jika sudah berhasil. Kate selalu gigih dalam hal apa pun.”“Untuk kali pertama, setelah sekian l
Dalam gerakan lambat, Kate seperti melihat pria yang baru saja muncul itu melesat ke arahnya lalu menarik dua orang penculik itu. Samar-samar, ia mendengar suara tak karuan seperti orang bertengkar cukup lama.“Bawa mereka ke markasmu! Aku sendiri yang akan menghabisi orang-orang ini!”Suara yang terdengar familier. Seseorang mendekat, berbicara padanya.“Kate, Kate, bangunlah. Ini aku, Ed.”Ia di bantu duduk oleh orang yang mengaku sebagai adiknya. Tak lama kemudian seseorang muncul dan memegangi tubuhnya.“Kate, bangun, tolong bangunlah. Ini aku, Carl.” Pandangannya sedikit jelas, ia bisa melihat wajah suaminya itu tengah berbicara padanya, dengan sisa tenaga, Kate mengangkat tangannya ke arah tangan Carl.“Tolong aku, bayinya, bayinya ....” Pandangannya menggelap, ia tak bisa melihat apa-apa lagi. Suara-suara yang memanggil namanya juga semakin lirih. Hingga terasa sunyi seketika. Keheningan yang membawanya tidur cukup lama.*** Ed menghela napas bera
“Kate, barusan kau bicara padaku, kan?”“Jawab saja, apa kau akan menepati janjimu kalau aku sudah bicara begini?”“Ya, apa pun yang kau inginkan, aku akan melakukannya. Bagaimana?”Kate mengangguk singkat sebelum kembali terdiam. Ia bisa melihat binar mata dalam tatapan Carl yang kembali memeluknya.“Apa yang kau mau?”“Tidak sekarang.”“Baiklah, baiklah, jangan terburu-buru. Pelan saja.”Pria berambut hitam itu mengangguk mengerti disertai senyum lebarnya. Ia mengamati wajah istrinya yang mulai meringkuk kedinginan di dalam bathtube.“Aku kedinginan. Sudah selesai.”Kate buru-buru bangkit dari air, Carl dengan sigap mengambil bathrobe untuknya. Segera setelah Kate keluar dari kamar mandi d a mencari bajunya sendiri, Carl membuntuti ke mana pun ia pergi.“Mau sarapan sesuatu? Biar kupanggilkan staf dapur.” Wanita dengan warna iris cokelat itu menggelengkan kepalanya. Ia kembali fokus kembali menatap cermin, memoles make up naturalnya. Melihat Kate duduk di meja rias
Hari berlalu begitu cepat saat Kate yang menikmati waktunya menjenguk ibunya Mary harus berakhir. Ed mengajaknya segera kembali, karena tak enak dengan kakak iparnya. Ed berpikir Carl pasti khawatir saat ini. Dengan ekspresi enggan, Kate akhirnya menuruti permintaan Ed untuk segera kembali ke mansion. “Kau kan masih bisa bertemu dengan Mary lagi nanti. Kenapa malas kembali ke mansion?” “Hanya bosan saja.” “Suamimu pasti, khawatir, Kate.” Kate tak menanggapi, menyibukkan diri menatap ke luar jendela. Hari sudah menjelang sore, ia bisa dengan mudah melihat garis batas cakrawala yang indah. “Aku akan pergi ke pohon di dekat studio sendiri. Kau tetap di sini saja.” “Tapi, ....” “Ed, di sekitar studio, kan banyak bodyguard juga, kau tak perlu khawatir.” Usai turun dari mobil, wanita bergaun kombinasi putih dan biru itu berjalan santai ke arah studio. Meninggalkan Ed yang bernapas kasar. “Yang aku khawatirkan Carl yang marah karena tak bisa menemuimu. Kenapa kau terkesan menghindari
Wanita berambut panjang itu menatap Carl yang duduk di tepi ranjang dari pantulan cermin. Tatapannya menurun ke arah kaos hitam ketat yang pria itu pakai, mencetak jelas tubuh atletisnya. Kate menggelengkan kepalanya singkat untuk menyingkirkan fokus yang tidak perlu. Pria dengan rambut yang mulai memanjang lebih dari biasanya itu menunggu jawaban Kate. Ia melihat pandangan muram Kate dari pantulan cermin. Tak lama, Kate berjalan menuju ranjang dan segera naik. Carl menarik selimut dan menyelimuti istrinya yang duduk bersandar di kepala ranjang. “Silakan.”Terkesan formal, Carl menangkap itu sebagai sinyal menjaga jarak. Ia duduk sama persis seperti Kate. Kepalanya menoleh ke kiri, menatap wajah polos tanpa make up yang cantik itu dengan senyum samar.“Aku merasa kau menjaga jarak denganku.”Kate hanya diam, menunggu Carl melanjutkan.“Aku ingin tahu, apa yang membuatmu masih marah padaku meski sudah mau beraktivitas seperti biasa. Sejak tadi aku hanya bisa menduga k
Begitu turun dari mobil, wanita berhidung mancung itu melangkah cepat menuju lantai dua. Ed dan Mary bahkan hanya bisa menatap dengan sendu. Tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun pada Kate. Usai menutup pintu kamar, Kate berjalan ke sana kemari dengan gusar. Mencegah air matanya turun sebaik mungkin. Merasa lebih baik jika Carl bergegas ke ruang kerjanya saat ini. Ia tak ingin Carl ada di satu ruangan dengannya. Wanita berambut pendek lurus itu berhenti melangkah, menatap ke arah balkon, saat dugaannya salah. Langkah kaki yang semakin mendekat membuat Kate menegang. Waktu yang buruk, dadanya serasa ingin meledak.“Kate?”“Bisakah kau ... pergi? Aku ....”Kalimatnya tak selesai, suaranya semakin bergetar. Ia memejamkan mata saat membelakangi Carl.“Jangan ditahan. Menangislah.”“Tidak, aku tid ...” Carl membalikkan tubuh istrinya itu lalu memeluknya dengar erat. Baru saat itulah tangis Kate pecah, siapa yang mendengar tangis memilukan itu pasti merasaka