Begitu turun dari mobil, wanita berhidung mancung itu melangkah cepat menuju lantai dua. Ed dan Mary bahkan hanya bisa menatap dengan sendu. Tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun pada Kate. Usai menutup pintu kamar, Kate berjalan ke sana kemari dengan gusar. Mencegah air matanya turun sebaik mungkin. Merasa lebih baik jika Carl bergegas ke ruang kerjanya saat ini. Ia tak ingin Carl ada di satu ruangan dengannya. Wanita berambut pendek lurus itu berhenti melangkah, menatap ke arah balkon, saat dugaannya salah. Langkah kaki yang semakin mendekat membuat Kate menegang. Waktu yang buruk, dadanya serasa ingin meledak.“Kate?”“Bisakah kau ... pergi? Aku ....”Kalimatnya tak selesai, suaranya semakin bergetar. Ia memejamkan mata saat membelakangi Carl.“Jangan ditahan. Menangislah.”“Tidak, aku tid ...” Carl membalikkan tubuh istrinya itu lalu memeluknya dengar erat. Baru saat itulah tangis Kate pecah, siapa yang mendengar tangis memilukan itu pasti merasaka
“Aku tidak menghindarimu.”“Benarkah? Kau tidak akan menghindari ini?” Wanita berambut cokelat madu itu tertegun saat menghirup aroma woody dan mint dari Carl. Seperti tak bertemu dengan wangi yang menenangkan itu sekian lama. Kate hanya bisa berdiri mematung saat tangan Carl turun meraih pinggangnya. Menatap leher jenjang yang putih dan mata cokelat yang menyala itu membuat Carl kehilangan akal. Sebagian kesadarannya menguap begitu melihat bibir berwarna orange itu. Kepalanya menunduk, menghirup lebih dekat aroma mawar di sekitar leher Kate yang halus. Berkat rambut yang diikat rapi, ia bisa menatap sepuasnya. Gerakan tangan suaminya yang semakin mengetat saat menarik pinggangnya ke depan, membuat napas Kate berhenti. Dalam sekian detik, waktu terasa berjalan melambat ketika Carl dengan lembut memagut bibirnya. Jika itu ciuman yang menuntut atau kasar, Kate akan dengan mudah mendorong Carl. Tapi, kelembutan yang ia rasakan justru membuatnya semakin melemah d
“Mau kabur?” Seketika Kate membeku, semua gerakannya terhenti. Sial, ternyata suaminya itu sudah bangun. Kate terpaksa merebahkan diri kembali ketika pelukan Carl semakin erat.“Ya, sayangnya kau sudah bangun.”“Kenapa kau ingin kabur?”“Malas meladenimu, kau pasti menertawakanku, kan? Seolah bersikap dingin tapi, akhirnya ....”“Tidak, kenapa aku menertawakanmu? Aku justru berterima kasih karena kau bersedia membuka hatimu lagi.” Wanita berambut pendek itu diam tak menanggapi, ingatannya kembali ke masa saat ia diculik. Informasi dadi Leti, yang mengatakan jika Carl telah merencanakan semua ini hanya untuk mengikatnya dalam sebuah pernikahan. Kate mencoba berpikir positif dengan memberi waktu pada Carl untuk memberitahunya.“Aku hanya ingin tahu apa kau jijik padaku atau tidak, itu saja.”“Karena insiden itu? Tentu saja tidak. Bagiku kau adalah segalanya, Kate, dan orang-orang menjijikkan itulah yang ma ... harusnya yang malu.”Kate mengerutkan kening, seolah kata
“Bagaimana kau tahu kalau Mary bisa memainkan piano sebagus ini?” tanya Carl yang bertepuk tangan bersama pengunjung lain atas permainan piano Mary.“Dia sendiri yang bilang menyukai piano, aku hanya menebak dia bisa bermain dengan baik.”“Wah, ini di luar dugaan.”“Sebenarnya aku berencana membeli piano, agar Mary bisa bermain saat waktu luang di mansion. Bagaimana menurutmu, Carl?”“Lakukan saja sesuai keinginanmu. Kenapa harus tanya padaku?”“Kau kan tuan rumahnya, mana mungkin aku ....”“Kau juga nyonya rumahnya, sayang. Jangan lupa itu.”“Kalau begitu aku akan segera membeli piano yang bagus.” Pria berambut hitam legam itu menatap istrinya dengan kagum. Wanita di depannya itu pandai dalam menilai orang. Sesuatu dalam diri Kate selalu membuat orang lain ingin lebih dekat dengannya. Hal itu berlaku juga untuknya. Tak ada yang bisa menghalanginya untuk menjaga Kate tetap di sisinya. Makan malam hari itu berlangsung dengan santai dan romantis. Carl dan Kate banyak
Wanita berambut cokelat madu itu hanya bisa diam saat Carl menggandeng tangannya keluar dari labirin. Ia terpaksa menjejak kenyataan begitu Carl mengakhiri ciuman dan mengajaknya kembali ke kamar. Ia bahkan tak begitu sadar saat berhasil keluar dari area taman. Sesekali, Carl menoleh ke sampingnya. Menatap wajah istrinya yang tadi sempat pucat. Kini, wanita itu hanya terdiam. Meski tak sepucat beberapa menit lalu, tapi, ada raut muram di sana. Carl menutup pintu kamarnya usai Kate masuk lebih dulu.“Kate, apa yang kau pikirkan? Kau terlihat muram.”“Tidak, tidak ada.”“Apa kau masih merasa takut karena ingatan buruk?”Pria jangkung itu berjalan mendekati Kate yang menggelengkan kepala sekali lagi.“Tidak.”“Jadi, kenapa wajah cantikmu terlihat murung?”“Aku tidak ... seperti itu.”“Apa kau kecewa akan sesuatu?”Jari Carl menyapu lembut bibir Kate. Membuat mata berwarna cokelat itu melebar seketika. Tangan Kate terangkat, memegang lengan besar Carl.“Aku ingin tidur
Wanita berambut pendek dengan style oval layer itu berjalan dengan santai bersama seorang wanita berambut pirang di pusat kota. Seraya bercengkerama dan tersenyum satu sama lain, keluar masuk dari beberapa toko pakaian, mereka kini memasuki sebuah kafe. Kate membiarkan Ed dan Mary ikut serta meski duduk di meja berbeda.“Kurasa hubunganmu dan Carl berjalan lancar.”Pernyataan awal dari Elena membuat Kate mengalihkan pandangan ke sahabatnya itu. Ia bersandar dengan santai seraya tersenyum.“Ya, setelah sekian lama aku tak mau bicara dengan siapa pun.”“Lalu, apa yang mengubahmu, hingga kau mau bicara dan kembali seperti biasa?”“Ada hal yang ia janjikan. Carl berjanji akan menuruti semua permintaanku.”Elena mengerutkan keningnya. Kate, bukan tipe orang yang bertindak impulsif. Ia senang sahabatnya itu sudah mau bicara dengan orang lain dan kembali menjadi Kate yang dulu setelah mengalami kejadian penculikan dan kehilangan bayinya. Bahkan, sempat menyalahkan sepenuhnya kepa
Wanita bergaun sederhana warna biru itu tak bergerak sesenti pun dari tempatnya. Ia bahkan menahan napas selama beberapa detik agar Ed dan Mary tak menyadari keberadaannya. Hingga seekor kucing mendadak keluar dari persembunyian dan berlari seraya bersuara keras. Melewati Ed dan Mary dengan santainya. Jantung Kate serasa ingin lepas. “Kita kembali saja ke mansion.” Suara Mary terdengar, keduanya lalu melangkah pergi dari area labirin. Meninggalkan Kate yang napasnya terengah-engah setelah sempat menahan napas cukup lama. Belum selesai mengatur napasnya, mendadak sebuah lengan besar melingkupi pinggangnya. “Kau kenapa? Seperti barusan melihat hantu.” Carl menatap istrinya dengan kening berkerut. Wajah Kate tampak terkejut, wanita itu memukul lengannya dengan keras. “Kau lagi! Selalu mengagetkan dan tiba-riba muncul.” “Ada apa? Kenapa melihat ke arah itu terus?” Kate berdehem sesaat. Tak hanya mengatur napasnya, tapi, juga suaranya. Setelah embusan napas panjang sekali, ia berba
Tak ada penerangan di sekitar, meski begitu, sinar rembulan yang terang cukup membantunya melihat jalanan. Kate berlari menembus tempat itu. Kaki telanjangnya menginjak ranting-ranting yang jatuh. Menggores luka yang tak ia hiraukan. Yang ia tahu hanya harus lari. Napasnya yang terengah tak menghalangi Kate untuk berlari lebih cepat hingga di tempat yang dipenuhi cahaya bulan itu. Tanah lapang yang membuatnya bernapas lebih baik. Saat menoleh ke belakang, di belakangnya terlihat hutan yang rimbun dan gelap. Ia berjalan perlahan ke depan. Pria dengan kemeja putih itu berdiri membelakanginya. Tapi, dari jarak mereka, Kate yakin dengan postur dan figur wajah yang sedikit menoleh ke belakang itu. Pria yang berdiri di tepi jurang itu tak sepenuhnya menoleh. “Carl.” Tak ada jawaban, pria itu kini justru menatap ke depan dan perlahan melangkah maju. Kate berlari, mencoba meraih lengan pria yang menyingsihkan lengan kemeja itu. Tinggal satu langkah lagi, dan ia gagal meraihnya karena