Wanita dengan bulu mata lentik itu menyandarkan kepala ke kaca mobil dan menutup mata. Mengatur napasnya sebaik mungkin, hingga ia merasa pria di sebelahnya itu bergeser mendekat. Mengubah posisi kepalanya menjadi bersandar ke pundak kokoh itu. Kate membiarkan saja hingga sampai di mansion. “Tak apa, biar aku saja.” Terdengar suara berat Carl saat pintu mobilnya dibuka. Sesaat kemudian, Kate merasa tubuhnya melayang. Tentu saja, karena Carl menggendongnya sampai kamar. Kesadarannya semakin turun dan menyerah pada mimpi begitu punggungnya menyentuh ranjang yang lembut itu. Beberapa jam berlalu, sejak Kate tertidur. Wanita dengan aroma khas mawar itu perlahan membuka matanya. Tangannya menjangkau ke sebelahnya. Ia sendirian. Tangan lentik itu lalu memegangi kening, sakit kepalanya mulai berkurang berkat tidur beberapa jam. Melihat tak ada kilau sinar matahari yang masuk, ia tahu malam sudah tiba. Mengerjapkan mata dengan lemah beberapa kali, Kate mengedarkan pandangannya. Suara
Kate turun dari punggung Carl saat mereka mencapai salah satu sisi kolam. Kate mengeluarkan tangannya untuk berpegangan pada tepi kolam. “Aku tidak banyak berenang saat kecil. Jadi, aku tak bisa berenang. Tapi, ternyata ini lebih menyenangkan dari yang kukira, Carl.” “Bukankah ini tergantung dengan siapa kau berada di kolam renangnya? Karena denganku tidak pernah membosankan, kan?” Wanita berhidung mancung itu hanya mencibir saat mendengar nada penuh percaya diri Carl. Tapi, mungkin juga karena suasana hotel dan kolam yang di desain romantis, menjadikan semua ini menyenangkan untuknya. Kate melepas pegangannya dan perlahan menjauh dari tepi. Hanya beberapa langkah dan ia hampir terpeleset. Beruntung dengan sigap Carl mengawasinya dan menangkapnya dengan cepat. “Ini bisa jadi menakutkan dalam sesaat,” ucap Kate dengan terkejut. Ia berpegangan erat ke lengan Carl. “Lebih baik kita pindah ke sana. Kolam itu lebih dangkal.” “Apa airnya hangat seperti di sini?” “Ya, tadi aku sud
“Kate, aku ingin tahu, sebenarnya kenapa kau ingin kita menginap di rumah ibu Drake saat dua hari terakhir kita berbulan madu?”“Aku punya kejutan untukmu. Nanti kuberitahu saat kita sampai di sana.”Meski mengerutkan kening, Carl mengangguk setuju. Mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan ke dalam koper.“Sudah siap semuanya. Kalau begitu, ayo kita berangkat.” Dengan senyum lebar dan semangat menggebu, Kate keluar dari kamar bersama Carl. Berangkat untuk memulai perjalanan selanjutnya, menuju ke rumah Mama Lily, ibu mertua Elena. Total waktu dibutuhkan untuk sampai ke rumah itu setengah jam lebih sedikit. Seperti yang Elena katakan, Mama Lily sudah menanti kedatangan tamunya. Begitu terdengar suara mobil berhenti di depan rumahnya, wanita tua yang masih energik itu segera keluar untuk menyambut.“Wah, anak-anakku sudah datang. Selamat datang Kate, Carl.”Kate yang baru turun dari mobil berjalan cepat mendekati Mama Lily dan memeluk ibu mertua sahabatnya itu.
“Tunggu sebentar.”Gabriel beranjak pergi dari kursinya, kembali ke area dapur mansion. Meninggalkan Kate dan Carl sendiri.“Pria yang menarik,” ucap Carl seraya melirik ke arah Kate.“Ya, kurasa dia cocok denganmu.”“Sepertinya menurutmu kata ‘menarik’ termasuk dalam artian penampilan juga, kan?”“Tentu saja, kau bisa lihat, kan. Oh, aku lupa, kenapa mengatakan ini pada pria yang bahkan cemburu dengan adikku sendiri.”Wanita dengan dress krem santai selutut itu sengaja menggoda suaminya.“Waktu itu kita belum tahu kalau Ed adik kandungmu. Lagi pula kalian tampak mirip dan ... akrab, lebih akrab dibandingkan denganku.” Kate tertawa ringan seraya menggelengkan kepala pada Carl yang membuat alasan itu. Tapi, memang harus ia akui, Carl cukup sering bersikap kekanakan seperti ini. Saat melempar pandangan ke arah lain, keduanya melihat seorang pria tua berjalan kesulitan seraya membawa kota kayu berisi sekumpulan wine. Carl pun segera meluncur mendekati pria tua itu dan memban
“Semua tentang Gabriel, tak sebanding denganmu, sayang. Kau tetap favoritku.”“Memangnya apa yang kau sukai dariku dibandingkan dengannya?” tanya Carl seraya tersenyum puas.“Mmm, sebenarnya tak perlu membandingkan. Tapi, aku suka tampilan maskulin di wajahmu dan kulit kecokelatanmu.”“Bukankah lebih baik yang sama putihnya denganmu?”“Kalau begitu apa kau ingin aku pergi ke tempat Gabriel saja?”Kate mengancam candaan Carl seraya berpura-pura akan berdiri. Tentu saja pria itu tak mau membiarkannya. Carl memperkuat pelukannya.“Aku hanya bercanda. Senang mendengar istriku memberiku predikat favorit.”Kate menyembunyikan kepalanya dalam pelukan Carl. Ia mengirup aroma woody khas suaminya itu yang membawa ketenangan dalam hatinya. Terasa aman dan nyaman.“Carl, apa kau bisa memberiku sesuatu?”“Apa yang kau minta?”“Bisakah kau berjanji untuk lebih terbuka padaku? Maksudku dalam hal penting di hidupmu.”Ada jeda dengan perkataan Kate sebelum Carl menjawab.“Aku janji.”“Ken
Hangat sinar matahari pagi yang turut mencerahkan hari membuat Kate ingin berlama-lama berdiri di balkon kamar. Embusan angin tipis yang menyegarkan semakin candu, Kate memejamkan matanya dan merentangkan kedua lengan. Jika bisa, ia masih ingin tetap tinggal di rumah Mama Lily sedikit lebih lama.“Sayang, malas pulang ke Inggris ya?”Lengan Carl melingkari pinggang ramping Kate seraya menundukkan kepalanya. Mencoba menatap wajah dengan mata masih terpejam itu sebaik mungkin.“Ketahuan, ya. Kalau saja masih ada beberapa hari tersisa untuk kembali.”“Mau pulang dua hari lagi?”“Tidak, Carl. Kita harus pulang sesuai jadwal. Pekerjaanmu pasti sudah menumpuk.”“Kita bisa ke sini lain kali, asal Mama Lily mengizinkan.”“Memangnya boleh mengambil cuti lagi?”“Boleh, Kate. Kau lupa siapa presdirnya?”Kate membalikkan tubuhnya, ia melingkari leher Carl dengan lengannya.“Maaf, Tuan, saya hampir lupa siapa presdir di Spentwood grup.”“Itu cukup mengecewakan, istriku.” Ke
Wanita dengan dress semi formal itu memasuki gedung diikuti dua pengawalnya. Kate Hepburn membuat janji temu dengan tahanan bernama Letisha. Wajah Mary dan Ed sejak awal memasuki area bangunan itu sudah tegang. Setelah berbicara sesaat dengan seorang petugas di bagian administrasi, Kate diminta menunggu hingga namanya dipanggil.“Ini bukan hal bagus. Apa yang ingin kau ketahui dari Leti?” tanya Ed.“Apa aku tidak boleh bertemu orang yang membuatku kehilangan bayi? Aku hanya akan mengucapkan salam. Tak perlu tegang, jika Carl tahu, aku yang akan mengatasi semuanya sendiri.” Tak butuh waktu lama untuk Kate dipanggil petugas. Ed dan Mary mengikuti hanya sampai ruangan luar yang diperbolehkan. Dengan tenang, wanita yang mengikat rapi rambut pendeknya itu menanti dengan sabar. Ruangan tak cukup besar itu di sekat oleh lapisan kaca. Kaca itu sebagai dinding pembatas antara pengunjung dengan tahanan yang dipanggil. Beberapa menit kemudian, seorang wanita muncul dari balik
“Selamat atas pembukaan kafe barumu hari ini, Kakakku sayang.”Ed memeluk sang kakak sesaat di acara pembukaan kafe milik Kate. Kafe itu ia beri nama Fine Day. Dibuka mulai hari ini dan langsung begitu ramai. Daya tarik kafe itu tak hanya ada di desain interior maupun eksteriornya, tapi, juga menu yang menyediakan berbagai macam varian dessert.“Terima kasih adikku sayang, terima kasih, Mary. Kalian berdua sudah banyak membantuku.”“Sama-sama, Nyonya. Apa Tuan Carl belum datang?”“Dia sedang sibuk dengan proyek barunya. Tak apa.” Kate telah membicarakan ini dengan Carl di pagi hari. Ia tak masalah jika suaminya itu tak datang karena sibuk di hari pertamanya membuka kafe. Lagi pula, selama ia sakit dan tak mau bicara selama lebih dari 3 bulan, Carl lah yang memantau pembangunan kafe itu hingga selesai. Kate dibantu Ed dan Mary dan staf kafe itu pun melanjutkan melayani para tamu yang datang dengan baik. Hari pembukaan yang sukses sejak pagi di buka, membuat Kate cukup le
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang