Wanita dengan dress semi formal itu memasuki gedung diikuti dua pengawalnya. Kate Hepburn membuat janji temu dengan tahanan bernama Letisha. Wajah Mary dan Ed sejak awal memasuki area bangunan itu sudah tegang. Setelah berbicara sesaat dengan seorang petugas di bagian administrasi, Kate diminta menunggu hingga namanya dipanggil.“Ini bukan hal bagus. Apa yang ingin kau ketahui dari Leti?” tanya Ed.“Apa aku tidak boleh bertemu orang yang membuatku kehilangan bayi? Aku hanya akan mengucapkan salam. Tak perlu tegang, jika Carl tahu, aku yang akan mengatasi semuanya sendiri.” Tak butuh waktu lama untuk Kate dipanggil petugas. Ed dan Mary mengikuti hanya sampai ruangan luar yang diperbolehkan. Dengan tenang, wanita yang mengikat rapi rambut pendeknya itu menanti dengan sabar. Ruangan tak cukup besar itu di sekat oleh lapisan kaca. Kaca itu sebagai dinding pembatas antara pengunjung dengan tahanan yang dipanggil. Beberapa menit kemudian, seorang wanita muncul dari balik
“Selamat atas pembukaan kafe barumu hari ini, Kakakku sayang.”Ed memeluk sang kakak sesaat di acara pembukaan kafe milik Kate. Kafe itu ia beri nama Fine Day. Dibuka mulai hari ini dan langsung begitu ramai. Daya tarik kafe itu tak hanya ada di desain interior maupun eksteriornya, tapi, juga menu yang menyediakan berbagai macam varian dessert.“Terima kasih adikku sayang, terima kasih, Mary. Kalian berdua sudah banyak membantuku.”“Sama-sama, Nyonya. Apa Tuan Carl belum datang?”“Dia sedang sibuk dengan proyek barunya. Tak apa.” Kate telah membicarakan ini dengan Carl di pagi hari. Ia tak masalah jika suaminya itu tak datang karena sibuk di hari pertamanya membuka kafe. Lagi pula, selama ia sakit dan tak mau bicara selama lebih dari 3 bulan, Carl lah yang memantau pembangunan kafe itu hingga selesai. Kate dibantu Ed dan Mary dan staf kafe itu pun melanjutkan melayani para tamu yang datang dengan baik. Hari pembukaan yang sukses sejak pagi di buka, membuat Kate cukup le
Kate tak salah menilai, permainan piano Mary hari itu membuat suasana hatinya membaik. Bukan tanpa sebab, semalam, pembicaraannya dan Carl mendapati titik buntu. Untuk kesekian kalinya, ia yang mencoba membujuk Carl untuk memberitahunya harus menelan kekecewaan. Seharusnya ia berhenti di studio, mengingat suasana hatinya yang telah membaik dan perlu segera menuangkan emosinya dalam sapuan ke kanvas putih bersih. Tapi, saat hendak memasuki studio, Kate berubah pikiran. Ia melanjutkan langkahnya ke arah danau yang pernah Carl tunjukkan padanya. Wanita berambut cokelat itu berdiri sejenak di ujung dermaga danau. Menghela napas panjang, melepaskan rasa kecewanya pada sang suami kala mengingat pembicaraan semalam.“Sampai kapan aku harus bersabar dan menunggumu mau terbuka padaku, Carl,” gumam Kate seraya mulai menaiki perahu yang lebih seperti kano itu. Saat ia baru saja selesai menjejakkan kedua kakinya di atas perahu kayu itu, terdengar teriakan dari arah belakang.“K
Wajahnya seolah membeku, seraya menatap tangisan tanpa suara Kate yang tak berhenti, Carl kembali mendidih. Ia bangkit dari posisinya, lalu duduk di pinggir ranjang. Sementara Kate yang masih terlentang, terisak seraya terbata-bata.“Sekarang, aku menagih janjimu saat itu. Kau bilang akan menuruti apa pun permintaanku kalau aku mau bicara lagi, mau beraktivitas normal lagi. Akan kusebutkan sekarang.”“Tidak, aku tak mau mendengarnya sekarang, Kate.”Carl menoleh dengan frustrasi. Kate turun dari ranjang, mengumpulkan pakaiannya yang tercecer dan segera memakainya.“Lepaskan aku. Aku ingin tinggal di apartemenku sendiri. Biarkan aku pergi. Itu permintaanku.”Dengan nada dingin, Kate yang telah berdiri di dekat pintu kembali menoleh dengan muak.“Kau harus menuruti permintaanku yang terakhir ini, Carl.” Wanita berambut cokelat itu segera kembali ke bangunan utama. Menahan rasa sakit di seluruh badan, terutama tubuh bagian bawahnya. Ia baru sadar saat melangkah keluar st
“Kate.”Carl tersenyum usai berbalik, menatap wajah cantik nan sayu Kate. Wanita itu tampak lebih segar hari ini, senyum ceria juga mereka saat berdiri di depannya. Tak seperti semalam, saat mengunjunginya di ruang kerja.“Kau belum berangkat?”“Belum.”“Aku akan pergi sekarang, Ed ikut tinggal di apartemenku.”“Aku mengerti, setidaknya ada Ed yang menjagamu.” Seharusnya kau yang menjagaku, Carl, bisik Kate dalam hati. Ia kembali mengulas senyum. Dari jaraknya, ia bisa melihat dengan jelas kantung mata Carl. Pria ini pasti tak banyak tidur. Keduanya hanya diam dan saling menatap dalam waktu lama, hingga Kate mengambil langkah mulai menjauh.“Aku pergi, Carl.”Mendadak, pergelangan tangannya ditahan. Carl menatap tangannya cukup lama.“Carl, ada apa?”“Telepon aku, jika ada kesulitan atau apa pun.”“Ya, baiklah, jaga dirimu baik-baik, Carl. Selamat tinggal.” Kate segera melengang pergi, ia tak ingin menoleh ke belakang, sama seperti tadi malam. Jika ia mela
Rintik hujan yang turun malam itu memberikan kesan menenangkan sekaligus suasana sendu bagi seorang Kate Hepburn. Ia duduk meringkuk di jendela kamarnya seraya menatap tetes-tetes hujan yang mengenai kaca jendelanya. Berkali-kali ia menghela napas dengan berat. Menundukkan kepalanya sesaat di kedua lututnya, wanita berhidung mancung itu mengingat kembali kalimat adiknya tentang Carl.“Benar juga, bagaimana Carl mengatasi ‘kebutuhan biologisnya’? Apa mungkin dia mengunjungi tempat prostitusi selama tinggal terpisah dariku?” gumam Kate lirih. Kate beranjak dari duduknya, berjalan ke sana ke mari dengan wajah gamangnya. “Tapi, kenapa aku yang pusing? Harusnya aku tak ingin tahu dengan urusannya, kan?” Ia berbicara sendiri, sibuk dengan segala pikiran yang menghampirinya.“Tapi, bagaimana pun juga aku istrinya. Kalau dia mendatangi wanita lain untuk itu .... Tidak, tidak, aku harus berhenti memikirkan semua ini. Sejak awal aku tak berpikir sejauh ini. Kupikir Carl
Pria dengan tinggi 188 cm itu berdiri di dekat meja kerjanya. Sesaat melihat ke arah ponselnya, lalu, duduk lagi. Entah berapa kali ia melakukannya. Berkali-kali ia menghela napas panjang seraya menatap nama di kontak ponselnya. Sebuah nomor yang ia beri nama ‘Sweet Wifey’, akhirnya, ia memutuskan memencet tombol panggil. Tapi, sebelum jarinya menyentuh tombol hijau itu, orang di kontak itu sendirilah yang menelepon. Carl tertegun sebelum berdehem sejenak, lalu mengangkat panggilan tersebut.“Halo, Kate.”“Carl, jasmu ketinggalan di kamarku.”Hanya satu kalimat yang istrinya ucapkan itu membuat tubuhnya membeku. Padahal, ia bertekad tak ingin Kate mengetahui jika semalaman ia yang menjaga Kate. Tapi, bukti nyata berupa jas itu jelas tak bisa disangkal.“Carl, nanti kalau sudah selesai laundrynya, akan kukembalikan.”“Tak masalah. Bagaimana keadaanmu?”“Syukurlah, demamku sudah hilang.”Keduanya terdiam, tak ada yang melanjutkan percakapan lebih lanjut lagi. Kate bahka
“Bersenang-senang?”Carl menyambut dua wanita yang setengah mabuk itu di pintu ruang minum. Kate memberi senyum sebagai balasan. “Carl, sebaiknya kau bawa dia pulang. Kate sudah mabuk.”“Brianna, kau jelas salah besar. Kau yang kalah hari ini. Siapa juga yang mabuk.”Dua wanita itu sibuk beradu argumen siapa yang menang, tampaknya, keduanya baru saja berlomba minum.“Tidak ada yang menang. Kalian berdua sama-sama mabuk. Lebih baik aku dan Kate pulang sekarang sebelum kalian membuat kekacauan di pesta Lucy. Brianna, sadarlah.”“Sudah kubilang aku tak mabuk, Carl.” Meski tampaknya Kate memang tak semabuk Brianna, istrinya itu tak bisa berjalan dengan benar saat menghampirinya. Carl menghela napas panjang, ia memanggil salah seorang staf rumah Brianna untuk membawa kakaknya itu ke kamar. Sementara ia menggandeng Kate menuju mobil.“Kenapa kau minum banyak? Kau sendiri juga tak kuat minum, kan?Wanita yang rambutnya sudah berantakan itu tak segera menjawab. Ia mulai merasa
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang