Wajahnya seolah membeku, seraya menatap tangisan tanpa suara Kate yang tak berhenti, Carl kembali mendidih. Ia bangkit dari posisinya, lalu duduk di pinggir ranjang. Sementara Kate yang masih terlentang, terisak seraya terbata-bata.“Sekarang, aku menagih janjimu saat itu. Kau bilang akan menuruti apa pun permintaanku kalau aku mau bicara lagi, mau beraktivitas normal lagi. Akan kusebutkan sekarang.”“Tidak, aku tak mau mendengarnya sekarang, Kate.”Carl menoleh dengan frustrasi. Kate turun dari ranjang, mengumpulkan pakaiannya yang tercecer dan segera memakainya.“Lepaskan aku. Aku ingin tinggal di apartemenku sendiri. Biarkan aku pergi. Itu permintaanku.”Dengan nada dingin, Kate yang telah berdiri di dekat pintu kembali menoleh dengan muak.“Kau harus menuruti permintaanku yang terakhir ini, Carl.” Wanita berambut cokelat itu segera kembali ke bangunan utama. Menahan rasa sakit di seluruh badan, terutama tubuh bagian bawahnya. Ia baru sadar saat melangkah keluar st
“Kate.”Carl tersenyum usai berbalik, menatap wajah cantik nan sayu Kate. Wanita itu tampak lebih segar hari ini, senyum ceria juga mereka saat berdiri di depannya. Tak seperti semalam, saat mengunjunginya di ruang kerja.“Kau belum berangkat?”“Belum.”“Aku akan pergi sekarang, Ed ikut tinggal di apartemenku.”“Aku mengerti, setidaknya ada Ed yang menjagamu.” Seharusnya kau yang menjagaku, Carl, bisik Kate dalam hati. Ia kembali mengulas senyum. Dari jaraknya, ia bisa melihat dengan jelas kantung mata Carl. Pria ini pasti tak banyak tidur. Keduanya hanya diam dan saling menatap dalam waktu lama, hingga Kate mengambil langkah mulai menjauh.“Aku pergi, Carl.”Mendadak, pergelangan tangannya ditahan. Carl menatap tangannya cukup lama.“Carl, ada apa?”“Telepon aku, jika ada kesulitan atau apa pun.”“Ya, baiklah, jaga dirimu baik-baik, Carl. Selamat tinggal.” Kate segera melengang pergi, ia tak ingin menoleh ke belakang, sama seperti tadi malam. Jika ia mela
Rintik hujan yang turun malam itu memberikan kesan menenangkan sekaligus suasana sendu bagi seorang Kate Hepburn. Ia duduk meringkuk di jendela kamarnya seraya menatap tetes-tetes hujan yang mengenai kaca jendelanya. Berkali-kali ia menghela napas dengan berat. Menundukkan kepalanya sesaat di kedua lututnya, wanita berhidung mancung itu mengingat kembali kalimat adiknya tentang Carl.“Benar juga, bagaimana Carl mengatasi ‘kebutuhan biologisnya’? Apa mungkin dia mengunjungi tempat prostitusi selama tinggal terpisah dariku?” gumam Kate lirih. Kate beranjak dari duduknya, berjalan ke sana ke mari dengan wajah gamangnya. “Tapi, kenapa aku yang pusing? Harusnya aku tak ingin tahu dengan urusannya, kan?” Ia berbicara sendiri, sibuk dengan segala pikiran yang menghampirinya.“Tapi, bagaimana pun juga aku istrinya. Kalau dia mendatangi wanita lain untuk itu .... Tidak, tidak, aku harus berhenti memikirkan semua ini. Sejak awal aku tak berpikir sejauh ini. Kupikir Carl
Pria dengan tinggi 188 cm itu berdiri di dekat meja kerjanya. Sesaat melihat ke arah ponselnya, lalu, duduk lagi. Entah berapa kali ia melakukannya. Berkali-kali ia menghela napas panjang seraya menatap nama di kontak ponselnya. Sebuah nomor yang ia beri nama ‘Sweet Wifey’, akhirnya, ia memutuskan memencet tombol panggil. Tapi, sebelum jarinya menyentuh tombol hijau itu, orang di kontak itu sendirilah yang menelepon. Carl tertegun sebelum berdehem sejenak, lalu mengangkat panggilan tersebut.“Halo, Kate.”“Carl, jasmu ketinggalan di kamarku.”Hanya satu kalimat yang istrinya ucapkan itu membuat tubuhnya membeku. Padahal, ia bertekad tak ingin Kate mengetahui jika semalaman ia yang menjaga Kate. Tapi, bukti nyata berupa jas itu jelas tak bisa disangkal.“Carl, nanti kalau sudah selesai laundrynya, akan kukembalikan.”“Tak masalah. Bagaimana keadaanmu?”“Syukurlah, demamku sudah hilang.”Keduanya terdiam, tak ada yang melanjutkan percakapan lebih lanjut lagi. Kate bahka
“Bersenang-senang?”Carl menyambut dua wanita yang setengah mabuk itu di pintu ruang minum. Kate memberi senyum sebagai balasan. “Carl, sebaiknya kau bawa dia pulang. Kate sudah mabuk.”“Brianna, kau jelas salah besar. Kau yang kalah hari ini. Siapa juga yang mabuk.”Dua wanita itu sibuk beradu argumen siapa yang menang, tampaknya, keduanya baru saja berlomba minum.“Tidak ada yang menang. Kalian berdua sama-sama mabuk. Lebih baik aku dan Kate pulang sekarang sebelum kalian membuat kekacauan di pesta Lucy. Brianna, sadarlah.”“Sudah kubilang aku tak mabuk, Carl.” Meski tampaknya Kate memang tak semabuk Brianna, istrinya itu tak bisa berjalan dengan benar saat menghampirinya. Carl menghela napas panjang, ia memanggil salah seorang staf rumah Brianna untuk membawa kakaknya itu ke kamar. Sementara ia menggandeng Kate menuju mobil.“Kenapa kau minum banyak? Kau sendiri juga tak kuat minum, kan?Wanita yang rambutnya sudah berantakan itu tak segera menjawab. Ia mulai merasa
Carl mengangkat tubuh Kate dan membawanya ke kamar Ed. Dengan pelan ia mendudukkan Kate di ranjang adik iparnya itu.“Apa kau terluka?”Tanpa menunggu jawaban Kate yang masih syok, Carl mengecek tubuh istrinya itu. Ia menemukan beberapa lebam di lengan dan paha, yang tampaknya bekas pukulan yang keras. Belum lagi kedua pipi Kate yang memerah karena ditampar berkali-kali.“Sial! Si br*ngsek itu beraninya memukulmu. Ia memang perlu kuhabisi.” Hatinya mulai mendidih lagi, ia bangkit dari duduknya dan hendak melangkah keluar saat Kate mendekapnya dari belakang.“Hentikan, jangan merugikan dirimu.”“Orang itu tidak berhak hidup.”“Temani aku di sini. Tolonglah.”Carl berbalik dengan enggan, ia lebih tertarik membunuh pria pecundang itu. Tapi, ia juga tak bisa mengabaikan tubuh Kate yang gemetaran. Ia mendudukkan Kate kembali ke pinggir ranjang.“Apa yang akan kau lakukan? Menelepon polisi?”“Tidak. Aku akan memanggil Matteo.”“Carl.”Tangan Kate meremas lengan besar
Kate Hepburn terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Jam di dinding menunjukkan pukul 02.37. Ia menoleh ke samping, Carl tertidur dengan pulas di sampingnya. Perlahan, Kate beranjak pergi. Ia segera mengambil gelas dan membuka lemari pendingin. Baru saja ia menutup pintu lemari pendingin itu, Carl tengah berdiri di sampingnya.“Astaga! Carl!”Kate hampir menjatuhkan gelasnya, ia mengambil napas panjang lalu mundur untuk duduk di kursi terdekat. Carl berdiri di samping Kate.“Kau selalu terkejut.”“Itu karena suara langkah kakimu tak terdengar.”“Kupikir kau ke mana.”“Aku haus. Mau minum?”Kate baru saja menuangkan air ke gelasnya, Carl dengan sigap mengambil lalu meneguk air di gelas yang Kate pakai itu. “Mau minum wine?” tanya Carl mendadak. Wanita berambut sebahu itu teringat saat awal mula ia tinggal di apartemen ini dulu. Waktu terasa kembali ke masa itu. Malam – malam panasnya dengan Carl dimulai tepat seperti saat ini. Ketika mereka minum wine dan dud
Mata berwarna cokelat itu langsung membelalak. Kate segera membuat panggilan untuk adiknya itu.“Ed, aku baru membaca pesanmu. Apa kau akan memperpanjang campingmu?”“Halo, Kak. Ya, kami memperpanjang tiga hari lagi. Apa kau baik-baik saja kalau aku pulang terlambat?”“Oh, ya, aku baik-baik saja. Nikmati waktu liburanmu.”“Ya. Tidak ada yang terjadi selama aku pergi?”“Semua baik-baik saja di sini. Apa kau sehat?”“Tentu saja. Kami sehat dan baik-baik saja.”“Berhati-hatilah. Aku menunggumu pulang.”“Baiklah. Sampai jumpa tiga hari lagi.”“Ya, sampai jumpa, Ed.” Kate menutup panggilan itu seraya mengembuskan napas dengan berat. Itu artinya, ia harus tinggal sedikit lebih lama dengan Carl. Hari ini, ia harus memberitahu jika ia masih akan tinggal di apartemen itu. Kate melalukan panggilan lagi untuk Carl.“Halo, Carl, bisakah kita makan siang bersama?”“Tentu saja, Kate. Kau ingin makan di mana?”“Aku kirimkan alamat tempatnya. Kita bertemu di sana.”“Tidak, aku