“Bos, tak apa, biar kami bereskan.”Sepasang mata cokelat Kate melebar saat menatap pecahan gelas yang baru saja ia jatuhkan. Dua orang staf sibuk membereskan pecahan kaca itu.“Maaf, aku tidak fokus.”“Kami bisa mengatasinya, bos istirahat saja.” Kate pun mundur, ia melangkah menuju kantornya. Tak ada yang bisa ia lakukan jika terus berada di situ, mengingat pikirannya tak sedang fokus. Ia duduk di sofa panjang kantornya. Menyugar rambutnya yang kini telah memanjang. Wanita ramping itu mencoba menghubungi Carl sekali lagi. Tapi, percuma saja, tak ada tanggapan sama sekali. Seharian ini ia tak bisa fokus bekerja karena tak tahu ke mana Carl menghilang. Hari itu, ia pulang lebih cepat, seraya menemui Lex yang selalu siap mengantarnya ke mana pun. Ia melihat mobil Carl yang selalu mengantarnya sudah terparkir di depan kafe. Segera setelah masuk ke mobil, Kate menatap ke arah Lex.“Beritahu Carl, kalau dia masih tak pulang hari ini, besok aku yang akan pergi dari ap
Wanita berperawakan ramping dan kulit seputih salju itu berhenti tiga langkah jaraknya dari Carl. Indra penciuman Kate yang tajam menangkap aroma anyir khas darah dari suaminya itu. Wajah tanpa ekspresi itu hanya diam menatapnya.“Carl, apa kau terluka?”Kate mulai mendekat, baru satu langkah, suara rendah dan tegas itu terdengar.“Berhenti di situ. Jangan mendekatiku!”“Kenapa?”“Lebih baik kau menjauh dariku. Tidakkah kau merasa penampilanku buruk dan bau darah?” Tangan pria tinggi besar itu mengepal di kedua sisi tubuhnya. Bukannya menyingkir atau menjauh, Kate justru menghalanginya masuk semakin dalam.“Aku tidak merasa begitu, jadi tenang saja. Kemarilah dan ceritakan padaku.” Pria bermata setajam elang itu menatap Kate seolah istrinya itu berupa hantu. Ia hanya perlu menggeser tubuh wanita itu sedikit dan segera masuk ke kamarnya saja.“Carl. Kemarilah.”Satu tangan Kate terulur ke depan. Senyum hangat yang jarang Carl lihat kini tampak jelas di depannya.
Pria dengan garis rahang tegas itu menatap istrinya yang masih terbaring di sofa dengan tenang. Carl perlahan terduduk, ia membantu Kate bangkit lalu duduk di sampingnya.“Aku tidak bisa melihatmu pergi. Saat itu yang ada di pikiranku hanya bagaimana membuatmu tetap bersamaku, apa pun caranya.”“Karena aku mengatakan ingin hidup sendiri dengan bayiku, begitu?”“Ya, bukan hanya tentang tanggung jawab pada bayi kita saja, tapi, aku tidak mau kehilanganmu, Kate. Dan saat mengetahui kau hamil, itu bisa menjadi alasan dasar untuk semuanya, di tengah ancaman Leti. Semua seolah memberiku kesempatan untuk ... menahanmu, meski kau tak mencintaiku.”“Memangnya saat itu kau mencintaiku?”Mata setajam itu melembut saat menatap kembali ke arah istrinya. Ia tahu betul, semua perkataannya terdengar egois.“Ya, aku mencintaimu sejak kau pertama kali tinggal di sini. Karena itu aku berkali-kali mengatakan cinta, meski berkali-kali itu pula kau menolakku karena alasan profesional. Saat itul
“Meski pun begitu, aku akan diam. Sulit kubayangkan, perkataan kejam apa yang Aaron katakan tentangku hingga membuatmu marah besar. Dia ... membuatku kesulitan beberapa tahun terakhir. Aku bahkan tidak bisa menerima cinta dari orang lain karena selalu hidup dalam ketakutan akan bertemu pria sepertinya. Itu semua memuakkan.” Wanita dengan dress pendek berwarna abu itu meneguk habis winenya. Wajahnya yang memerah menjadi pertanda ia sudah mulai mabuk.“Tak peduli kau membunuhnya atau tidak, itu semua tak penting lagi, Carl. Aku juga minta maaf karena menyembunyikan fakta jika aku telah meminum pil pencegah kehamilan. Kurasa aku sudah mabuk, sebaiknya aku segera tidur.”Kate beranjak dari duduknya, ia melewati Carl yang masih duduk dengan santai. Sesaat kemudian, langkahnya terhenti karena Carl menahan pergelangan tangannya.“Lalu, apa kau mencintaiku?”“Apa?”“Kalau kedengarannya kau tak keberatan tentang bagaimana kehidupanku dan apa yang kulakukan, apa itu namanya cinta?”
Wanita yang memiliki lesung pipi itu menatap adiknya lurus-lurus. Dengan kalimat pelan dan jelas, ia menceritakan kronologi saat Aaron datang dan merangsek masuk ke apartemen itu. Cerita Kate yang sedetail mungkin membuat Ed merasa marah sekaligus lega. Begitu marah pada pria bernama Aaron itu, tapi, juga lega karena mengetahui Carl berhasil menyelamatkan kakaknya lagi. Kakak iparnya itu memang bisa dia andalkan.“Setelah kejadian itu, aku tinggal di apartemen Carl. Dengan perjanjian akan kembali ke sini saat kau pulang.”“Sejujurnya waktu itu, kami hendak pulang dari camping sesuai jadwal. Tapi, malam itu, Carl meneleponku. Dia ingin membuatmu tinggal lebih lama di tempatnya dan ada masalah yang ingin diselesaikan. Saat aku mendesak bertanya tentang apa itu, ia belum mau menjelaskan. Jadi, kami tinggal semalam lebih lama di gunung lalu setelah turun, aku tidur di apartemen temanku. Sampai pulang hari ini.”“Jadi, Carl yang memintamu menunda kepulangan?”“Ya. Sepertinya dia
Pria tinggi besar itu membeku di tempatnya. Pertanyaan yang terlontar dari istrinya itu tak ia duga sama sekali. Satu alisnya naik lebih tinggi.“Baiklah, kau pulang saja sana.” Kate menggelengkan kepala usai mengatakannya. Wanita dengan tinggi 167 cm itu berbalik. Tapi, langkahnya tertahan saat suara maskulin terdengar.“Maukah kau pulang denganku?” Mata dengan bulu lentik nan cantik itu mengerjap beberapa kali sebelum menatap ke belakang. Kate menatap Carl yang terdiam menunggu jawabannya.“Itu kalau kau mau dan tak keberatan.”“Tentu saja aku ingin membawamu pulang, tapi, kukira tadi kau ingin di sini.”“Aku ... harus memberitahu Ed dulu. Jangan sampai dia lupa mengunci pintu dan jendelanya.”Kate berjalan cepat menuju kamar adiknya seraya menyembunyikan senyumnya. Meninggalkan Carl yang terkekeh seraya menggelengkan kepalanya.“Kenapa dia begitu menggemaskan saat marah?” gumam Carl lirih. Kate mengetuk pintu kamar adiknya itu. Setelah beberapa saat, ia
Kate menjauhkan tubuh Carl untuk menatap wajah suaminya itu lebih jelas. Ia melihat wajah Carl menegang. Sorot matanya berubah tajam.“Sayang, ada apa?” tanya Kate dengan muram.“Aku tidak bisa meniduri wanita yang babak belur seperti ini. Kau pasti masih kesakitan.”Carl menarik tali lingerie itu kembali ke pundak Kate. Ia lalu beranjak turun.“Carl, apa maksudmu? Kau tidak mau ... denganku lagi?”“Tidak, bukan begitu. Aku tak bisa melihat lebam itu. Tiap kali aku melihatnya, aku marah dengan diriku sendiri.” Carl mengambil sesuatu dari dalam kotak lemarinya. Saat ia kembali ke ranjang, Kate dengan mata berkaca-kaca menatapnya.“Tidak, jangan salah paham. Bukan aku menolakmu. Tapi, akan lebih baik kalau kau sembuh dari lukamu. Berbaliklah, aku punya salep agar lebammu cepat sembuh.” Perlahan, Kate duduk memunggungi suaminya. Carl dengan sabar mengoleskan salep tersebut ke setiap lebam yang masih tersisa. Ia lalu membaliknya tubuh, Kate.“Di mana lagi?”Tanpa
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang