Pria dengan garis rahang tegas itu menatap istrinya yang masih terbaring di sofa dengan tenang. Carl perlahan terduduk, ia membantu Kate bangkit lalu duduk di sampingnya.“Aku tidak bisa melihatmu pergi. Saat itu yang ada di pikiranku hanya bagaimana membuatmu tetap bersamaku, apa pun caranya.”“Karena aku mengatakan ingin hidup sendiri dengan bayiku, begitu?”“Ya, bukan hanya tentang tanggung jawab pada bayi kita saja, tapi, aku tidak mau kehilanganmu, Kate. Dan saat mengetahui kau hamil, itu bisa menjadi alasan dasar untuk semuanya, di tengah ancaman Leti. Semua seolah memberiku kesempatan untuk ... menahanmu, meski kau tak mencintaiku.”“Memangnya saat itu kau mencintaiku?”Mata setajam itu melembut saat menatap kembali ke arah istrinya. Ia tahu betul, semua perkataannya terdengar egois.“Ya, aku mencintaimu sejak kau pertama kali tinggal di sini. Karena itu aku berkali-kali mengatakan cinta, meski berkali-kali itu pula kau menolakku karena alasan profesional. Saat itul
“Meski pun begitu, aku akan diam. Sulit kubayangkan, perkataan kejam apa yang Aaron katakan tentangku hingga membuatmu marah besar. Dia ... membuatku kesulitan beberapa tahun terakhir. Aku bahkan tidak bisa menerima cinta dari orang lain karena selalu hidup dalam ketakutan akan bertemu pria sepertinya. Itu semua memuakkan.” Wanita dengan dress pendek berwarna abu itu meneguk habis winenya. Wajahnya yang memerah menjadi pertanda ia sudah mulai mabuk.“Tak peduli kau membunuhnya atau tidak, itu semua tak penting lagi, Carl. Aku juga minta maaf karena menyembunyikan fakta jika aku telah meminum pil pencegah kehamilan. Kurasa aku sudah mabuk, sebaiknya aku segera tidur.”Kate beranjak dari duduknya, ia melewati Carl yang masih duduk dengan santai. Sesaat kemudian, langkahnya terhenti karena Carl menahan pergelangan tangannya.“Lalu, apa kau mencintaiku?”“Apa?”“Kalau kedengarannya kau tak keberatan tentang bagaimana kehidupanku dan apa yang kulakukan, apa itu namanya cinta?”
Wanita yang memiliki lesung pipi itu menatap adiknya lurus-lurus. Dengan kalimat pelan dan jelas, ia menceritakan kronologi saat Aaron datang dan merangsek masuk ke apartemen itu. Cerita Kate yang sedetail mungkin membuat Ed merasa marah sekaligus lega. Begitu marah pada pria bernama Aaron itu, tapi, juga lega karena mengetahui Carl berhasil menyelamatkan kakaknya lagi. Kakak iparnya itu memang bisa dia andalkan.“Setelah kejadian itu, aku tinggal di apartemen Carl. Dengan perjanjian akan kembali ke sini saat kau pulang.”“Sejujurnya waktu itu, kami hendak pulang dari camping sesuai jadwal. Tapi, malam itu, Carl meneleponku. Dia ingin membuatmu tinggal lebih lama di tempatnya dan ada masalah yang ingin diselesaikan. Saat aku mendesak bertanya tentang apa itu, ia belum mau menjelaskan. Jadi, kami tinggal semalam lebih lama di gunung lalu setelah turun, aku tidur di apartemen temanku. Sampai pulang hari ini.”“Jadi, Carl yang memintamu menunda kepulangan?”“Ya. Sepertinya dia
Pria tinggi besar itu membeku di tempatnya. Pertanyaan yang terlontar dari istrinya itu tak ia duga sama sekali. Satu alisnya naik lebih tinggi.“Baiklah, kau pulang saja sana.” Kate menggelengkan kepala usai mengatakannya. Wanita dengan tinggi 167 cm itu berbalik. Tapi, langkahnya tertahan saat suara maskulin terdengar.“Maukah kau pulang denganku?” Mata dengan bulu lentik nan cantik itu mengerjap beberapa kali sebelum menatap ke belakang. Kate menatap Carl yang terdiam menunggu jawabannya.“Itu kalau kau mau dan tak keberatan.”“Tentu saja aku ingin membawamu pulang, tapi, kukira tadi kau ingin di sini.”“Aku ... harus memberitahu Ed dulu. Jangan sampai dia lupa mengunci pintu dan jendelanya.”Kate berjalan cepat menuju kamar adiknya seraya menyembunyikan senyumnya. Meninggalkan Carl yang terkekeh seraya menggelengkan kepalanya.“Kenapa dia begitu menggemaskan saat marah?” gumam Carl lirih. Kate mengetuk pintu kamar adiknya itu. Setelah beberapa saat, ia
Kate menjauhkan tubuh Carl untuk menatap wajah suaminya itu lebih jelas. Ia melihat wajah Carl menegang. Sorot matanya berubah tajam.“Sayang, ada apa?” tanya Kate dengan muram.“Aku tidak bisa meniduri wanita yang babak belur seperti ini. Kau pasti masih kesakitan.”Carl menarik tali lingerie itu kembali ke pundak Kate. Ia lalu beranjak turun.“Carl, apa maksudmu? Kau tidak mau ... denganku lagi?”“Tidak, bukan begitu. Aku tak bisa melihat lebam itu. Tiap kali aku melihatnya, aku marah dengan diriku sendiri.” Carl mengambil sesuatu dari dalam kotak lemarinya. Saat ia kembali ke ranjang, Kate dengan mata berkaca-kaca menatapnya.“Tidak, jangan salah paham. Bukan aku menolakmu. Tapi, akan lebih baik kalau kau sembuh dari lukamu. Berbaliklah, aku punya salep agar lebammu cepat sembuh.” Perlahan, Kate duduk memunggungi suaminya. Carl dengan sabar mengoleskan salep tersebut ke setiap lebam yang masih tersisa. Ia lalu membaliknya tubuh, Kate.“Di mana lagi?”Tanpa
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa