Pria tinggi besar itu keluar dari kantor polisi. Langkahnya melambat saat tiba di sebuah bangku panjang. Tatapannya menerawang ke langit malam hari itu yang kelam dan mendung. Seorang pria berambut cokelat menghampirinya.“Bagaimana laporannya?” tanya Edmund.“Lancar. Aku masih tak bisa percaya, mereka membuang ponsel Kate.”“Mungkin karena sudah menduga kita akan melacak ponselnya.”Ed mendengus dengan kesal. Ia bersandar pada bangku kursi dengan napas berat.“Tadi sore dia datang ke kantor. Kami bertengkar hebat. Seharusnya tadi aku memaksanya tinggal atau mengejarnya saat di lift.”Carl mengacak-acak rambutnya sesaat. Tatapannya sekelam langit. “Apa kau menyesal?”“Lebih dari itu, seharusnya aku membalas perasaannya.”“Dia bukan wanita yang begitu ekspresif, tapi, yang kutahu tentang kakakku itu, jika dia sudah menentukan sesuatu, dia akan mengejar dan mempertahankannya jika sudah berhasil. Kate selalu gigih dalam hal apa pun.”“Untuk kali pertama, setelah sekian l
Dalam gerakan lambat, Kate seperti melihat pria yang baru saja muncul itu melesat ke arahnya lalu menarik dua orang penculik itu. Samar-samar, ia mendengar suara tak karuan seperti orang bertengkar cukup lama.“Bawa mereka ke markasmu! Aku sendiri yang akan menghabisi orang-orang ini!”Suara yang terdengar familier. Seseorang mendekat, berbicara padanya.“Kate, Kate, bangunlah. Ini aku, Ed.”Ia di bantu duduk oleh orang yang mengaku sebagai adiknya. Tak lama kemudian seseorang muncul dan memegangi tubuhnya.“Kate, bangun, tolong bangunlah. Ini aku, Carl.” Pandangannya sedikit jelas, ia bisa melihat wajah suaminya itu tengah berbicara padanya, dengan sisa tenaga, Kate mengangkat tangannya ke arah tangan Carl.“Tolong aku, bayinya, bayinya ....” Pandangannya menggelap, ia tak bisa melihat apa-apa lagi. Suara-suara yang memanggil namanya juga semakin lirih. Hingga terasa sunyi seketika. Keheningan yang membawanya tidur cukup lama.*** Ed menghela napas bera
“Kate, barusan kau bicara padaku, kan?”“Jawab saja, apa kau akan menepati janjimu kalau aku sudah bicara begini?”“Ya, apa pun yang kau inginkan, aku akan melakukannya. Bagaimana?”Kate mengangguk singkat sebelum kembali terdiam. Ia bisa melihat binar mata dalam tatapan Carl yang kembali memeluknya.“Apa yang kau mau?”“Tidak sekarang.”“Baiklah, baiklah, jangan terburu-buru. Pelan saja.”Pria berambut hitam itu mengangguk mengerti disertai senyum lebarnya. Ia mengamati wajah istrinya yang mulai meringkuk kedinginan di dalam bathtube.“Aku kedinginan. Sudah selesai.”Kate buru-buru bangkit dari air, Carl dengan sigap mengambil bathrobe untuknya. Segera setelah Kate keluar dari kamar mandi d a mencari bajunya sendiri, Carl membuntuti ke mana pun ia pergi.“Mau sarapan sesuatu? Biar kupanggilkan staf dapur.” Wanita dengan warna iris cokelat itu menggelengkan kepalanya. Ia kembali fokus kembali menatap cermin, memoles make up naturalnya. Melihat Kate duduk di meja rias
Hari berlalu begitu cepat saat Kate yang menikmati waktunya menjenguk ibunya Mary harus berakhir. Ed mengajaknya segera kembali, karena tak enak dengan kakak iparnya. Ed berpikir Carl pasti khawatir saat ini. Dengan ekspresi enggan, Kate akhirnya menuruti permintaan Ed untuk segera kembali ke mansion. “Kau kan masih bisa bertemu dengan Mary lagi nanti. Kenapa malas kembali ke mansion?” “Hanya bosan saja.” “Suamimu pasti, khawatir, Kate.” Kate tak menanggapi, menyibukkan diri menatap ke luar jendela. Hari sudah menjelang sore, ia bisa dengan mudah melihat garis batas cakrawala yang indah. “Aku akan pergi ke pohon di dekat studio sendiri. Kau tetap di sini saja.” “Tapi, ....” “Ed, di sekitar studio, kan banyak bodyguard juga, kau tak perlu khawatir.” Usai turun dari mobil, wanita bergaun kombinasi putih dan biru itu berjalan santai ke arah studio. Meninggalkan Ed yang bernapas kasar. “Yang aku khawatirkan Carl yang marah karena tak bisa menemuimu. Kenapa kau terkesan menghindari
Wanita berambut panjang itu menatap Carl yang duduk di tepi ranjang dari pantulan cermin. Tatapannya menurun ke arah kaos hitam ketat yang pria itu pakai, mencetak jelas tubuh atletisnya. Kate menggelengkan kepalanya singkat untuk menyingkirkan fokus yang tidak perlu. Pria dengan rambut yang mulai memanjang lebih dari biasanya itu menunggu jawaban Kate. Ia melihat pandangan muram Kate dari pantulan cermin. Tak lama, Kate berjalan menuju ranjang dan segera naik. Carl menarik selimut dan menyelimuti istrinya yang duduk bersandar di kepala ranjang. “Silakan.”Terkesan formal, Carl menangkap itu sebagai sinyal menjaga jarak. Ia duduk sama persis seperti Kate. Kepalanya menoleh ke kiri, menatap wajah polos tanpa make up yang cantik itu dengan senyum samar.“Aku merasa kau menjaga jarak denganku.”Kate hanya diam, menunggu Carl melanjutkan.“Aku ingin tahu, apa yang membuatmu masih marah padaku meski sudah mau beraktivitas seperti biasa. Sejak tadi aku hanya bisa menduga k
Begitu turun dari mobil, wanita berhidung mancung itu melangkah cepat menuju lantai dua. Ed dan Mary bahkan hanya bisa menatap dengan sendu. Tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun pada Kate. Usai menutup pintu kamar, Kate berjalan ke sana kemari dengan gusar. Mencegah air matanya turun sebaik mungkin. Merasa lebih baik jika Carl bergegas ke ruang kerjanya saat ini. Ia tak ingin Carl ada di satu ruangan dengannya. Wanita berambut pendek lurus itu berhenti melangkah, menatap ke arah balkon, saat dugaannya salah. Langkah kaki yang semakin mendekat membuat Kate menegang. Waktu yang buruk, dadanya serasa ingin meledak.“Kate?”“Bisakah kau ... pergi? Aku ....”Kalimatnya tak selesai, suaranya semakin bergetar. Ia memejamkan mata saat membelakangi Carl.“Jangan ditahan. Menangislah.”“Tidak, aku tid ...” Carl membalikkan tubuh istrinya itu lalu memeluknya dengar erat. Baru saat itulah tangis Kate pecah, siapa yang mendengar tangis memilukan itu pasti merasaka
“Aku tidak menghindarimu.”“Benarkah? Kau tidak akan menghindari ini?” Wanita berambut cokelat madu itu tertegun saat menghirup aroma woody dan mint dari Carl. Seperti tak bertemu dengan wangi yang menenangkan itu sekian lama. Kate hanya bisa berdiri mematung saat tangan Carl turun meraih pinggangnya. Menatap leher jenjang yang putih dan mata cokelat yang menyala itu membuat Carl kehilangan akal. Sebagian kesadarannya menguap begitu melihat bibir berwarna orange itu. Kepalanya menunduk, menghirup lebih dekat aroma mawar di sekitar leher Kate yang halus. Berkat rambut yang diikat rapi, ia bisa menatap sepuasnya. Gerakan tangan suaminya yang semakin mengetat saat menarik pinggangnya ke depan, membuat napas Kate berhenti. Dalam sekian detik, waktu terasa berjalan melambat ketika Carl dengan lembut memagut bibirnya. Jika itu ciuman yang menuntut atau kasar, Kate akan dengan mudah mendorong Carl. Tapi, kelembutan yang ia rasakan justru membuatnya semakin melemah d
“Mau kabur?” Seketika Kate membeku, semua gerakannya terhenti. Sial, ternyata suaminya itu sudah bangun. Kate terpaksa merebahkan diri kembali ketika pelukan Carl semakin erat.“Ya, sayangnya kau sudah bangun.”“Kenapa kau ingin kabur?”“Malas meladenimu, kau pasti menertawakanku, kan? Seolah bersikap dingin tapi, akhirnya ....”“Tidak, kenapa aku menertawakanmu? Aku justru berterima kasih karena kau bersedia membuka hatimu lagi.” Wanita berambut pendek itu diam tak menanggapi, ingatannya kembali ke masa saat ia diculik. Informasi dadi Leti, yang mengatakan jika Carl telah merencanakan semua ini hanya untuk mengikatnya dalam sebuah pernikahan. Kate mencoba berpikir positif dengan memberi waktu pada Carl untuk memberitahunya.“Aku hanya ingin tahu apa kau jijik padaku atau tidak, itu saja.”“Karena insiden itu? Tentu saja tidak. Bagiku kau adalah segalanya, Kate, dan orang-orang menjijikkan itulah yang ma ... harusnya yang malu.”Kate mengerutkan kening, seolah kata