Arra Bahtiar namanya.Perempuan keturunan minang dengan kulit putih sebersih susu dan rambut hitam legam sebahu. Wajahnya cantik. Perpaduan khas milik Indonesia. Tingginya semampai dengan body goals yang di idamkan kalangan perempuan. Menjadi cantik yang berstandar di Indonesia memang sulit. Tapi Arra tak perlu bersusah payah untuk mendapatkannya. Karena semua yang menjadi kualifikasi, sudah terangkap rapi dalam dirinya. Dari segi keluarga pun, Arra tak perlu khawatir. Soal uang, Arra tidak kekurangan. Soal kasih sayang, Arra tak perlu harus bersaing karena dirinya adalah putri tunggal dari seorang Hima Hermawan yang kaya raya. Dan seluruh yang menjadi idaman semua perempuan, menjadi milik Arra. Tanpa bersusah payah untuk meraih, Arra tinggal terima beres.Tapi … tahukah kalian sepert apa karakter Arra yang sesungguhnya?Ada yang pernah mengatakan seperti ini: terlalu mudah mendapatkan, menjadikan sebuah kehidupan tidak memiliki tantangan.Maka, Arra benar-benar menerapkan kalimat i
Setiap kehidupan pastilah punya yang namanya perubahan dan kehilangan. Entah kehilangan cinta, teman atau sebagian dari diri kita yang tidak pernah kita bayangkan akan hilang. Dan kemudian, tanpa kita sadari, serpihan-serpihan itu kembali. Cinta baru masuk. Teman yang lebih baik ikut serta masuk. Kita yang menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih mandiri.Meski—mungkin—kita lupa tentang ruangan di ingatan kita tentang seseorang terlalu sesak. Ada fase penuh kesesakan yang bercokol mendominasi. Kita menyebutnya masa lalu.Begitu halnya dengan Raja. Yang secara mendadak di depak mundur ke ruang kesakitannya. Raja harus mau menggali traumanya setelah seputus asa itu untuk bertahan. Setelah kuat dan kokoh untuk berdiri, tiba-tiba ada yang hadir tanpa izin.“Hai.” Sapaan dengan vokal yang tak Raja duga-duga masih memengaruhi relung hatinya mendesirkan darah di sekujur tubuhnya. “Apa kabar.” Masih berlanjut dan Raja tunjukkan gurat emosi di wajahnya tanpa segan.“Long time no see. Aku
It’s youRaja gerakkan jari-jarinya di atas tuts-tuts piano. Kedua matanya menyipit penuh binar bahagia.Di sinilah kita …Berada di bawah sinar rembulan …Mataku berkaca-kaca karena kau terlihat luar biasa.Aku minta maaf atas segala yang aku perbuat.Sebelum hari ini kau bukan milik siapa-siapa.Namun kini kau adalah milikku.Raja merasa harus meminta maaf kepada Leora untuk semua kesalahannya di masa lalu. Yang walau pun Leora lupa, bukan tidak mungkin di masa mendatang akan menciptakan boomerang. Leora Bagi Raja di masa lalu adalah bagian dari kesalahan terbaiknya.Kenapa demikian?Karena di masa kini, Leora menjadi doa dan harapannya yang Tuhan kabulkan. Dunia tidak tahu saja seperti apa bahagianya Raja mendapati Leora di sisinya. Memang tidak jelas terlihat. Tidak Nampak terpancar karena semua tertutup dengan egonya yang tinggi.Sedang jauh di dalam lubuk hatinya … bahagia dengan bunga bermekaran melingkupi kehidupannya.Genggamlah tanganku …Senyum Raja terukir dengan indahnya.
Yang pertama terkejut maksimal adalah Leora.Pagi-pagi sekali sebelum matahari menyinari bumi Jakarta, Langit berdiri dengan cengiran khasnya. Menenteng tas ransel di pundaknya dengan baju santai.“Kok …” Leora masih tercengang. “Masuk.”Lebih tercengang lagi karena vokal Raja yang memberi titah untuk Langit. Kan artinya ada konspirasi di antara kakak beradik ini yang Leora tidak tahu.“Dadakan dia tuh.” Raja memberi tahu. “Nelepon mau ke sini subuh tadi. Kamu masih anteng. Mana berani Mas bangunin.”Hah?Mas?Apalagi ini.Leora ingin nangis kejer saat itu juga. Karena seumur-umur belum pernah memanggil Raja dengan sebutan ‘Mas’. Itu adalah mami Senja untuk papi Radit. Baru nggak mustahil.“Ada apa?”Yang langsung Leora cubit lengan Raja sampai sang empunya meringis kesakitan.“Bisa nggak pakai basa-basi bentar!?” Raja menggeleng.“Ngomong sama kunyuk ini pakai basa-basi yang ada buang-buang waktu.”Wajah Leora memberengut kesal. Berbeda dengan Langit yang melihatnya dengan tatapan
Semakin bertambahnya usia, semakin sadar bahwa berdamai dengan diri sendiri perlu di pelajari benar caranya bagaimana.Raja sedang menyesuaikan diri dengan apa yang baru saja di dengarnya. Langit adalah jiplakannya yang tidak diketahui dari mana asal keras kepalanya. Mengingat mami papinya yang kalem. Tapi … entahlah.Rasanya sulit. Jika harus meredam segala amarah yang ada. Sedangkan meluapkan juga bukan jalan yang aman untuk di ambil.Belajar untuk menghadapi dan menerima, karena semua keinginan tidak harus di miliki dalam waktu yang bersamaan. Setidaknya jangan hubungan darah yang membuat kepala Raja hampir pecah.Belajar untuk lebih lapang dada, karena bumi berputar bukan cuma untuk kita, ada manusia lain yang perlu merasa senang juga.Berbekal pengalaman kecewa yang bukan cuma satu kali, sekarang makin bisa untuk ‘ya sudah, mau gimana lagi’. Berbekal doa yang tidak selalu langsung ada jawabannya, sekarang jadi bisa untuk ‘ya sudah, belum rezekinya’.Semesta bukan jahat, kita yan
Beberapa orang memercayai akan kehidupan lampau. Yang katanya bisa terjadi—kita menyebutnya dejavu—di masa kini.Maka, Raja pun demikian. Meski tidak sepenuhnya percaya pada hal-hal seperti itu, rasanya memang nyata adanya dengan yang saat ini dirinya alami. Raja pusing. Tentu saja. Raja pening. Itu pasti.Alih-alih di sibukkan dengan rengekan sang istri yang mungkin saja dalam masa ngidam, justru harus dirinya yang menangani perkara kegilaan keluarga. Kelakuan Langit dan Ratu tak bisa sepenuhnya di salahkan. Setelah di pikir-pikir lagi, siapa yang bisa menebak ke mana labuhnya hati akan jatuh?Contohnya, mami dan papinya.Raja ingat, umur mami dan papinya terpaut jauh. Namun tidak menjadi halangan untuk mereka bersama. Kebersamaan mereka pun cukup drama. Yang Raja ingat, maminya adalah salah satu murid tutor papinya dulu. Selama berkuliah, papinya memiliki pekerjaan sampingan sebagai guru les. Entah bagaimana ceritanya mereka bisa memutuskan untuk bersama. Yang pasti, tidak mudah
Rea terus mengingat pertemuannya dengan Raja. Yang saat itu dengan sombongnya Rea siniskan kalau Raja masih menyimpan luka dan trauma yang dirinya tinggalkan. Tapi ternyata tidak demikian yang terjadi. Raja hidup dengan sangat normal. Raja hidup dengan sangat tenang bahkan mendekati damai.Bagaimana tidak?Lelaki objek obsesinya itu hidup dengan baik dan memiliki pasangan. Terikat sebuah hubungan suami istri yang mana si perempuan—entah siapa yang tak ingin Rea kenal—sedang mengandung benih Raja. Rea ... sungguh tidak terima. Harga dirinya merasa jatuh dan terinjak-injak oleh Raja.Lebih tidak terima lagi dengan cara pikirnya sendiri. Kenapa Rea sangat tergila-gila dengan Raja? Kenapa Rea begitu puas andai pasangannya itu Raja?Karena cinta itu sederhana. Jawaban paling lugu yang Rea punya.Kenapa Rea harus memiliki obsesi yang sebenarnya tidak bisa dirinya raih?Seperti saat kamu membawakan payung ketika hujan datang. Banyak yang bilang masa muda dan cinta adalah pembodohan paling
Mungkin memang sudah begitu caramu menyebut namaku. Kalimat itu terus tengiang di kepala Leora. Mimpi yang dialaminya membekas diingatannya namun Leo tidak tahu tentang apa itu. Saat kedua matanya terbuka, perasaan sedih menyelimuti. Sebelum subuh, Leora sudah tidak bisa memejamkan matanya. Melihat ke sisi kanannya, ada Raja yang masih terlelap dengan dengkuran halus. Senyumnya merekah dan Leora senang sekali menyambut pagi harinya. Raja memberikan semangat lain yang tidak bisa Leora jabarkan secara jelas.Mungkin memang sudah begitu caramu mempermainkanku.Walau awalnya, hubungan yang mereka ciptakan tidak seindah apalagi terkesan layaknya pasangan lainnya. Leora tetap menikmati peran sebagai istri seorang Laraja Putra Anggoro dengan baik. Leora tidak banyak tahu tentang Raja namun mau belajar dan memahami sisi lain suaminya.Leora harus berterima kasih untuk mami dan papinya serta bersyukur kepada Tuhan. Karena setidaknya, sudah mengirimkan seorang suami seperti Raja. Yang meski sa
Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.
Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n
Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m
"Sebenarnya aku punya banyak ketakutan," aku Leora malam itu pada Raja yang sedang membaca beberapa berkas kantor. Helaan napas Leora yang berat dan diembuskan dengan kasar membuat Raja paham jika istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ada yang Leora rasakan dan hendak dibagi pada Raja. Maka menutup berkas dan sepenuhnya memfokuskan diri pada Leora segera Raja lakukan."Tentang apa?" balas Raja bertanya. Raja larikan jarinya ke kepala Leora dan mengusap rambutnya yang halus. "Kamu bisa memulainya dari hal yang paling ringan sampai nanti menemukan jawaban ketakutan apa yang membuatmu gelisah."Leora menoleh dengan senyum. Wajahnya ayu nan teduh. Sehingga siapa pun yang memandangnya akan suka dan terbuai. Raja tatapi dalam-dalam netra gelap Leora yang cerah."Banyak. Terlalu banyak sampai aku nggak bisa ngungkapin perasaan apa yang aku rasain. Aneh, 'kan istrimu ini?" kekeh Leora setelah menilai dirinya sendiri."Anggap aja itu kelebihanmu. Kalau kamu nggak unik, kita nggak ada terjebak
Dalam hidup apa benar-benar ada yang namanya akhir bahagia?Kalau pertanyaan itu ditujukan pada Langit, maka mulutnya akan terkunci rapat. Langit aja belum sepenuhnya mengerti tentang arti hidup kok malah ditanya soal kebahagiaan. Langit walaupun umurnya sudah terbilang matang buat nikah, ternyata nikah juga nggak segampang balikin tangan atau kayak yang orang lain lakukan. Mereka menikah setelah ketemu dan menjalani hubungan dengan orang yang menurutnya tepat. Lah Langit? Mubeng dulu kayak bianglala."Jadi kapan mau bawa Dinda ketemu mami sama papi, Lang?" Radit Anggoro semakin berumur semakin berkharisma. Aura kewibawaan bapak tiga anak itu terlihat dengan jelas. Langit yang ditanya kayak gitu cuma bisa nelen nasi dan ayamnya bulat-bulat. Untung nggak kesedak."Kalau udah di rasa siap, pi," jawaban Langit bukan jawaban tegas yang mau di dengar Radit. "Papi sendiri belum ngasih restu," lanjutannya bikin Radit diam. Langit ada benarnya juga."Kamu udah izin waktu itu. Papi izinin."
Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki
Tolok ukur kebahagiaan seseorang itu gimana, sih?Pertanyaan semacam itu kerap mampir ke benak Dewa. Termasuk hari ini saat dirinya akan menjemput Ratu untuk makan siang bersama. Dewa juga manusia biasa. Punya rasa penasaran dan keingintahuannya sering membludak. Kayak misalnya: Ratu bahagia nggak, ya sama aku? Ratu udah ngerasa cukup belum, ya sama aku? Aku ini pilihan yang Ratu mau atau cuma sekadar alat menutupi rasa cintanya kepada Langit dan masih banyak lagi. Misal diluapkan dalam sebuah obrolan, Dewa yakin sehari semalam nggak bakal kelar. Lawan bicaranya butuh waktu berhari-hari buat memecahkan masalah ini dan mencari tahu jawabannya. Belum lagi meyakinkan Dewa kalau itu cuma rasa takutnya aja yang sedang menyelimuti."Jadi orang pemikir emang nggak enak banget!" gerutu Dewa kepada dirinya sendiri yang sedang menyetir di tengah kepadatan kendaraan lain siang itu. "Udah sejauh ini kok gue bisa mikir Ratu bahagia apa enggak? Kalau orangnya denger bisa melayang ini kepala gue."
Kalau wanita bisa patah hati, pria juga bisa bahkan bisa lebih hancur berkeping-keping lebih daripada wanita. Cinta pria itu nyata tulusnya walaupun banyak mulut-mulut bajingan di luar sana yang jual omongan. Bukan berarti semua pria berengsek dan bernilai sama. Ada istilah soal high value women maka pria juga punya harga yang sama untuk dirinya sendiri. Nggak cuma wanita doang yang punya nilai. Sayangnya ketutup sama para bajingan yang demen nyakitin wanita. Langit cuma tersenyum kecil mendengar curahan hatinya sang asisten. Nggak aneh kok kalau Yudha senang ngomel sana sini soal asmaranya. Padahal Langit juga butuh di say hallo untuk hari-harinya. Tapi buat apa, sih? Langit bukan remaja yang baru jatuh cinta kok. Langit sadar soal nilai yang ada di dalam dirinya. Itu semua nggak lepas dari didikan kedua orang tuanya."Hidup kenapa harus ada plot twistnya, sih?" Yudha bertanya setelah mondar-mandir kayak setrikaan panas. "Gue mau heran tapi nggak siap juga dengar jawaban: hidup ema
"Menurut kamu Tuhan itu baik nggak?" tanya Ratu pada Dewa yang bersiap untuk terlelap. "Kadang aku pengen marah sama Tuhan," sambung Ratu tanpa berkedip menatap ke depan.Malam sudah larut. Di usir dari apartemen Langit, Ratu dan Dewa nggak gagal pesta. Mereka minum wine sendiri di rumahnya dengan alunan musik lembut dan dansa ala kadarnya. Mereka tertawa bersama dan sesekali terbahak-bahak. Sekarang waktunya bagi mereka berbagi kisah untuk hari ini. Padahal mereka satu kantor, cuma beda ruangan. Tapi beban hari ini tetap jadi topik saat mau tidur."Bagiku Tuhan itu baik. Kenapa?" Dewa pandangi wajah istrinya yang ayu natural tanpa polesan make up. Memang dasarnya Ratu ini cantik dan anggun. Bermake up atau tidak, dasarnya ayu tetaplah ayu. "Kamu pasti punya alasan kenapa marah sama Tuhan."Ratu menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskan perlahan dan tersenyum kecil."Aku pernah punya rencana. Konyolnya aku selalu yakin kalau setiap rencana yang aku susun bakal berhasil. Aku selalu pe