“Apaan, sih, Arga!” Saskia membentak, tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria itu. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan bercampur keterkejutan.
“Di mana apartemen Raka? Cepat katakan!” Arga tidak peduli dengan protes Saskia. Wajahnya memerah, dan bola matanya membulat penuh amarah. Emosinya meluap, seperti api yang tak terkendali. “Lepasin dulu! Ini sakit, Arga,” desis Saskia pelan, mencoba menutupi rasa takut di balik protesnya. Namun, Arga tidak bergeming. “Jawab pertanyaanku!” gertaknya, semakin mempererat cengkraman di pergelangan tangan Saskia. Saskia meringis kesakitan, hingga akhirnya Arga menyadari apa yang dilakukannya. Dia mengendurkan genggamannya perlahan, namun matanya masih menatap Saskia penuh intimidasi. “Sebenarnya apa maksud teleponmu tadi? Apa kamu merencanakan sesuatu?” Saskia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menahan rasa nyeri. Tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi senyuman licik. Dia tahu, kelemahan Arga adalah Arini. “Aku cuma mau melindungi hubungan kita, Arga,” katanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. “Kamu tahu sendiri, kita akan segera menikah. Wanita yang kamu kejar itu, dia cuma pengganggu. Kalau aku gak segera bertindak, dia akan menghancurkan semuanya. Jadi aku harus berhati-hati, demi mempertahankan cinta kita,” tegasnya penuh penekanan. “Cinta?!” Arga menatapnya dengan tatapan dingin. Tawa sinis meluncur dari bibirnya. “Ini bukan cinta, Saskia. Kita berdua cuma boneka. Aku yakin kamu paham dengan semua ini. Jadi jangan pernah bawa-bawa cinta dalam hubungan kita.” “Dengar ya, Arga! Kamu itu milikku! Cuma punyaku! Jadi sebaiknya kamu nggak usah bertindak konyol, atau aku akan melakukan sesuatu pada wanita itu.” Saskia mulai mengancam dengan tatapan tajam, lalu bergerak meninggalkan Arga. Baru saja Saskia melangkahkan kaki pergi, Arga kembali menarik lengan wanita ini. “Jangan macam-macam dengan Arini, Saskia. Kalau kamu berani menyentuhnya, aku bersumpah ini semua akan berakhir,” gertaknya membalas penuh penekanan. “Berakhir?” Saskia tertawa sinis, menatap Arga dengan penuh ejekan. “Berakhir gimana maksudmu? Kamu pikir kamu punya pilihan?” Nada bicaranya terdengar meremehkan. Saskia kini semakin tajam menatap Arga, merasa tak takut sama sekali dengan gertakan Arga. “Kamu itu nggak punya pilihan, Arga. Kamu akan tetap menikahiku, demi keluargamu. Kalau kamu menggagalkan pernikahan ini, itu sama saja kamu menghancurkan keluargamu sendiri. Kalau itu maumu, aku bisa mengabulkannya sekarang juga.” Wanita ini mulai menampakan taringnya, merasa tak ingin kalah begitu saja. Sungguh, mendengar perkataan Saskia barusan membuat Arga tersadar bahwa dirinya di posisi tak menguntungkan. Dia juga paham jika saat ini Saskia tidak hanya berbicara kosong. Keluarganya memang terlalu bergantung pada kerja sama dengan keluarga Saskia. Jika dia melawan, semuanya bisa runtuh. Rasanya terlalu egois jika bertindak sesuai keinginannya. Tangan Arga melemah, melepaskan cengkramannya dari lengan Saskia. Dia tak membalas apa-apa lagi, dan hanya diam dengan tatapan kosong. Saskia yang merasa jengkel langsung menghempaskan tangan Arga, untuk menjauh darinya. Dia merasa jika reaksi Arga saat ini sangatlah berlebihan, dan mulai memikirkan rencana lain untuk Arini. *** Di tempat lain, Arini duduk di sudut apartemen sambil menatap ponsel yang baru saja meletupkan ancaman. Pikiran berkecamuk, mencoba memahami siapa yang ada di balik pesan itu. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena ketakutan, tapi juga rasa lelah yang seolah tak berujung. “Sebenarnya siapa dia?” gumamnya terus mempertanyakan hal ini. Beberapa jam kemudian, Raka kembali ke apartemen. Wajahnya langsung berubah cemas melihat pecahan gelas di lantai. “Arini, apa yang terjadi?” tanyanya, mendekat untuk memeriksa keadaan. Terlihat ada luka kecil di kaki Arini, hal ini jelas membuat Raka semakin khawatir. “Sebenarnya ada apa? Kakimu terluka,” ujar Raka panik. Arini tak menjawab pertanyaan Raka barusan. Dia malah langsung menunjukkan ponselnya pada Raka, terkait pesan ancaman yang masih terpampang di layar. “Raka, aku… aku mendapat pesan ini.” Ponselnya pun diserahkan begitu saja pada Raka. Raka menerima ponsel tersebut. Dia membaca pesan itu. Rahangnya mengeras, emosinya kini mulai meningkat. “Sial,” gumamnya. “Aku tahu ini pasti ulah Saskia.” “Saskia?” Arini menatap Raka dengan kebingungan. “Apa maksudmu?” Raka menghela napas berat, lalu duduk di samping Arini. “Wanita itu... aku udah duga kalau dia bakal melakukan sesuatu. Dia itu tipe orang yang gak akan bisa menerima saingan. Dia merasa berhak menang atas segalanya, termasuk memiliki Arga. Bukankah aku pernah bilang padamu, jika sikapnya gak sebaik fisiknya.” Arini menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa takut. “Tapi kenapa dia sampai begini? Padahal aku, gak bermaksud mengganggu hidup mereka.” Jujur saja Arini bingung dengan ancaman tersebut. Raka menggenggam tangan Arini dengan lembut. “Tenang aja, aku janji bakal lindungi kamu. Aku gak bakal biarin Saskia, ataupun yang lain, buat nyakitin kamu lagi.” “Lalu Arga? Apa dia… tau kalau Saskia orangnya begitu?” Arini kini malah nampak mengkhawatirkan suaminya. “Seharusnya dia tau gimana Saskia. Tapi keluarga mereka sudah menentukan untuk menikah. Sebaiknya kamu gak usah mengkhawatirkan dia. Anggap saja mereka jodoh yang sepadan, sama-sama nggak punya hati, dan egois. Dia nggak pantes buat kamu pikirin.” Raka berusaha meyakinkan Arini. Entah mengapa, Arini merasa takut. Bukan hanya takut dengan ancaman dari pesan tadi, tapi dia juga takut, khawatir dengan keadaan Arga, jika harus berurusan dengan wanita semengerikan Saskia. *** Di dalam mobilnya, Arga menggenggam setir dengan erat. Matanya merah, rasanya dia benar-benar frustasi dengan keadaan saat ini. Pikiran tentang Arini terus menggerogoti hatinya. Setiap detik yang berlalu tanpa keberadaan Arini, membuat Arga merasa semakin tersesat. Dia tahu Saskia sedang bermain di belakang layar, tapi dia tidak bisa melawannya secara langsung. Posisi keluarganya terlalu terikat dengan keluarga Saskia. Namun, hatinya tidak bisa menerima kenyataan itu. Pikirannya yang sedang kalut kini kembali terganggu oleh dering telepon. Arga melihat layar, nama ibunya muncul. Dengan enggan, dia menjawab panggilan itu. “Arga, kamu harus datang ke rumah besok. Ada pembicaraan penting dengan keluarga Saskia," ucap Nadira tanpa basa basi. Arga menghela napas berat. “Mam, aku lagi banyak urusan,” jawabnya pendek, merasa lelah dengan perintah ibunya setiap saat. “Tinggalkan urusanmu! Keluarga lebih penting. Ini tentang masa depan kita.” Tanpa menunggu jawaban, ibunya langsung memutuskan panggilan. “Sialan! Argh!” Arga melemparkan ponsel ke tempat duduk di sampingnya. Di satu sisi, dia ingin melawan. Tapi di sisi lain, dia tahu batasannya. Arga mengusap wajahnya, berkali-kali menghela nafas, berusaha untuk menghirup udara untuk membuatnya merasa lega. Sayangnya dadanya masih terasa sesak. Semua yang terjadi padanya benar-benar menyesakan. Teringat tentang sikap dan ancaman Saskia tadi, Arga pun merasa semakin terusik. Dia yakin, jika Saskia tidak main-main dengan ucapannya. “Aku harus segera menemukan Arini, sebelum Saskia melakukan sesuatu padanya,” gumamnya sambil berusaha berpikir. Arga merasa tidak bisa tinggal diam. Dia mulai menyusun rencana sendiri. Jika Saskia bermain licik, maka dia bertekad akan menemukan cara apapun untuk melindungi Arini. Bersambung…Arga tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia bertekad untuk tetap menemukan istrinya yang beberapa hari ini pergi meninggalkannya. Mengetahui tentang ucapan Saskia sebelumnya, Arga menyadari jika Arini tidak sendirian, dan Raka adalah orang yang ada di balik persembunyiannya. Dia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Arini dengan cara apapun. Langkah pertama yang Arga lakukan saat ini adalah menyelidiki latar belakang Raka. Arga pun mulai menghubungi seseorang yang biasa dia percayai, Johan, seorang mantan penyelidik swasta yang kini bekerja sebagai kepala keamanan di perusahaan milik keluarganya. “Johan, aku butuh bantuanmu,” kata Arga dengan nada tegas. “Cari tahu keberadaan Raka Adiputra. Temukan di mana dia tinggal, atau di mana dia sering terlihat akhir-akhir ini. Lacak lewat nomor telpon perusahaannya atau segera temukan nomor ponselnya. Beri tahu padaku segera jika sudah menemukannya.” Mendengar permintaan terkait orang luar yang bukan keluarga bosnya, jelas membuat Joha
Langit malam begitu gelap, seperti menutup rapat rahasia yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan Arga. Di dalam mobilnya, Arga yang memutuskan untuk mundur sejenak dari Raka, kini terlihat duduk dengan kepala tertunduk. Tangan mencengkeram setir dengan kuat. Merasa masih ingin melampiaskan emosinya. Napasnya memburu, bukan karena lelah fisik, tetapi karena kelelahan batin usai menghadapi Raka. Pertemuan dengan Raka tadi seolah membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, menyayat hati dan egonya. "Keberadaanmu itu adalah sumber masalah terbesar dalam hidup Arini." Arga merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuk memperbaiki kesalahan, tetapi entah kenapa, setiap langkahnya justru membawa lebih banyak kehancuran. Di saat ia tenggelam dalam pikirannya, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya kembali muncul di layar. Dengan malas, Arga mengangkat panggilan itu, menyandar
Saat Saskia sedang menikmati kemenangan kecilnya, ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum. Arga Wiratama. “Akhirnya,” gumam wanita ini sambil meraih ponselnya. “Halo, sayang?” sapa Saskia dengan suara manis yang dibuat-buat. “Ada apa? Akhirnya kamu ingat aku?” Namun, suara di seberang tidak seperti yang ia harapkan. “Saskia … aku mohon … aku mohon, kita akhiri saja rencana ini,” ujar Arga dengan nada memelas. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan semua harapan. Senjata kemenangan Saskia perlahan memudar. Senyumnya menghilang, digantikan oleh amarah yang tiba-tiba terasa mendidih di dada. “Apa maksudmu?” tanya Saskia tajam. “Aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita, Saskia,” ujar Arga, nadanya lebih tegas. “Aku minta tolong, hentikan semuanya. Aku gak mau terus terlibat dalam rencana sialan ini!” Jelas hal ini membuat Saskia meradang. “Hentikan ucapanmu, Arga!” bentak Saskia
Raka memperhatikan layar ponselnya yang bergetar di atas meja. Nama Arga terpampang jelas di sana. Rahangnya menegang, tapi ia cepat-cepat menguasai ekspresinya. Arini, yang duduk di seberangnya, ikut melirik sekilas. Ia mengenali nama itu. Tatapan herannya tertuju pada Raka. “Itu, Arga? Suamiku?” tanyanya penuh rasa penasaran. Raka seolah tak mendengar. Ia menghela napas perlahan sebelum meraih ponselnya, lalu dengan sengaja menghindari tatapan Arini. “Aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya singkat, langsung pergi dari pandangan Arini tanpa menunggu respons. Arini mengerutkan kening. Ada sesuatu yang janggal. Ia merasa Raka menyembunyikan sesuatu darinya. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin memanggil pria itu, tapi urung. Ia malah menatap kosong ke meja, pikirannya penuh dengan pertanyaan. ‘Kenapa Arga menelpon Raka?’ batinnya bertanya-tanya. Di sisi lain, Raka yang kini berdiri di dekat kamar mandi menghela napas berat. Jemarinya menekan tombol jawab dengan sedikit enggan.
“Arini, kamu itu gak tau diri banget, sih! Harusnya kamu gak pernah ada di sini! Kalau bukan karena Arga yang baik hati sama kamu, kamu udah ditendang keluar dari rumah ini!” Kata-kata Nadira, ibu mertua Arini, menggema di benaknya seperti hantaman palu yang memecah beling. Arini terdiam, duduk di tepi ranjang, menggenggam undangan pernikahan yang baru saja dia temukan dengan tangan gemetar. Matanya terpaku pada tulisan indah berwarna emas yang tertera di sana: Arga Wiratama & Saskia Ramadhani. Tangan Arini mengusap lembut nama itu, seolah berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, kenyataan begitu kejam. Nama suaminya kini berdampingan dengan wanita lain, seperti sebuah mimpi buruk yang sulit dihindari. Dadanya sesak, seakan udara yang mengelilinginya menipis. “Padahal aku udah kasih yang terbaik…” gumamnya pelan. Bibirnya bergetar. “Tapi kenapa mereka masih aja begini…” Pikiran Arini berputar pada semua momen pahit yang telah ia lalui. Sejak awal pernikahan mereka, keluarga A
Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb
Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi. "Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arin
Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Raka memperhatikan layar ponselnya yang bergetar di atas meja. Nama Arga terpampang jelas di sana. Rahangnya menegang, tapi ia cepat-cepat menguasai ekspresinya. Arini, yang duduk di seberangnya, ikut melirik sekilas. Ia mengenali nama itu. Tatapan herannya tertuju pada Raka. “Itu, Arga? Suamiku?” tanyanya penuh rasa penasaran. Raka seolah tak mendengar. Ia menghela napas perlahan sebelum meraih ponselnya, lalu dengan sengaja menghindari tatapan Arini. “Aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya singkat, langsung pergi dari pandangan Arini tanpa menunggu respons. Arini mengerutkan kening. Ada sesuatu yang janggal. Ia merasa Raka menyembunyikan sesuatu darinya. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin memanggil pria itu, tapi urung. Ia malah menatap kosong ke meja, pikirannya penuh dengan pertanyaan. ‘Kenapa Arga menelpon Raka?’ batinnya bertanya-tanya. Di sisi lain, Raka yang kini berdiri di dekat kamar mandi menghela napas berat. Jemarinya menekan tombol jawab dengan sedikit enggan.
Saat Saskia sedang menikmati kemenangan kecilnya, ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum. Arga Wiratama. “Akhirnya,” gumam wanita ini sambil meraih ponselnya. “Halo, sayang?” sapa Saskia dengan suara manis yang dibuat-buat. “Ada apa? Akhirnya kamu ingat aku?” Namun, suara di seberang tidak seperti yang ia harapkan. “Saskia … aku mohon … aku mohon, kita akhiri saja rencana ini,” ujar Arga dengan nada memelas. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan semua harapan. Senjata kemenangan Saskia perlahan memudar. Senyumnya menghilang, digantikan oleh amarah yang tiba-tiba terasa mendidih di dada. “Apa maksudmu?” tanya Saskia tajam. “Aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita, Saskia,” ujar Arga, nadanya lebih tegas. “Aku minta tolong, hentikan semuanya. Aku gak mau terus terlibat dalam rencana sialan ini!” Jelas hal ini membuat Saskia meradang. “Hentikan ucapanmu, Arga!” bentak Saskia
Langit malam begitu gelap, seperti menutup rapat rahasia yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan Arga. Di dalam mobilnya, Arga yang memutuskan untuk mundur sejenak dari Raka, kini terlihat duduk dengan kepala tertunduk. Tangan mencengkeram setir dengan kuat. Merasa masih ingin melampiaskan emosinya. Napasnya memburu, bukan karena lelah fisik, tetapi karena kelelahan batin usai menghadapi Raka. Pertemuan dengan Raka tadi seolah membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, menyayat hati dan egonya. "Keberadaanmu itu adalah sumber masalah terbesar dalam hidup Arini." Arga merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuk memperbaiki kesalahan, tetapi entah kenapa, setiap langkahnya justru membawa lebih banyak kehancuran. Di saat ia tenggelam dalam pikirannya, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya kembali muncul di layar. Dengan malas, Arga mengangkat panggilan itu, menyandar
Arga tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia bertekad untuk tetap menemukan istrinya yang beberapa hari ini pergi meninggalkannya. Mengetahui tentang ucapan Saskia sebelumnya, Arga menyadari jika Arini tidak sendirian, dan Raka adalah orang yang ada di balik persembunyiannya. Dia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Arini dengan cara apapun. Langkah pertama yang Arga lakukan saat ini adalah menyelidiki latar belakang Raka. Arga pun mulai menghubungi seseorang yang biasa dia percayai, Johan, seorang mantan penyelidik swasta yang kini bekerja sebagai kepala keamanan di perusahaan milik keluarganya. “Johan, aku butuh bantuanmu,” kata Arga dengan nada tegas. “Cari tahu keberadaan Raka Adiputra. Temukan di mana dia tinggal, atau di mana dia sering terlihat akhir-akhir ini. Lacak lewat nomor telpon perusahaannya atau segera temukan nomor ponselnya. Beri tahu padaku segera jika sudah menemukannya.” Mendengar permintaan terkait orang luar yang bukan keluarga bosnya, jelas membuat Joha
“Apaan, sih, Arga!” Saskia membentak, tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria itu. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan bercampur keterkejutan. “Di mana apartemen Raka? Cepat katakan!” Arga tidak peduli dengan protes Saskia. Wajahnya memerah, dan bola matanya membulat penuh amarah. Emosinya meluap, seperti api yang tak terkendali. “Lepasin dulu! Ini sakit, Arga,” desis Saskia pelan, mencoba menutupi rasa takut di balik protesnya. Namun, Arga tidak bergeming. “Jawab pertanyaanku!” gertaknya, semakin mempererat cengkraman di pergelangan tangan Saskia. Saskia meringis kesakitan, hingga akhirnya Arga menyadari apa yang dilakukannya. Dia mengendurkan genggamannya perlahan, namun matanya masih menatap Saskia penuh intimidasi. “Sebenarnya apa maksud teleponmu tadi? Apa kamu merencanakan sesuatu?” Saskia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menahan rasa nyeri. Tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi senyuman licik. Dia tahu, kelemahan Arga adalah
Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi. Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhm
Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi. "Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arin
Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb