“Arini, kamu itu gak tau diri banget, sih! Harusnya kamu gak pernah ada di sini! Kalau bukan karena Arga yang baik hati sama kamu, kamu udah ditendang keluar dari rumah ini!”
Kata-kata Nadira, ibu mertua Arini, menggema di benaknya seperti hantaman palu yang memecah beling. Arini terdiam, duduk di tepi ranjang, menggenggam undangan pernikahan yang baru saja dia temukan dengan tangan gemetar. Matanya terpaku pada tulisan indah berwarna emas yang tertera di sana: Arga Wiratama & Saskia Ramadhani. Tangan Arini mengusap lembut nama itu, seolah berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, kenyataan begitu kejam. Nama suaminya kini berdampingan dengan wanita lain, seperti sebuah mimpi buruk yang sulit dihindari. Dadanya sesak, seakan udara yang mengelilinginya menipis. “Padahal aku udah kasih yang terbaik…” gumamnya pelan. Bibirnya bergetar. “Tapi kenapa mereka masih aja begini…” Pikiran Arini berputar pada semua momen pahit yang telah ia lalui. Sejak awal pernikahan mereka, keluarga Arga tidak pernah menerima kehadirannya. Ia adalah anak seorang pegawai biasa, seorang wanita yang dianggap tak layak bersanding dengan putra mahkota keluarga Wiratama. Arini menghela napas dalam, mencoba mengusir rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Namun, sebelum ia sempat membiarkan air matanya jatuh, pintu kamar terbuka lebar. “Kita perlu bicara,” suara Arga terdengar dalam dan tegas. Arini mendongak, menatap pria yang berdiri di ambang pintu itu. Kemeja Arga kusut, dasinya longgar, dan wajahnya terlihat letih. Namun tatapannya tetap tajam, penuh tekanan. Arini berusaha menahan tangis. Dia tertawa sinis. “Bicara? Tentang apa? Tentang ini?” Arini mengangkat undangan pernikahan yang dibawanya, dan sengaja menunjukan kepada Arga. Wajah Arga langsung menegang, segera melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar dengan mata membulat tertuju pada undangan tersebut. “Kamu dapat dari mana?” tanyanya serius. “Gak penting aku dapet dari mana.” Arini berdiri, suaranya terdengar gemetar, tapi berusaha untuk tetap tegar. “Harusnya aku yang tanya, kenapa ada undangan kayak gini? Kenapa ada namamu dan Saskia di sana?!” teriak wanita ini, sudah tidak tahan menahan lukanya. Arga menghela napas berat, tangannya terangkat untuk mengusap wajah. “Arini, dengar. Aku bahkan gak tahu soal ini. Keluargaku... mereka yang atur ini semua tanpa sepengetahuanku.” Arini mengangkat alis, lalu tertawa pahit. “Oh, ya? Jadi kamu mau bilang kalau kamu gak terlibat sama sekali? Terus, gimana waktu malam itu? Malam waktu aku dengar kalian membicarakan tentang Saskia, sebagai wanita yang seharusnya menjadi menantu keluarga ini. Apa aku salah dengar? Dan ini sekarang buktinya!” Arga terdiam, menundukkan kepalanya. Ia menggosok tengkuknya, tanda jelas bahwa ia sedang merasa terpojok. “Arini, aku tahu ini sulit dipercaya, tapi… aku terjebak. Aku gak bisa apa-apa. Keluargaku... mereka menekanku. Mereka bilang, ini demi menjaga reputasi perusahaan, dan nama baik keluargaku. Jadi aku mohon… aku mohon kamu mau ngertiin keadaan ini…,” ujar pria ini dengan wajah memelas, sambil meraih tangan Arini. Arini menepis tangan Arga. Dia melangkah mendekat, menatap suaminya dengan tatapan tajam penuh luka. “Kamu suamiku. Kamu pemimpin keluargaku. Apa kamu gak mikirin perasaanku? Kamu biarkan keluargamu yang atur semua ini? Terus di mana harga dirimu?” Arga kembali menghela nafas. “Arini, aku mencintaimu,” bisik Arga, suaranya melembut. “Aku butuh waktu untuk menyelesaikan ini. Aku mau kamu tetap percaya padaku. Jadi please… ngertiin aku… ngertiin kondisiku…” Arini menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Aku harus ngertiin gimana lagi, sih? Aku harus percaya apa lagi sama kamu? Kita udah lama menikah, tapi aku selalu saja dihina keluargamu! Kamu bahkan gak pernah membelaku di hadapan mereka!” Arga mencoba mendekat, namun Arini mengangkat tangannya, menghentikannya. “Udah. Cukup. Sekarang aku yang akan buat keputusan. Aku mundur. Aku akan pergi dari sini.” Wajah Arga memucat. “Arini, Jangan. Jangan lakukan itu… Aku akan perbaiki semua. Aku bakal bicara dengan keluargaku tentang hal ini. Tapi, please… kamu jangan pergi…” Di tengah perdebatan suami istri ini, suara ponsel Arini berdering, menghentikan pertengkaran. Arini mengambil ponselnya, dia memperhatikan nama yang tertera di layar. Raka Adiputra. Melihat nama pria yang lama dikenalnya tiba-tiba muncul, jelas membuat Arini merasa terkejut. Dia adalah teman dekatnya yang sudah lama tidak menjalin hubungan dengannya. Arga memperhatikan perubahan di wajah Arini dengan kecurigaan. “Siapa itu?” tanyanya, nadanya dingin. Arini tidak menjawab. Wanita ini masih memperhatikan layar ponselnya. Raut wajahnya memperlihatkan keraguan antara ingin menerima atau menolak panggilan yang baru masuk. Melihat keadaan ini, Arga yang merasa penasaran langsung mengambil ponsel Arini. Hal ini jelas membuat Arini panik. “Kembalikan ponselku!” teriaknya sambil berjinjit, berusaha meraih kembali ponsel miliknya. “Aku cuma mau lihat siapa yang telfon,” sahut Arga sembari mengangkat tangannya tinggi, menjauhkan ponsel ini dari Arini. Mereka berdua berdua saling berebut, sampai tak sengaja Arga menjatuhkan ponsel itu ke lantai. Arini mendelik. Dia langsung menghampiri, dan berjongkok mengambil ponselnya. Layarnya retak, bahkan tak bisa menyala lagi. Jelas hal ini membuat emosi Arini kembali terpancing. “Apa kamu belum puas hancurin hidupku? Sekarang ponselku juga kamu hancurin? Sebenarnya mau kamu itu apa, sih?” teriaknya dengan tangisan yang mulai pecah. Rasanya tidak ada yang berjalan mulus di kehidupannya. Arga jelas merasa bersalah. Dia tidak bermaksud membuat wanitanya sesedih ini. Ingin rasanya menghampiri Arini dan berusaha menenangkan wanita ini. Namun tubuhnya hanya bisa terdiam canggung. Kali ini ponsel Arga yang berdering, terlihat kontak ibunya sedang menelepon. Tak ingin ibunya menunggu lama, Arga langsung mengangkat panggilan itu. “Halo, Mam?” sapa Arga. “Malam ini ada rapat keluarga dengan keluarga Saskia. Kamu nggak lupa ‘kan? Sebaiknya kamu buruan ke sini. Kita berangkat sama-sama.” Suara wanita paruh baya itu terdengar begitu tegas. Tak ingin perbincangannya dengan ibunya di dengar oleh Arini, Arga buru-buru keluar dari kamar. Pria ini meninggalkan istrinya yang masih menangis begitu saja. Bukan dia tidak peduli, tapi panggilan ibunya dianggap lebih penting demi kelangsungan hidup mereka. *** Hingga larut malam Arini masih berusaha untuk menenangkan diri. Dia terlihat duduk, bersandar di tepi kasur, sambil memikirkan nasibnya. Sampai kapan harus begini? Apa yang sebaiknya dilakukan? Pikiran-pikiran ini terus saja memenuhinya. Hingga Arini baru menyadari jika tak ada suara Arga lagi. Dia kemudian keluar kamar, mengecek keadaan rumah. Sepi. Dengan tekad bulat, Arini membuat keputusan besar dalam hidupnya. “Aku harus pergi dari sini. Lebih baik aku pergi, daripada harus terus-terusan seperti ini,” gumamnya yakin. Pakaian pun segera ia kemasi ke dalam koper, dengan langkah pasti, Arini keluar dari rumah megah milik keluarga Wiratama. Arini memastikan tak ada pelayan rumah yang melihatnya. Meskipun setelah ini ia masih harus menghadapi penjaga rumah. “Nyonya Arini mau ke mana?” tanya penjaga heran, sambil memandangi koper yang dibawa majikannya. “Ah, tadi Arga bilang mau menginap di luar. Dia buru-buru ada urusan, jadi aku disuruh nyusul,” ujarnya bohong. Untung saja petugas itu percaya. “Oh gitu. Ini gak diantar sopir aja, Nyonya?” “Gak usah, aku naik taksi aja. Lagian kasihan, Pak Sopir udah tidur. Duluan ya, Pak.” Arini buru-buru keluar dari kawasan rumah ini. Dia sudah tak sanggup lagi berbohong lama-lama, karena memang dirinya tak pandai berbohong. Petugas pun membukakan pintu gerbang. Arini berjalan sembari menyeret kopernya. Langkah demi langkah Arini lewati, hingga dia berada di persimpangan jalan besar. Arini jelas hanya bisa mencari taksi di luar kompleks perumahan. Ponselnya mati, tak bisa untuk memesan. Baru saja Arini celingukan mencari taksi, tiba-tiba saja ada mobil yang berhenti di hadapannya. “Arini!” teriak pemilik mobil, ketika jendelanya diturunkan. Arini mengerjapkan mata, berusaha memandangi orang yang memanggilnya. Sontak bola mata Arini membulat ketika mengetahui orang di dalam mobil itu. “Ra-Raka?” Arini melongo. Dia tak menyangka akan bertemu dengan pria yang beberapa waktu lalu sempat menelponnya, yang juga teman dekatnya. Bersambung…Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb
Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi. "Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arin
Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi. Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhm
“Apaan, sih, Arga!” Saskia membentak, tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria itu. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan bercampur keterkejutan. “Di mana apartemen Raka? Cepat katakan!” Arga tidak peduli dengan protes Saskia. Wajahnya memerah, dan bola matanya membulat penuh amarah. Emosinya meluap, seperti api yang tak terkendali. “Lepasin dulu! Ini sakit, Arga,” desis Saskia pelan, mencoba menutupi rasa takut di balik protesnya. Namun, Arga tidak bergeming. “Jawab pertanyaanku!” gertaknya, semakin mempererat cengkraman di pergelangan tangan Saskia. Saskia meringis kesakitan, hingga akhirnya Arga menyadari apa yang dilakukannya. Dia mengendurkan genggamannya perlahan, namun matanya masih menatap Saskia penuh intimidasi. “Sebenarnya apa maksud teleponmu tadi? Apa kamu merencanakan sesuatu?” Saskia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menahan rasa nyeri. Tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi senyuman licik. Dia tahu, kelemahan Arga adalah
Arga tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia bertekad untuk tetap menemukan istrinya yang beberapa hari ini pergi meninggalkannya. Mengetahui tentang ucapan Saskia sebelumnya, Arga menyadari jika Arini tidak sendirian, dan Raka adalah orang yang ada di balik persembunyiannya. Dia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Arini dengan cara apapun. Langkah pertama yang Arga lakukan saat ini adalah menyelidiki latar belakang Raka. Arga pun mulai menghubungi seseorang yang biasa dia percayai, Johan, seorang mantan penyelidik swasta yang kini bekerja sebagai kepala keamanan di perusahaan milik keluarganya. “Johan, aku butuh bantuanmu,” kata Arga dengan nada tegas. “Cari tahu keberadaan Raka Adiputra. Temukan di mana dia tinggal, atau di mana dia sering terlihat akhir-akhir ini. Lacak lewat nomor telpon perusahaannya atau segera temukan nomor ponselnya. Beri tahu padaku segera jika sudah menemukannya.” Mendengar permintaan terkait orang luar yang bukan keluarga bosnya, jelas membuat Joha
Langit malam begitu gelap, seperti menutup rapat rahasia yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan Arga. Di dalam mobilnya, Arga yang memutuskan untuk mundur sejenak dari Raka, kini terlihat duduk dengan kepala tertunduk. Tangan mencengkeram setir dengan kuat. Merasa masih ingin melampiaskan emosinya. Napasnya memburu, bukan karena lelah fisik, tetapi karena kelelahan batin usai menghadapi Raka. Pertemuan dengan Raka tadi seolah membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, menyayat hati dan egonya. "Keberadaanmu itu adalah sumber masalah terbesar dalam hidup Arini." Arga merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuk memperbaiki kesalahan, tetapi entah kenapa, setiap langkahnya justru membawa lebih banyak kehancuran. Di saat ia tenggelam dalam pikirannya, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya kembali muncul di layar. Dengan malas, Arga mengangkat panggilan itu, menyandar
Saat Saskia sedang menikmati kemenangan kecilnya, ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum. Arga Wiratama.“Akhirnya,” gumam wanita ini sambil meraih ponselnya. “Halo, sayang?” sapa Saskia dengan suara manis yang dibuat-buat. “Ada apa? Akhirnya kamu ingat aku?”Namun, suara di seberang tidak seperti yang ia harapkan.“Saskia … aku mohon … aku mohon, kita akhiri saja rencana ini,” ujar Arga dengan nada memelas. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan semua harapan.Senjata kemenangan Saskia perlahan memudar. Senyumnya menghilang, digantikan oleh amarah yang tiba-tiba terasa mendidih di dada.“Apa maksudmu?” tanya Saskia tajam.“Aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita, Saskia,” ujar Arga, nadanya lebih tegas. “Aku minta tolong, hentikan semuanya. Aku gak mau terus terlibat dalam rencana sialan ini!”Jelas hal ini membuat Saskia meradang. “Hentikan ucapanmu, Arga!” bentak Saskia. “Apa kamu mas
Raka memperhatikan layar ponselnya yang bergetar di atas meja. Nama Arga terpampang jelas di sana. Rahangnya menegang, tapi ia cepat-cepat menguasai ekspresinya.Arini, yang duduk di seberangnya, ikut melirik sekilas. Ia mengenali nama itu. Tatapan herannya tertuju pada Raka.“Itu, Arga? Suamiku?” tanyanya penuh rasa penasaran.Raka seolah tak mendengar. Ia menghela napas perlahan sebelum meraih ponselnya, lalu dengan sengaja menghindari tatapan Arini.“Aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya singkat, langsung bangkit dari posisinya tanpa menunggu respons.Arini mengerutkan kening. Ada sesuatu yang janggal. Ia merasa Raka menyembunyikan sesuatu darinya. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin memanggil pria itu, tapi urung. Ia malah menatap kosong ke meja, pikirannya penuh dengan pertanyaan.‘Kenapa Arga menelpon Raka?’ batinnya bertanya-tanya.Di sisi lain, Raka yang kini berdiri di dekat kamar mandi menghela napas berat. Jemarinya menekan tombol jawab dengan sedikit enggan.“Kenapa men
Saat Saskia sedang menikmati kemenangan kecilnya, ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum. Arga Wiratama.“Akhirnya,” gumam wanita ini sambil meraih ponselnya. “Halo, sayang?” sapa Saskia dengan suara manis yang dibuat-buat. “Ada apa? Akhirnya kamu ingat aku?”Namun, suara di seberang tidak seperti yang ia harapkan.“Saskia … aku mohon … aku mohon, kita akhiri saja rencana ini,” ujar Arga dengan nada memelas. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan semua harapan.Senjata kemenangan Saskia perlahan memudar. Senyumnya menghilang, digantikan oleh amarah yang tiba-tiba terasa mendidih di dada.“Apa maksudmu?” tanya Saskia tajam.“Aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita, Saskia,” ujar Arga, nadanya lebih tegas. “Aku minta tolong, hentikan semuanya. Aku gak mau terus terlibat dalam rencana sialan ini!”Jelas hal ini membuat Saskia meradang. “Hentikan ucapanmu, Arga!” bentak Saskia. “Apa kamu mas
Langit malam begitu gelap, seperti menutup rapat rahasia yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan Arga. Di dalam mobilnya, Arga yang memutuskan untuk mundur sejenak dari Raka, kini terlihat duduk dengan kepala tertunduk. Tangan mencengkeram setir dengan kuat. Merasa masih ingin melampiaskan emosinya. Napasnya memburu, bukan karena lelah fisik, tetapi karena kelelahan batin usai menghadapi Raka. Pertemuan dengan Raka tadi seolah membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, menyayat hati dan egonya. "Keberadaanmu itu adalah sumber masalah terbesar dalam hidup Arini." Arga merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuk memperbaiki kesalahan, tetapi entah kenapa, setiap langkahnya justru membawa lebih banyak kehancuran. Di saat ia tenggelam dalam pikirannya, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya kembali muncul di layar. Dengan malas, Arga mengangkat panggilan itu, menyandar
Arga tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia bertekad untuk tetap menemukan istrinya yang beberapa hari ini pergi meninggalkannya. Mengetahui tentang ucapan Saskia sebelumnya, Arga menyadari jika Arini tidak sendirian, dan Raka adalah orang yang ada di balik persembunyiannya. Dia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Arini dengan cara apapun. Langkah pertama yang Arga lakukan saat ini adalah menyelidiki latar belakang Raka. Arga pun mulai menghubungi seseorang yang biasa dia percayai, Johan, seorang mantan penyelidik swasta yang kini bekerja sebagai kepala keamanan di perusahaan milik keluarganya. “Johan, aku butuh bantuanmu,” kata Arga dengan nada tegas. “Cari tahu keberadaan Raka Adiputra. Temukan di mana dia tinggal, atau di mana dia sering terlihat akhir-akhir ini. Lacak lewat nomor telpon perusahaannya atau segera temukan nomor ponselnya. Beri tahu padaku segera jika sudah menemukannya.” Mendengar permintaan terkait orang luar yang bukan keluarga bosnya, jelas membuat Joha
“Apaan, sih, Arga!” Saskia membentak, tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria itu. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan bercampur keterkejutan. “Di mana apartemen Raka? Cepat katakan!” Arga tidak peduli dengan protes Saskia. Wajahnya memerah, dan bola matanya membulat penuh amarah. Emosinya meluap, seperti api yang tak terkendali. “Lepasin dulu! Ini sakit, Arga,” desis Saskia pelan, mencoba menutupi rasa takut di balik protesnya. Namun, Arga tidak bergeming. “Jawab pertanyaanku!” gertaknya, semakin mempererat cengkraman di pergelangan tangan Saskia. Saskia meringis kesakitan, hingga akhirnya Arga menyadari apa yang dilakukannya. Dia mengendurkan genggamannya perlahan, namun matanya masih menatap Saskia penuh intimidasi. “Sebenarnya apa maksud teleponmu tadi? Apa kamu merencanakan sesuatu?” Saskia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menahan rasa nyeri. Tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi senyuman licik. Dia tahu, kelemahan Arga adalah
Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi. Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhm
Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi. "Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arin
Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb