Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.”
Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris membuatnya tak bisa mendengar apa-apa lagi. Hingga akhirnya perlahan pandangan matanya buyar, dalam hitungan detik tubuhnya melemah dan kesadarannya pun hilang. Arini pingsan. “Arini! Rin!” Raka yang menangkap tubuh mungil wanita ini, berusaha untuk menyadarkannya. Tapi tubuh Arini benar-benar lemah. *** Arini bangun dengan mata mengerjap-ngerjap. Dia berusaha mengumpulkan kesadarannya, sambil memperhatikan sekitar. Ini bukan kamarnya. Tempat ini terasa begitu asing. “Di mana ini?” batinnya mempertanyakan. Tak lama Arini teringat dengan peristiwa terakhir ketika dirinya kabur dari rumah dan bertemu dengan teman lamanya secara tiba-tiba. Sontak dia langsung bangun, dan terduduk. Tapi kepalanya masih terasa begitu pusing. “Akhirnya kamu bangun juga. Apa kamu baik-baik aja?” tanya Raka sambil mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Arini, memastikan keadaan wanita ini. Suara itu membuat Arini terkesiap. Ia menoleh, mendapati Raka sedang duduk kursi di dekat jendela besar, yang berada di samping kasurnya. “Ra-Raka? I-ini di mana? Apa yang sebenarnya terjadi?” Raka memberikan segelas air putih yang ada di meja nakas, dan memberikannya pada Arini. “Minum dulu. Tadi kamu pingsan. Aku mau membawamu ke rumah sakit, tapi…” Dia menghentikan kalimatnya. Arini mengambil gelas yang diberikan Raka, lalu meminumnya. “Tapi kenapa?” tanyanya penasaran. Raka menghela nafas. “Jika aku membawamu ke rumah sakit, suamimu pasti akan tahu. Jadi aku bawa ke apartemenku. Bukankah, kamu sengaja kabur dari rumah itu?” Pandangan mata Raka kini menatap ke arah koper yang ada di sisi seberang. Arini mengikuti arahan mata Raka. Dia merasa malu, karena ketahuan. Tapi ada sesuatu hal yang mengganjalnya. “Bagaimana kamu bisa tau? Lalu, maksud ucapanmu sebelumnya apa? Tentang suamiku dan keluarganya?” Arini berhati-hati dalam kalimatnya. Raka menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang apakah ia harus menjelaskan. Akhirnya, ia kembali menghela nafas lebih panjang. “Aku tau, suamimu akan menikah lagi. Dia dijodohkan dengan Saskia Ramadhani, anak konglomerat yang punya pengaruh besar. Perjodohan ini bukan hanya untuk menjaga reputasi keluarga Wiratama, tapi juga untuk menyelamatkan bisnis mereka yang hampir bangkrut.” Arini terkejut. Dia memandang Raka dengan tatapan bingung. “Apa maksudmu? Dari mana kamu tau tentang hal itu?” Raka mengambil sebuah amplop dari meja di dekatnya, lalu menyerahkannya pada Arini. “Ini semua bukti. Dokumen tentang bisnis keluarganya. Ada banyak hal yang mereka sembunyikan, termasuk alasan mereka ingin menjodohkan Arga dengan Saskia.” Arini membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya terdapat sejumlah dokumen—laporan keuangan, foto-foto pertemuan rahasia mertuanya, dan bahkan salinan pesan elektronik. “Mertuamu sudah menyeting ini semua. Dia akan melangsungkan pernikahan Arga dan Saskia dengan pesta mewah, bahkan semua pejabat serta para pengusaha juga diundang. Gak seperti pernikahanmu dengan Arga sebelumnya. Bahkan selama ini, mertuamu menyuruhmu diam, dan gak boleh mengakui sebagai istrinya Arga kan?” Arini terdiam, dunia seolah runtuh di sekitarnya. Raka benar. Semua yang diucapkan pria ini benar. Justru karena hal ini, Arini merasa begitu sesak di dadanya. “Kamu tau apa… Gak seharusnya kamu ikut campur…” Arini berusaha menahan rasanya malunya. Dia masih menundukan kepala, memperhatikan foto Saskia yang ada dalam dokumen rahasia. Cantik. Dan itu membuat Arini semakin sakit. Raka menggenggam tangan Arini. Dia memandang wanita ini lekat-lekat. “Rin… Seharusnya aku gak relain kamu waktu itu. Seharusnya aku sadar, kalau Arga dan keluarganya bukan yang terbaik buatmu. Tapi aku seneng, kamu akhirnya memilih jalan ini.” Arini melepaskan genggaman tangan Raka. Dia memandanginya dengan tatapan nanar. “Aku masih istrinya, dan Arga masih suamiku, Raka. Jadi jaga ucapanmu,” ujar Arini tegas, meski dengan suara gemetar. *** Setelah pertemuan keluarga, Arga kembali ke kediamannya. Keadaan pun jadi kacau ketika dia tak mendapati istrinya di rumah ini. “Di mana Arini?! Kenapa nggak ada yang tau dia keluar? Apa kalian nggak punya mata?!” sentaknya memarahi para pelayan rumah. Para pelayan hanya menundukan kepala. Mereka benar-benar tidak tahu kepergian Arini, karena saat kejadian sudah larut malam dan mereka semua sudah kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Arga berusaha menelpon nomor Arini, tapi sayangnya tidak terhubung. “Sial!” gerutunya. Dia baru ingat jika ponsel Arini rusak karenanya. Tak lama salah satu penjaga memasuki rumah, dan menjelaskan pada Arga. “Maaf, Tuan. Tadi Nyonya Arini bilang mau menyusul Tuan untuk menginap di hotel. Lalu dia pergi begitu saja.” Arga mengernyitkan dahi. Kenapa Arini bohong? Apa jangan-jangan… batinnya sudah tidak tenang. Arga menelpon sopir yang biasa mengantar Arini, tapi pria itu mendadak keluar dari kamar yang ada di dalam rumah ini dengan terburu-buru, sambil mengangkat panggilan majikannya. “Ada apa Tuan?” tanyanya hati-hati, tahu jika keadaan sedang panas. Bola mata Arga mendelik. “Apa-apaan ini? Arini pergi gak sama kamu?” teriaknya dengan suara memekakan telinga. Jelas sopir ini tidak tahu apa-apa. Ketika Arini pergi, dia sudah tertidur. Dia bahkan terbangun karena suara marah-marah Arga. “Maaf, Tuan. Tapi Nyonya Arini tadi memilih pergi naik taksi.” Penjaga rumah pun kembali menjelaskan. Arga semakin pusing dengan hal ini. Kepalanya hampir meledak. Pikirannya kacau. Dia mondar-mandir berusaha untuk berfikir kemana harus mencari Arini. Dalam keadaannya yang terasa kacau ini, ibunya kembali menelepon. Arga menghela nafas panjang. Dia memejamkan mata sejenak, ragu untuk menjawab. Beberapa kali Arga membiarkan panggilan dari ibunya. Dia benar-benar merasa frustasi. Paham dirinya akan semakin tertekan jika tak mengangkat panggilan ini, akhirnya Arga menyerah. Panggilan pun diangkat. “Kenapa lama banget sih angkat telponnya?" sentak wanita paruh baya itu. "Maaf," jawab Arga singkat. "Inget lho, Arga. Besok kamu sama Saskia harus fitting baju. Pokoknya kamu harus puji-puji dia terus. Buat dia nyaman sama kamu. Mami nggak mau dia kecewa sama kamu. Gimana pun juga, kamu harus ambil hatinya. Dia bakalan jadi menantu istimewa keluarga kita,” oceh Nadira Wiratama panjang lebar. Arga mengusap wajahnya. Dia berusaha menenangkan diri, dan mencoba bernegosiasi dengan ibunya. “Mam… Ditunda dulu bisa nggak? Arini… Dia ilang… Gak pamit… Aku harus cari dia dulu, Mam…” Suaranya terdengar begitu putus asa. “Enak aja ditunda! Gak! Gak bisa! Udah bagus cewek gak tau diri itu pergi. Kamu harusnya bersyukur udah gak ada dia! Lagian dia juga gak menguntungkan untuk kita." “Tapi, Mam… Aku gak bisa… Harus ada Arini... Bukanya Mami janji gak bakal maksa aku pisah sama dia, jika aku menikah dengan Saskia. Mami udah janji kan gak bakal ganggu dia lagi.” Arga berusaha mengontrol emosinya. “Iya, tapi ini kan dia yang pergi sendiri. Bukan Mami yang usir. Dan Saskia itu lebih penting! Inget ya Arga! Keluarga kita, perusahaan kita, semua bergantung sama pernikahanmu dengan Saskia. Jadi kamu jangan main-main dengan keputusan yang udah kita sepakati!” Panggilan lalu diputus begitu saja oleh Nadira. Arga terdiam. Rasanya hidupnya benar-benar kacau. Wanita yang sangat ia cintai kini pergi, dan ia tak tahu di mana keberadaannya. Hal ini jelas membuatnya frustasi. Apa lagi dia dihadapkan pilihan yang sulit antara harus mencari istrinya, atau mempertahankan kesepakatan keluarganya. Bersambung…Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi. "Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arin
Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi.Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhmu mend
“Arini, kamu itu gak tau diri banget, sih! Harusnya kamu gak pernah ada di sini! Kalau bukan karena Arga yang baik hati sama kamu, kamu udah ditendang keluar dari rumah ini!” Kata-kata Nadira, ibu mertua Arini, menggema di benaknya seperti hantaman palu yang memecah beling. Arini terdiam, duduk di tepi ranjang, menggenggam undangan pernikahan yang baru saja dia temukan dengan tangan gemetar. Matanya terpaku pada tulisan indah berwarna emas yang tertera di sana: Arga Wiratama & Saskia Ramadhani. Tangan Arini mengusap lembut nama itu, seolah berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, kenyataan begitu kejam. Nama suaminya kini berdampingan dengan wanita lain, seperti sebuah mimpi buruk yang sulit dihindari. Dadanya sesak, seakan udara yang mengelilinginya menipis. “Padahal aku udah kasih yang terbaik…” gumamnya pelan. Bibirnya bergetar. “Tapi kenapa mereka masih aja begini…” Pikiran Arini berputar pada semua momen pahit yang telah ia lalui. Sejak awal pernikahan mereka, keluarga A
Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi.Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhmu mend
Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi. "Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arin
Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb
“Arini, kamu itu gak tau diri banget, sih! Harusnya kamu gak pernah ada di sini! Kalau bukan karena Arga yang baik hati sama kamu, kamu udah ditendang keluar dari rumah ini!” Kata-kata Nadira, ibu mertua Arini, menggema di benaknya seperti hantaman palu yang memecah beling. Arini terdiam, duduk di tepi ranjang, menggenggam undangan pernikahan yang baru saja dia temukan dengan tangan gemetar. Matanya terpaku pada tulisan indah berwarna emas yang tertera di sana: Arga Wiratama & Saskia Ramadhani. Tangan Arini mengusap lembut nama itu, seolah berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, kenyataan begitu kejam. Nama suaminya kini berdampingan dengan wanita lain, seperti sebuah mimpi buruk yang sulit dihindari. Dadanya sesak, seakan udara yang mengelilinginya menipis. “Padahal aku udah kasih yang terbaik…” gumamnya pelan. Bibirnya bergetar. “Tapi kenapa mereka masih aja begini…” Pikiran Arini berputar pada semua momen pahit yang telah ia lalui. Sejak awal pernikahan mereka, keluarga A