Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya.
"Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga apartemen ini. Kamu aman di sini. Tapi kamu harus janji, jangan keluar sendirian." Arini menghela napas panjang, merasa dirinya seperti buronan. "Aku gak nyangka hidupku akan serumit ini. Padahal aku cuma ingin hidup bahagia dengan Arga. Tapi kenyataannya, semuanya berantakan." Raka menatapnya dengan penuh empati. "Kamu terlalu baik untuk dia, Rin. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia pasti akan membelamu. Memberikanmu kebahagiaan yang sesungguhnya." Mendengar itu, hati Arini semakin sedih mengingat tiga tahun terakhir pernikahannya dengan Arga yang selalu dibuat ribut oleh keluarga Wiratama. Padahal sebelumnya, Arga sangat berusaha mengambil hati Arini, sampai Arini mengiyakan lamarannya. Entah apa yang membuat Arga berubah, tapi yang jelas, Arga tak pernah bisa berkutik di dalam keluarganya. Mengingat tentang wanita yang akan menjadi pendamping suaminya, Arini pun jadi penasaran. “Raka, apa kamu tau sesuatu tentang Saskia?” “Saskia?” Arini mengangguk. “Hmm… Dia tidak secantik dan sebaik penampilannya. Dia itu sangat ambis, dia tahu bagaimana membuat orang di sekitarnya tunduk. Bahkan mungkin Arga sekalipun. Aku yakin, kali ini Arga dan keluarga Wiratama berada di bawah kuasa Saskia dan keluarganya." Arini terdiam. Dia merasa ucapan Raka tak masuk akal. Bagaimana mungkin keluarga Wiratama dibuat tunduk? Mereka sama-sama konglomerat. Rasa-rasanya tak mungkin keluarga angkuh itu mau tunduk. Namun mengingat ucapan dan bukti-bukti yang Raka berikan, Arini menyadari jika keluarga suaminya benar-benar diambang kebangkrutan. “Jadi sebaiknya, kamu jauh-jauh dari dia, kalau dia mencarimu jangan pernah ditemui,” lanjut Raka sambil mengusap hangat rambut Arini. *** Di tempat lain, Saskia berdiri di balkon apartemennya, memandang kota dengan segelas anggur di tangan. Sebuah senyum sinis penuh kebencian terlukis di wajahnya. "Arini… Siapa dia sebenarnya? Berani-beraninya buat Arga sampai bersikap seperti itu,” gumamnya, sambil menggertakan gigi. Rasa kesal benar-benar memenuhi relung Saskia. Dia tak menyangka, akan ditinggalkan begitu saja oleh Arga bahkan tidak mendapatkan perhatian calon suaminya sama sekali. Hal ini jelas menggores harga dirinya. Saskia berbalik masuk ke dalam. Salah satu asistennya pun masuk ke dalam, menemui dan langsung menghadapnya. “Ah, bagus kamu udah datang. Jadi gimana? Ada perkembangan? Sudah ketemu siapa Arini itu?” Pria itu mengangguk. "Ini beberapa dokumen yang bisa kami dapatkan. Dia adalah anak pegawai biasa, orang tuanya sudah meninggal tabrak lari dalam kecelakaan tiga tahun lalu. Kemudian… ada rumor yang mengatakan bahwa dia dinikahi oleh Tuan Arga Wiratama. Tapi kami tidak menemukan bukti pernikahan mereka sama sekali.” Mendapati kabar seperti ini, jelas membuat Saskia semakin meradang. Dia tak menyangka, ada rumor yang tak diketahuinya tentang calon suaminya ini. “Arga? Menikahi wanita ini?” gumam Saskia dengan senyum getir. “Kalau begitu, cari keberadaannya. Cari nomor telepon dan tempat dia tinggal sekarang. Aku harus segera menemuinya secepat mungkin.” “Baik, Nona.” Pria itu lalu pergi meninggalkan ruang. Saskia yang merasa emosi pun kini membanting gelas yang dibawanya dan berteriak kencang melepaskan amarah. “Argh! Dasar sialan! Arga itu milikku! Aku gak akan biarkan siapa pun, termasuk wanita jalang itu! Lihat aja, aku akan menghancurkanmu," ocehnya dengan penuh keyakinan. *** Arga tenggelam dalam pikirannya. Dia duduk di ruang kerja kantornya, dengan menggenggam kuat gelas whisky yang hampir kosong. Sudah berjam-jam berlalu sejak kejadian di jalan tadi pagi, namun pikirannya tak bisa lepas dari sosok Arini. "Kenapa… kamu harus lari, Rin? Siapa pria itu?" gumamnya pelan sambil mengingat-ingat pria yang bersama Arini. Arga merasa pernah melihat pria itu, tapi dia benar-benar tak tau siapa orang tersebut. Pikirannya kembali pada pertemuan singkat mereka. Tatapan ketakutan di mata Arini saat melihatnya bersama Saskia, kini kembali menghantui benaknya. Dia tahu ada yang salah, dan ingin menjelaskan lebih lanjut. Namun, setiap kali mencoba menghubungi Arini, selalu gagal. Nomor ponselnya tidak aktif. Arga menghela napas berat. Dia tidak bisa menyangkal bahwa Saskia memang menekan dirinya. Wanita itu tahu bagaimana memainkan perannya sebagai calon istri ideal di depan keluarga mereka, karena situasi inilah yang membuatnya berada pada pilihan sulit. Ponselnya berbunyi, menginterupsi lamunannya. Nama Saskia muncul di layar. Arga mematikannya, tapi Saskia terus saja menghubunginya berkali-kali. Dengan enggan, akhirnya Arga mengangkatnya. “Arga, kenapa dimatiin terus? Kamu di mana sekarang? Kita ada janji makan malam hari ini, kamu gak lupa kan?” Suara Saskia terdengar manis, tetapi ada nada otoritas yang tak bisa disembunyikan. “Aku ada urusan di kantor,” jawab Arga singkat, berusaha menghindar. “Urusan kantor? Urusan kantor atau masih mikirin wanita tadi?” Suara Saskia tiba-tiba berubah tajam. Arga terkejut ketika menyadari bahwa Saskia juga terlibat dalam kejadian tadi. Dia pun berusaha mengalihkannya. “Urusan kantor Saskia. Pekerjaanku masih banyak yang harus diselesaikan.” “Terus…. Siapa sebenarnya Arini? Kenapa kamu tadi kejar-kejar dia, sampai tega ninggalin aku?” Saskia berusaha membuat Arga mengaku. “Saskia, tenang dulu. Arini… Dia itu… Punya hutang denganku. Jadi aku mau nagih hutang ke dia. Sebentar lagi aku selesai. Kamu di mana? Mau aku jemput?” Nyatanya Arga berbohong, dia berusaha mengalihkan obrolan. Saskia terdengar tertawa remeh. Dia jelas tahu jika Arga sedang membohonginya. Tanpa pikir panjang, Saskia kembali mendesak. “Kenapa? Kamu takut kalau aku tau tentang istrimu? Tentang pernikahanmu dengan Arini?” Jelas mendengar ucapan Saskia barusan membuat jantung Arga berdegup kencang. Bagaimana dia tau? Kenapa Saskia bisa tahu ini semua? Padahal jelas-jelas tidak ada yang tahu tentang pernikahannya dengan Arini, kecuali keluarganya. Beberapa detik Arga terdiam. Dia lalu menyadari sesuatu. Saskia bisa melakukan apapun, termasuk mengorek kehidupannya. Bahkan jika dia tidak menemukan apa yang dia mau, bisa jadi dia akan membuat Arini menderita. Membayangkan hal buruk terjadi pada Arini, Arga refleks mengepalkan tangannya. Dia semakin kesal bercampur rasa takut dengan sikap Saskia. “Jangan ngarang kamu, Sas. Pernikahan apa? Aku gak pernah nikah sama dia! Kamu dengar berita murahan kayak gitu dari mana sih?” Suara Arga meninggi, tapi dia tetap berusaha menutupi, demi melindungi Arini. “Ingat, ya, Arga. Aku ini tunanganmu. Aku berhak tahu apa yang kamu lakukan. Jika rumor itu benar, maka aku pastikan wanita itu harus hilang dari kehidupanmu,” tegas Saskia mengakhiri panggilan. Arga terdiam dalam keheningan yang menyiksa. Rasanya begitu frustasi. Bukan ini kehidupan yang dia harapkan. Arga berusaha menenangkan diri. Bayangan tentang Arini terus saja hadir. Rasa ingin sekali kembali ke masa-masa manis ketika mereka masih pacaran, tanpa interupsi dari pihak manapun. Perlahan Arga sengaja membuka laci mejanya, dia menatap foto pernikahannya dengan Arini. Hatinya sakit, terasa begitu pilu. Arga menyadari, bahwa dunia tempat dia hidup terasa tak adil, seolah tidak membiarkannya mencintai Arini dengan bebas. Bersambung...Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi. Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhm
“Apaan, sih, Arga!” Saskia membentak, tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria itu. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan bercampur keterkejutan. “Di mana apartemen Raka? Cepat katakan!” Arga tidak peduli dengan protes Saskia. Wajahnya memerah, dan bola matanya membulat penuh amarah. Emosinya meluap, seperti api yang tak terkendali. “Lepasin dulu! Ini sakit, Arga,” desis Saskia pelan, mencoba menutupi rasa takut di balik protesnya. Namun, Arga tidak bergeming. “Jawab pertanyaanku!” gertaknya, semakin mempererat cengkraman di pergelangan tangan Saskia. Saskia meringis kesakitan, hingga akhirnya Arga menyadari apa yang dilakukannya. Dia mengendurkan genggamannya perlahan, namun matanya masih menatap Saskia penuh intimidasi. “Sebenarnya apa maksud teleponmu tadi? Apa kamu merencanakan sesuatu?” Saskia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menahan rasa nyeri. Tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi senyuman licik. Dia tahu, kelemahan Arga adalah
Arga tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia bertekad untuk tetap menemukan istrinya yang beberapa hari ini pergi meninggalkannya. Mengetahui tentang ucapan Saskia sebelumnya, Arga menyadari jika Arini tidak sendirian, dan Raka adalah orang yang ada di balik persembunyiannya. Dia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Arini dengan cara apapun. Langkah pertama yang Arga lakukan saat ini adalah menyelidiki latar belakang Raka. Arga pun mulai menghubungi seseorang yang biasa dia percayai, Johan, seorang mantan penyelidik swasta yang kini bekerja sebagai kepala keamanan di perusahaan milik keluarganya. “Johan, aku butuh bantuanmu,” kata Arga dengan nada tegas. “Cari tahu keberadaan Raka Adiputra. Temukan di mana dia tinggal, atau di mana dia sering terlihat akhir-akhir ini. Lacak lewat nomor telpon perusahaannya atau segera temukan nomor ponselnya. Beri tahu padaku segera jika sudah menemukannya.” Mendengar permintaan terkait orang luar yang bukan keluarga bosnya, jelas membuat Joha
Langit malam begitu gelap, seperti menutup rapat rahasia yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan Arga. Di dalam mobilnya, Arga yang memutuskan untuk mundur sejenak dari Raka, kini terlihat duduk dengan kepala tertunduk. Tangan mencengkeram setir dengan kuat. Merasa masih ingin melampiaskan emosinya. Napasnya memburu, bukan karena lelah fisik, tetapi karena kelelahan batin usai menghadapi Raka. Pertemuan dengan Raka tadi seolah membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, menyayat hati dan egonya. "Keberadaanmu itu adalah sumber masalah terbesar dalam hidup Arini." Arga merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuk memperbaiki kesalahan, tetapi entah kenapa, setiap langkahnya justru membawa lebih banyak kehancuran. Di saat ia tenggelam dalam pikirannya, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya kembali muncul di layar. Dengan malas, Arga mengangkat panggilan itu, menyandar
Saat Saskia sedang menikmati kemenangan kecilnya, ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum. Arga Wiratama.“Akhirnya,” gumam wanita ini sambil meraih ponselnya. “Halo, sayang?” sapa Saskia dengan suara manis yang dibuat-buat. “Ada apa? Akhirnya kamu ingat aku?”Namun, suara di seberang tidak seperti yang ia harapkan.“Saskia … aku mohon … aku mohon, kita akhiri saja rencana ini,” ujar Arga dengan nada memelas. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan semua harapan.Senjata kemenangan Saskia perlahan memudar. Senyumnya menghilang, digantikan oleh amarah yang tiba-tiba terasa mendidih di dada.“Apa maksudmu?” tanya Saskia tajam.“Aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita, Saskia,” ujar Arga, nadanya lebih tegas. “Aku minta tolong, hentikan semuanya. Aku gak mau terus terlibat dalam rencana sialan ini!”Jelas hal ini membuat Saskia meradang. “Hentikan ucapanmu, Arga!” bentak Saskia. “Apa kamu mas
Raka memperhatikan layar ponselnya yang bergetar di atas meja. Nama Arga terpampang jelas di sana. Rahangnya menegang, tapi ia cepat-cepat menguasai ekspresinya.Arini, yang duduk di seberangnya, ikut melirik sekilas. Ia mengenali nama itu. Tatapan herannya tertuju pada Raka.“Itu, Arga? Suamiku?” tanyanya penuh rasa penasaran.Raka seolah tak mendengar. Ia menghela napas perlahan sebelum meraih ponselnya, lalu dengan sengaja menghindari tatapan Arini.“Aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya singkat, langsung bangkit dari posisinya tanpa menunggu respons.Arini mengerutkan kening. Ada sesuatu yang janggal. Ia merasa Raka menyembunyikan sesuatu darinya. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin memanggil pria itu, tapi urung. Ia malah menatap kosong ke meja, pikirannya penuh dengan pertanyaan.‘Kenapa Arga menelpon Raka?’ batinnya bertanya-tanya.Di sisi lain, Raka yang kini berdiri di dekat kamar mandi menghela napas berat. Jemarinya menekan tombol jawab dengan sedikit enggan.“Kenapa men
“Arini, kamu itu gak tau diri banget, sih! Harusnya kamu gak pernah ada di sini! Kalau bukan karena Arga yang baik hati sama kamu, kamu udah ditendang keluar dari rumah ini!” Kata-kata Nadira, ibu mertua Arini, menggema di benaknya seperti hantaman palu yang memecah beling. Arini terdiam, duduk di tepi ranjang, menggenggam undangan pernikahan yang baru saja dia temukan dengan tangan gemetar. Matanya terpaku pada tulisan indah berwarna emas yang tertera di sana: Arga Wiratama & Saskia Ramadhani. Tangan Arini mengusap lembut nama itu, seolah berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, kenyataan begitu kejam. Nama suaminya kini berdampingan dengan wanita lain, seperti sebuah mimpi buruk yang sulit dihindari. Dadanya sesak, seakan udara yang mengelilinginya menipis. “Padahal aku udah kasih yang terbaik…” gumamnya pelan. Bibirnya bergetar. “Tapi kenapa mereka masih aja begini…” Pikiran Arini berputar pada semua momen pahit yang telah ia lalui. Sejak awal pernikahan mereka, keluarga A
Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb
Raka memperhatikan layar ponselnya yang bergetar di atas meja. Nama Arga terpampang jelas di sana. Rahangnya menegang, tapi ia cepat-cepat menguasai ekspresinya.Arini, yang duduk di seberangnya, ikut melirik sekilas. Ia mengenali nama itu. Tatapan herannya tertuju pada Raka.“Itu, Arga? Suamiku?” tanyanya penuh rasa penasaran.Raka seolah tak mendengar. Ia menghela napas perlahan sebelum meraih ponselnya, lalu dengan sengaja menghindari tatapan Arini.“Aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya singkat, langsung bangkit dari posisinya tanpa menunggu respons.Arini mengerutkan kening. Ada sesuatu yang janggal. Ia merasa Raka menyembunyikan sesuatu darinya. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin memanggil pria itu, tapi urung. Ia malah menatap kosong ke meja, pikirannya penuh dengan pertanyaan.‘Kenapa Arga menelpon Raka?’ batinnya bertanya-tanya.Di sisi lain, Raka yang kini berdiri di dekat kamar mandi menghela napas berat. Jemarinya menekan tombol jawab dengan sedikit enggan.“Kenapa men
Saat Saskia sedang menikmati kemenangan kecilnya, ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum. Arga Wiratama.“Akhirnya,” gumam wanita ini sambil meraih ponselnya. “Halo, sayang?” sapa Saskia dengan suara manis yang dibuat-buat. “Ada apa? Akhirnya kamu ingat aku?”Namun, suara di seberang tidak seperti yang ia harapkan.“Saskia … aku mohon … aku mohon, kita akhiri saja rencana ini,” ujar Arga dengan nada memelas. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan semua harapan.Senjata kemenangan Saskia perlahan memudar. Senyumnya menghilang, digantikan oleh amarah yang tiba-tiba terasa mendidih di dada.“Apa maksudmu?” tanya Saskia tajam.“Aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita, Saskia,” ujar Arga, nadanya lebih tegas. “Aku minta tolong, hentikan semuanya. Aku gak mau terus terlibat dalam rencana sialan ini!”Jelas hal ini membuat Saskia meradang. “Hentikan ucapanmu, Arga!” bentak Saskia. “Apa kamu mas
Langit malam begitu gelap, seperti menutup rapat rahasia yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan Arga. Di dalam mobilnya, Arga yang memutuskan untuk mundur sejenak dari Raka, kini terlihat duduk dengan kepala tertunduk. Tangan mencengkeram setir dengan kuat. Merasa masih ingin melampiaskan emosinya. Napasnya memburu, bukan karena lelah fisik, tetapi karena kelelahan batin usai menghadapi Raka. Pertemuan dengan Raka tadi seolah membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, menyayat hati dan egonya. "Keberadaanmu itu adalah sumber masalah terbesar dalam hidup Arini." Arga merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuk memperbaiki kesalahan, tetapi entah kenapa, setiap langkahnya justru membawa lebih banyak kehancuran. Di saat ia tenggelam dalam pikirannya, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya kembali muncul di layar. Dengan malas, Arga mengangkat panggilan itu, menyandar
Arga tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia bertekad untuk tetap menemukan istrinya yang beberapa hari ini pergi meninggalkannya. Mengetahui tentang ucapan Saskia sebelumnya, Arga menyadari jika Arini tidak sendirian, dan Raka adalah orang yang ada di balik persembunyiannya. Dia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Arini dengan cara apapun. Langkah pertama yang Arga lakukan saat ini adalah menyelidiki latar belakang Raka. Arga pun mulai menghubungi seseorang yang biasa dia percayai, Johan, seorang mantan penyelidik swasta yang kini bekerja sebagai kepala keamanan di perusahaan milik keluarganya. “Johan, aku butuh bantuanmu,” kata Arga dengan nada tegas. “Cari tahu keberadaan Raka Adiputra. Temukan di mana dia tinggal, atau di mana dia sering terlihat akhir-akhir ini. Lacak lewat nomor telpon perusahaannya atau segera temukan nomor ponselnya. Beri tahu padaku segera jika sudah menemukannya.” Mendengar permintaan terkait orang luar yang bukan keluarga bosnya, jelas membuat Joha
“Apaan, sih, Arga!” Saskia membentak, tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria itu. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan bercampur keterkejutan. “Di mana apartemen Raka? Cepat katakan!” Arga tidak peduli dengan protes Saskia. Wajahnya memerah, dan bola matanya membulat penuh amarah. Emosinya meluap, seperti api yang tak terkendali. “Lepasin dulu! Ini sakit, Arga,” desis Saskia pelan, mencoba menutupi rasa takut di balik protesnya. Namun, Arga tidak bergeming. “Jawab pertanyaanku!” gertaknya, semakin mempererat cengkraman di pergelangan tangan Saskia. Saskia meringis kesakitan, hingga akhirnya Arga menyadari apa yang dilakukannya. Dia mengendurkan genggamannya perlahan, namun matanya masih menatap Saskia penuh intimidasi. “Sebenarnya apa maksud teleponmu tadi? Apa kamu merencanakan sesuatu?” Saskia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menahan rasa nyeri. Tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi senyuman licik. Dia tahu, kelemahan Arga adalah
Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi. Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhm
Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi. "Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arin
Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb