Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi.
"Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arini. Arini menoleh. Dia memandang Raka dalam, berusaha memikirkan jawaban yang pas untuk menyanggah ucapan pria ini. Sayangnya, Arini tak menemukan satu celah pun. Raka berdiri di hadapan Arini, lalu berjongkok sambil meraih tangannya. “Kamu tenang aja. Kamu gak sendiri, Rin. Ada aku. Kita mulai dengan langkah kecil. Pertama-tama, kamu harus menguatkan dirimu. Ini hidupmu, dan kamu berhak atas kebahagiaanmu." Mendengar ucapan dukungan seperti ini sungguh membuat hati Arini kian terenyuh. Sudah lama dia tidak pernah mendapatkan kata-kata penyemangat seperti barusan. Raka memang teman terbaiknya, tapi semenjak menikah dengan Arga, suaminya menyuruh Arini untuk memutuskan hubungan dengan temannya ini. Raka lalu mengeluarkan sebuah ponsel baru yang dia dapatkan melalui anak buahnya. Dia tau ponsel Arini rusak ketika wanita ini pingsan. Dengan senyuman, Raka menyerahkan ponsel itu ke tangan Arini. "Ini untukmu. Nomor ini aman, hanya aku yang tau. Kita akan cari cara untuk buktikan bahwa kamu bisa hidup tanpa mereka. Kamu bisa baik-baik saja tanpa Arga, dan keluarganya." Arini mengambil ponsel itu, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Dia tahu, jalan ini tidak akan mudah. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa punya harapan. *** Di sisi lain, Arga duduk di ruang kerja. Kepalanya tertunduk dengan kedua tangan mencengkram rambutnya. Dia bahkan tidak bisa tidur semalaman, memikirkan keberadaan Arini. Rasa bersalah dan cemas menggerogoti hatinya. "Arini..." bisiknya pelan, seolah berharap namanya saja cukup untuk memanggil wanita itu kembali. Ketukan di pintu memecah lamunannya. "Masuk," katanya singkat. Seorang pria bersetelan hitam, salah satu orang kepercayaan keluarga, masuk dengan langkah tegas. "Tuan Arga, kami telah memeriksa beberapa hotel dan apartemen, tapi sejauh ini belum ada tanda-tanda keberadaan Nyonya Arini." Arga berdiri dengan frustasi. "Cari lagi! Aku gak peduli seberapa lama, aku mau tahu dia di mana! Dan jangan biarkan keluargaku tahu soal ini." Pria itu mengangguk patuh dan keluar dari ruangan. Arga menghembuskan napas berat, kembali duduk. Dia tahu, waktu terus berjalan, dan dengan setiap detik yang berlalu, situasinya semakin rumit. Ponselnya kembali berdering. Kali ini nama Saskia yang menghubunginya. “Argh! Ashh!” Arga mengerang, merasa begitu kesal dengan keadaan. Namun ia berusaha untuk menenangkan diri. Arga tidak ingin semuanya gagal. “Hmm... Ya, Sas?” Arga menjaga suaranya setenang mungkin. “Arga, nanti aku dijemput ya," pinta Saskia manja. “Hmm… Maaf, Sas. Sebenarnya nanti aku mau ijin datang terlambat. Ada yang harus aku kerjakan terlebih dahulu.” “Gak bisa, dong, Arga. Harus on time. Kamu semalem juga udah pulang buru-buru. Pokoknya kita harus lebih sering bareng. Belum lagi wawancara media, kita harus kelihatan serasi.” Percuma jika Arga terus melawan. Saskia bukanlah wanita penurut dan pengertian seperti Arini. Dia bahkan sudah banyak mengatur. Mirip seperti ibunya. Karena hal ini, Arga pun akhirnya memilih untuk mengalah. “Baiklah. Kalau sudah siap kabari aku,” jawabnya singkat mengakhiri panggilan. *** Pagi itu, Arga berdiri di depan kaca besar butik mewah, mengenakan setelan jas abu-abu yang sempurna di tubuhnya. Namun, pikirannya melayang jauh. Hanya Arini yang memenuhi benaknya. Tak lama, Saskia keluar dari balik bilik kain gorden. Dia terlihat begitu cantik dengan gaun elegan yang dirancang khusus untuk mereka. "Arga, gimana menurutmu? Cocok gak?" tanya Saskia dengan suara lembut, memiringkan kepala sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Arga tersadar, menatap sekilas, lalu mengangguk singkat. "Bagus." Saskia mengerutkan alis, menyadari ketidakpedulian Arga. "Kamu yakin? Dari tadi kayak gak fokus, deh. Ada yang salah?" Arga menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Gak, aku cuma... sedikit capek." Saskia tersenyum kecil, lalu mendekat dan meraih lengan Arga. "Aku tahu ini cuma perjodohan keluarga kita. Tapi, sebaiknya kamu bekerja sama dengan baik, demi kelangsungan hidup dua belah pihak.” Arga mengangguk lagi, tapi kata-kata Saskia terdengar hampa di telinganya. Pikirannya masih tertuju pada Arini. Dia membayangkan wajah istrinya, senyumannya, dan bagaimana Arini menghilang tanpa jejak. Setelah sesi fitting selesai, mereka berdua berjalan keluar butik. Udara pagi yang sejuk menyambut, namun tidak cukup untuk menenangkan kegelisahan Arga. Saat mereka melintasi trotoar, pandangan Arga tiba-tiba terpaku pada sosok yang sangat dikenalnya. Dari kejauhan, Arini terlihat berjalan bersama seorang pria. Mereka tampak akrab, sesekali berbicara dan tertawa kecil. Dunia Arga seolah berhenti berputar. Tangannya mengepal erat, rahangnya mengeras. "Arini...?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. Saskia yang berada di sampingnya segera menyadari perubahan ekspresi Arga. "Ada apa? Kamu kenapa?" tanyanya penasaran. Arga tak menjawab. Ia segera melangkah cepat, meninggalkan Saskia. "Hei, Arga! Mau ke mana?" Saskia yang terkejut berusaha memanggil, tapi Arga tidak peduli. Semakin dekat, semakin jelas Arga melihat Arini. Dadanya bergemuruh dengan emosi yang bercampur aduk. Ketika jarak hanya beberapa meter, Arini akhirnya menyadari keberadaannya. Wajah wanita ini langsung berubah pucat. "Arga..." bisiknya dengan suara gemetar. Raka yang menyadari ketakutan Arini langsung berdiri di depan, untuk melindunginya. “Minggir!” suara Arga menggema. “Kamu siapa berani-beraninya bawa istriku, hah?!” Terlihat sekali amarah sudah menguasainya. Tak ingin menimbulkan keributan, Raka berusaha menenangkan. “Jangan di sini. Banyak orang. Kamu masih punya malu kan?” ujarnya tegas tapi tetap terlihat tenang. Arini yang paham dengan sikap suaminya pun mencoba menenangkan situasi. "Arga, dengarkan aku dulu..." Namun, Arga tidak mendengar. Matanya berkilat marah. "Arini! Kamu pikir kamu bisa lari dariku? Kamu sengaja kabur, supaya bisa berduaan sama selingkuhanmu ini?” tangannya menunjuk Raka dengan penuh tuduhan. “Dasar pelacur!” BRAK! Pukulan keras langsung dihantamkan oleh Raka ke wajah Arga. Dia merasa tak terima jika wanita sebaik Arini mendapatkan kata-kata tak pantas seperti barusan. “Jaga ucapanmu,” tegas Raka. Keributan kecil itu menarik perhatian orang-orang di sekitar. Arini hendak menolong Arga yang tersungkur tapi Raka menghalaunya. “Kamu punya harga diri.” Lalu ia segera membawa Arini pergi. "Arga! Kamu kenapa?” Saskia akhirnya menyusul, mencoba memahami situasi. Dia memegang lengan Arga, mencoba membantunya berdiri. Tapi Arga menepis tangannya dengan kasar. “Arini berhenti!” teriak Arga. Arini berusaha menghentikan langkah, dia menoleh memperhatikan Arga dengan wajah bingung. Tapi Raka terus menyeretnya, membawanya menjauh dari Arga. "Raka lepasin...," pinta Arini sambil berusaha melepaskan cengkraman Raka. “Bukankah kamu ingin bahagia?" tanya Raka. "Jika kamu ingin bahagia, maka hal pertama yang harus kamu lakukan, adalah merelakannya, Arini," lanjutnya berusaha meyakinkan wanita di sampingnya. Raka masih memegang erat lengan Arini, dia berharap Arini mau mendengarkannya. Namun Arini malah menggelengkan kepala. “Kasihan Arga…,” ucap wanita ini dengan wajah memohon. Tak ingin Arini kalah dengan perasaannya, Raka berusaha menyadarkannya kembali. “Apa kamu lupa? Wanita yang bersama suamimu, dia itu Saskia. Calon pengantinnya. Kalau sampai dia tau kamu istrinya Arga, aku yakin dia gak akan segan-segan mencelakaimu.” Bersambung...Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi. Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhm
“Apaan, sih, Arga!” Saskia membentak, tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria itu. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan bercampur keterkejutan. “Di mana apartemen Raka? Cepat katakan!” Arga tidak peduli dengan protes Saskia. Wajahnya memerah, dan bola matanya membulat penuh amarah. Emosinya meluap, seperti api yang tak terkendali. “Lepasin dulu! Ini sakit, Arga,” desis Saskia pelan, mencoba menutupi rasa takut di balik protesnya. Namun, Arga tidak bergeming. “Jawab pertanyaanku!” gertaknya, semakin mempererat cengkraman di pergelangan tangan Saskia. Saskia meringis kesakitan, hingga akhirnya Arga menyadari apa yang dilakukannya. Dia mengendurkan genggamannya perlahan, namun matanya masih menatap Saskia penuh intimidasi. “Sebenarnya apa maksud teleponmu tadi? Apa kamu merencanakan sesuatu?” Saskia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menahan rasa nyeri. Tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi senyuman licik. Dia tahu, kelemahan Arga adalah
Arga tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia bertekad untuk tetap menemukan istrinya yang beberapa hari ini pergi meninggalkannya. Mengetahui tentang ucapan Saskia sebelumnya, Arga menyadari jika Arini tidak sendirian, dan Raka adalah orang yang ada di balik persembunyiannya. Dia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Arini dengan cara apapun. Langkah pertama yang Arga lakukan saat ini adalah menyelidiki latar belakang Raka. Arga pun mulai menghubungi seseorang yang biasa dia percayai, Johan, seorang mantan penyelidik swasta yang kini bekerja sebagai kepala keamanan di perusahaan milik keluarganya. “Johan, aku butuh bantuanmu,” kata Arga dengan nada tegas. “Cari tahu keberadaan Raka Adiputra. Temukan di mana dia tinggal, atau di mana dia sering terlihat akhir-akhir ini. Lacak lewat nomor telpon perusahaannya atau segera temukan nomor ponselnya. Beri tahu padaku segera jika sudah menemukannya.” Mendengar permintaan terkait orang luar yang bukan keluarga bosnya, jelas membuat Joha
Langit malam begitu gelap, seperti menutup rapat rahasia yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan Arga. Di dalam mobilnya, Arga yang memutuskan untuk mundur sejenak dari Raka, kini terlihat duduk dengan kepala tertunduk. Tangan mencengkeram setir dengan kuat. Merasa masih ingin melampiaskan emosinya. Napasnya memburu, bukan karena lelah fisik, tetapi karena kelelahan batin usai menghadapi Raka. Pertemuan dengan Raka tadi seolah membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, menyayat hati dan egonya. "Keberadaanmu itu adalah sumber masalah terbesar dalam hidup Arini." Arga merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuk memperbaiki kesalahan, tetapi entah kenapa, setiap langkahnya justru membawa lebih banyak kehancuran. Di saat ia tenggelam dalam pikirannya, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya kembali muncul di layar. Dengan malas, Arga mengangkat panggilan itu, menyandar
Saat Saskia sedang menikmati kemenangan kecilnya, ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum. Arga Wiratama.“Akhirnya,” gumam wanita ini sambil meraih ponselnya. “Halo, sayang?” sapa Saskia dengan suara manis yang dibuat-buat. “Ada apa? Akhirnya kamu ingat aku?”Namun, suara di seberang tidak seperti yang ia harapkan.“Saskia … aku mohon … aku mohon, kita akhiri saja rencana ini,” ujar Arga dengan nada memelas. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan semua harapan.Senjata kemenangan Saskia perlahan memudar. Senyumnya menghilang, digantikan oleh amarah yang tiba-tiba terasa mendidih di dada.“Apa maksudmu?” tanya Saskia tajam.“Aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita, Saskia,” ujar Arga, nadanya lebih tegas. “Aku minta tolong, hentikan semuanya. Aku gak mau terus terlibat dalam rencana sialan ini!”Jelas hal ini membuat Saskia meradang. “Hentikan ucapanmu, Arga!” bentak Saskia. “Apa kamu mas
“Arini, kamu itu gak tau diri banget, sih! Harusnya kamu gak pernah ada di sini! Kalau bukan karena Arga yang baik hati sama kamu, kamu udah ditendang keluar dari rumah ini!” Kata-kata Nadira, ibu mertua Arini, menggema di benaknya seperti hantaman palu yang memecah beling. Arini terdiam, duduk di tepi ranjang, menggenggam undangan pernikahan yang baru saja dia temukan dengan tangan gemetar. Matanya terpaku pada tulisan indah berwarna emas yang tertera di sana: Arga Wiratama & Saskia Ramadhani. Tangan Arini mengusap lembut nama itu, seolah berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, kenyataan begitu kejam. Nama suaminya kini berdampingan dengan wanita lain, seperti sebuah mimpi buruk yang sulit dihindari. Dadanya sesak, seakan udara yang mengelilinginya menipis. “Padahal aku udah kasih yang terbaik…” gumamnya pelan. Bibirnya bergetar. “Tapi kenapa mereka masih aja begini…” Pikiran Arini berputar pada semua momen pahit yang telah ia lalui. Sejak awal pernikahan mereka, keluarga A
Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb
Saat Saskia sedang menikmati kemenangan kecilnya, ponselnya bergetar di meja. Nama yang muncul di layar membuatnya tersenyum. Arga Wiratama.“Akhirnya,” gumam wanita ini sambil meraih ponselnya. “Halo, sayang?” sapa Saskia dengan suara manis yang dibuat-buat. “Ada apa? Akhirnya kamu ingat aku?”Namun, suara di seberang tidak seperti yang ia harapkan.“Saskia … aku mohon … aku mohon, kita akhiri saja rencana ini,” ujar Arga dengan nada memelas. Suaranya terdengar putus asa, seperti seseorang yang telah kehilangan semua harapan.Senjata kemenangan Saskia perlahan memudar. Senyumnya menghilang, digantikan oleh amarah yang tiba-tiba terasa mendidih di dada.“Apa maksudmu?” tanya Saskia tajam.“Aku gak bisa terus seperti ini. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita, Saskia,” ujar Arga, nadanya lebih tegas. “Aku minta tolong, hentikan semuanya. Aku gak mau terus terlibat dalam rencana sialan ini!”Jelas hal ini membuat Saskia meradang. “Hentikan ucapanmu, Arga!” bentak Saskia. “Apa kamu mas
Langit malam begitu gelap, seperti menutup rapat rahasia yang selama ini tersembunyi dalam kehidupan Arga. Di dalam mobilnya, Arga yang memutuskan untuk mundur sejenak dari Raka, kini terlihat duduk dengan kepala tertunduk. Tangan mencengkeram setir dengan kuat. Merasa masih ingin melampiaskan emosinya. Napasnya memburu, bukan karena lelah fisik, tetapi karena kelelahan batin usai menghadapi Raka. Pertemuan dengan Raka tadi seolah membuka luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya, menyayat hati dan egonya. "Keberadaanmu itu adalah sumber masalah terbesar dalam hidup Arini." Arga merasakan sesak yang mendesak di dadanya. Semua yang ia lakukan selama ini adalah untuk memperbaiki kesalahan, tetapi entah kenapa, setiap langkahnya justru membawa lebih banyak kehancuran. Di saat ia tenggelam dalam pikirannya, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya kembali muncul di layar. Dengan malas, Arga mengangkat panggilan itu, menyandar
Arga tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia bertekad untuk tetap menemukan istrinya yang beberapa hari ini pergi meninggalkannya. Mengetahui tentang ucapan Saskia sebelumnya, Arga menyadari jika Arini tidak sendirian, dan Raka adalah orang yang ada di balik persembunyiannya. Dia memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Arini dengan cara apapun. Langkah pertama yang Arga lakukan saat ini adalah menyelidiki latar belakang Raka. Arga pun mulai menghubungi seseorang yang biasa dia percayai, Johan, seorang mantan penyelidik swasta yang kini bekerja sebagai kepala keamanan di perusahaan milik keluarganya. “Johan, aku butuh bantuanmu,” kata Arga dengan nada tegas. “Cari tahu keberadaan Raka Adiputra. Temukan di mana dia tinggal, atau di mana dia sering terlihat akhir-akhir ini. Lacak lewat nomor telpon perusahaannya atau segera temukan nomor ponselnya. Beri tahu padaku segera jika sudah menemukannya.” Mendengar permintaan terkait orang luar yang bukan keluarga bosnya, jelas membuat Joha
“Apaan, sih, Arga!” Saskia membentak, tubuhnya berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan pria itu. Matanya menatap tajam, penuh kemarahan bercampur keterkejutan. “Di mana apartemen Raka? Cepat katakan!” Arga tidak peduli dengan protes Saskia. Wajahnya memerah, dan bola matanya membulat penuh amarah. Emosinya meluap, seperti api yang tak terkendali. “Lepasin dulu! Ini sakit, Arga,” desis Saskia pelan, mencoba menutupi rasa takut di balik protesnya. Namun, Arga tidak bergeming. “Jawab pertanyaanku!” gertaknya, semakin mempererat cengkraman di pergelangan tangan Saskia. Saskia meringis kesakitan, hingga akhirnya Arga menyadari apa yang dilakukannya. Dia mengendurkan genggamannya perlahan, namun matanya masih menatap Saskia penuh intimidasi. “Sebenarnya apa maksud teleponmu tadi? Apa kamu merencanakan sesuatu?” Saskia mengusap pergelangan tangannya yang memerah, menahan rasa nyeri. Tapi ekspresinya dengan cepat berubah menjadi senyuman licik. Dia tahu, kelemahan Arga adalah
Saskia memutar ulang rekaman CCTV yang ia dapati dari hasil penyelidikan anak buahnya, di laptopnya. Dia memperhatikan setiap gerakan Arga saat mengejar Arini di jalan. Senyumnya tipis, sambil menggigit-gigit ujung kukunya, mata Saskia terlihat menyipit penuh kalkulasi. Di layar, terlihat jelas bagaimana Arga terpancing emosi saat melihat Arini bersama pria lain. “Dia masih peduli,” Saskia berbisik, suaranya lembut namun penuh racun. “Dia menyukai wanita itu," gumamnya lagi. Perasaannya panas, seolah terbakar cemburu. Namun melihat keadaan ini, Saskia terbesit rencana serius. "Setidaknya dengan begini aku punya kendali," ucapnya penuh keyakinan. Di belakangnya, seorang pria bertubuh kekar berdiri menunggu instruksi. Pria itu adalah tangan kanan Saskia yang biasa menangani pekerjaan kotor. “Kita harus mempercepat langkah. Aku ingin Arini tahu bahwa dia tidak bisa bersembunyi selamanya. Lacak semua gerakannya, tapi jangan bertindak sampai aku bilang. Ah, bukankah aku menyuruhm
Arini duduk di sofa apartemen milik Raka yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Matanya terus terpaku pada jendela, melihat pemandangan kota yang hiruk-pikuk, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Saskia. Wanita itu tidak hanya sekedar calon pasangan bisnis Arga, tetapi nyatanya bisa menjadi ancaman nyata bagi dirinya. "Rin, kamu baik-baik saja?" suara Raka membuyarkan lamunannya. Arini menoleh, mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Aku baik," jawabnya singkat. Raka duduk di sebelahnya, memberikan segelas air. "Aku tahu kamu kepikiran soal tadi. Maaf, tapi aku gak bisa membiarkan Saskia tau tentangmu.” Arini menggenggam gelas itu erat. "Aku paham maksudmu, Raka. Tapi Arga… dia mungkin akan mencariku sampai dia menemukanku. Dan Saskia… aku gak tahu apa yang bakal dia lakukan. Pasti dia penasaran dengan kejadian tadi, apalagi dengan sikap Arga yang seperti itu.” Raka menepuk pundak Arini pelan. "Kamu tenang aja. Aku sudah meminta bantuan beberapa orang untuk menjaga
Pagi menjelang, dan Arini masih duduk di sisi tempat tidur, menggenggam dokumen yang semalam membuatnya terjaga. Ia tahu, keputusan harus diambil. Dunia yang selama ini ia pikir aman dan penuh cinta, ternyata hanyalah bayangan dari realita yang penuh manipulasi. "Rin," suara Raka memecah kesunyian, membawakan secangkir kopi. "Kamu gak perlu bertahan di sana kalau itu hanya menyakitimu. Pernikahan itu..." ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "gak seharusnya bikin kamu menderita." Arini menghela napas dalam. Pandangannya tetap pada jendela besar, menatap kota yang perlahan mulai hidup. "Aku tahu. Tapi Arga… Dia mencintaiku…” Rasanya masih berat jika harus benar-benar meninggalkan suaminya. Raka tersenyum tipis, menaruh cangkir kopi di meja. “Arga bahkan sadar dan tau tentang pernikahan ini. Dia hanya egois, mengurungmu untuk tetap disisinya. Padahal dia juga harus menikahi wanita lain. Bukankah, kamu… selama ini gak bahagia?” Raka berusaha hati-hati tapi tetap ingin menyadarkan Arin
Raka kemudian turun dan menghampiri Arini. “Udah aku duga bakal kayak gini. Lebih baik kamu masuk mobil dulu, aku bakal jelasin semuanya. Ada hal yang perlu kamu tahu, tentang suamimu dan keluarganya.” Raka Adiputra. Dia tampak berbeda, lebih dewasa, dengan tatapan yang penuh urgensi. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arini merasakan denyut jantungnya berdetak lebih cepat. Jelas Arini terkejut ketika mendapati teman yang sempat dekat dengannya tiba-tiba muncul di hadapannya setelah lama tak berjumpa. Namun menyadari ucapan pria ini barusan, Arini jelas merasa penasaran. “Tunggu dulu. Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Arini, dengan wajah yang terlihat begitu bingung. Raka menatap Arini, ekspresinya serius, bahkan sedikit khawatir. “Sebaiknya masuk ke dalam mobil dulu. Kita bicara di dalam.” Belum sempat Arini melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja kepalanya terasa begitu pusing. Telinganya berdengung, nyaring, seolah gendang telinganya tertusuk, nyaris memb
“Arini, kamu itu gak tau diri banget, sih! Harusnya kamu gak pernah ada di sini! Kalau bukan karena Arga yang baik hati sama kamu, kamu udah ditendang keluar dari rumah ini!” Kata-kata Nadira, ibu mertua Arini, menggema di benaknya seperti hantaman palu yang memecah beling. Arini terdiam, duduk di tepi ranjang, menggenggam undangan pernikahan yang baru saja dia temukan dengan tangan gemetar. Matanya terpaku pada tulisan indah berwarna emas yang tertera di sana: Arga Wiratama & Saskia Ramadhani. Tangan Arini mengusap lembut nama itu, seolah berharap semua ini hanyalah ilusi. Namun, kenyataan begitu kejam. Nama suaminya kini berdampingan dengan wanita lain, seperti sebuah mimpi buruk yang sulit dihindari. Dadanya sesak, seakan udara yang mengelilinginya menipis. “Padahal aku udah kasih yang terbaik…” gumamnya pelan. Bibirnya bergetar. “Tapi kenapa mereka masih aja begini…” Pikiran Arini berputar pada semua momen pahit yang telah ia lalui. Sejak awal pernikahan mereka, keluarga A