Haii, men temen. Sampai bab ini gimana? Lanjut??
Selesai mengurus proposal bersama Nadya, Arsen kembali meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya sejak tadi.Pergerakan itu membuat mata Nadya ikut mengikuti. Memperhatikan bosnya yang sejak tadi nampak tidak konsentrasi dalam membahas proyek perusahaan.Sembari menunggu telefon diangkat, Arsen menandatangani lembaran terakhir dari berkas yang ada di meja.“Kamu serahkan ini pada bagian HRD. Setelahnya selesaikan laporan proyek yang baru berjalan,” ucap Arsen.“Baik, Tuan Arsen.”Meski sudah beranjak, mendekap beberapa tumpuk berkas. Nadya masih penasaran pada siapa Arsen menelfon. Lebih tepatnya, dia penasaran apa yang membuat pria itu resah sejak tadi.Satu alis Arsen menukik, memperhatikan Nadya yang tak kunjung pergi.“Ada lagi?”“A-Eh, tidak. Permisi.”Dengan berat hati, Nadya berbalik pergi. Namun ketika pintu belum sepenuhnya dia tutup, orang yang Arsen telefon nampaknya sudah mengangkat panggilan.“Bi, bagaimana Allice? Hexa sudah memeriksa?”Mendengar itu membuat dada Na
Allice berdiri di depan standing mirror kamarnya. Dia baru selesai mandi supaya badannya lebih segar. Seharian dia hanya tidur dan bermalas-malasan. Untunglah anak-anak tidak ada yang rewel. Mereka semua menganggap Allice terlalu capek.Kini dia tengah menatap dirinya. Mengusap perutnya yang masih datar.“Apa ini hadiah dari Tuhan untukku?” gumamnya antara senang dan sedih.Meski begitu bibirnya tetap mengulas senyum kecil. Dia sudah memikirkan baik-baik. Kalau takdir ini sepertinya adalah jawaban atas kebimbangannya selama ini.Allice teringat perjanjian antara dia, Safira dan Imelda. Saat itu, Safira masih memohon pada Allice supaya dia mau menjadi istri kedua Arsenio Mahardika. CEO berwibawa yang kerap dianggap sebagai suami idaman para wanita.Tapi Allice tentu tak mau. Disisi lain, Allice masih memiliki Darren, kekasih yang sama-sama baru menyandang gelar dokter.Sayangnya, Darren harus pindah ke New Zealand pergi bersama keluarga disana.Safira tidak tinggal diam. Dia meminta ba
Rahang?Allice menyentuh rahang kanannya. Sebab dia merasa tidak ada luka di wajahnya.“Kiri,” ucap Arsen.“Bukankah kamu sedang mengurus Nadya. Dia pasti sedang rindu dengan Safira.” Allice mengatakan dengan nada tak bertenaganya.Tapi Arsen sepertinya tak menghiraukan itu. Dia lebih dulu duduk di tepi ranjang, membuat Allice jadi bergeak untuk duduk.“Nadya bukan istriku. Jadi aku tidak mengurusnya. Lagi pula, memangnya kamu mengijinkanku mengganti pakaian dan membersihkan badannya yang bau alkohol itu?” ujar Arsen.Matanya tidak menatap Allice, karena dia sibuk membuka kotak obat dan menyiapkan cairan pembersih kuman lebih dulu.“Apa selamanya kalian akan menganggapku perebut suami sahabat sendiri dan pembunuh?” ucap Allice terdengar tak bertenaga.Hal itu membuat gerakan Arsen berhenti sejenak, tapi dia tak menoleh. Kemudian kembali melanjutkan, meraih tangan kiri Allice, mulai menempelkan kapas yang sudah diberi cairan pembersih.Allice mendesis sebentar, merasakan pedih. Tapi ta
“Aku benar-benar kesepian,” ucap Nadya sesegukan. Saat begitu, dia menangkap bayangan bergerak dari arah kanan.Nadya berfikir kalau bayangan itu kemungkinan Allice yang sedang mencari Arsen.“Aku ingin dipeluk. Mas Arsen mau kan peluk aku?” pinta Nadya.Hatinya sudah bersorak, karena Arsen pasti memeluk dan Allice akan cemburu.Tapi Arsen hanya menaikkan satu alisnya.“Mas Arsen tidak sayang padaku?” Nadya menunjukkan raut sedihnya.Bibir Arsen tersenyum tipis. Dia mengusap puncak kepala Nadya. “Kamu adikku, mana mungkin aku tidak sayang. Tapi sebuah pelukan, bukanlah obat yang baik untuk sepasang lelaki dan wanita yang tidak sedarah.”“Kamu mau apa? Nanti aku belikan,” lanjut Arsen berpindah mengusap bahu Nadya.Nadya memikirkan sesuatu yang mungkin akan membuat Allice iri.“Aku mau –““Brian juga mau dibelikan hadiah sama papa ....”Suara pria kecil itu membuat kedua orang disana langsung menoleh. Brian berlari kecil menghampiri kemudian melompat ke pelukan Arsen.Untung saja Arsen
“Nyonya yang benar, Nyah ... masa mau naik. Biar saya saja ya,” ucap Pak Jono belum mau memberikan tangga kayu yang dia pegang.Allice menggeleng. “Aku pengennya naik sendiri. Sebenernya sih maunya Arsen. Tapi dia tidur.”Pak Jono yang berstatus satpam itu tentu resah. Mana mungkin dia membiarkan majikan perempuannya manjat pohon mangga hampir tengah malam begini.Lecet sedikit saja sudah disalahkan oleh Arsen. Apalagi kalau sampai Allice jatuh. Bisa-bisa dia di pelintir hidup-hidup.“Jangan ya, Nyah ... ini demi kedamaian bangsa dan negara. Saya saja ya .... Mangganya juga tidak masalah kalau saya yang manjat. Rasa dan bentuknya tetap sama tidak berubah, Nyah.”“Hih! Pak Jono jangan bikin aku kesel deh. Sini!” Allice menarik tangga yang Pak Jono pegang.Dari pada tangga yang ukurannya panjang itu oleng dan jatuh gara-gara rebutan. Pak Jono pun akhirnya meletakkan tangga kayu di pohon mangga.“Nyonya Allice, coba pikirkan matang-matang.” Pak Jono nampak begitu memohon.Saat begitu, se
“Tuan tidak mencicipi lebih dulu?” tanya Bibi Suci ketika majikannya memindai rujak buah dari cobek ke atas piring.“Aku tidak suka makanan seperti ini. Kalau nanti tidak enak, biarkan dia membuat sendiri,” jawab Arsen dengan raut ragu.Lihat saja, potongan-potongan buahnya tidak jelas. Ada yang kecil ada yang tebal. Bahkan Arsen sengaja membiarkan biji mangga ikut masuk ke dalam olahan. Katanya masih ada sisa sisa buah, jadi sayang kalau terbuang.Ulekan bumbunya saja tidak merata.Biarlah, Arsen tak peduli. Dia memilih mengangkat piring itu kemudian menghampiri Allice.Tapi apa yang dia lihat membuatnya kesal.“Dia tidur?”Allice tertidur di sofa sembari memeluk bantal. Sedangkan televisi masih menyala, menampilkan adegan romantis drama korea.“Ck! Dia benar-benar menguji kesabaranku!”Arsen meraih remote dan bersiap mematikan layar. Tapi gerakannya justru terhenti ketika melihat adegan disana. Seorang pria sedang menangis sembari berlari menggendong kekasihnya yang terluka di pingg
Kantor masih sepi, karena tadi Nadya berangkat lebih awal dari biasanya. Dia meletakkan tas kerjanya kemudian mengintip paper bag yang tadi satpam titipkan.Dengan jiwa kepo yang tinggi, Nadya mengambil kotak perhiasan di dalamnya. Betapa terkagumnya dia melihat cincin dan kalung dengan hiasan berlian membentuk huruf A di kalung. Juga ukiran elegan di cincin itu.“A? Allice?” Wajah Nadya begitu sinis membayangkan Allice mendapatkan hadiah semewah ini.“Dia tak pantas mendapatkan hadiah secantik ini,” sambungnya.Ingin rasanya menghancurkan perhiasan itu. Tapi kalau dia lakukan nanti Arsen akan tau itu perbuatannya.Nadya memilih aman. Dia masuk ke ruangan Arsen kemudian meletakkan paper bag itu ke atas meja.Rupanya bertepatan dengan kedatangan Arsen.“Titipan ibuku?” tanya Arsen melihat Nadya meletakkan benda itu.“Iya, tadi Security yang membawanya naik. Itu untuk ulang tahun Allice ya?”“Hem.” Arsen berjalan ke meja kerjanya. Dia meletakkan tas kerjanya kemudian beralih mengambil p
Seorang berjas hitam nampak berjalan cepat menuju ruang VVIP, tempat dimana acara ulang tahun sepsial akan berlangsung.Seorang pelayan pun membukakan pintu. Sampai suaranya terdengar kecil di telinga Allice.Wanita itu akhirnya mengangkat wajah lesunya. Dia tersenyum mengharapkan yang datang adalah Arsen.“Nyonya.”Senyuman Allice menghilang seketika setelah satu detik berikutnya yang dia lihat adalah anak buah Arsen. Bodyguard yang memang selalu berpakaian rapi.“Mana Arsen?” tanya Allice.“Maaf, Nyonya. Tapi –“Allice langsung berdiri dengan kasar. Hingga suara derit kursi mampu menghentikan ucapan anak buah yang hendak melapor.“Arsen tidak datang?” tebak Allice penuh kekecewaan.Bisa dilihat kalau tebakannya benar, berdasarkan dari raut wajah sang anak buah tersebut.“Maaf. Barusan supir yang mengantar Tuan Arsen melaporkan kalau kemungkinan Tuan Arsen terlambat datang. Beliau masih menemani Nona Nadya di rumah sakit,” ungkap anak buah tersebut sedikit menunduk.Allice hanya bisa