Kantor masih sepi, karena tadi Nadya berangkat lebih awal dari biasanya. Dia meletakkan tas kerjanya kemudian mengintip paper bag yang tadi satpam titipkan.Dengan jiwa kepo yang tinggi, Nadya mengambil kotak perhiasan di dalamnya. Betapa terkagumnya dia melihat cincin dan kalung dengan hiasan berlian membentuk huruf A di kalung. Juga ukiran elegan di cincin itu.“A? Allice?” Wajah Nadya begitu sinis membayangkan Allice mendapatkan hadiah semewah ini.“Dia tak pantas mendapatkan hadiah secantik ini,” sambungnya.Ingin rasanya menghancurkan perhiasan itu. Tapi kalau dia lakukan nanti Arsen akan tau itu perbuatannya.Nadya memilih aman. Dia masuk ke ruangan Arsen kemudian meletakkan paper bag itu ke atas meja.Rupanya bertepatan dengan kedatangan Arsen.“Titipan ibuku?” tanya Arsen melihat Nadya meletakkan benda itu.“Iya, tadi Security yang membawanya naik. Itu untuk ulang tahun Allice ya?”“Hem.” Arsen berjalan ke meja kerjanya. Dia meletakkan tas kerjanya kemudian beralih mengambil p
Seorang berjas hitam nampak berjalan cepat menuju ruang VVIP, tempat dimana acara ulang tahun sepsial akan berlangsung.Seorang pelayan pun membukakan pintu. Sampai suaranya terdengar kecil di telinga Allice.Wanita itu akhirnya mengangkat wajah lesunya. Dia tersenyum mengharapkan yang datang adalah Arsen.“Nyonya.”Senyuman Allice menghilang seketika setelah satu detik berikutnya yang dia lihat adalah anak buah Arsen. Bodyguard yang memang selalu berpakaian rapi.“Mana Arsen?” tanya Allice.“Maaf, Nyonya. Tapi –“Allice langsung berdiri dengan kasar. Hingga suara derit kursi mampu menghentikan ucapan anak buah yang hendak melapor.“Arsen tidak datang?” tebak Allice penuh kekecewaan.Bisa dilihat kalau tebakannya benar, berdasarkan dari raut wajah sang anak buah tersebut.“Maaf. Barusan supir yang mengantar Tuan Arsen melaporkan kalau kemungkinan Tuan Arsen terlambat datang. Beliau masih menemani Nona Nadya di rumah sakit,” ungkap anak buah tersebut sedikit menunduk.Allice hanya bisa
Sebuah pesan masuk ke ponsel Arsen saat pria itu belum juga tertidur.[Mas, maaf. Gara-gara aku, dinner Mas Arsen dan Allice jadi berantakan. Aku mau menebus salahnya aku. Besok ijinkan aku siapkan dinner romantis di samping rumah, ya? Aku akan memasak makanan favorit Allice. Sekaligus aku rangkai bunga di sekitar lokasi dinner.]Arsen terdiam membaca pesan dari Nadya.Dinner ulang? Dia memang berencana melakukan itu besok. Menjadwal ulang acara makan malam sekaligus memberikan hadiah untuk Allice.Sebuah pesan dari Nadya kembali masuk.[Hanya dibaca? Mas Arsen ragu ya? Aku Cuma mau minta maaf sama Allice. Besok juga aku akan jelaskan langsung alasan Mas Arsen gagal datang. Aku janji akan membuat hubungan kalian membaik lagi.]Arsen sedikit tak percaya kalau Nadya menginginkan hubungan mereka membaik.“Mungkin dia memang benar merasa bersalah,” gumam Arsen.***Esok harinya, Allice terbangun di rumah mertuanya. Matanya sembab setelah menangi semalaman. Meski terlihat tegar, wanita itu
"Sshh ... Bertahanlah Allice. Kamu akan baik-baik saja," gumam wanita cantik berbibir pucat yang kini tengah berusaha beranjak dari meja makan.Walau langkahnya tertatih, pun dengan napas yang mulai tak beraturan, Allice tetap bertekad untuk bisa sampai ke kamarnya.Sekali lagi, Allice hanya butuh istirahat dan memakan pil alerginya. Dia tidak ingin merepotkan orang lain dan membuat kekacauan semakin memperkeruh suasana hatinya."T-tidak ... Sebentar lagi s-sampai. A-aku harus bisa," tekad Allice.Namun sayang, kepala Allice tiba-tiba saja terasa berputar. Dunia seakan menjadi suram dan suara yang ada di sekelilingnya pun mendadak pelan dan semakin menjauh."A-akhh, Arsen ...." teriak Allice sembari memegangi kepalanya yang berdenyut.Tubuh Allice pun ikut melemah dan hampir tersungkur andai saja tangannya tak segera berpegangan pada dinding."B-brian tolong M-mama ... Kepala Mama pusing sekali ... B-bi ... B-bi Susi ... tolong ..."Sialnya, tenaga yang Allice punya tak seutuhnya mele
"Allice ... Dia keguguran?" Bibir Arsen sampai bergetar mengulang apa yang baru saja Hexa katakan.Bahkan dia sendiri saja tidak tau kalau Allice sedang hamil.Sejak kapan? Kenapa Allice tidak pernah mengatakan padanya? Itu yang langsung ada di pikiran Arsen."Allice belum sadar. Kondisinya masih sangat lemah,” ucap Hexa menurunkan intonasi bicaranya.Arsen melihat Allice yang nampak di sela pintu yang terbuka. “Sebenarnya apa yang terjadi?”“Alerginya kambuh. Memangnya apa yang baru dia makan?”Jawaban Hexa berhasil membuat Arsen terkesiap.“Alergi? Dia memiliki alergi?” tanyanya terkejut.Hexa memiringkan senyumnya. Tak heran karena Arsen selama ini masa bodo dengan Allice. “Menikah 5 tahun tapi tidak mengetahui apapun?”“Aku serius, Hexa.” Arsen menaikkan nadanya.“Aku sangat serius. Apa dia baru makan apa?”“Kacang merah,” jawab Arsen sambil memikirkan jenis menu yang sempat Allice tolak tadi.“Kamu yang memberikannya?” Mata Hexa menelisik tajam.Arsen terdiam dengan kedua manik m
"Kamu dari mana aja, Mas? Kenapa aku ditinggal sendirian? Aku takut tau!" Keluhan yang dilontarkan Nadya berhasil membuat Arsen yang tengah menutup pintu kamar inap ini menghela napas berat. Belum ada satu menit menginjakkan kaki di ruangan ini, tapi lihatlah sekarang. Mulut Nadya sudah berkicau ria. "Aku harus mengantar Brian dan Anna sekolah. Kemudian mengurus pekerjaan kantor sedikit," ungkap Arsen yang menghampiri ranjang Nadya. Semalam dia menemani Allice di kamar inap. Berharap istrinya siuman. Tapi meski dia tak tidur sedikitpun, tetap saja tak ada tanda-tanda Allice sadar. Kemudian pagi hari dia pulang karena Bibi Suci memberi laporan kalau Brian dan Anna rewel. Itu yang membuat Arsen akhirnya pergi meninggalkan Allice sendirian. Kini sebelum dia ke kamar Allice, karena kamar Nadya lebih dulu dilewati jadi pria itu hanya ingin melihat kondisi Nadya sebentar. Lantas, Arsen mengulurkan tangannya menyentuh dahi gadis manja itu, "Tubuhmu masih panas. Istirahatlah." Gadis mud
"Tidak."Hanya satu kata tegas dari mulut Arsen, tapi ampuh membuat tatapan kosong Allice berubah menjadi sorot kebencian. Pun dengan kedua tangan Allice yang terkepal, menahan sesak di dada."Berikan aku alasan," tekan Allice yang duduk bersandar di kepala ranjang rumah sakit.Pria dengan kemeja abu yang sudah berubah lusuh seolah menggambarkan keadaan hidupnya yang tengah berantakan itu tampak menghela napas berat."Aku sudah minta maaf dan sebaiknya lupakan apa yang terjadi kemarin. Tidak ada gunanya memikirkan masalah itu."Dagu Allice mendongak dengan tatapan tajam, "Tidak masalah kamu bilang? Aku keguguran, Arsen! Calon anak kita meninggal dunia dan kamu bilang aku harus melupakan itu semudah kamu menyakitiku?"“Allice –““Apa? Bukankah kalau aku berpisah denganmu, kamu bisa menjaga ADIK-mu itu dengan baik tanpa gangguan dariku?”Tak terasa air mata Allice menetes. Tapi wanita itu segera berpaling sambil mengusap buliran basah itu segera.“Keluarlah, dan urus surat perceraian ki
“Kanker darah?” beo Arsen terhadap laporan Darren, dokter yang bertanggung jawab untuk pasien Nadya. “Ya, masih tanda-tanda awal. Tenang saja, masih bisa diatasi. Selama pasien rutin kontrol serta menjalani pengobatan dengan benar,” ungkap Darren. Dia memberikan kertas hasil laborat dan diagnosa dokter pada Arsen. Menjelaskan mengenai dampak penderita kanker darah stadium awal. “Mulai hari ini pasien sudah bisa pulang. Namun jangan lupa, setiap minggu ada jadwal kontrol,” ujar Darren sebelum dokter itu memeriksa sebentar kemudian pergi dari sana. “Mas Arsen, aku sakit parah. Aku –“ “Dokter sudah menjelaskan semua, bukan? Kamu akan baik-baik saja. Sekarang istirahatlah sampai perawat datang untuk melepas infusmu. Barang-barangmu yang ada di rumah sudah dipindahkan ke apartemen. Nanti anak buahku yang akan mengantarmu.” Arsen berucap tanpa ekspresi. Dia sedang pusing memikirkan hubungannya dengan Allice. Tidak sempat untuk meladeni Nadya. *** "Sialan! Gara-gara pembunuh itu, Mas A
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady