"Sshh ... Bertahanlah Allice. Kamu akan baik-baik saja," gumam wanita cantik berbibir pucat yang kini tengah berusaha beranjak dari meja makan.Walau langkahnya tertatih, pun dengan napas yang mulai tak beraturan, Allice tetap bertekad untuk bisa sampai ke kamarnya.Sekali lagi, Allice hanya butuh istirahat dan memakan pil alerginya. Dia tidak ingin merepotkan orang lain dan membuat kekacauan semakin memperkeruh suasana hatinya."T-tidak ... Sebentar lagi s-sampai. A-aku harus bisa," tekad Allice.Namun sayang, kepala Allice tiba-tiba saja terasa berputar. Dunia seakan menjadi suram dan suara yang ada di sekelilingnya pun mendadak pelan dan semakin menjauh."A-akhh, Arsen ...." teriak Allice sembari memegangi kepalanya yang berdenyut.Tubuh Allice pun ikut melemah dan hampir tersungkur andai saja tangannya tak segera berpegangan pada dinding."B-brian tolong M-mama ... Kepala Mama pusing sekali ... B-bi ... B-bi Susi ... tolong ..."Sialnya, tenaga yang Allice punya tak seutuhnya mele
"Allice ... Dia keguguran?" Bibir Arsen sampai bergetar mengulang apa yang baru saja Hexa katakan.Bahkan dia sendiri saja tidak tau kalau Allice sedang hamil.Sejak kapan? Kenapa Allice tidak pernah mengatakan padanya? Itu yang langsung ada di pikiran Arsen."Allice belum sadar. Kondisinya masih sangat lemah,” ucap Hexa menurunkan intonasi bicaranya.Arsen melihat Allice yang nampak di sela pintu yang terbuka. “Sebenarnya apa yang terjadi?”“Alerginya kambuh. Memangnya apa yang baru dia makan?”Jawaban Hexa berhasil membuat Arsen terkesiap.“Alergi? Dia memiliki alergi?” tanyanya terkejut.Hexa memiringkan senyumnya. Tak heran karena Arsen selama ini masa bodo dengan Allice. “Menikah 5 tahun tapi tidak mengetahui apapun?”“Aku serius, Hexa.” Arsen menaikkan nadanya.“Aku sangat serius. Apa dia baru makan apa?”“Kacang merah,” jawab Arsen sambil memikirkan jenis menu yang sempat Allice tolak tadi.“Kamu yang memberikannya?” Mata Hexa menelisik tajam.Arsen terdiam dengan kedua manik m
"Kamu dari mana aja, Mas? Kenapa aku ditinggal sendirian? Aku takut tau!" Keluhan yang dilontarkan Nadya berhasil membuat Arsen yang tengah menutup pintu kamar inap ini menghela napas berat. Belum ada satu menit menginjakkan kaki di ruangan ini, tapi lihatlah sekarang. Mulut Nadya sudah berkicau ria. "Aku harus mengantar Brian dan Anna sekolah. Kemudian mengurus pekerjaan kantor sedikit," ungkap Arsen yang menghampiri ranjang Nadya. Semalam dia menemani Allice di kamar inap. Berharap istrinya siuman. Tapi meski dia tak tidur sedikitpun, tetap saja tak ada tanda-tanda Allice sadar. Kemudian pagi hari dia pulang karena Bibi Suci memberi laporan kalau Brian dan Anna rewel. Itu yang membuat Arsen akhirnya pergi meninggalkan Allice sendirian. Kini sebelum dia ke kamar Allice, karena kamar Nadya lebih dulu dilewati jadi pria itu hanya ingin melihat kondisi Nadya sebentar. Lantas, Arsen mengulurkan tangannya menyentuh dahi gadis manja itu, "Tubuhmu masih panas. Istirahatlah." Gadis mud
"Tidak."Hanya satu kata tegas dari mulut Arsen, tapi ampuh membuat tatapan kosong Allice berubah menjadi sorot kebencian. Pun dengan kedua tangan Allice yang terkepal, menahan sesak di dada."Berikan aku alasan," tekan Allice yang duduk bersandar di kepala ranjang rumah sakit.Pria dengan kemeja abu yang sudah berubah lusuh seolah menggambarkan keadaan hidupnya yang tengah berantakan itu tampak menghela napas berat."Aku sudah minta maaf dan sebaiknya lupakan apa yang terjadi kemarin. Tidak ada gunanya memikirkan masalah itu."Dagu Allice mendongak dengan tatapan tajam, "Tidak masalah kamu bilang? Aku keguguran, Arsen! Calon anak kita meninggal dunia dan kamu bilang aku harus melupakan itu semudah kamu menyakitiku?"“Allice –““Apa? Bukankah kalau aku berpisah denganmu, kamu bisa menjaga ADIK-mu itu dengan baik tanpa gangguan dariku?”Tak terasa air mata Allice menetes. Tapi wanita itu segera berpaling sambil mengusap buliran basah itu segera.“Keluarlah, dan urus surat perceraian ki
“Kanker darah?” beo Arsen terhadap laporan Darren, dokter yang bertanggung jawab untuk pasien Nadya. “Ya, masih tanda-tanda awal. Tenang saja, masih bisa diatasi. Selama pasien rutin kontrol serta menjalani pengobatan dengan benar,” ungkap Darren. Dia memberikan kertas hasil laborat dan diagnosa dokter pada Arsen. Menjelaskan mengenai dampak penderita kanker darah stadium awal. “Mulai hari ini pasien sudah bisa pulang. Namun jangan lupa, setiap minggu ada jadwal kontrol,” ujar Darren sebelum dokter itu memeriksa sebentar kemudian pergi dari sana. “Mas Arsen, aku sakit parah. Aku –“ “Dokter sudah menjelaskan semua, bukan? Kamu akan baik-baik saja. Sekarang istirahatlah sampai perawat datang untuk melepas infusmu. Barang-barangmu yang ada di rumah sudah dipindahkan ke apartemen. Nanti anak buahku yang akan mengantarmu.” Arsen berucap tanpa ekspresi. Dia sedang pusing memikirkan hubungannya dengan Allice. Tidak sempat untuk meladeni Nadya. *** "Sialan! Gara-gara pembunuh itu, Mas A
"Hai, Sayang. Bagaimana kabarmu?"Imelda menghampiri menantu kesayangannya itu sambil mengecup puncak kepala Allice dengan penuh kasih sayang.Mendapat perlakuan istimewa yang hampir setiap hari diterimanya dari sang ibu mertua, Allice tentu merasa bersyukur.Setidaknya, dia bisa menjadi lebih tenang karena ada dukungan dari Imelda. Ya, walaupun selama ini Arsen selalu mencari gara-gara dengannya.Tatapan Allice tertuju pada Imelda. "Aku baik-baik saja, Mom,” sahutnya memberikan senyuman.Namun sesaat helaan nafas lirih terdengar. "Tapi sejujurnya, aku sangat merindukan Brian dan Anna. Sudah seharian aku belum bertemu dan memeluk mereka. Rasanya benar-benar hampa," keluh Allice teringat kedua anaknya.Bahu Allice dielus pelan oleh Imelda, "Sabar ya, Nak. Kita tunggu kondisimu sembuh total dulu baru setelah itu kita bisa pulang dan bertemu Brian juga Anna.""Apa mereka nakal selama aku di sini, Mom? Aku khawatir kalau Brian dan Anna merepotkanmu juga Daddy," ungkap Allice dengan raut c
“Duh, gabut banget nih. Enaknya ngapain ya? Apa aku ajak Mas Arsen makan malam berdua aja ya?” Ide cemerlang itu tiba-tiba terlintas di kepala licik Nadya yang kini tengah berselonjor ria di empuknya ranjang. Jika boleh jujur, belum ada dua hari penuh menetap di apartment baru yang sebenarnya cukup mewah ini, tapi bagi Nadya tetap saja terasa membosankan.Tangan Nadya terulur, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Lantas, jemarinya bergerak menuju room chat seseorang yang disematkan dengan nama ‘Mas Calon Suami’.Ya siapa lagi kalau bukan Arsen?‘Mas, sibuk nggak? Aku lapar. Kangen makan di Satechan yang dulu kita sering mampir.’Satu menit, dua menit, tidak ada tanda-tanda pesan yang Nadya kirim akan dibalas Arsen. Jangankan mengetikkan jawaban, centang dua-nya pun masih abu-abu.“Ih, sebel deh! Mas Arsen kok jadi slow respon begini sih! Padahal dia paling gercep kalau aku chat,” gerutu Nadya dengan bibir tertekuk kesal.Karena tak sabaran, Nadya pun akhirnya memutuska
"Aku tidak akan membawa Nadya tinggal bersama kita lagi."Allice tidak sesiap itu untuk mendengar berita tak terduga dari bibir suaminya yang entah mengapa mendadak bisa berubah.Ah, maksudnya tidak seperti hari-hari sebelumnya ketika Arsen begitu keras kepala apabila sudah membicarakan tentang adik tersayangnya itu."Kamu bercanda kan?" Allice tak mau terbawa angin bahagia dulu.Arsen menautkan alisnya. "Apa wajahku terlihat sedang main-main?"Bahu Allice terangkat asal. Enggan menatap wajah Arsen lebih lama atau kesehatan jantungnya bisa dipertahankan.Berbeda dengan Allice yang sedikit masih tidak percaya, dua anaknya—Brian dan Anna justru kompak memekik senang mendengar hadiah Arsen untuk ibu mereka."Asikk! Akhirnya tante kunti itu pergi! Yeay! Istana kita aman, Kak!" seru Anna yang langsung ber-tos ria dengan Brian."Good job, Anna. Kita bisa bermain dengan tenang sekarang," sahut Brian yang langsung diangguki penuh semangat oleh Anna.Seirama dengan Brian dan Anna, ekspresi bah