Clara menutup pintu dengan membantingnya keras, ia lantas menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Napasnya naik turun, bohong kalau dia tidak sakit hati. Layaknya terdapat bongkahan batu besar yang menghantam dadanya ketika melihat Bella datang bersama suaminya siang ini."Nak, kamu jangan lihat kelakuan buaya Papamu tadi, ya! Jangan! Pokoknya jangan! Kamu harus jadi sosok setia seperti Mamamu ini!" ujar Clara lirih, tetapi penuh penekanan.Wanita cantik itu lantas menuju kamar mandi guna membersihkan tubuh dan mengganti pakaian dengan yang lebih baik. Baru setelahnya ia turun ke lantai bawah."Semoga Bella sudah pulang, males banget kalau masih ada dia," gumamnya saat menuruni tangga.Namun, sayup-sayup telinganya mendengar suara orang tengah berbincang, sejenak kemudian Clara menghela napas kasar saat mendapati Bella masih ada di rumahnya. Ah, andai saja Bella tidak dalam keadaan mengandung, pasti tanpa segan Clara sudah menyeretnya.Benar saja! Bella tengah berbaring di sofa dengan
Suara sirine terdengar bersahutan di tengah pekatnya malam Ibu Kota. Dua mobil ambulance yang membawa dua insan yang tengah menutup mata dengan darah yang mengucur dari kepala keduanya semakin menambah kesan ngeri, apalagi dengan banyaknya alat medis yang di tempel di tubuh mereka."Menantuku sedang hamil, Suster. Tolong selamatkan dia," ujar Anne memohon dengan suara lirih."Iya, Nyonya. Kami akan berusaha menyelamatkan Ibu dan janinnya, tapi karena memang alatnya yang kurang memadai jadi kita harus bersabar sampai rumah sakit."Anne terdiam. Rahangnya mengetat geram menatap kondisi Clara yang memprihatinkan, di tambah darah yang terus mengalir dari inti tubuh wanita cantik itu. Sungguh! Anne takut sesuatu yang buruk akan menimpa menantunyaWanita paruh baya itu yakin pasti ada sesuatu yang mendasari kecelakaan ini. Namun, ia harus bersabar karena orang suruhannya masih mencari tahu. Hingga saat tiba di rumah sakit, Anne tetap mendampingi Clara, ia bahkan belum melihat keadaan putrany
Wanita itu memilih berbalik dan meninggalkan tempatnya berdiri, ia takut ada yang memergokinya. Saat tiba di ruangan khusus, langkah kakinya masuk dan lekas mencari berkas yang ia butuhkan."Mana, ya?" gumamnya sambil tangannya terus mencari-cari."Kayaknya aku tadi nggak salah denger, deh. Bukannya sudah jadi, ya?" gumamnya lagi.Gerakan tangannya selaras dengan gerakan mata yang menatap awas pada arah pintu. Hingga karena terlalu fokus mencari, wanita itu sampai tidak menyadari ada sesosok laki-laki yang memasuki ruangan tersebut."Lagi ngapain? Cari apa kamu?" tanyanya yang membuat jantung wanita itu serasa mau berhenti.Deg!Matanya membelalak bersama degup jantung yang mendadak berhenti. Tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu, bahkan ia kehilangan kata-katanya. Kepalanya beberapa kali menggeleng, seakan menolak kehadiran pria di depannya tersebut."Apa kabar, Sayang?" ucap pria tersebut dengan suara serak."Ng-Nggak! Nggak mungkin!"Wanita itu terus mundur hingga tidak sadar tubu
"Tuan Naresh," ucap Dokter saat baru saja keluar ruangan."Bagaimana, Dokter?!" Naresh langsung melepas pelukan Mamanya."Nona Clara sudah sadar, Tuan. Namun, kondisinya masih sangat lemah, beberapa sarafnya juga butuh waktu untuk penyesuaian. Silakan kalau Anda ingin melihat."Naresh mengangguk dan lantas melangkahkan kakinya menghampiri sang istri yang masih tergolek lemas di atas ranjang rumah sakit. Sudut matanya meneteskan cairan bening, sehingga hal itu sontak membuat Naresh khawatir."Cla, kenapa? Ada yang sakit? Atau kamu mau apa?". Naresh mengelus lembut surai legam istrinya.Clara menggeleng."Aku panggilkan lagi Dokternya, ya." Naresh langsung berbalik badan, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara lirih Clara."Anakku..." Deg!Naresh membalik tubuhnya perlahan, matanya melotot dengan rahangnya yang terbuka. Sementara Anne, wanita paruh baya itu langsung memeluk tubuh lemah menantunya."Cla...""Maaf, Mas. A-Aku nggak bisa jaga anak kita. Aku nggak berguna! Ini sal
Naresh meminta Bella mengambilkan minuman di dapur, kesempatan ini di gunakannya untuk masuk ke dalam kamar wanita itu. Hingga tiba-tiba matanya membelalak lebar saat mendapati kamar Bella dalam keadaan berantakan. Di tambah dengan aroma menyeruak yang menusuk hidung, aroma khas yang sangat indra penciumannya kenali."Sa-Sayang ... Kamu ngapain?" tanya Bella dari belakang."Aku mau numpang istirahat, tapi kayaknya nggak jadi." Naresh langsung menutup pintu setelah berhasil mengambil sesuatu dari sana."Aku bisa bersihkan dulu, Sayang. Akhir-akhir ini aku memang jarang bersih-bersih, mual sama pusing ku mengganggu banget. Mungkin nanti aku bakal pakai asisten rumah tangga.""Nggak usah, aku mau pulang saja. Soalnya sudah siang."Bella mengerutkan keningnya, "kenapa nggak sekalian makan di sini?""Lain kali saja, ya," ucapnya berusaha menolak."Ya sudah kalau begitu, aku juga nggak bisa nahan kamu 'kan?"Naresh mengusap lembut pucuk kepala kekasihnya itu, kemudian ia memilih pulang dari
"Janin dalam kandungan Nona Bella cocok dengan DNA Anda, Tuan. Anda bisa baca keterangannya di sana, tingkat kemiripannya sangat tinggi. Sehingga dapat di simpulkan, Anda adalah Ayah biologis dari janin tersebut."Apa ini? Apa tidak salah? Tiba-tiba seperti ada dentuman keras yang menghantam rongga dadanya, kenyataan yang memukulnya ini sangat memilukan. Apakah para tenaga medis tidak salah meneliti? Naresh enggan percaya, bahkan sampai keluar ruangan pun tatapannya masih kosong. Lelaki tampan itu menolak semua fakta yang ada di depannya, sejenak kemudian pikirannya berputar. Apakah mungkin ada sabotase?Ah, sungguh! Pikirannya kacau."Nak, gimana hasilnya?" tanya Anne.Naresh tidak menjawab. Tangannya mengulur memberikan amplop tersebut kepada Mamanya. Anne yang bingung, tetapi urung untuk bertanya langsung memutuskan membuka amplop tersebut. Sejurus kemudian tangannya bergetar, wanita paruh baya itu nampak kesusahan menelan salivanya."A-Apa ini, Naresh?! Mama kira kamu nggak akan
Clara masih menatap tajam pada sosok laki-laki di depannya tersebut. Kilas balik kejadian beberapa bulan lalu langsung terputar dibenaknya. Ia teringat saat Kenzie menawarkan kebahagiaan dengan cara menjalin kasih dengannya, entah kenapa itu membuatnya ketakutan."Cla, kamu ngapain di situ?" tanya Naresh.Clara menoleh, menatap penuh mohon kepada suaminya. Sedangkan Naresh menyipitkan matanya, seolah mengenali sosok yang masih berdiri di depan pintu tersebut."Oh, kau sudah sembuh? Mau apa ke mari?""Kenapa memangnya? Nggak boleh?" Kenzie balik bertanya."Boleh, memangnya siapa yang melarang mu. Masuklah!"Naresh mengalihkan pandangannya kepada Clara, "masuk ke kamar sekarang juga, Cla. Nanti makanannya biar Bibi antar ke atas."Baru saja Clara ingin menjawab, tetapi Kenzie langsung menyahut."Kenapa? Kau khawatir Clara dekat denganku? Ah, kau ini! Ke mana rasa percaya dirimu? Sudah hilang?""Jangan memancingku, sialan! Aku sedang pusing dan bisa saja langsung membunuhmu di sini!"Kenz
Naresh membawa nampan berisi makanan dan susu hangat, lantas lelaki itu mengantarkannya ke kamar Clara. Tangannya terangkat guna mengetuk pintu, sampai beberapa detik kemudian pintu di depannya terbuka."Loh, Mas. Kok kamu sendiri yang naik? Kenapa nggak minta antar Bibi?""Nggak papa, sekalian aku juga mau makan di sini." Naresh langsung masuk dan Clara pun mengikutinya dari belakang.Clara yang melihat Naresh mendudukkan diri di sofa lantas mengikutinya, wanita cantik itu dengan senang menerima setiap suapan demi suapan makanan dari tangan suaminya."Kamu nggak makan?""Aku sudah makan, Cla, tadi di bawah."Clara mengernyit bingung, "oh, iya? Aku kira belum, berarti Kenzie sudah dari tadi pulangnya?"Naresh hanya mengangguk, sambil tangannya terus menyuapi sang istri."Dia ngomongin apa?""Dia titip salam buat kamu sama minta maaf, suatu saat kamu juga akan tahu, kok."Wanita cantik itu lantas mengangguk, tidak etis rasanya jika terus bertanya. Apalagi suaminya yang seperti enggan m