Pagi hari.Clara bangun dan merasakan pusing di kepalanya lantaran terlalu banyak menangis, matanya juga sembab, bahkan hidungnya pilek. Ah, sungguh mengenaskan. "Kenapa banyak sekali cobaan pernikahanku? Atau karena aku hanya akan menikah selama satu tahun, makanya cobaannya banyak banget? Lalu, apa benar yang di katakan Kenzie dulu kalau Naresh sulit berubah? Aku bingung banget," ucapnya bermonolog.Wanita cantik itu memilih beranjak dan menuju dapur. Kondisinya akan semakin parah kalau hanya berdiam diri saja, lebih baik ia memutuskan memasak sarapan.Jemari lentiknya membuka kulkas guna mencari bahan masakan yang bisa di olah. Namun, entah kenapa lambungnya seakan naik ke kerongkongan.Huek!Huek!Clara langsung menuju wastafel untuk membuang isi perutnya. Beberapa kali ia menarik napas dalam hingga di rasa perutnya sudah mendingan. "Aku kok tiba-tiba mual lihat roti gandum? Padahal 'kan aku suka banget sarapan roti gandum," gumamnya.Wanita cantik itu kembali membuka kulkas, mat
Naresh sudah kembali dengan menenteng goodie bag besar berisi banyak makanan dan buah-buahan. Dengan telaten lelaki itu menatanya di piring dan lantas membawanya ke kamar Clara, tetapi ternyata istri cantiknya itu masih betah berjalan-jalan di alam mimpi.Naresh mendaratkan ciuman hangatnya di kening Clara, ia sedikit tertegun saat menyadari suhu tubuh sang istri sedikit panas. Hingga beberapa saat kemudian tubuh itu menggeliat dan kelopak matanya perlahan terbuka."M-Mas...""Aku bawa banyak makanan sama buah, sekalian tadi beli Vitamin dan juga susu. Ayo bangun dulu, masih pusing apa nggak?""Sedikit," jawabnya singkat.Clara bangkit dan menyandarkan tubuhnya pada bantal yang telah di tata Naresh. Mulutnya terbuka dan menurut saat suaminya terus menyuapi dengan bubur hangat, roti, dan buah-buahan. Tidak ada penolakan hingga semua makanan habis di lahapnya."Lapar? Tadi katanya nggak mau makan?""Kasihan saja sama kamu kalau nggak aku makan."Naresh melepas gelak tawanya."Nggak usah
Naresh masih tidak bergeming, lelaki itu memandang wajah lelap istrinya dengan pandangan bingung. Ia teringat bagaimana kekecewaan istrinya tempo hari, ia juga teringat bagaimana Clara yang hampir putus asa dalam pernikahan ini."Kalau aku tetap menemui Bella? Apa Clara akan semakin marah? Namun, kalau aku tidak ke sana, bagaimana dengan Bella?"Naresh mengutak-atik ponsel guna menghubungi Delon, ia akan meminta pria itu memastikan keadaan Bella. Namun, alam seolah tidak menghendaki, panggilan telponnya tidak kunjung di angkat oleh sang asisten."Argh! Sialan! Mau nggak mau aku harus ke sana, aku harus memastikan sendiri keadaan Bella. Semoga Clara mau mengerti."Naresh mengecup dalam kening wanita yang sangat ia cintai itu. Ada perasaan ragu mengusik hatinya, tetapi pikirannya tidak bisa teralih dari Bella. Mungkin benar, Naresh belum bisa sepenuhnya melupakan Bella.***Di sisi lain, Bella tengah mempersiapkan banyak kamera di ruangannya. Ia sengaja mengaturnya untuk merekam aksinya
Bella mulai melepas semua kain yang melekat pada tubuh atletis kekasihnya, wanita itu menatap penuh nafsu pada sang kekasih yang sudah hampir kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri."Katakan dengan keras kalau kau mencintaiku, Sayang," bisiknya tepat di telinga Naresh."Aku mencintaimu, Bella. Hanya kamu, nggak ada wanita lain. Aku menginginkan kamu, bukan yang lain. Aku sangat mencintai kamu, Bella," ucap Naresh dengan suara lantang.Wanita itu lantas mengulas senyum puas. Bagaimana tidak? Ia akan menggunakan ini sebagai senjata mengusir Clara dari kehidupan Naresh. Kedua insan itu mulai bergulat, berbagi peluh nikmat seakan melayang ke langit ke tujuh. Beberapa kali suara desahan lolos dari mulut keduanya, bahkan Naresh seperti orang kelaparan yang mendapatkan seonggok daging segar di bawah kungkungannya."Aaahh ... Pelan-pelan, Sayang," ujar Bella yang merasakan Naresh langsung memasukkan 'miliknya' tanpa pemanasan terlebih dahulu."Maaf, tubuhmu sangat candu. Sampai aku nggak b
Naresh bangun dalam keadaan pusing yang teramat sangat di kepalanya. Netranya berusaha bergerak mencari jam, ternyata waktu menunjukkan pukul dua dini hari. "Eugh..," lenguhnya saat berusaha bangkit. Kepalanya menoleh, tampak Bella juga masih memejamkan mata di sisinya. Gegas lelaki itu memutuskan beranjak menuju kamar mandi dan membasuh diri. Kilas bayangan kejadian memutar-mutar di otaknya, yang mana itu semakin membuatnya bingung."Kenapa aku nggak terlalu ingat?" gumamnya sambil membersihkan tubuh.Naresh terus berusaha mengingat semua kejadian, hingga tiba-tiba matanya melotot, dan ia sontak menghentikan gerakan tangannya."Clara..," gumamnya.Lelaki itu langsung mempercepat ritual mandinya, kemudian ia lantas keluar dari apartemen tersebut setelah mengenakan kemeja dan juga celananya. Naresh memfokuskan pandangan pada jalanan lenggang di depannya, pikirannya kacau karena meninggalkan Clara dalam waktu yang lama.Setelah menempuh hampir satu jam perjalanan, mobil yang di tumpan
Dunianya serasa terhenti, melihat tubuh pucat yang terbujur di atas ranjang dengan banyak alat medis di seluruh tubuhnya. Kenapa matanya tetap terpejam? Bukankah Dokter bilang keadaannya tidak apa-apa? Kenapa wajahnya masih pucat? Bukankah kata Dokter dia tidak kehilangan banyak darah?Sungguh! Naresh tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya atas apa yang menimpa Clara dan calon anaknya, andai siang itu ia tidak pergi ke tempat Bella, mungkin tidak akan seperti ini. Yeah, beberapa saat lalu Pak Yanto mengantarkan ponsel milik Clara yang tertinggal, dan di situlah Naresh baru tahu akar permasalahannya."Mungkin kali ini kamu nggak akan memaafkan aku, Cla," gumamnya menatap tubuh lemah di hadapannya dengan sendu.Naresh menoleh saat merasakan ada yang memegang bahunya, ternyata sang Mama tengah berdiri di sampingnya."Kita doakan yang terbaik untuk Clara dan janinnya, Dokter sudah berusaha, dan kita harus optimis.""Tapi kenapa Clara nggak bangun-bangun, Mah? Bukannya lukanya nggak parah
Apartemen Bella.Ting! Tong!Ting! Tong!Naresh berdiri di depan pintu unit apartemen Bella dengan tampang ngerinya, ia sudah tidak memandang Bella sebagai kekasihnya, ia hanya akan mengingat Bella sebagai sosok yang membuat calon anaknya hampir tiada sebelum sempat melihat dunia.Ceklek!Senyum bella langsung merekah saat bertatapan dengan Naresh."Sayang, kamu ngap--" ucapan Bella terjeda saat Naresh langsung mencekik leher wanita itu dan mendorongnya masuk ke dalam."Akh ... Na-Naresh, Sakit. Sa-Sakit..," rintihnya.Bugh! Tubuh mungil itu terjengkang ke sofa. Tubuhnya bergetar seakan takut dengan sorot mata kekasihnya, juga gemelatuk gigi pria itu yang mengerikan."Kamu kenapa, Naresh?" tanyanya terdengar lirih.Naresh tidak menjawab. Ia mencengkeram lagi leher jenjang yang biasanya menjadi candunya tersebut, hingga sudut netra Bella mengeluarkan air mata."Aaakh! A-Aku nggak bisa napas. kkkhh!""Dengar! Aku menyesal karena telah mendatangimu kemarin, Bell. Aku nggak nyangka terny
Glory Hospital."Cari Bella! Aku mau dia bertanggung jawab atas apa yang menimpa Clara. Aku tidak bisa terlalu percaya dengan Naresh, bisa saja anak itu terperdaya lagi!" perintah Anne pada salah satu bodyguard kepercayaannya."Baik, Nyonya. Setelah ini saya dan yang lainnya akan ke apartemen Nona Bella, kami akan membawanya ke sini."Anne mengangguk. Baru saja wanita paruh baya itu ingin membalikkan tubuhnya, ujung netranya menangkap bayangan sang putra bersama seorang wanita tengah berjalan ke arahnya.Manik matanya semakin membulat sempurna saat menyadari Naresh tengah menggandeng tangan Bella. 'Baru saja aku meminta orang untuk menjemputnya, dia malah menyerahkan diri ke hadapanku,' batin Anne."Mah," sapa Naresh yang tidak di hiraukan oleh Anne.Wanita paruh baya itu masih betah menatap Bella dengan tatapan membunuhnua."Kenapa kau kemari?" tanya Anne yang membuat Bella gelagapan."Mah ... Bella hamil," ucap Naresh tanpa basa basi."Deg!Tatapan Anne semakin tajam, "apa maksudny