"Saya bersedia memberikan suntikan dana yang cukup besar untuk menyelamatkan Latham Holdings dari kebangkrutan. Saya bisa melunasi semua hutang-hutang perusahaan Anda dan menyediakan modal tambahan untuk memulai bisnis kembali."
Di lantai paling atas kantor Latham Holdings, Lina Morgan terkesiap.
Sejak kematian suaminya, Lina merasa dunia ini semakin berat untuk ditanggung.
Dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan dan tiba-tiba Alexander Blackwood, putra tertua Nathaniel Blackwood, yang kabarnya kini mengambil alih sepenuhnya perusahaan Blackwood Industries, menawarkan bantuan?
"Dan apa yang Anda inginkan sebagai imbalan, Tuan Blackwood?" tanya wanita itu mawas.
Matanya sedikit menyipit, mencoba membaca maksud di balik wajah dingin Alex.
Alexander tersenyum tipis, seolah-olah dia sudah memperkirakan pertanyaan itu. "Saya ingin menikahi putri Anda, Elena Morgan," jawabnya langsung, tanpa sedikitpun keraguan dalam suaranya. "Itu satu-satunya syarat,"
Ruangan itu seketika menjadi sunyi. Lina memandang Alex dengan tatapan tidak percaya, matanya melebar karena terkejut. "Menikahi Elena?" ulangnya, dengan suara bergetar. "Mengapa? Mengapa Anda ingin menikahi Elena?"
Alex masih tersenyum, tapi matanya tetap dingin dan penuh maksud. Siapapun yang berhadapan langsung dengannya tahu jika Alex sedang mengintimidasi. "Saya mengagumi kecerdasan dan kepribadian putri Anda, Nyonya Morgan," katanya dengan tenang. "Dan saya percaya, dengan pernikahan ini, kita bisa menyatukan dua keluarga dan dua perusahaan besar ini menjadi satu kekuatan yang lebih besar,"
Setelah beberapa saat terdiam, Lina akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, Tuan Blackwood," katanya dengan suara lirih, nyaris seperti berbisik. "Saya akan berbicara dengan Elena tentang ini. Tetapi saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Keputusan akhir tetap ada di tangan putri saya,"
“Nyonya Morgan, saya mengerti ini keputusan yang berat,” sahut Alex dengan nada suara dingin dan tegas. Dia bergerak makin maju berhadapan dengan Lina. “Namun, saya tidak punya banyak waktu untuk menunggu. Anda memiliki waktu lima menit untuk memutuskan. Saya butuh jawaban sekarang,”
“A-apa?” Tanpa sadar respon ini keluar dari mulut Lina.
Lina merasa dadanya sangat sesak, seperti ada beban berat yang menghimpitnya. Lima menit. Alexander memberinya waktu hanya lima menit untuk memutuskan nasib perusahaan yang dibangun suaminya, nasib keluarganya, dan nasib putri satu-satunya, Elena. Mata Lina melirik ke arah dokumen yang disodorkan Alex, kontrak perjanjian dengan huruf-huruf tebal dan formal yang menyatakan kesepakatan untuk suntikan dana sebagai imbalan pernikahan antara Elena dan Alexander.
“Tapi … “ Nada Lina tercekat. Dia mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Ini adalah hidup Elena. Saya tidak bisa membuat keputusan ini tanpa berbicara dengannya terlebih dahulu,”
Alex tidak mengubah posisinya. Dia hanya mengangguk sedikit, ekspresinya tetap dingin dan tanpa emosi. “Saya mengerti kekhawatiran Anda, Nyonya Morgan,” katanya dengan suara yang sedikit melunak, tetapi tetap dingin. “Namun, waktu terus berjalan. Jika Anda tidak menandatangani kontrak ini sekarang, tawaran saya akan ditarik dan Latham Holdings akan bangkrut. Saya yakin Anda tidak ingin melihat perusahaan yang suami Anda bangun dengan kerja keras selama bertahun-tahun hancur begitu saja,”
Kata-kata Alex seperti tamparan di wajah Lina. Dia tahu pria ini tidak main-main. Keputusan harus dibuat sekarang atau konsekuensinya akan sangat besar. Lina menggigit bibir bawahnya, merasa bimbang bukan main.
“Baiklah,” kata Lina dengan suara bergetar. “Saya akan menandatangani perjanjian,”
Alex mengangguk puas, lalu mengambil pena dari saku dan menyerahkannya kepada Lina. “Terima kasih atas keputusan bijaksana Anda, Nyonya Morgan,” katanya dengan nada yang lebih lembut, tetapi masih penuh dengan intimidasi. “Anda telah membuat keputusan yang tepat untuk masa depan Latham Holdings.”
Dan di sinilah, Elena Morgan....
Tepat lima hari setelah pertemuan itu, ia benar-benar menikahi Alexander Blackwood.
Pernikahannya bahkan digelar dengan kemewahan yang tidak pernah dilihat oleh Elena--seumur hidup!
Elena menelan ludah kasar, tetapi ia justru tak sengaja bersitatap dengan suami sahnya yang tingginya 190 cm itu.
Begitu berkilau, mewah, dan dingin.
Buru-buru, Elena memalingkan muka.
Untungnya, pria itu sama sekali tidak melirik Elena, sampai diminti mencium dirinya. Jantung Elena rasanya berdebar begitu cepat dan punggungnya panas.
Pria dingin itu tersenyum tipis lantas mendorong pinggang kecil Elena untuk mendekat, sedikit naik, dan mereka pun berciuman.
“Nyonya … Perkenalkan saya David. Saya adalah asisten Tuan Alexander Blackwood.”
Suara pria muda menyadarkan Elena dari lamunannya akan resepsi barusan.
Lelah membuatnya terduduk diam di depan kursi rias kala 2 orang penata rias membantunya melepas gaun pengantin yang berat, sekaligus menata ulang rambutnya.
"Ada apa?" tanya Elena sopan meski tak bertenaga.
“Tuan Alex sudah menunggu Anda di depan,” tukas David.
“Hah? Memang Kita mau ke mana?” tanya Elena cepat.
David menatap Elena sekilas, sedikit mengerutkan kening. “Tentu saja kembali ke kediaman Tuan Alex, Nyonya,”
Elena melebarkan pandangan. Setelah melalui proses menikah yang begitu cepat, berdiri berdampingan tanpa saling tatap, kini dia harus ikut pria itu pergi ke rumahnya. Terlalu aneh bagi Elena, meski dia sadar pria itu kini sudah menjadi suaminya.
Namun Elena memang tidak punya pilihan. Setelah secara gamblang dijual oleh sang ibu, jiwa dan raga Elena sepenuhnya kini menjadi milik si pria dingin itu. Dia mengikuti langkah cepat David yang tergesa-gesa menuju sebuah mobil hitam Rolls-Royce Phantom yang berdiri di depan gedung.
David membuka pintu untuk Elena, mempersilahkan wanita itu untuk masuk dan duduk di samping Alexander. Elena masuk dengan hati berdebar. Meski dia sudah menyerahkan ciuman pertamanya untuk pria dingin ini, namun Elena tidak pernah mengenalnya secara dalam.
Saat Elena masuk, Alex meliriknya dengan tatapan dingin yang bisa menembus jantung Elena. Benar-benar tatapan yang mengintimidasi. Namun di saat itulah, Elena menyadari betapa tampannya seorang Alexander Blackwood. Pria berusia 32 tahun, seorang pebisnis muda nomor satu di Riverton yang kini menjadi suaminya.
“Semuanya sudah siap, David?” Alex membuka suara. Bahkan suaranya yang berat membuat hati Elena berdesir.
“Saya sudah memerintahkan Vero untuk menyiapkan semuanya,” jelas David.
“Kerja bagus,” timpal Alex.
Elena menelan ludah. Kehadirannya ternyata tidak dianggap oleh Alex.
Sekedar disapa saja tidak.
Dan sepanjang perjalanan, keduanya memutuskan untuk diam.
Elena yang tidak mau ambil pusing, memilih untuk tidur karena badannya benar-benar terasa amat lelah hari ini.
Hanya saja, ia terbangun ketika David memanggil namanya!
“Tuan Alex akan segera menyusul, Nyonya. Sebaiknya Anda masuk lebih dulu dan bersiap,” ucap David, mempersilahkan Elena untuk masuk.
Elena mengangguk ragu, namun dia melangkah. Setelah badan Elena sepenuhnya ada di dalam kamar besar itu, David menutup pintu di belakang punggung Elena. Meninggalkan Elena seorang diri di dalam kamar super besar, dengan ranjang berukuran king di ujung depan. Ranjang itu berlapiskan kain sutra warna merah marun. Kepala ranjangnya tinggi dan megah, dilapisi dengan kain beludru yang disulam dengan pola bunga rumit berwarna emas. Di atasnya, tirai transparan berwarna merah lembut tergantung, memberikan suasana yang romantis dan intim.
Di sudut ruangan, terdapat sebuah perapian besar dengan bingkai marmer yang diukir indah, saat ini menyala dengan api yang lembut. Di atas perapian, sebuah cermin besar berbingkai emas menggantung, memantulkan pendar cahaya lilin yang tersebar di beberapa meja kecil di sekitar ruangan. Lilin-lilin itu ditempatkan dalam tempat lilin kristal yang berkilauan, menambah kesan mewah dan romantis.
Siapapun yang merancangnya, pasti sengaja melakukan ini semua karena tahu Alexander akan tidur di sini bersama pasangannya. Dan pasangan itu adalah Elena. Perut Elena tergelitik dengan perasaan aneh saat dia teringat akan wajah Alex dari samping yang berahang tegas.
Tiba-tiba jendela besar yang mengarah ke balkon diketuk. Elena sempat kaget bukan main, namun dia cukup penasaran. Langkahnya justru maju mendekati jendela itu, untuk melihat apa yang ada di baliknya.
Selangkah, dua langkah. Elena maju dengan mengendap-endap. Dia membuka kunci jendela dan seorang wanita dengan pakaian lusuh, rambut panjang terurai tiba-tiba menerjangnya. Matanya menatap liar, marah dan takut jadi satu ketika berhadapan dengan Elena.
“S-siapa kau?!” jerit Elena, sangat kaget. Dia mencoba melepaskan diri namun tak bisa.
Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia mencengkeram bahu Elena dengan kuat. "Kabur dari sini! Kabur dari Alex kalau kau tidak mau bernasib sama sepertiku!" teriaknya dengan suara serak yang penuh putus asa.
Elena berusaha melepaskan diri. Tapi wanita itu mencengkeram bahunya terlalu kuat. "Apa maksudmu? Siapa kau?" tanyanya dengan suara gemetar.
Wanita itu menatapnya dengan mata merah, penuh depresi. "Aku ... aku adalah korban dari perbuatan Alex. Dia tidak seperti yang kau pikirkan. Dia monster yang akan menghancurkan hidupmu! Kabur darinya sebelum terlambat!" teriak wanita itu ketakutan.
“Apa maksudmu? Siapa kamu?” Elena menahan tubuh wanita berantakan itu, ketika dia dengan panik hendak pergi.“Jangan pedulikan siapa aku!” jawabnya penuh ketakutan.Terdengar suara langkah kaki mendekat dan pintu hendak dibuka. Baik Elena maupun wanita itu secara bersamaan menoleh ke arah pintu. Si wanita dengan cepat mendorong mundur tubuh Elena, dan berlari menuju balkon. Elena hendak mengejar, namun menyadari jika wanita itu kini sudah melompat dari atas balkon. Elena sampai menutup mata karena tidak sanggup menghadapi hal berikutnya.Apakah dia mati? Batin Elena cemas.“Elena Morgan?”Langkah Elena tertahan. Dia tidak jadi berlari menuju balkon untuk memastikan keadaan wanita itu, saat mendengar suaranya dipanggil dari arah belakang. Elena memutuskan untuk putar badan dan menghadap pria bertubuh tinggi dan kekar di belakangnya. Alexander Blackwood. “Sudah lama menunggu?” tanya Alex. Dia berjalan mendekati Elena yang berdiri kikuk berhadapan dengan jendela balkon.Tubuh Elena pana
Untungnya, tidak ada yang terjadi semalam. Meski Elena sempat tegang ketika Alex menindih tubuhnya, namun hanya itu. Setelah berhasil mengancam Elena hingga wanita itu tidak bisa berkata tidak, Alex mundur. Dia pergi begitu saja, sempat menyesap rokoknya dalam-dalam. Bahkan sekedar menatap ke arah Elena saja tidak.Elena mencoba melupakan kekesalannya sendiri. Kekesalan yang membuat dirinya malu. Kenapa dia harus mengharap lebih, padahal baru kemarin dia bertemu Alex. Apa karena Alex tampan? Elena cepat-cepat menggeleng, mencoba untuk menyadarkan diri.“Nyonya Elena?” sapa Vero, ketika Elena turun ke bawah menuju ruang makan. “Selamat pagi,”Elena balas tersenyum. Matanya berkeliling mengamati ruangan besar itu. Sebuah meja makan panjang dari marmer hitam berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi-kursi berlapis kulit dengan detail ukiran emas di sandarannya. Jendela-jendela besar dengan tirai beludru merah marun yang berat membuat cahaya matahari masuk tanpa cela pagi ini, me
“Maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Melihat ekspresi di wajahnya, Elena tahu pria itu berbohong. Meski usianya baru 24 tahun, ia tidaklah bodoh. “Apakah sesuatu terjadi, Nyonya Elena?” David ragu bertanya. Tapi dia cukup penasaran.Elena menggeleng cepat. Baru hari kedua, tapi Elena merasakan trust issue berada di dalam mansion Blackwood. Tidak ada seorang pun yang bisa dipercaya. Tidak mungkin wanita aneh itu bisa masuk ke dalam balkon jika tidak dibantu seseorang.“Kalau begitu, mari saya antar untuk melihat mobil Anda,”Elena dan David berjalan depan belakang menuju garasi besar mansion itu. Tanpa ada yang bicara. Elena terus fokus pada siapa sebenarnya wanita aneh yang menyerangnya malam itu.Setelah David memberi sedikit petunjuk pada Elena tentang mobil Maserati-nya, Elena merasakan perbedaan yang begitu signifikan dari mobil lamanya yang sudah usang. Tentu, Elena senang. Namun satu sisi hatinya tetap mencoba memperingatkan Elena agar waspada. Mobil ini ad
Terus begitu....Alex tidak melepaskannya dan terus melakukan pelepasan.Entah berapa kali.Yang jelas, Elena merasakan tubuhnya kedinginan dan hanya tertutupi selimut sutra marun di pagi hari. Pria itu sudah tidak ada di sampingnya, padahal waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi. Elena terlalu lelah untuk bisa menyadari kepergian Alex, karena semalam pria dingin itu menyerangnya tanpa ampun. Elena segera bangun, kemudian menyadari tubuh bagian bawahnya nyeri. Untuk seseorang yang baru pertama kali mengalaminya, semalam benar-benar jauh dari kata romantis. Elena menghubungi pelayan melalui intercom agar disiapkan sarapan dan segelas teh bunga krisan hangat. Setelah selesai bersiap, Elena menuruni satu-persatu anak tangga secara perlahan karena kakinya terasa lemas. Namun dia harus tetap bekerja, juga menemui ibunya untuk membahas hal yang tak sengaja dia dengar kemarin. Ketika Elena sudah sampai di ruang makan, dia sempat tertegun sejenak saat melihat seorang anak kecil perempuan ber
Setelah berbincang beberapa lama dengan ibunya, Elena memutuskan untuk kembali ke ruangannya sendiri. Dalam perjalanan, dia tak henti mengumpati dirinya sendiri. Merasa bodoh karena tidak pernah terpikirkan untuk mencari identitas Alex di internet. Seorang CEO Blackwood Industries pasti cukup banyak diperbincangkan dan pernikahan Alex sebelumnya.Elena duduk di kursi ruangannya, dengan jari-jari gemetar saat melayang di atas keyboard laptopnya. Ruang CEO milik ayahnya yang kecil dan sederhana tampak lebih sunyi daripada biasanya, seolah menyerap setiap suara yang muncul. Di luar, suara hiruk-pikuk kantor terdengar samar, tetapi di dalam ruangan ini, hanya ada ketegangan yang menggantung di udara.Dia menatap layar laptop, menimbang apakah dia benar-benar ingin tahu masa lalu Alex. Mengetahui bahwa Alex adalah seorang duda dengan seorang anak berusia tujuh tahun sudah cukup mengejutkannya. Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu Elena—rasa penasaran tentang pernikahan Alexander sebelu
Alex selalu bisa mengintimidasi Elena di saat-saat genting. Elena sudah siap membuka mulut untuk membantah perintah Alex, tapi pria itu sudah menaiki anak tangga satu-persatu dengan langkah yang tegap meski pelan. Elena bisa melihat punggung Alex yang lebar dan kekar. Sial! Umpat Elena dalam hati.“Nyonya Elena?” panggil Vero, mendekati Elena yang masih diam sambil menggigit bibir geram. “Apa saya perlu menyiapkan sesuatu?” Sepertinya kepala pelayan itu mendengar perintah Alex pada Elena.Elena menggeleng cepat. Tanpa bilang apapun pada Vero, dia melangkah. Selama Latham belum stabil, Elena akan mencoba untuk menahan diri. Posisinya tidak diuntungkan jika dia berani melawan Alex sekarang.Sesampainya di kamar pengantin, Elena menoleh ke berbagai sudut kamar besar itu untuk mencari sosok Alex. Bahkan di sofa besar—tempat biasa Alex merokok pun juga tidak ada.“Sepertinya kamu tidak membaca peraturanku dengan teliti,” ucap Alex.Dia berdiri di dekat jendela besar kamar itu, seperti baru
“Ada apa ini?” Elena terpaksa keluar dari kamar karena mendengar keributan.Adrian langsung melongok dengan mulut melebar senang saat melihat Elena. Bukan berarti dia pernah bertemu dengan Elena.“Dia lebih muda dariku, eh? Pantas saja kamu tidak ingin melewatkan kesempatan, Alex,” seloroh Adrian.Alex melepas cengkeramannya pada kerah Adrian. Dia mendorong keras adiknya itu. “Pergi!”Adrian membenarkan kerahnya dengan tatapan tak lepas dari Elena. Dia tidak peduli meski Alex menyuruhnya untuk pergi. Adrian justru maju, mengulurkan tangannya pada Elena.“Aku Adrian Blackwood,” ucap Adrian antusias.Elena memandang uluran tangan itu. Dia benci harus mengenal orang baru yang begitu banyak dalam waktu singkat. Kenapa banyak sekali penghuni mansion ini? Jerit Elena dalam hati.“Elena Morgan,” balas Elena, terpaksa membalas uluran tangan Adrian.“Oh, Morgan? Kamu istri sah Alex, jadi kurasa namamu berubah menjadi Blackwood sekarang,”“Aku belum terbiasa dengan nama itu,” Elena tersenyum si
Mobil mewah yang membawa Alexander dan Elena meluncur perlahan menuju sebuah gedung megah yang dipenuhi dengan cahaya gemerlap. Tempat itu adalah salah satu lokasi paling prestisius di Riverton, sering digunakan untuk acara-acara penting yang dihadiri oleh para konglomerat dan elit sosial. Di luar, karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke jalan, dihiasi dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan.David menghentikan mobil di depan pintu masuk utama, di mana para tamu sudah berkumpul untuk menunggu giliran masuk. Begitu mobil berhenti, seorang pelayan dengan cekatan membuka pintu. Alex yang keluar lebih dulu, berdiri tegap dengan aura penuh intimidasi sebagai CEO Blackwood Industries. Dia kemudian mengulurkan tangannya, menunggu Elena untuk keluar.Elena keluar dari mobil dengan anggun, gaun merahnya yang panjang berkilauan bagai air. Seketika mata para tamu yang menunggu di sekitar pintu masuk tertuju padanya, mengagumi keanggunan dan kecantikannya. Bisikan-bisikan mulai terd
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi