“Nyonya Elena?” panggil Vero, sudah ada di belakang punggung Elena.Elena sampai terperanjat karena tidak menyadari kehadiran Vero. Dia menoleh, sedikit gagap.“Sopir bilang, mobil Anda sudah siap,” Vero melanjutkan. Dengan sedikit rasa bersalah, karena sudah membuat Elena terkejut.“Dimana Alex?”“Tuan—” Vero berhenti bicara. “Anda tentu tahu, Tuan Alex sudah pergi sejak tadi pagi,”“Kenapa dia selalu menghindariku di pagi hari?” Ucapan Elena begitu kesal. Sejak mereka menikah, Elena memang tidak pernah bertemu Alex di pagi hari.“Maafkan saya, Nyonya,” sesal Vero. Meski dia tentu tidak salah.Elena tidak ingin membiarkan kekesalannya, merusak mood di pagi hari. Dia harus bekerja, demi kemajuan Latham Holdings. Maka dia pun bergegas pergi, untuk mengambil mobil Maserati pemberian Alex yang sudah disiapkan di halaman depan mansion besar itu.***Pikiran Elena tetap penuh kecemasan sepanjang hari. Surat dari Tabitha yang telah dia sembunyikan di dalam laci meja kerja terus membayang di
“Dia tidak benar-benar ada di rumah sakit jiwa, kan?” Seruan Elena menyeruak. Ketika Alex sudah berdiri dan hendak beranjak dari restoran itu.Mau tak mau Alex berhenti. Dia menoleh, memandang Elena dengan tatapannya yang dingin.“Apa maksudmu?” Alex justru balik bertanya.Elena mendongak. Dia masih duduk di tempatnya, meneguk tetes terakhir dari anggur yang masih tersisa.“Dia tidak ada di rumah sakit jiwa,” ulang Elena. “Dia baru saja meneleponmu,”Alex sejenak diam. Dengan mata seakan tak berkedip saat memandang Elena. Dengan satu kali helaan nafas, Alex memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.“Kamu melihat ponselku?” tebak Alex.“Ada nama Tabitha,” sambar Elena. “Bukankah dia sudah jadi mantan istrimu? Kenapa dia meneleponmu?”“Dia ibu Sophia,” Nada Alex merendah. Dia hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian.“Kenapa kamu bilang dia di rumah sakit jiwa?”“Dia memang di sana,” Alex memejamkan mata satu detik. Lantas kembali duduk sambil mengeluarkan ponselnya. “Mari kita hubungi
Elena dan Lidya memutuskan untuk bertemu di restoran favorit mereka berdua, Le Jardin, sebuah restoran Prancis di pusat kota Riverton. Suasana restoran yang tenang dengan jendela menghadap taman kota, membuat Elena dan Lidya betah duduk lama hanya untuk mengobrol dan membicarakan hal tidak penting.Tapi kali ini berbeda. Elena tidak lagi antusias, tidak seperti Lidya yang melambai girang saat melihat Elena celingukan mencari meja Lidya. Bahkan wajah Elena pucat, masih menyisakan ketegangan akibat mobil hitam itu.“Wajahmu pucat, El,” komentar Lidya, dengan dahi berkerut.“Seseorang membuntutiku,”Lidya makin mengerutkan dahi. “Kamu yakin?”Elena mengangguk
Alex sempurna memandang Adrian tanpa berkedip. Keduanya seakan tengah terlibat perang dingin. Bahkan hawa AC yang mendesis pelan, tidak bisa menandingi pertikaian antara Alex dan Adrian. Sunyi dan dingin. Meski mereka adalah saudara kandung, Alex dan Adrian memang tidak pernah akrab sedari kecil. Victoria mengajarkan persaingan pada mereka sejak dini, sehingga baik Alex maupun Adrian menganggap satu sama lain sebagai saingan.“Hidup memang hanya soal untung dan rugi,” timpal Alex. Dia mengetuk jarinya di meja, beberapa kali. “Jika tidak ada yang ingin kau bicarakan, pergilah,”“Tentu,” Adrian mengangguk dengan alis terangkat. “Sebaiknya kamu jangan terlalu lama di sini. Istri mudamu itu pasti ingin kehangatan darimu,” seloroh Adrian, lantas menyeringai. Seakan sengaja memancing kekesalan Alex.
“Ayo, Sophia. Papa temani tidur,” ajak Alex. “Tapi kamu duluan, ya. Papa harus bicara sebentar dengan Tante Elena,” Alex memasang wajah penuh senyum di depan Sophia.Anak kecil itu mengangguk masih setengah menangis. Namun dia menurut dan memilih pergi, meski sebelumnya dia menyempatkan diri untuk melotot tajam ke arah Elena. Benar-benar benci seakan ingin muntah.Alex lantas menarik kencang lengan Elena, masuk kembali ke dalam kamar. Dia pojokkan wanita itu ke dinding di belakang pintu.“Apa maumu? Aku sudah pernah bilang, kan, jangan meninggikan suaramu di depan Sophia!” hardik Alex, dengan mata berkilat murka.Elena berusaha keras melepaskan diri. Tapi Alex mencengkeramnya kelewat kuat.
Elena cukup terkejut menghadapi James dengan sikapnya yang congkak. Apalagi pria itu sampai tertawa mengejeknya. Dengan mulut sedikit terbuka, Elena terdiam. Dia sama sekali telah salah menilai.“Jadi menurutmu, permintaanku lucu?” tanya Elena tersinggung.James otomatis berhenti tertawa. Kini dia mengedipkan mata dan sekali lagi menyesap americano miliknya.“Saya hanya terkejut, Nyonya Blackwood,” kilah James. “Saya pikir, Anda akan memberikan sebuah tugas yang sulit,”Elena menelan ludah lantas mengacungkan microSD itu. “Ini baru permulaan, James Bennett. Kalau kerjamu memuaskan, aku akan menjelaskan segalanya. Aku tentu tidak akan serta-merta memberi pekerjaan pada seorang detektif yang baru saja kukenal,”
“Alex … “ Elena menggumamkan nama Alex, ketika tubuh besar dan kekar Alex mendorongnya begitu kuat.Dan wanita itu kini terjatuh di ranjangnya, yang tidak sebanding besarnya dengan ranjang di dalam kamar pengantin mereka.“Alex, stop … “ desah Elena.Permintaan Elena masuk ke telinga Alex bagai godaan. Adrenalin pria itu makin terpacu, tak peduli meski dia harus melanggar pantangannya sendiri. Alex memang membuat batasan untuk tidak melakukan hubungan bersama Elena kecuali di kamar penganti.Elena memeluk erat tubuh kekar Alex, merasakan kehangat mengalir lembut di dalam tubuhnya. Malam ini, mereka berdua menghabiskan waktu bersama hingga kelelahan.
Saat Elena masuk ke dalam mansion dengan langkah gontai karena lelah bekerja serta berdiskusi dengan James, Vero berdiri di depan tangga seakan memang menunggu kedatangan Elena.“Ada apa?” tanya Elena keheranan dengan sikap Vero.“Saya rasa Anda pasti ingin tahu kalau Tuan Alex sudah pulang,” jawab Vero dengan senyum ramah.Ada setitik rasa senang dalam hati Elena saat mendengar itu. Namun ekspresi wajahnya tidak berkata demikian.“Oh, lalu dia dimana?” Elena mencoba memasang ekspresi setenang mungkin.“Sedang beristirahat di kamar, Nyonya,”Elena manggut-manggut. Setelah mengucapkan selamat malam, Elena menaiki anak tangga sat
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi