Untungnya, tidak ada yang terjadi semalam.
Meski Elena sempat tegang ketika Alex menindih tubuhnya, namun hanya itu. Setelah berhasil mengancam Elena hingga wanita itu tidak bisa berkata tidak, Alex mundur. Dia pergi begitu saja, sempat menyesap rokoknya dalam-dalam. Bahkan sekedar menatap ke arah Elena saja tidak.
Elena mencoba melupakan kekesalannya sendiri. Kekesalan yang membuat dirinya malu. Kenapa dia harus mengharap lebih, padahal baru kemarin dia bertemu Alex. Apa karena Alex tampan? Elena cepat-cepat menggeleng, mencoba untuk menyadarkan diri.
“Nyonya Elena?” sapa Vero, ketika Elena turun ke bawah menuju ruang makan. “Selamat pagi,”
Elena balas tersenyum. Matanya berkeliling mengamati ruangan besar itu. Sebuah meja makan panjang dari marmer hitam berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi-kursi berlapis kulit dengan detail ukiran emas di sandarannya. Jendela-jendela besar dengan tirai beludru merah marun yang berat membuat cahaya matahari masuk tanpa cela pagi ini, menerangi lantai kayu ek yang berkilauan.
“Apa yang ingin Anda santap pagi ini, Nyonya?” tanya Vero.
“Aku mau oatmeal hangat dengan stroberi atau pisang, Vero,” jawab Elena penuh senyum. Ketika salah satu pelayan menarik kursi dan mempersilahkan Elena untuk duduk.
“Baik, Nyonya,” Vero segera memerintahkan salah satu pelayan untuk memberitahu koki di dapur.
“Kemana Alex?” tanya Elena penasaran, karena sejak pagi dia menyusuri sudut rumah, dia tidak melihat Alex.
“Tuan Alex sudah berangkat, Nyonya. Beliau hanya berpesan untuk menyiapkan segala yang Anda butuhkan,”
Elena mengangguk. Dia cukup puas dengan keramahan Vero, merasa sedikit aman meski tengah berada di lingkungan asing yang dia sama sekali tidak terbiasa. Kediaman Blackwood sangat besar, nyaris seperti istana.
“Nyonya Victoria,” tukas Vero tiba-tiba. Dia membungkuk ke arah belakang tempat Elena duduk.
Elena spontan berdiri dan memutar tubuh. Victoria Blackwood masuk ke dalam ruang makan dengan langkah anggun dan penuh wibawa. Rambutnya panjang, berwarna abu-abu keperakan, tergerai lembut di bahunya. Victoria mengenakan gaun sutra berwarna ungu tua yang membalut tubuhnya dengan pas. Saat dia mendekati meja makan, aroma parfum mawar yang lembut mengiringi setiap langkahnya. Victoria berhenti di depan Elena, tersenyum tipis namun formal.
Elena tidak sanggup menatap mata Victoria. Dia menundukkan pandangan. Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya Elena melihat secara langsung seorang wanita konglomerat. Digdayanya benar-benar tidak bisa diatasi oleh Elena. Dan juga, dengan ini Elena seratus persen yakin jika Victoria adalah ibu kandung Alex. Mereka berdua sama-sama memancarkan aura intimidasi yang kuat.
“Selamat datang di mansion Blackwood. Selamat menjadi bagian keluarga Blackwood,” tukas Victoria, memecah ketegangan.
“Terima kasih, Nyonya … “
“Kenapa kamu memanggilku begitu?” potong Victoria. “Panggil aku Mama,”
Elena sekali lagi menunduk. Namun samar-samar dia mengangguk patuh, sama seperti yang dia lakukan di hadapan Alex.
Elena kira, di rumah ini hanya ada dia dan Alex. Sejak pagi mengelilingi sudut rumah, Elena tidak menyadari keberadaan Victoria.
“Aku tinggal di sisi barat rumah ini,” Victoria menunjuk. “Terpisah dari rumah induk, tapi masih dalam satu pagar. Jika kamu ada waktu, mampirlah,”
“Pasti, Mama,” Elena sudah bisa bicara lebih santai.
Tak lama, pelayan membawa keluar sarapan oatmeal hangat permintaan Elena. Kemudian membawa keluar secangkir teh earl grey, lengkap dengan desert kecil sebagai pelengkap. Pelayan menyerahkan teh itu pada Victoria, yang kini duduk jauh di seberang Elena.
“Semoga kamu menikmati harimu di sini,” ucap Victoria, sambil mengaduk tehnya.
***
Elena menghembuskan nafas keras, lalu menjatuhkan kepala ke meja marmer ruang makan setelah Victoria pergi. Mereka berdua hanya mengobrol singkat selama belasan menit, tapi Elena sudah sangat terpojok. Aura Victoria sangat mendominasi, seakan bisa mencekik leher Elena hanya dari tatapan.
Vero tersenyum geli melihat tingkah Elena, namun sebisa mungkin dia tahan. Seperti melihat sebuah hiburan di tengah kekosongan rumah besar itu.
“Saya sudah menyiapkan perlengkapan Anda untuk bekerja, Nyonya,” Vero mencoba membangunkan Elena.
“Ya, aku harus bekerja!” Untuk ucapan ini, Elena seakan bicara pada dirinya sendiri.
“Nyonya Elena,” panggil David.
Elena keheranan kenapa David, asisten Alex ada di sini padahal tuannya sudah pergi. Sementara David justru tersenyum dan sempat mengucapkan salam selamat pagi pada Elena.
“Ada yang ingin saya tunjukkan, Nyonya. Atas perintah Tuan Alex. Mari ikut saya,” David mengajak Elena dengan isyarat tangan.
Elena memilih sunyi. Dia berjalan cepat mengikuti langkah kaki David yang ada di depannya. Mereka naik ke lantai atas, menyusuri lorong dengan banyak ruang di sisi kiri dan kanan. Di ujung, Elena bisa melihat kamar pengantin yang semalam dia tempati. Namun bukannya menuju kamar itu, David justru berhenti di depan dua kamar yang saling berhadapan, tepat di sisi kiri dan kanan kamar pengantin yang berada di paling pojok.
“Kamar siapa?” tanya Elena bingung.
Lantas David mengeluarkan kunci dari saku celana dan membuka satu sisi kamar. Tanpa bicara, dia mempersilahkan Elena masuk. Namun tentu Elena menolak.
“Atas perintah Tuan Alex, ini adalah kamar Anda, Nyonya Elena,”
“Kamarku?” Elena menunjuk dirinya. “Tapi … “ Dia teringat akan kamar pengantin di depannya.
“Ini kamar Anda, Nyonya,” sahut David cepat. Kemudian tangannya menunjuk kamar lain di depan kamar itu. “Di depan ini adalah kamar pribadi Tuan Alex,”
Dalam sekejap Elena bisa mengambil kesimpulan. Dia menganga tak percaya. Memandang kamarnya dan kamar Alex secara bergantian.
“Jadi maksudmu, aku dan Alex punya kamar masing-masing?” tanya Elena, berusaha menyimpulkan.
David tidak menjawab, hanya menunduk. Kemudian dia menyerahkan kunci pada Elena.
“Kamar yang semalam Anda tempati adalah kamar pengantin. Tuan berpesan, kamar itu harus dikunci dan hanya Tuan yang memegang kuncinya,” terang David. “Kamar itu hanya digunakan saat Tuan sedang ingin bersama Anda,”
“Apa?” Reaksi Elena meninggi. Tak pernah menyangka Alex akan segila ini. Atau ini adalah hal lumrah yang biasa dilakukan para konglomerat?
Lantas David merogoh sakunya lagi. Kali ini dia menyerahkan sebuah kunci mobil Maserati Levante GranLusso yang berkilauan. “Ini hadiah pernikahan Nyonya, dari Tuan Alex,”
Elena meraih kunci itu dengan ragu-ragu, merasakan beban berat di telapak tangannya. Kunci itu terbuat dari logam berkilau, dengan logo Maserati di bagian tengahnya tersemat sempurna di atas bantalan sutra yang lembut.
Elena mengangkat matanya untuk melihat David, yang masih menatapnya dengan tatapan ramah. “Untuk apa dia memberiku ini?”
“Sepertinya Anda kehilangan mobil karena harus melunasi hutang Latham, Nyonya?” David mengingat instruksi dari Alex. “Mobil ini adalah gantinya,”
“Tapi ini … “ Tangan Elena gemetar sedikit. Tentu harga mobil lusuhnya tidak sebanding dengan harga mobil Maserati ini. Namun Elena memilih untuk menyimpan kunci itu. “Ucapkan terima kasih pada Alex,”
David mengangguk lega. Tugasnya sebentar lagi selesai.
“David, tunggu,” Elena mendadak menghentikan laju kaki David. Dia berjalan penuh kebimbangan mendekati David yang berjalan dua langkah di depannya. “Bisakah aku bertanya sesuatu?”
David tidak menjawab. Dia nampak sedang berpikir. Tapi Elena tidak peduli. Dia sudah menyusun pertanyaan untuk David di dalam kepalanya.
“Semalam ada wanita asing yang menyerangku dari balkon kamar pengantin,” cerita Elena cepat.
Mata David melebar. Nafasnya tercekat mendengar cerita Elena. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang.
“Siapa wanita itu? Kenapa dia bisa masuk? Aku yakin penjagaan di rumah ini sangat ketat,” cecar Elena. Dia yakin kesempatannya untuk bertanya hanya kali ini. Dan dia tidak mau menyia-nyiakan itu.
David menahan nafas. Bola matanya yang gelap melebar. “Nyonya … “ David sengaja berhenti.
“Kamu tahu siapa dia?” desak Elena tak sabar.
“Maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Melihat ekspresi di wajahnya, Elena tahu pria itu berbohong. Meski usianya baru 24 tahun, ia tidaklah bodoh. “Apakah sesuatu terjadi, Nyonya Elena?” David ragu bertanya. Tapi dia cukup penasaran.Elena menggeleng cepat. Baru hari kedua, tapi Elena merasakan trust issue berada di dalam mansion Blackwood. Tidak ada seorang pun yang bisa dipercaya. Tidak mungkin wanita aneh itu bisa masuk ke dalam balkon jika tidak dibantu seseorang.“Kalau begitu, mari saya antar untuk melihat mobil Anda,”Elena dan David berjalan depan belakang menuju garasi besar mansion itu. Tanpa ada yang bicara. Elena terus fokus pada siapa sebenarnya wanita aneh yang menyerangnya malam itu.Setelah David memberi sedikit petunjuk pada Elena tentang mobil Maserati-nya, Elena merasakan perbedaan yang begitu signifikan dari mobil lamanya yang sudah usang. Tentu, Elena senang. Namun satu sisi hatinya tetap mencoba memperingatkan Elena agar waspada. Mobil ini ad
Terus begitu....Alex tidak melepaskannya dan terus melakukan pelepasan.Entah berapa kali.Yang jelas, Elena merasakan tubuhnya kedinginan dan hanya tertutupi selimut sutra marun di pagi hari. Pria itu sudah tidak ada di sampingnya, padahal waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi. Elena terlalu lelah untuk bisa menyadari kepergian Alex, karena semalam pria dingin itu menyerangnya tanpa ampun. Elena segera bangun, kemudian menyadari tubuh bagian bawahnya nyeri. Untuk seseorang yang baru pertama kali mengalaminya, semalam benar-benar jauh dari kata romantis. Elena menghubungi pelayan melalui intercom agar disiapkan sarapan dan segelas teh bunga krisan hangat. Setelah selesai bersiap, Elena menuruni satu-persatu anak tangga secara perlahan karena kakinya terasa lemas. Namun dia harus tetap bekerja, juga menemui ibunya untuk membahas hal yang tak sengaja dia dengar kemarin. Ketika Elena sudah sampai di ruang makan, dia sempat tertegun sejenak saat melihat seorang anak kecil perempuan ber
Setelah berbincang beberapa lama dengan ibunya, Elena memutuskan untuk kembali ke ruangannya sendiri. Dalam perjalanan, dia tak henti mengumpati dirinya sendiri. Merasa bodoh karena tidak pernah terpikirkan untuk mencari identitas Alex di internet. Seorang CEO Blackwood Industries pasti cukup banyak diperbincangkan dan pernikahan Alex sebelumnya.Elena duduk di kursi ruangannya, dengan jari-jari gemetar saat melayang di atas keyboard laptopnya. Ruang CEO milik ayahnya yang kecil dan sederhana tampak lebih sunyi daripada biasanya, seolah menyerap setiap suara yang muncul. Di luar, suara hiruk-pikuk kantor terdengar samar, tetapi di dalam ruangan ini, hanya ada ketegangan yang menggantung di udara.Dia menatap layar laptop, menimbang apakah dia benar-benar ingin tahu masa lalu Alex. Mengetahui bahwa Alex adalah seorang duda dengan seorang anak berusia tujuh tahun sudah cukup mengejutkannya. Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu Elena—rasa penasaran tentang pernikahan Alexander sebelu
Alex selalu bisa mengintimidasi Elena di saat-saat genting. Elena sudah siap membuka mulut untuk membantah perintah Alex, tapi pria itu sudah menaiki anak tangga satu-persatu dengan langkah yang tegap meski pelan. Elena bisa melihat punggung Alex yang lebar dan kekar. Sial! Umpat Elena dalam hati.“Nyonya Elena?” panggil Vero, mendekati Elena yang masih diam sambil menggigit bibir geram. “Apa saya perlu menyiapkan sesuatu?” Sepertinya kepala pelayan itu mendengar perintah Alex pada Elena.Elena menggeleng cepat. Tanpa bilang apapun pada Vero, dia melangkah. Selama Latham belum stabil, Elena akan mencoba untuk menahan diri. Posisinya tidak diuntungkan jika dia berani melawan Alex sekarang.Sesampainya di kamar pengantin, Elena menoleh ke berbagai sudut kamar besar itu untuk mencari sosok Alex. Bahkan di sofa besar—tempat biasa Alex merokok pun juga tidak ada.“Sepertinya kamu tidak membaca peraturanku dengan teliti,” ucap Alex.Dia berdiri di dekat jendela besar kamar itu, seperti baru
“Ada apa ini?” Elena terpaksa keluar dari kamar karena mendengar keributan.Adrian langsung melongok dengan mulut melebar senang saat melihat Elena. Bukan berarti dia pernah bertemu dengan Elena.“Dia lebih muda dariku, eh? Pantas saja kamu tidak ingin melewatkan kesempatan, Alex,” seloroh Adrian.Alex melepas cengkeramannya pada kerah Adrian. Dia mendorong keras adiknya itu. “Pergi!”Adrian membenarkan kerahnya dengan tatapan tak lepas dari Elena. Dia tidak peduli meski Alex menyuruhnya untuk pergi. Adrian justru maju, mengulurkan tangannya pada Elena.“Aku Adrian Blackwood,” ucap Adrian antusias.Elena memandang uluran tangan itu. Dia benci harus mengenal orang baru yang begitu banyak dalam waktu singkat. Kenapa banyak sekali penghuni mansion ini? Jerit Elena dalam hati.“Elena Morgan,” balas Elena, terpaksa membalas uluran tangan Adrian.“Oh, Morgan? Kamu istri sah Alex, jadi kurasa namamu berubah menjadi Blackwood sekarang,”“Aku belum terbiasa dengan nama itu,” Elena tersenyum si
Mobil mewah yang membawa Alexander dan Elena meluncur perlahan menuju sebuah gedung megah yang dipenuhi dengan cahaya gemerlap. Tempat itu adalah salah satu lokasi paling prestisius di Riverton, sering digunakan untuk acara-acara penting yang dihadiri oleh para konglomerat dan elit sosial. Di luar, karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke jalan, dihiasi dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan.David menghentikan mobil di depan pintu masuk utama, di mana para tamu sudah berkumpul untuk menunggu giliran masuk. Begitu mobil berhenti, seorang pelayan dengan cekatan membuka pintu. Alex yang keluar lebih dulu, berdiri tegap dengan aura penuh intimidasi sebagai CEO Blackwood Industries. Dia kemudian mengulurkan tangannya, menunggu Elena untuk keluar.Elena keluar dari mobil dengan anggun, gaun merahnya yang panjang berkilauan bagai air. Seketika mata para tamu yang menunggu di sekitar pintu masuk tertuju padanya, mengagumi keanggunan dan kecantikannya. Bisikan-bisikan mulai terd
“Nyonya Elena?” panggil Vero, sudah ada di belakang punggung Elena.Elena sampai terperanjat karena tidak menyadari kehadiran Vero. Dia menoleh, sedikit gagap.“Sopir bilang, mobil Anda sudah siap,” Vero melanjutkan. Dengan sedikit rasa bersalah, karena sudah membuat Elena terkejut.“Dimana Alex?”“Tuan—” Vero berhenti bicara. “Anda tentu tahu, Tuan Alex sudah pergi sejak tadi pagi,”“Kenapa dia selalu menghindariku di pagi hari?” Ucapan Elena begitu kesal. Sejak mereka menikah, Elena memang tidak pernah bertemu Alex di pagi hari.“Maafkan saya, Nyonya,” sesal Vero. Meski dia tentu tidak salah.Elena tidak ingin membiarkan kekesalannya, merusak mood di pagi hari. Dia harus bekerja, demi kemajuan Latham Holdings. Maka dia pun bergegas pergi, untuk mengambil mobil Maserati pemberian Alex yang sudah disiapkan di halaman depan mansion besar itu.***Pikiran Elena tetap penuh kecemasan sepanjang hari. Surat dari Tabitha yang telah dia sembunyikan di dalam laci meja kerja terus membayang di
“Dia tidak benar-benar ada di rumah sakit jiwa, kan?” Seruan Elena menyeruak. Ketika Alex sudah berdiri dan hendak beranjak dari restoran itu.Mau tak mau Alex berhenti. Dia menoleh, memandang Elena dengan tatapannya yang dingin.“Apa maksudmu?” Alex justru balik bertanya.Elena mendongak. Dia masih duduk di tempatnya, meneguk tetes terakhir dari anggur yang masih tersisa.“Dia tidak ada di rumah sakit jiwa,” ulang Elena. “Dia baru saja meneleponmu,”Alex sejenak diam. Dengan mata seakan tak berkedip saat memandang Elena. Dengan satu kali helaan nafas, Alex memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.“Kamu melihat ponselku?” tebak Alex.“Ada nama Tabitha,” sambar Elena. “Bukankah dia sudah jadi mantan istrimu? Kenapa dia meneleponmu?”“Dia ibu Sophia,” Nada Alex merendah. Dia hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian.“Kenapa kamu bilang dia di rumah sakit jiwa?”“Dia memang di sana,” Alex memejamkan mata satu detik. Lantas kembali duduk sambil mengeluarkan ponselnya. “Mari kita hubungi
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi