Untungnya, tidak ada yang terjadi semalam.
Meski Elena sempat tegang ketika Alex menindih tubuhnya, namun hanya itu. Setelah berhasil mengancam Elena hingga wanita itu tidak bisa berkata tidak, Alex mundur. Dia pergi begitu saja, sempat menyesap rokoknya dalam-dalam. Bahkan sekedar menatap ke arah Elena saja tidak.
Elena mencoba melupakan kekesalannya sendiri. Kekesalan yang membuat dirinya malu. Kenapa dia harus mengharap lebih, padahal baru kemarin dia bertemu Alex. Apa karena Alex tampan? Elena cepat-cepat menggeleng, mencoba untuk menyadarkan diri.
“Nyonya Elena?” sapa Vero, ketika Elena turun ke bawah menuju ruang makan. “Selamat pagi,”
Elena balas tersenyum. Matanya berkeliling mengamati ruangan besar itu. Sebuah meja makan panjang dari marmer hitam berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi-kursi berlapis kulit dengan detail ukiran emas di sandarannya. Jendela-jendela besar dengan tirai beludru merah marun yang berat membuat cahaya matahari masuk tanpa cela pagi ini, menerangi lantai kayu ek yang berkilauan.
“Apa yang ingin Anda santap pagi ini, Nyonya?” tanya Vero.
“Aku mau oatmeal hangat dengan stroberi atau pisang, Vero,” jawab Elena penuh senyum. Ketika salah satu pelayan menarik kursi dan mempersilahkan Elena untuk duduk.
“Baik, Nyonya,” Vero segera memerintahkan salah satu pelayan untuk memberitahu koki di dapur.
“Kemana Alex?” tanya Elena penasaran, karena sejak pagi dia menyusuri sudut rumah, dia tidak melihat Alex.
“Tuan Alex sudah berangkat, Nyonya. Beliau hanya berpesan untuk menyiapkan segala yang Anda butuhkan,”
Elena mengangguk. Dia cukup puas dengan keramahan Vero, merasa sedikit aman meski tengah berada di lingkungan asing yang dia sama sekali tidak terbiasa. Kediaman Blackwood sangat besar, nyaris seperti istana.
“Nyonya Victoria,” tukas Vero tiba-tiba. Dia membungkuk ke arah belakang tempat Elena duduk.
Elena spontan berdiri dan memutar tubuh. Victoria Blackwood masuk ke dalam ruang makan dengan langkah anggun dan penuh wibawa. Rambutnya panjang, berwarna abu-abu keperakan, tergerai lembut di bahunya. Victoria mengenakan gaun sutra berwarna ungu tua yang membalut tubuhnya dengan pas. Saat dia mendekati meja makan, aroma parfum mawar yang lembut mengiringi setiap langkahnya. Victoria berhenti di depan Elena, tersenyum tipis namun formal.
Elena tidak sanggup menatap mata Victoria. Dia menundukkan pandangan. Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya Elena melihat secara langsung seorang wanita konglomerat. Digdayanya benar-benar tidak bisa diatasi oleh Elena. Dan juga, dengan ini Elena seratus persen yakin jika Victoria adalah ibu kandung Alex. Mereka berdua sama-sama memancarkan aura intimidasi yang kuat.
“Selamat datang di mansion Blackwood. Selamat menjadi bagian keluarga Blackwood,” tukas Victoria, memecah ketegangan.
“Terima kasih, Nyonya … “
“Kenapa kamu memanggilku begitu?” potong Victoria. “Panggil aku Mama,”
Elena sekali lagi menunduk. Namun samar-samar dia mengangguk patuh, sama seperti yang dia lakukan di hadapan Alex.
Elena kira, di rumah ini hanya ada dia dan Alex. Sejak pagi mengelilingi sudut rumah, Elena tidak menyadari keberadaan Victoria.
“Aku tinggal di sisi barat rumah ini,” Victoria menunjuk. “Terpisah dari rumah induk, tapi masih dalam satu pagar. Jika kamu ada waktu, mampirlah,”
“Pasti, Mama,” Elena sudah bisa bicara lebih santai.
Tak lama, pelayan membawa keluar sarapan oatmeal hangat permintaan Elena. Kemudian membawa keluar secangkir teh earl grey, lengkap dengan desert kecil sebagai pelengkap. Pelayan menyerahkan teh itu pada Victoria, yang kini duduk jauh di seberang Elena.
“Semoga kamu menikmati harimu di sini,” ucap Victoria, sambil mengaduk tehnya.
***
Elena menghembuskan nafas keras, lalu menjatuhkan kepala ke meja marmer ruang makan setelah Victoria pergi. Mereka berdua hanya mengobrol singkat selama belasan menit, tapi Elena sudah sangat terpojok. Aura Victoria sangat mendominasi, seakan bisa mencekik leher Elena hanya dari tatapan.
Vero tersenyum geli melihat tingkah Elena, namun sebisa mungkin dia tahan. Seperti melihat sebuah hiburan di tengah kekosongan rumah besar itu.
“Saya sudah menyiapkan perlengkapan Anda untuk bekerja, Nyonya,” Vero mencoba membangunkan Elena.
“Ya, aku harus bekerja!” Untuk ucapan ini, Elena seakan bicara pada dirinya sendiri.
“Nyonya Elena,” panggil David.
Elena keheranan kenapa David, asisten Alex ada di sini padahal tuannya sudah pergi. Sementara David justru tersenyum dan sempat mengucapkan salam selamat pagi pada Elena.
“Ada yang ingin saya tunjukkan, Nyonya. Atas perintah Tuan Alex. Mari ikut saya,” David mengajak Elena dengan isyarat tangan.
Elena memilih sunyi. Dia berjalan cepat mengikuti langkah kaki David yang ada di depannya. Mereka naik ke lantai atas, menyusuri lorong dengan banyak ruang di sisi kiri dan kanan. Di ujung, Elena bisa melihat kamar pengantin yang semalam dia tempati. Namun bukannya menuju kamar itu, David justru berhenti di depan dua kamar yang saling berhadapan, tepat di sisi kiri dan kanan kamar pengantin yang berada di paling pojok.
“Kamar siapa?” tanya Elena bingung.
Lantas David mengeluarkan kunci dari saku celana dan membuka satu sisi kamar. Tanpa bicara, dia mempersilahkan Elena masuk. Namun tentu Elena menolak.
“Atas perintah Tuan Alex, ini adalah kamar Anda, Nyonya Elena,”
“Kamarku?” Elena menunjuk dirinya. “Tapi … “ Dia teringat akan kamar pengantin di depannya.
“Ini kamar Anda, Nyonya,” sahut David cepat. Kemudian tangannya menunjuk kamar lain di depan kamar itu. “Di depan ini adalah kamar pribadi Tuan Alex,”
Dalam sekejap Elena bisa mengambil kesimpulan. Dia menganga tak percaya. Memandang kamarnya dan kamar Alex secara bergantian.
“Jadi maksudmu, aku dan Alex punya kamar masing-masing?” tanya Elena, berusaha menyimpulkan.
David tidak menjawab, hanya menunduk. Kemudian dia menyerahkan kunci pada Elena.
“Kamar yang semalam Anda tempati adalah kamar pengantin. Tuan berpesan, kamar itu harus dikunci dan hanya Tuan yang memegang kuncinya,” terang David. “Kamar itu hanya digunakan saat Tuan sedang ingin bersama Anda,”
“Apa?” Reaksi Elena meninggi. Tak pernah menyangka Alex akan segila ini. Atau ini adalah hal lumrah yang biasa dilakukan para konglomerat?
Lantas David merogoh sakunya lagi. Kali ini dia menyerahkan sebuah kunci mobil Maserati Levante GranLusso yang berkilauan. “Ini hadiah pernikahan Nyonya, dari Tuan Alex,”
Elena meraih kunci itu dengan ragu-ragu, merasakan beban berat di telapak tangannya. Kunci itu terbuat dari logam berkilau, dengan logo Maserati di bagian tengahnya tersemat sempurna di atas bantalan sutra yang lembut.
Elena mengangkat matanya untuk melihat David, yang masih menatapnya dengan tatapan ramah. “Untuk apa dia memberiku ini?”
“Sepertinya Anda kehilangan mobil karena harus melunasi hutang Latham, Nyonya?” David mengingat instruksi dari Alex. “Mobil ini adalah gantinya,”
“Tapi ini … “ Tangan Elena gemetar sedikit. Tentu harga mobil lusuhnya tidak sebanding dengan harga mobil Maserati ini. Namun Elena memilih untuk menyimpan kunci itu. “Ucapkan terima kasih pada Alex,”
David mengangguk lega. Tugasnya sebentar lagi selesai.
“David, tunggu,” Elena mendadak menghentikan laju kaki David. Dia berjalan penuh kebimbangan mendekati David yang berjalan dua langkah di depannya. “Bisakah aku bertanya sesuatu?”
David tidak menjawab. Dia nampak sedang berpikir. Tapi Elena tidak peduli. Dia sudah menyusun pertanyaan untuk David di dalam kepalanya.
“Semalam ada wanita asing yang menyerangku dari balkon kamar pengantin,” cerita Elena cepat.
Mata David melebar. Nafasnya tercekat mendengar cerita Elena. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang.
“Siapa wanita itu? Kenapa dia bisa masuk? Aku yakin penjagaan di rumah ini sangat ketat,” cecar Elena. Dia yakin kesempatannya untuk bertanya hanya kali ini. Dan dia tidak mau menyia-nyiakan itu.
David menahan nafas. Bola matanya yang gelap melebar. “Nyonya … “ David sengaja berhenti.
“Kamu tahu siapa dia?” desak Elena tak sabar.
“Maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Melihat ekspresi di wajahnya, Elena tahu pria itu berbohong. Meski usianya baru 24 tahun, ia tidaklah bodoh. “Apakah sesuatu terjadi, Nyonya Elena?” David ragu bertanya. Tapi dia cukup penasaran.Elena menggeleng cepat. Baru hari kedua, tapi Elena merasakan trust issue berada di dalam mansion Blackwood. Tidak ada seorang pun yang bisa dipercaya. Tidak mungkin wanita aneh itu bisa masuk ke dalam balkon jika tidak dibantu seseorang.“Kalau begitu, mari saya antar untuk melihat mobil Anda,”Elena dan David berjalan depan belakang menuju garasi besar mansion itu. Tanpa ada yang bicara. Elena terus fokus pada siapa sebenarnya wanita aneh yang menyerangnya malam itu.Setelah David memberi sedikit petunjuk pada Elena tentang mobil Maserati-nya, Elena merasakan perbedaan yang begitu signifikan dari mobil lamanya yang sudah usang. Tentu, Elena senang. Namun satu sisi hatinya tetap mencoba memperingatkan Elena agar waspada. Mobil ini ad
Terus begitu....Alex tidak melepaskannya dan terus melakukan pelepasan.Entah berapa kali.Yang jelas, Elena merasakan tubuhnya kedinginan dan hanya tertutupi selimut sutra marun di pagi hari. Pria itu sudah tidak ada di sampingnya, padahal waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi. Elena terlalu lelah untuk bisa menyadari kepergian Alex, karena semalam pria dingin itu menyerangnya tanpa ampun. Elena segera bangun, kemudian menyadari tubuh bagian bawahnya nyeri. Untuk seseorang yang baru pertama kali mengalaminya, semalam benar-benar jauh dari kata romantis. Elena menghubungi pelayan melalui intercom agar disiapkan sarapan dan segelas teh bunga krisan hangat. Setelah selesai bersiap, Elena menuruni satu-persatu anak tangga secara perlahan karena kakinya terasa lemas. Namun dia harus tetap bekerja, juga menemui ibunya untuk membahas hal yang tak sengaja dia dengar kemarin. Ketika Elena sudah sampai di ruang makan, dia sempat tertegun sejenak saat melihat seorang anak kecil perempuan ber
Setelah berbincang beberapa lama dengan ibunya, Elena memutuskan untuk kembali ke ruangannya sendiri. Dalam perjalanan, dia tak henti mengumpati dirinya sendiri. Merasa bodoh karena tidak pernah terpikirkan untuk mencari identitas Alex di internet. Seorang CEO Blackwood Industries pasti cukup banyak diperbincangkan dan pernikahan Alex sebelumnya.Elena duduk di kursi ruangannya, dengan jari-jari gemetar saat melayang di atas keyboard laptopnya. Ruang CEO milik ayahnya yang kecil dan sederhana tampak lebih sunyi daripada biasanya, seolah menyerap setiap suara yang muncul. Di luar, suara hiruk-pikuk kantor terdengar samar, tetapi di dalam ruangan ini, hanya ada ketegangan yang menggantung di udara.Dia menatap layar laptop, menimbang apakah dia benar-benar ingin tahu masa lalu Alex. Mengetahui bahwa Alex adalah seorang duda dengan seorang anak berusia tujuh tahun sudah cukup mengejutkannya. Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu Elena—rasa penasaran tentang pernikahan Alexander sebelu
Alex selalu bisa mengintimidasi Elena di saat-saat genting. Elena sudah siap membuka mulut untuk membantah perintah Alex, tapi pria itu sudah menaiki anak tangga satu-persatu dengan langkah yang tegap meski pelan. Elena bisa melihat punggung Alex yang lebar dan kekar. Sial! Umpat Elena dalam hati.“Nyonya Elena?” panggil Vero, mendekati Elena yang masih diam sambil menggigit bibir geram. “Apa saya perlu menyiapkan sesuatu?” Sepertinya kepala pelayan itu mendengar perintah Alex pada Elena.Elena menggeleng cepat. Tanpa bilang apapun pada Vero, dia melangkah. Selama Latham belum stabil, Elena akan mencoba untuk menahan diri. Posisinya tidak diuntungkan jika dia berani melawan Alex sekarang.Sesampainya di kamar pengantin, Elena menoleh ke berbagai sudut kamar besar itu untuk mencari sosok Alex. Bahkan di sofa besar—tempat biasa Alex merokok pun juga tidak ada.“Sepertinya kamu tidak membaca peraturanku dengan teliti,” ucap Alex.Dia berdiri di dekat jendela besar kamar itu, seperti baru
“Ada apa ini?” Elena terpaksa keluar dari kamar karena mendengar keributan.Adrian langsung melongok dengan mulut melebar senang saat melihat Elena. Bukan berarti dia pernah bertemu dengan Elena.“Dia lebih muda dariku, eh? Pantas saja kamu tidak ingin melewatkan kesempatan, Alex,” seloroh Adrian.Alex melepas cengkeramannya pada kerah Adrian. Dia mendorong keras adiknya itu. “Pergi!”Adrian membenarkan kerahnya dengan tatapan tak lepas dari Elena. Dia tidak peduli meski Alex menyuruhnya untuk pergi. Adrian justru maju, mengulurkan tangannya pada Elena.“Aku Adrian Blackwood,” ucap Adrian antusias.Elena memandang uluran tangan itu. Dia benci harus mengenal orang baru yang begitu banyak dalam waktu singkat. Kenapa banyak sekali penghuni mansion ini? Jerit Elena dalam hati.“Elena Morgan,” balas Elena, terpaksa membalas uluran tangan Adrian.“Oh, Morgan? Kamu istri sah Alex, jadi kurasa namamu berubah menjadi Blackwood sekarang,”“Aku belum terbiasa dengan nama itu,” Elena tersenyum si
Mobil mewah yang membawa Alexander dan Elena meluncur perlahan menuju sebuah gedung megah yang dipenuhi dengan cahaya gemerlap. Tempat itu adalah salah satu lokasi paling prestisius di Riverton, sering digunakan untuk acara-acara penting yang dihadiri oleh para konglomerat dan elit sosial. Di luar, karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke jalan, dihiasi dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan.David menghentikan mobil di depan pintu masuk utama, di mana para tamu sudah berkumpul untuk menunggu giliran masuk. Begitu mobil berhenti, seorang pelayan dengan cekatan membuka pintu. Alex yang keluar lebih dulu, berdiri tegap dengan aura penuh intimidasi sebagai CEO Blackwood Industries. Dia kemudian mengulurkan tangannya, menunggu Elena untuk keluar.Elena keluar dari mobil dengan anggun, gaun merahnya yang panjang berkilauan bagai air. Seketika mata para tamu yang menunggu di sekitar pintu masuk tertuju padanya, mengagumi keanggunan dan kecantikannya. Bisikan-bisikan mulai terd
“Nyonya Elena?” panggil Vero, sudah ada di belakang punggung Elena.Elena sampai terperanjat karena tidak menyadari kehadiran Vero. Dia menoleh, sedikit gagap.“Sopir bilang, mobil Anda sudah siap,” Vero melanjutkan. Dengan sedikit rasa bersalah, karena sudah membuat Elena terkejut.“Dimana Alex?”“Tuan—” Vero berhenti bicara. “Anda tentu tahu, Tuan Alex sudah pergi sejak tadi pagi,”“Kenapa dia selalu menghindariku di pagi hari?” Ucapan Elena begitu kesal. Sejak mereka menikah, Elena memang tidak pernah bertemu Alex di pagi hari.“Maafkan saya, Nyonya,” sesal Vero. Meski dia tentu tidak salah.Elena tidak ingin membiarkan kekesalannya, merusak mood di pagi hari. Dia harus bekerja, demi kemajuan Latham Holdings. Maka dia pun bergegas pergi, untuk mengambil mobil Maserati pemberian Alex yang sudah disiapkan di halaman depan mansion besar itu.***Pikiran Elena tetap penuh kecemasan sepanjang hari. Surat dari Tabitha yang telah dia sembunyikan di dalam laci meja kerja terus membayang di
“Dia tidak benar-benar ada di rumah sakit jiwa, kan?” Seruan Elena menyeruak. Ketika Alex sudah berdiri dan hendak beranjak dari restoran itu.Mau tak mau Alex berhenti. Dia menoleh, memandang Elena dengan tatapannya yang dingin.“Apa maksudmu?” Alex justru balik bertanya.Elena mendongak. Dia masih duduk di tempatnya, meneguk tetes terakhir dari anggur yang masih tersisa.“Dia tidak ada di rumah sakit jiwa,” ulang Elena. “Dia baru saja meneleponmu,”Alex sejenak diam. Dengan mata seakan tak berkedip saat memandang Elena. Dengan satu kali helaan nafas, Alex memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.“Kamu melihat ponselku?” tebak Alex.“Ada nama Tabitha,” sambar Elena. “Bukankah dia sudah jadi mantan istrimu? Kenapa dia meneleponmu?”“Dia ibu Sophia,” Nada Alex merendah. Dia hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian.“Kenapa kamu bilang dia di rumah sakit jiwa?”“Dia memang di sana,” Alex memejamkan mata satu detik. Lantas kembali duduk sambil mengeluarkan ponselnya. “Mari kita hubungi