Share

Bab 3. Bungkam

Untungnya, tidak ada yang terjadi semalam.

Meski Elena sempat tegang ketika Alex menindih tubuhnya, namun hanya itu. Setelah berhasil mengancam Elena hingga wanita itu tidak bisa berkata tidak, Alex mundur. Dia pergi begitu saja, sempat menyesap rokoknya dalam-dalam. Bahkan sekedar menatap ke arah Elena saja tidak.

Elena mencoba melupakan kekesalannya sendiri. Kekesalan yang membuat dirinya malu. Kenapa dia harus mengharap lebih, padahal baru kemarin dia bertemu Alex. Apa karena Alex tampan? Elena cepat-cepat menggeleng, mencoba untuk menyadarkan diri.

“Nyonya Elena?” sapa Vero, ketika Elena turun ke bawah menuju ruang makan. “Selamat pagi,”

Elena balas tersenyum. Matanya berkeliling mengamati ruangan besar itu. Sebuah meja makan panjang dari marmer hitam berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi-kursi berlapis kulit dengan detail ukiran emas di sandarannya. Jendela-jendela besar dengan tirai beludru merah marun yang berat membuat cahaya matahari masuk tanpa cela pagi ini, menerangi lantai kayu ek yang berkilauan. 

“Apa yang ingin Anda santap pagi ini, Nyonya?” tanya Vero.

“Aku mau oatmeal hangat dengan stroberi atau pisang, Vero,” jawab Elena penuh senyum. Ketika salah satu pelayan menarik kursi dan mempersilahkan Elena untuk duduk.

“Baik, Nyonya,” Vero segera memerintahkan salah satu pelayan untuk memberitahu koki di dapur.

“Kemana Alex?” tanya Elena penasaran, karena sejak pagi dia menyusuri sudut rumah, dia tidak melihat Alex.

“Tuan Alex sudah berangkat, Nyonya. Beliau hanya berpesan untuk menyiapkan segala yang Anda butuhkan,”

Elena mengangguk. Dia cukup puas dengan keramahan Vero, merasa sedikit aman meski tengah berada di lingkungan asing yang dia sama sekali tidak terbiasa. Kediaman Blackwood sangat besar, nyaris seperti istana.

“Nyonya Victoria,” tukas Vero tiba-tiba. Dia membungkuk ke arah belakang tempat Elena duduk.

Elena spontan berdiri dan memutar tubuh. Victoria Blackwood masuk ke dalam ruang makan dengan langkah anggun dan penuh wibawa. Rambutnya panjang, berwarna abu-abu keperakan, tergerai lembut di bahunya. Victoria mengenakan gaun sutra berwarna ungu tua yang membalut tubuhnya dengan pas. Saat dia mendekati meja makan, aroma parfum mawar yang lembut mengiringi setiap langkahnya. Victoria berhenti di depan Elena, tersenyum tipis namun formal.

Elena tidak sanggup menatap mata Victoria. Dia menundukkan pandangan. Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya Elena melihat secara langsung seorang wanita konglomerat. Digdayanya benar-benar tidak bisa diatasi oleh Elena. Dan juga, dengan ini Elena seratus persen yakin jika Victoria adalah ibu kandung Alex. Mereka berdua sama-sama memancarkan aura intimidasi yang kuat.

“Selamat datang di mansion Blackwood. Selamat menjadi bagian keluarga Blackwood,” tukas Victoria, memecah ketegangan.

“Terima kasih, Nyonya … “

“Kenapa kamu memanggilku begitu?” potong Victoria. “Panggil aku Mama,”

Elena sekali lagi menunduk. Namun samar-samar dia mengangguk patuh, sama seperti yang dia lakukan di hadapan Alex.

Elena kira, di rumah ini hanya ada dia dan Alex. Sejak pagi mengelilingi sudut rumah, Elena tidak menyadari keberadaan Victoria.

“Aku tinggal di sisi barat rumah ini,” Victoria menunjuk. “Terpisah dari rumah induk, tapi masih dalam satu pagar. Jika kamu ada waktu, mampirlah,”

“Pasti, Mama,” Elena sudah bisa bicara lebih santai.

Tak lama, pelayan membawa keluar sarapan oatmeal hangat permintaan Elena. Kemudian membawa keluar secangkir teh earl grey, lengkap dengan desert kecil sebagai pelengkap. Pelayan menyerahkan teh itu pada Victoria, yang kini duduk jauh di seberang Elena.

“Semoga kamu menikmati harimu di sini,” ucap Victoria, sambil mengaduk tehnya. 

***

Elena menghembuskan nafas keras, lalu menjatuhkan kepala ke meja marmer ruang makan setelah Victoria pergi. Mereka berdua hanya mengobrol singkat selama belasan menit, tapi Elena sudah sangat terpojok. Aura Victoria sangat mendominasi, seakan bisa mencekik leher Elena hanya dari tatapan.

Vero tersenyum geli melihat tingkah Elena, namun sebisa mungkin dia tahan. Seperti melihat sebuah hiburan di tengah kekosongan rumah besar itu.

“Saya sudah menyiapkan perlengkapan Anda untuk bekerja, Nyonya,” Vero mencoba membangunkan Elena.

“Ya, aku harus bekerja!” Untuk ucapan ini, Elena seakan bicara pada dirinya sendiri.

“Nyonya Elena,” panggil David.

Elena keheranan kenapa David, asisten Alex ada di sini padahal tuannya sudah pergi. Sementara David justru tersenyum dan sempat mengucapkan salam selamat pagi pada Elena.

“Ada yang ingin saya tunjukkan, Nyonya. Atas perintah Tuan Alex. Mari ikut saya,” David mengajak Elena dengan isyarat tangan.

Elena memilih sunyi. Dia berjalan cepat mengikuti langkah kaki David yang ada di depannya. Mereka naik ke lantai atas, menyusuri lorong dengan banyak ruang di sisi kiri dan kanan. Di ujung, Elena bisa melihat kamar pengantin yang semalam dia tempati. Namun bukannya menuju kamar itu, David justru berhenti di depan dua kamar yang saling berhadapan, tepat di sisi kiri dan kanan kamar pengantin yang berada di paling pojok.

“Kamar siapa?” tanya Elena bingung.

Lantas David mengeluarkan kunci dari saku celana dan membuka satu sisi kamar. Tanpa bicara, dia mempersilahkan Elena masuk. Namun tentu Elena menolak.

“Atas perintah Tuan Alex, ini adalah kamar Anda, Nyonya Elena,”

“Kamarku?” Elena menunjuk dirinya. “Tapi … “ Dia teringat akan kamar pengantin di depannya.

“Ini kamar Anda, Nyonya,” sahut David cepat. Kemudian tangannya menunjuk kamar lain di depan kamar itu. “Di depan ini adalah kamar pribadi Tuan Alex,”

Dalam sekejap Elena bisa mengambil kesimpulan. Dia menganga tak percaya. Memandang kamarnya dan kamar Alex secara bergantian.

“Jadi maksudmu, aku dan Alex punya kamar masing-masing?” tanya Elena, berusaha menyimpulkan.

David tidak menjawab, hanya menunduk. Kemudian dia menyerahkan kunci pada Elena.

“Kamar yang semalam Anda tempati adalah kamar pengantin. Tuan berpesan, kamar itu harus dikunci dan hanya Tuan yang memegang kuncinya,” terang David. “Kamar itu hanya digunakan saat Tuan sedang ingin bersama Anda,”

“Apa?” Reaksi Elena meninggi. Tak pernah menyangka Alex akan segila ini. Atau ini adalah hal lumrah yang biasa dilakukan para konglomerat?

Lantas David merogoh sakunya lagi. Kali ini dia menyerahkan sebuah kunci mobil Maserati Levante GranLusso yang berkilauan. “Ini hadiah pernikahan Nyonya, dari Tuan Alex,”

Elena meraih kunci itu dengan ragu-ragu, merasakan beban berat di telapak tangannya. Kunci itu terbuat dari logam berkilau, dengan logo Maserati di bagian tengahnya tersemat sempurna di atas bantalan sutra yang lembut.

Elena mengangkat matanya untuk melihat David, yang masih menatapnya dengan tatapan ramah. “Untuk apa dia memberiku ini?”

“Sepertinya Anda kehilangan mobil karena harus melunasi hutang Latham, Nyonya?” David mengingat instruksi dari Alex. “Mobil ini adalah gantinya,”

“Tapi ini … “ Tangan Elena gemetar sedikit. Tentu harga mobil lusuhnya tidak sebanding dengan harga mobil Maserati ini. Namun Elena memilih untuk menyimpan kunci itu. “Ucapkan terima kasih pada Alex,”

David mengangguk lega. Tugasnya sebentar lagi selesai.

“David, tunggu,” Elena mendadak menghentikan laju kaki David. Dia berjalan penuh kebimbangan mendekati David yang berjalan dua langkah di depannya. “Bisakah aku bertanya sesuatu?”

David tidak menjawab. Dia nampak sedang berpikir. Tapi Elena tidak peduli. Dia sudah menyusun pertanyaan untuk David di dalam kepalanya.

“Semalam ada wanita asing yang menyerangku dari balkon kamar pengantin,” cerita Elena cepat.

Mata David melebar. Nafasnya tercekat mendengar cerita Elena. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang.

“Siapa wanita itu? Kenapa dia bisa masuk? Aku yakin penjagaan di rumah ini sangat ketat,” cecar Elena. Dia yakin kesempatannya untuk bertanya hanya kali ini. Dan dia tidak mau menyia-nyiakan itu.

David menahan nafas. Bola matanya yang gelap melebar. “Nyonya … “ David sengaja berhenti.

“Kamu tahu siapa dia?” desak Elena tak sabar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status