“Apa maksudmu? Siapa kamu?” Elena menahan tubuh wanita berantakan itu, ketika dia dengan panik hendak pergi.
“Jangan pedulikan siapa aku!” jawabnya penuh ketakutan.
Terdengar suara langkah kaki mendekat dan pintu hendak dibuka. Baik Elena maupun wanita itu secara bersamaan menoleh ke arah pintu. Si wanita dengan cepat mendorong mundur tubuh Elena, dan berlari menuju balkon. Elena hendak mengejar, namun menyadari jika wanita itu kini sudah melompat dari atas balkon. Elena sampai menutup mata karena tidak sanggup menghadapi hal berikutnya.
Apakah dia mati? Batin Elena cemas.
“Elena Morgan?”
Langkah Elena tertahan. Dia tidak jadi berlari menuju balkon untuk memastikan keadaan wanita itu, saat mendengar suaranya dipanggil dari arah belakang. Elena memutuskan untuk putar badan dan menghadap pria bertubuh tinggi dan kekar di belakangnya. Alexander Blackwood.
“Sudah lama menunggu?” tanya Alex. Dia berjalan mendekati Elena yang berdiri kikuk berhadapan dengan jendela balkon.
Tubuh Elena panas dingin. Dia tidak yakin bisa mempercayai Alex, mengingat kejadian yang telah mereka lewati bersama. Termasuk pernikahan tidak masuk akal ini.
“Tidak masalah,” jawab Elena, berusaha tersenyum. “Aku menikmati pemandangan dari jendela balkon,” Dia mencoba membuat alasan yang tidak akan membuat Alex curiga.
Alex hanya membalas dengan tatapan dingin. Kemudian pria itu berjalan makin maju, kini jaraknya dan Elena hanya beberapa langkah. Dengan matanya yang berwarna hijau, Alex menelusuri tubuh Elena dari atas sampai bawah.
“Kamu tahu siapa aku?” tanya Alex, setelah beberapa saat diam.
Elena menelan ludah. Sedingin apapun tatapan Alex padanya, tidak bisa Elena pungkiri jika Alex begitu menawan. Otot keras, rahang tegas, mata indah berwarna hijau dan rambut tipis di bagian kumis dan dagunya. Alex benar-benar seorang pria berusia 32 tahun yang tampan.
“Alexander Blackwood,” jawab Elena, patuh.
“Gadis pintar,” timpal Alex, tersenyum miring. “Aku suamimu sekarang,”
“Aku tahu,” Elena menjawab dengan cepat.
Alex manggut-manggut. Kemudian dia berjalan dua langkah makin dekat. “Lepas kancingku,”
Jantung Elena berdetak kencang. “A-apa?”
“Kamu tidak dengar? Itu perintah suamimu. Lepas kancingku,” ulang Alex. Dia menatap dingin Elena yang tingginya setara dengan dadanya yang bidang.
Elena menelan ludah. Jantungnya berdetak tidak karuan saat ini. Tidak pernah dia sangka, berdekatan dengan pria yang hampir 10 tahun lebih tua darinya bisa begitu menegangkan. Maka dia mulai melepas satu-persatu kancing kemeja putih yang dikenakan Alex. Mungkin saja Alex bisa mendengar debaran jantung Elena yang begitu kencang.
“Apakah kamu pernah mendengar sebuah aturan, bahwa seorang istri harus selalu patuh pada suaminya?” tanya Alex.
Elena tidak menjawab. Dia hanya terus melepas kancing itu.
“Karena sekarang kamu adalah istriku, jadi apapun yang kuperintahkan, harus dipatuhi. Atau … “ Alex sengaja memutus ucapannya. Dia mengangkat dagu Elena, memaksa agar bisa saling tatap. “Kamu tahu alasanmu ada di sini, kan? Hidupmu dan hidup seluruh keluargamu ada di tanganku,”
Elena menahan napas, mencoba mengatasi rasa takut yang tiba-tiba menyerang dirinya. Dalam hati, dia tahu betul apa yang dimaksud oleh Alex. Pernikahan ini bukanlah pernikahan biasa yang didasarkan pada cinta. Ini adalah perjanjian bisnis, sebuah transaksi di mana dia dan keluarganya ditukar untuk menyelamatkan perusahaan yang hampir runtuh.
Meskipun hatinya gentar, Tabitha menolak untuk menunjukkan sisi lemahnya. Dia mencoba menatap balik Alex dengan tatapan tajam. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara yang bergetar ringan. “Aku tahu apa yang terjadi dan kenapa aku ada di sini,”
Alex tersenyum miring. Merasa puas telah menikahi seorang wanita seperti Elena. Yang lemah dan tidak punya pilihan, namun tetap berusaha tampak kuat. Sebuah tantangan menarik untuk Alex.
“Tidurlah,”
“Apa?”
“Tidur, kataku,” ulang Alex. Dia menahan napas demi menjaga ketenangan.
Elena berubah sedikit gugup. Bola matanya menuju ke segala arah, mencari cara agar tetap aman. “Tapi kita belum mengenal satu sama lain. Beri aku kesempatan untuk … “
“Aku tidak menidurimu malam ini,” potong Alex cepat. Seakan tahu yang dipikirkan Elena. “Aku hanya menyuruhmu tidur,” Dengan isyarat mata, Alex menyuruh Elena untuk naik ke atas ranjang besar itu.
Meski lega, Elena malu. Bisa-bisanya dia memikirkan hal kotor itu. Maka demi menutupi rasa malu, Elena buru-buru naik ke ranjang, menarik selimut dan membungkus seluruh tubuhnya ke dalam selimut.
Sementara Alex duduk di sofa besar yang ada di sudut ruangan, berseberangan dengan ranjang. Dia menyalakan rokoknya dan hanya diam sambil memandangi Elena yang tidur di ranjang.
Merasa tidak nyaman diperhatikan saat tidur, Elena tiba-tiba bangkit. Dia duduk di atas ranjang, dengan nafas memburu. Hatinya benar-benar merasakan ketegangan, yang dia sendiri tidak mengerti penjelasannya. Berada satu ruangan dengan pria asing yang baru ditemuinya adalah suatu hal yang mengerikan.
“Aku ada satu pertanyaan,” tukas Elena.
“Katakan,” Alex terus menyesap rokoknya.
Elena mencoba menyusun kalimat yang mudah diucapkan. “Seorang wanita asing menyerangku tadi. Sebelum kamu datang,” terang Elena. “Siapa dia?”
Mendengar pertanyaan Elena, Alex mendadak kaku. Semula tubuhnya rileks, kini lebih tegang dengan mata seakan tak berkedip memandang Elena di seberangnya.
“Apa maksudmu?” Alex justru balik bertanya.
“Seseorang menyerangku. Seorang wanita, menyerangku di dalam kamar ini,” Elena mencoba bicara lebih pelan.
“Apa yang dia ucapkan padamu?” Alex sepertinya tertarik dengan cerita Elena. Kini dia bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Elena.
Jantung Elena berdebar ketika Alex mendekat lantas melepas kemejanya yang sudah tak berkancing sejak tadi.
“Dia … dia … “ Elena mendadak tak bisa bicara.
Alex tiba-tiba naik ke ranjang, mendorong tubuh Elena. Kini dia sepenuhnya ada di atas tubuh Elena yang tak berdaya. Tanpa disadari Elena, Alex sudah menggerakkan lidahnya menelusuri leher Elena. Wanita itu tentu tidak siap, namun tubuhnya terasa melayang.
“Kuperingatkan sekali lagi, Elena Morgan. Jangan mencari tahu apapun, dan cukup menjadi seorang istri yang patuh. Mengerti?” bisik Alex tepat di telinga kanan Elena membuat tubuhnya gemetar seketika.
Untungnya, tidak ada yang terjadi semalam. Meski Elena sempat tegang ketika Alex menindih tubuhnya, namun hanya itu. Setelah berhasil mengancam Elena hingga wanita itu tidak bisa berkata tidak, Alex mundur. Dia pergi begitu saja, sempat menyesap rokoknya dalam-dalam. Bahkan sekedar menatap ke arah Elena saja tidak.Elena mencoba melupakan kekesalannya sendiri. Kekesalan yang membuat dirinya malu. Kenapa dia harus mengharap lebih, padahal baru kemarin dia bertemu Alex. Apa karena Alex tampan? Elena cepat-cepat menggeleng, mencoba untuk menyadarkan diri.“Nyonya Elena?” sapa Vero, ketika Elena turun ke bawah menuju ruang makan. “Selamat pagi,”Elena balas tersenyum. Matanya berkeliling mengamati ruangan besar itu. Sebuah meja makan panjang dari marmer hitam berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi-kursi berlapis kulit dengan detail ukiran emas di sandarannya. Jendela-jendela besar dengan tirai beludru merah marun yang berat membuat cahaya matahari masuk tanpa cela pagi ini, me
“Maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan.”Melihat ekspresi di wajahnya, Elena tahu pria itu berbohong. Meski usianya baru 24 tahun, ia tidaklah bodoh. “Apakah sesuatu terjadi, Nyonya Elena?” David ragu bertanya. Tapi dia cukup penasaran.Elena menggeleng cepat. Baru hari kedua, tapi Elena merasakan trust issue berada di dalam mansion Blackwood. Tidak ada seorang pun yang bisa dipercaya. Tidak mungkin wanita aneh itu bisa masuk ke dalam balkon jika tidak dibantu seseorang.“Kalau begitu, mari saya antar untuk melihat mobil Anda,”Elena dan David berjalan depan belakang menuju garasi besar mansion itu. Tanpa ada yang bicara. Elena terus fokus pada siapa sebenarnya wanita aneh yang menyerangnya malam itu.Setelah David memberi sedikit petunjuk pada Elena tentang mobil Maserati-nya, Elena merasakan perbedaan yang begitu signifikan dari mobil lamanya yang sudah usang. Tentu, Elena senang. Namun satu sisi hatinya tetap mencoba memperingatkan Elena agar waspada. Mobil ini ad
Terus begitu....Alex tidak melepaskannya dan terus melakukan pelepasan.Entah berapa kali.Yang jelas, Elena merasakan tubuhnya kedinginan dan hanya tertutupi selimut sutra marun di pagi hari. Pria itu sudah tidak ada di sampingnya, padahal waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi. Elena terlalu lelah untuk bisa menyadari kepergian Alex, karena semalam pria dingin itu menyerangnya tanpa ampun. Elena segera bangun, kemudian menyadari tubuh bagian bawahnya nyeri. Untuk seseorang yang baru pertama kali mengalaminya, semalam benar-benar jauh dari kata romantis. Elena menghubungi pelayan melalui intercom agar disiapkan sarapan dan segelas teh bunga krisan hangat. Setelah selesai bersiap, Elena menuruni satu-persatu anak tangga secara perlahan karena kakinya terasa lemas. Namun dia harus tetap bekerja, juga menemui ibunya untuk membahas hal yang tak sengaja dia dengar kemarin. Ketika Elena sudah sampai di ruang makan, dia sempat tertegun sejenak saat melihat seorang anak kecil perempuan ber
Setelah berbincang beberapa lama dengan ibunya, Elena memutuskan untuk kembali ke ruangannya sendiri. Dalam perjalanan, dia tak henti mengumpati dirinya sendiri. Merasa bodoh karena tidak pernah terpikirkan untuk mencari identitas Alex di internet. Seorang CEO Blackwood Industries pasti cukup banyak diperbincangkan dan pernikahan Alex sebelumnya.Elena duduk di kursi ruangannya, dengan jari-jari gemetar saat melayang di atas keyboard laptopnya. Ruang CEO milik ayahnya yang kecil dan sederhana tampak lebih sunyi daripada biasanya, seolah menyerap setiap suara yang muncul. Di luar, suara hiruk-pikuk kantor terdengar samar, tetapi di dalam ruangan ini, hanya ada ketegangan yang menggantung di udara.Dia menatap layar laptop, menimbang apakah dia benar-benar ingin tahu masa lalu Alex. Mengetahui bahwa Alex adalah seorang duda dengan seorang anak berusia tujuh tahun sudah cukup mengejutkannya. Namun, ada sesuatu yang lebih mengganggu Elena—rasa penasaran tentang pernikahan Alexander sebelu
Alex selalu bisa mengintimidasi Elena di saat-saat genting. Elena sudah siap membuka mulut untuk membantah perintah Alex, tapi pria itu sudah menaiki anak tangga satu-persatu dengan langkah yang tegap meski pelan. Elena bisa melihat punggung Alex yang lebar dan kekar. Sial! Umpat Elena dalam hati.“Nyonya Elena?” panggil Vero, mendekati Elena yang masih diam sambil menggigit bibir geram. “Apa saya perlu menyiapkan sesuatu?” Sepertinya kepala pelayan itu mendengar perintah Alex pada Elena.Elena menggeleng cepat. Tanpa bilang apapun pada Vero, dia melangkah. Selama Latham belum stabil, Elena akan mencoba untuk menahan diri. Posisinya tidak diuntungkan jika dia berani melawan Alex sekarang.Sesampainya di kamar pengantin, Elena menoleh ke berbagai sudut kamar besar itu untuk mencari sosok Alex. Bahkan di sofa besar—tempat biasa Alex merokok pun juga tidak ada.“Sepertinya kamu tidak membaca peraturanku dengan teliti,” ucap Alex.Dia berdiri di dekat jendela besar kamar itu, seperti baru
“Ada apa ini?” Elena terpaksa keluar dari kamar karena mendengar keributan.Adrian langsung melongok dengan mulut melebar senang saat melihat Elena. Bukan berarti dia pernah bertemu dengan Elena.“Dia lebih muda dariku, eh? Pantas saja kamu tidak ingin melewatkan kesempatan, Alex,” seloroh Adrian.Alex melepas cengkeramannya pada kerah Adrian. Dia mendorong keras adiknya itu. “Pergi!”Adrian membenarkan kerahnya dengan tatapan tak lepas dari Elena. Dia tidak peduli meski Alex menyuruhnya untuk pergi. Adrian justru maju, mengulurkan tangannya pada Elena.“Aku Adrian Blackwood,” ucap Adrian antusias.Elena memandang uluran tangan itu. Dia benci harus mengenal orang baru yang begitu banyak dalam waktu singkat. Kenapa banyak sekali penghuni mansion ini? Jerit Elena dalam hati.“Elena Morgan,” balas Elena, terpaksa membalas uluran tangan Adrian.“Oh, Morgan? Kamu istri sah Alex, jadi kurasa namamu berubah menjadi Blackwood sekarang,”“Aku belum terbiasa dengan nama itu,” Elena tersenyum si
Mobil mewah yang membawa Alexander dan Elena meluncur perlahan menuju sebuah gedung megah yang dipenuhi dengan cahaya gemerlap. Tempat itu adalah salah satu lokasi paling prestisius di Riverton, sering digunakan untuk acara-acara penting yang dihadiri oleh para konglomerat dan elit sosial. Di luar, karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke jalan, dihiasi dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan.David menghentikan mobil di depan pintu masuk utama, di mana para tamu sudah berkumpul untuk menunggu giliran masuk. Begitu mobil berhenti, seorang pelayan dengan cekatan membuka pintu. Alex yang keluar lebih dulu, berdiri tegap dengan aura penuh intimidasi sebagai CEO Blackwood Industries. Dia kemudian mengulurkan tangannya, menunggu Elena untuk keluar.Elena keluar dari mobil dengan anggun, gaun merahnya yang panjang berkilauan bagai air. Seketika mata para tamu yang menunggu di sekitar pintu masuk tertuju padanya, mengagumi keanggunan dan kecantikannya. Bisikan-bisikan mulai terd
“Nyonya Elena?” panggil Vero, sudah ada di belakang punggung Elena.Elena sampai terperanjat karena tidak menyadari kehadiran Vero. Dia menoleh, sedikit gagap.“Sopir bilang, mobil Anda sudah siap,” Vero melanjutkan. Dengan sedikit rasa bersalah, karena sudah membuat Elena terkejut.“Dimana Alex?”“Tuan—” Vero berhenti bicara. “Anda tentu tahu, Tuan Alex sudah pergi sejak tadi pagi,”“Kenapa dia selalu menghindariku di pagi hari?” Ucapan Elena begitu kesal. Sejak mereka menikah, Elena memang tidak pernah bertemu Alex di pagi hari.“Maafkan saya, Nyonya,” sesal Vero. Meski dia tentu tidak salah.Elena tidak ingin membiarkan kekesalannya, merusak mood di pagi hari. Dia harus bekerja, demi kemajuan Latham Holdings. Maka dia pun bergegas pergi, untuk mengambil mobil Maserati pemberian Alex yang sudah disiapkan di halaman depan mansion besar itu.***Pikiran Elena tetap penuh kecemasan sepanjang hari. Surat dari Tabitha yang telah dia sembunyikan di dalam laci meja kerja terus membayang di
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi