Sashi membuka kelopak mata ketika merasakan hangat sinar matahari yang mulai menembus kaca jendela. Dia melihat matahari sudah menyinari jendela hingga menembus gorden yang terpasang di sana.Hingga Sashi melihat telapak tangan besar di hadapannya, menyadari tangan siapa yang menyelinap di bawah lehernya, hingga kini menopang kepalanya.Sashi pun perlahan menggeser posisi berbaring, lantas menghadap ke Nanda yang masih memejamkan mata. Dia ingat semalam pria itu terjaga, memastikannya tidur dengan nyenyak sebelum ikut masuk ke alam mimpi.“Dia tak menyebalkan saat tidur,” gumam Sashi dalam hati.Meski dalam kondisi memejamkan mata, semalam Sashi bisa merasakan jemari besar pria itu mengusap keningnya berulang kali, membuatnya nyaman hingga bisa tidur dengan nyenyak setelah menangis cukup lama.Tersadar jika sejenak mengagumi pria di hadapannya itu. Sashi pun akhirnya memilih untuk bangun membersihkan diri. Hari ini dia harus mulai bekerja lagi setelah ambil cuti menikah.“Bagaimana in
“Jauhi Sashi, jangan terlalu dekat dengannya. Bicaralah sewajarnya itu pun harus ada orang lain di antara kalian, jangan pernah menemuinya hanya berdua.” Kalimat ultimatum itu langsung terlontar dari bibir Nanda, saat menemui Bumi di kafe milik orang tua pemuda itu. Bumi sangat terkejut mendengar ucapan Nanda. Dia awalnya penasaran kenapa Nanda menemuinya, kini tak percaya karena pria itu meminta dia menjauhi Sashi. “Apa maksudmu? Kamu datang sebagai orang baru, lalu sekarang mengatur apa yang ingin kulakukan?” Bumi tersenyum mencibir ke Nanda. Nanda bersikap tenang meski Bumi memperlihatkan tatapan tak senang kepadanya. “Aku suaminya. Aku memiliki hak lebih darimu yang hanya sebagai saudaranya. Aku berhak mengatur siapa yang boleh dan tidak ditemui oleh istriku. Aku memintamu menjaga jarak demi nama baiknya sebagai menantu keluarga Mahendra.” Nanda bicara dengan suara begitu tegas, membawa-bawa nama keluarga sebagai alasan semata. Bumi membuang napas menggunakan mulut mendengar
“Kamu menemui Bumi?” Sashi langsung melontarkan pertanyaan ketika baru saja sampai rumah. Dia melihat Nanda yang duduk di ruang keluarga dengan laptop di pangkuan. Nanda melepas kacamata baca yang dikenakan, lantas memandang Sashi yang berdiri di sampingnya. “Tidak terima?” Nanda langsung menatap tidak senang mendengar Sashi menanyakan hal itu. Dia menebak jika Bumi pasti mengadu. Sashi tak langsung menjawab. Dia pun memilih duduk di single sofa yang ada di sebelah Nanda. “Tidak juga, aku malah berterima kasih kamu sudah menemuinya dulu,” ujar Sashi sambil menyandarkan punggung. Nanda menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Sashi. Dia awalnya berpikir jika Sashi akan marah karena dirinya ikut campur dalam urusan dengan Bumi, tapi siapa sangka reaksi Sashi di luar ekspektasi Nanda. Sashi menoleh Nanda, lantas tersenyum ke pria itu. “Aku sebenarnya sedang bingung cara menyampaikan keinginanku ke Bumi, masih memikirkan cara bicara agar tak menyakiti. Tapi tadi dia menemuiku da
“Apa?” tanya Sashi sedikit panik mendengar ucapan Nanda.Sashi sampai menengok ke kanan dan kiri untuk mengecek apakah ada yang aneh. Dia sempat panik mengira Nanda melihat isi kamarnya, tapi ternyata baru menyadari kamarnya sudah tertutup rapat.“Di bawah dagumu, apa itu? Kamu habis ngapain?” tanya Nanda menunjuk dagu Sashi.Sashi buru-buru mengeluarkan ponsel, lantas bercermin di layar benda pipih itu hingga melihat warna navy di sana. Bola mata Sashi membulat sempurna mendengar ucapan Nanda, hingga otak cerdasnya pun langsung membuat alasan.“Oh ini, sepertinya terkena stabilo saat menandai beberapa laporan,” jawab Sashi sekenanya.“Stabilo? Warna navy?” Nanda mengerutkan alis merasa aneh.“Iya, aku memang suka warna itu.” Sashi mencoba meyakinkan Nanda agar tidak curiga.Nanda pun percaya, hingga kemudian mengajak Sashi untuk makan malam.“Aman,” gumam sashi sambil mengurut dada, lantas mengikuti Nanda.Nanda dan Sashi makan dengan tenang penuh khidmat. Tidak ada pembicaraan di an
“Ada Runa di bawah, kamu tidak mau menemuinya?” Anta masuk ke kamar putranya, memanggil Bumi yang sudah setengah hari hanya berada di kamar. “Aku sedang malas.” Bumi memilih menarik selimut untuk menutupi kepalanya. Anta mengerutkan alis mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian mendekat ke ranjang putranya itu. “Kamu sakit?” tanya Anta yang cemas. Dia ingin mengulurkan tangan untuk mengecek suhu tubuh putranya, tapi terhenti karena jawaban Bumi. “Tidak sakit, hanya sedang malas,” jawab Bumi dari balik selimut. Anta keheranan dengan sikap Bumi yang tak seperti biasanya. Dia pun akhirnya memilih keluar dari kamar untuk menemui Aruna. “Dia sedang sibuk, Paman?” tanya Aruna ketika melihat Anta datang. “Tidak juga,” jawab Anta, “seharian ini dia hanya di kamar. Entah tadi ke mana, tapi tiba-tiba mengurung diri di kamar. Tidak sakit, tapi katanya hanya sedang malas,” jawab Anta kemudian. “Pergi? Ke mana?” tanya Aruna yang penasaran. “Entah. Dia hanya bilang keluar sebentar, lalu saat
“Kamu benar-benar ada acara penting? Tidak masalah jika ingin ganti shift denganku.” “Kapan kamu kembali?” Sashi terlihat senang melihat rekan kerjanya itu sudah kembali dari study yang diadakan rumah sakit di luar negeri. Sebenarnya tidak bisa dibilang rekan kerja juga, karena pria itu termasuk senior Sashi. Pria itu tersenyum kecil sambil mendekat ke Sashi, hingga kemudian menjawab, “Sudah pulang sejak dua hari lalu, tapi baru masuk kerja hari ini.” Pria bernama Zidan itu berdiri tepat di depan Sashi. “Kamu yakin mau menukar shift denganku? Tidak masalahkah?” tanya Sashi memastikan. Zidan memulas senyum, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Tidak apa jika kamu memang butuh bertukar. Aku tak masalah,” jawab dokter berumur 30 tahun itu. Sashi sangat lega, hingga kemudian berterima kasih. “Untung kamu mau bertukar, kalau tidak ada yang mau bertukar shift sepertinya aku harus menggagalkan acara itu,” ujar Sashi. Sashi dan Zidan berjalan menuju ke ruang khusu dokter. “Memang
Nanda tidak fokus bekerja akibat memikirkan pembicaraannya dengan Lukas. Dia membuka laci yang ada di meja, lantas mengeluarkan sebuah stopmap dan membaca berkas di dalamnya yang bertuliskan ‘Surat Perjanjian Kontrak Nikah’. “SEA. Sashi Eldar Abimand.” Nanda membaca berulang nama lengkap istrinya itu. Jika diambil setiap huruf depannya, maka akan menjadi gabungan SEA. “Tapi tidak mungkin, bisa saja ini kebetulan,” gumam Nanda masih mengelak dari pemikiran yang berputar di kepala. Nanda terus berpikir, hingga kemudian mengingat dengan seksama wajah Sashi, sampai akhirnya mengingat istrinya yang menghabiskan waktu di ruang pribadi. “Tunggu! Apa mungkin warna di dagunya adalah cat?” Nanda menerka-nerka sendiri. Semua tak masuk akal baginya, mana mungkin istrinya pelukis yang dicari, gadis kecil yang dulu ditemuinya. Saat Nanda sedang larut dalam pikiran karena menebak serta membandingkan istrinya dengan SEA, sebuah panggilan masuk hingga membuat fokus pria itu beralih ke ponsel.
Nanda duduk di belakang stir, diam cukup lama hingga kemudian membuang napas dengan mulut, lantas tersenyum tak percaya sambil menggelengkan kepala pelan.“Ini gila.”Nanda masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia kembali berpikir, hingga kemudian memilih melajukan mobil meninggalkan halaman parkir sekolah.Dia terus mencoba untuk tak memercayai apa yang baru saja dilihatnya, tapi semua itu fakta. Hingga dia mencoba mencari tahu lagi untuk bisa memastikan agar dirinya tak salah.“Apa yang membawamu ke sini?” Langit langsung mempersilakan menantunya itu duduk.Nanda pergi menemui Langit di perusahaannya. Dia harus memastikan langsung serta tak salah.“Tidak apa, Pa. Hanya kebetulan sedang lewat sambil ingin menanyakan sesuatu,” ujar Nanda.Langit mengerutkan alis, lantas memilih duduk dulu bersama menantunya.“Kamu ingin bertanya apa?” tanya Langit.“Sebenarnya bukan hal penting, Pa. Aku sebenarnya masih tidak percaya, di sela kesibukannya ternyata Sashi pandai melukis bahkan
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang