“Apa?” tanya Sashi sedikit panik mendengar ucapan Nanda.Sashi sampai menengok ke kanan dan kiri untuk mengecek apakah ada yang aneh. Dia sempat panik mengira Nanda melihat isi kamarnya, tapi ternyata baru menyadari kamarnya sudah tertutup rapat.“Di bawah dagumu, apa itu? Kamu habis ngapain?” tanya Nanda menunjuk dagu Sashi.Sashi buru-buru mengeluarkan ponsel, lantas bercermin di layar benda pipih itu hingga melihat warna navy di sana. Bola mata Sashi membulat sempurna mendengar ucapan Nanda, hingga otak cerdasnya pun langsung membuat alasan.“Oh ini, sepertinya terkena stabilo saat menandai beberapa laporan,” jawab Sashi sekenanya.“Stabilo? Warna navy?” Nanda mengerutkan alis merasa aneh.“Iya, aku memang suka warna itu.” Sashi mencoba meyakinkan Nanda agar tidak curiga.Nanda pun percaya, hingga kemudian mengajak Sashi untuk makan malam.“Aman,” gumam sashi sambil mengurut dada, lantas mengikuti Nanda.Nanda dan Sashi makan dengan tenang penuh khidmat. Tidak ada pembicaraan di an
“Ada Runa di bawah, kamu tidak mau menemuinya?” Anta masuk ke kamar putranya, memanggil Bumi yang sudah setengah hari hanya berada di kamar. “Aku sedang malas.” Bumi memilih menarik selimut untuk menutupi kepalanya. Anta mengerutkan alis mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian mendekat ke ranjang putranya itu. “Kamu sakit?” tanya Anta yang cemas. Dia ingin mengulurkan tangan untuk mengecek suhu tubuh putranya, tapi terhenti karena jawaban Bumi. “Tidak sakit, hanya sedang malas,” jawab Bumi dari balik selimut. Anta keheranan dengan sikap Bumi yang tak seperti biasanya. Dia pun akhirnya memilih keluar dari kamar untuk menemui Aruna. “Dia sedang sibuk, Paman?” tanya Aruna ketika melihat Anta datang. “Tidak juga,” jawab Anta, “seharian ini dia hanya di kamar. Entah tadi ke mana, tapi tiba-tiba mengurung diri di kamar. Tidak sakit, tapi katanya hanya sedang malas,” jawab Anta kemudian. “Pergi? Ke mana?” tanya Aruna yang penasaran. “Entah. Dia hanya bilang keluar sebentar, lalu saat
“Kamu benar-benar ada acara penting? Tidak masalah jika ingin ganti shift denganku.” “Kapan kamu kembali?” Sashi terlihat senang melihat rekan kerjanya itu sudah kembali dari study yang diadakan rumah sakit di luar negeri. Sebenarnya tidak bisa dibilang rekan kerja juga, karena pria itu termasuk senior Sashi. Pria itu tersenyum kecil sambil mendekat ke Sashi, hingga kemudian menjawab, “Sudah pulang sejak dua hari lalu, tapi baru masuk kerja hari ini.” Pria bernama Zidan itu berdiri tepat di depan Sashi. “Kamu yakin mau menukar shift denganku? Tidak masalahkah?” tanya Sashi memastikan. Zidan memulas senyum, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Tidak apa jika kamu memang butuh bertukar. Aku tak masalah,” jawab dokter berumur 30 tahun itu. Sashi sangat lega, hingga kemudian berterima kasih. “Untung kamu mau bertukar, kalau tidak ada yang mau bertukar shift sepertinya aku harus menggagalkan acara itu,” ujar Sashi. Sashi dan Zidan berjalan menuju ke ruang khusu dokter. “Memang
Nanda tidak fokus bekerja akibat memikirkan pembicaraannya dengan Lukas. Dia membuka laci yang ada di meja, lantas mengeluarkan sebuah stopmap dan membaca berkas di dalamnya yang bertuliskan ‘Surat Perjanjian Kontrak Nikah’. “SEA. Sashi Eldar Abimand.” Nanda membaca berulang nama lengkap istrinya itu. Jika diambil setiap huruf depannya, maka akan menjadi gabungan SEA. “Tapi tidak mungkin, bisa saja ini kebetulan,” gumam Nanda masih mengelak dari pemikiran yang berputar di kepala. Nanda terus berpikir, hingga kemudian mengingat dengan seksama wajah Sashi, sampai akhirnya mengingat istrinya yang menghabiskan waktu di ruang pribadi. “Tunggu! Apa mungkin warna di dagunya adalah cat?” Nanda menerka-nerka sendiri. Semua tak masuk akal baginya, mana mungkin istrinya pelukis yang dicari, gadis kecil yang dulu ditemuinya. Saat Nanda sedang larut dalam pikiran karena menebak serta membandingkan istrinya dengan SEA, sebuah panggilan masuk hingga membuat fokus pria itu beralih ke ponsel.
Nanda duduk di belakang stir, diam cukup lama hingga kemudian membuang napas dengan mulut, lantas tersenyum tak percaya sambil menggelengkan kepala pelan.“Ini gila.”Nanda masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia kembali berpikir, hingga kemudian memilih melajukan mobil meninggalkan halaman parkir sekolah.Dia terus mencoba untuk tak memercayai apa yang baru saja dilihatnya, tapi semua itu fakta. Hingga dia mencoba mencari tahu lagi untuk bisa memastikan agar dirinya tak salah.“Apa yang membawamu ke sini?” Langit langsung mempersilakan menantunya itu duduk.Nanda pergi menemui Langit di perusahaannya. Dia harus memastikan langsung serta tak salah.“Tidak apa, Pa. Hanya kebetulan sedang lewat sambil ingin menanyakan sesuatu,” ujar Nanda.Langit mengerutkan alis, lantas memilih duduk dulu bersama menantunya.“Kamu ingin bertanya apa?” tanya Langit.“Sebenarnya bukan hal penting, Pa. Aku sebenarnya masih tidak percaya, di sela kesibukannya ternyata Sashi pandai melukis bahkan
“Kenapa wajahmu kusut?”Bumi menoleh temannya yang datang ke kafe untuk membahas skripsi yang sedang dikerjakan keduanya.“Entah, aku sedang tak bisa berpikir.” Bumi meletakkan pulpen yang sejak tadi dipegangnya.Ansel—sahabat Bumi yang beda satu tahun, mengerutkan alis melihat Bumi yang tak bersemangat.“Tidak bisa berpikir terus, lama-lama kamu tidak akan bisa menyelesaikan ini. Mau jadi mahasiswa abadi?” Ansel meledek Bumi.Bumi mencebik mendengar ledekan Ansel, hingga kemudian membalas, “Aku sebenarnya sedang banyak beban. Entah, aku bingung dengan yang terjadi.”“Memangnya kamu melakukan apa?” tanya Ansel dengan dahi berkerut halus.Bumi menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan, sebelum akhirnya menjawab, “Hubunganku dengan Sashi memburuk setelah dia menikah. Lalu tiba-tiba saja Runa mengatakan sesuatu yang membuatku pusing.”Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian bertanya, “Sashi kakak sepupumu itu? Memangnya memburuk kenapa?”Ansel t
Nanda melajukan mobil menuju rumah sakit yang memang tak terlalu jauh dari perusahaannya. Jalanan yang tak terlalu ramai membuat Nanda bisa mencapai rumah sakit lebih cepat. Mobil yang dikemudikan memasuki pintu masuk rumah sakit, hingga Nanda secara tiba-tiba mengurangi kecepatan, saat melihat apa yang ada tak jauh dari pandangan matanya. Nanda melihat Sashi yang berdiri cukup merapat ke pria yang tak dikenalnya, bahkan pria itu terlihat begitu perhatian ke Sashi. Membuang muka seolah tak ingin melihat, Nanda akhirnya memilih melajukan mobil menuju teras lobi. Dia melihat Sasih yang menggelengkan kepala, bahkan tersenyum ke pria yang ada di hadapannya. Nanda menekan klakson ketika sudah berhenti di dekat Sashi. Sashi dan Zidan terkejut, keduanya menoleh bersamaan dan melihat mobil Nanda. “Itu suamiku, aku pergi dulu,” kata Sashi pamit ke Zidan. Zidan tersenyum sambil mengangguk, hingga memandang Sashi yang berjalan ke mobil, sebelum akhirnya masuk. Nanda sendiri sejak tadi ter
“Tekanan darahnya agak tinggi, Ma. Soal mualnya, apa Mama punya riwayat asam lambung?” tanya Sashi setelah mengecek tekanan darah Rihana.Sashi selalu membawa stestokop dan alat pengukur tekanan darah di tasnya untuk berjaga-jaga jika suatu saat dibutuhkan. Sebagai seorang dokter, dia memang harus selalu siap sedia.“Ah … ya, mama punya asam lambung. Mungkin karena akhir-akhir ini mama suka makan terlambat, jadinya kambuh,” ucap Rihana menjawab pertanyaan Sashi lantas melirik Nanda.Nanda mengulum senyum, tidak menyangka sang mama bisa berakting juga.“Apa mualnya masih? Aku buatkan jahe jika memang masih tidak nyaman,” ujar Sashi sambil melepas alat pengukur tekanan darah dari lengan Rihana.“Boleh juga, sepertinya itu enak.”Sashi tersenyum lebar, hingga kemudian pamit ke dapur setelah mengemas alatnya lagi.Nanda duduk di samping Rihana setelah Sashi pergi, hingga mendapatkan tarikan telinga dari sang mama.“Ma!” pekik Nanda meski tidak terlalu keras.Rihana melepas jarinya dari t