Nanda tidak fokus bekerja akibat memikirkan pembicaraannya dengan Lukas. Dia membuka laci yang ada di meja, lantas mengeluarkan sebuah stopmap dan membaca berkas di dalamnya yang bertuliskan ‘Surat Perjanjian Kontrak Nikah’. “SEA. Sashi Eldar Abimand.” Nanda membaca berulang nama lengkap istrinya itu. Jika diambil setiap huruf depannya, maka akan menjadi gabungan SEA. “Tapi tidak mungkin, bisa saja ini kebetulan,” gumam Nanda masih mengelak dari pemikiran yang berputar di kepala. Nanda terus berpikir, hingga kemudian mengingat dengan seksama wajah Sashi, sampai akhirnya mengingat istrinya yang menghabiskan waktu di ruang pribadi. “Tunggu! Apa mungkin warna di dagunya adalah cat?” Nanda menerka-nerka sendiri. Semua tak masuk akal baginya, mana mungkin istrinya pelukis yang dicari, gadis kecil yang dulu ditemuinya. Saat Nanda sedang larut dalam pikiran karena menebak serta membandingkan istrinya dengan SEA, sebuah panggilan masuk hingga membuat fokus pria itu beralih ke ponsel.
Nanda duduk di belakang stir, diam cukup lama hingga kemudian membuang napas dengan mulut, lantas tersenyum tak percaya sambil menggelengkan kepala pelan.“Ini gila.”Nanda masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia kembali berpikir, hingga kemudian memilih melajukan mobil meninggalkan halaman parkir sekolah.Dia terus mencoba untuk tak memercayai apa yang baru saja dilihatnya, tapi semua itu fakta. Hingga dia mencoba mencari tahu lagi untuk bisa memastikan agar dirinya tak salah.“Apa yang membawamu ke sini?” Langit langsung mempersilakan menantunya itu duduk.Nanda pergi menemui Langit di perusahaannya. Dia harus memastikan langsung serta tak salah.“Tidak apa, Pa. Hanya kebetulan sedang lewat sambil ingin menanyakan sesuatu,” ujar Nanda.Langit mengerutkan alis, lantas memilih duduk dulu bersama menantunya.“Kamu ingin bertanya apa?” tanya Langit.“Sebenarnya bukan hal penting, Pa. Aku sebenarnya masih tidak percaya, di sela kesibukannya ternyata Sashi pandai melukis bahkan
“Kenapa wajahmu kusut?”Bumi menoleh temannya yang datang ke kafe untuk membahas skripsi yang sedang dikerjakan keduanya.“Entah, aku sedang tak bisa berpikir.” Bumi meletakkan pulpen yang sejak tadi dipegangnya.Ansel—sahabat Bumi yang beda satu tahun, mengerutkan alis melihat Bumi yang tak bersemangat.“Tidak bisa berpikir terus, lama-lama kamu tidak akan bisa menyelesaikan ini. Mau jadi mahasiswa abadi?” Ansel meledek Bumi.Bumi mencebik mendengar ledekan Ansel, hingga kemudian membalas, “Aku sebenarnya sedang banyak beban. Entah, aku bingung dengan yang terjadi.”“Memangnya kamu melakukan apa?” tanya Ansel dengan dahi berkerut halus.Bumi menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan, sebelum akhirnya menjawab, “Hubunganku dengan Sashi memburuk setelah dia menikah. Lalu tiba-tiba saja Runa mengatakan sesuatu yang membuatku pusing.”Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian bertanya, “Sashi kakak sepupumu itu? Memangnya memburuk kenapa?”Ansel t
Nanda melajukan mobil menuju rumah sakit yang memang tak terlalu jauh dari perusahaannya. Jalanan yang tak terlalu ramai membuat Nanda bisa mencapai rumah sakit lebih cepat. Mobil yang dikemudikan memasuki pintu masuk rumah sakit, hingga Nanda secara tiba-tiba mengurangi kecepatan, saat melihat apa yang ada tak jauh dari pandangan matanya. Nanda melihat Sashi yang berdiri cukup merapat ke pria yang tak dikenalnya, bahkan pria itu terlihat begitu perhatian ke Sashi. Membuang muka seolah tak ingin melihat, Nanda akhirnya memilih melajukan mobil menuju teras lobi. Dia melihat Sasih yang menggelengkan kepala, bahkan tersenyum ke pria yang ada di hadapannya. Nanda menekan klakson ketika sudah berhenti di dekat Sashi. Sashi dan Zidan terkejut, keduanya menoleh bersamaan dan melihat mobil Nanda. “Itu suamiku, aku pergi dulu,” kata Sashi pamit ke Zidan. Zidan tersenyum sambil mengangguk, hingga memandang Sashi yang berjalan ke mobil, sebelum akhirnya masuk. Nanda sendiri sejak tadi ter
“Tekanan darahnya agak tinggi, Ma. Soal mualnya, apa Mama punya riwayat asam lambung?” tanya Sashi setelah mengecek tekanan darah Rihana.Sashi selalu membawa stestokop dan alat pengukur tekanan darah di tasnya untuk berjaga-jaga jika suatu saat dibutuhkan. Sebagai seorang dokter, dia memang harus selalu siap sedia.“Ah … ya, mama punya asam lambung. Mungkin karena akhir-akhir ini mama suka makan terlambat, jadinya kambuh,” ucap Rihana menjawab pertanyaan Sashi lantas melirik Nanda.Nanda mengulum senyum, tidak menyangka sang mama bisa berakting juga.“Apa mualnya masih? Aku buatkan jahe jika memang masih tidak nyaman,” ujar Sashi sambil melepas alat pengukur tekanan darah dari lengan Rihana.“Boleh juga, sepertinya itu enak.”Sashi tersenyum lebar, hingga kemudian pamit ke dapur setelah mengemas alatnya lagi.Nanda duduk di samping Rihana setelah Sashi pergi, hingga mendapatkan tarikan telinga dari sang mama.“Ma!” pekik Nanda meski tidak terlalu keras.Rihana melepas jarinya dari t
Nanda berbaring miring menghadap Sashi. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi dia masih belum juga bisa memejamkan mata. “Kenapa aku tidak menyadarinya, sedangkan aku sudah melihat bola matamu yang berbeda sejak pertama kali.” Nanda bergumam memandang wajah Sashi. Istrinya itu sudah tertidur pulas sejak beberapa jam lalu, bahkan tidur dari membelakangi, sampai akhirnya berhadapan dengannya. Nanda mengulurkan tangan hendak menyentuh rambut Sashi yang berantakan hingga menutupi wajah, tapi urung hingga kembali menarik tangannya. Nanda memilih bangun. Dia hendak memastikan sesuatu lagi untuk meyakinkan apa yang mengganjal di hati. Menutup pintu kamar perlahan agar tidak mengganggu Sashi tidur, Nanda pun berjalan menuruni anak tangga. Dia pergi ke kamar pribadi milik Sashi. Meski sudah berjanji untuk tidak masuk ke kamar itu, tapi pada kenyataannya sekarang Nanda harus melakukannya, mengingkari janji yang diucap untuk memantapkan hatinya. Nanda membawa satu kunci cadangan ya
“Nanti sore aku jemput.”Sashi langsung menoleh begitu mendengar ucapan Nanda. Dia baru saja melepas seat belt dan mendengar suaminya berkata akan menjemputnya. Nanda mengantar Sashi ke rumah sakit karena mobilnya masih tertinggal di sana.“Kenapa dijemput? Mobilku masih di sini?” tanya Sashi dengan ekspresi wajah keheranan.Nanda menoleh Sashi yang sudah memandangnya, hingga kemudian menjawab, “Ya, tinggal saja lagi. Atau mungkin nanti biarkan orang rumah yang ambil.”Sashi menaikkan satu sudut alis mendengar jawaban Nanda. Pria itu benar-benar bersikap aneh sejak pagi, membuat Sashi merasa curiga.Bagaimana tidak, Nanda lumayan perhatian ke Sashi, bahkan hal kecil seperti mengambil lauk untuk Sashi pun dilakukan oleh Nanda.“Tidak usah, nanti aku bawa mobilnya pulang sendiri.” Sashi menolak lantas membuka pintu mobil. Namun, sebelum keluar, Sashi kembali menoleh ke Nanda.“Oh ya satu lagi,” ujar Sashi sambil memandang Nanda yang masih menatapnya.“Aku sudah memikirkan ini semalaman,
“Sudah mau pulang?”Sashi terkejut begitu mendengar suara Zidan saat dirinya baru saja keluar dari ruangannya. Dia menoleh dan langsung tersenyum ke pria itu.“Iya,” jawab Sashi sambil membetulkan letak tali tas di pundak.“Mau kuantar? Kulihat tadi kamu diantar suamimu,” ujar Zidan menawari.Sashi tampak terkejut mendengar tawaran Zidan, hingga ingat bagaimana Nanda kesal karena dirinya terlalu dekat dengan seniornya itu.“Tidak usah. Suamiku sudah dalam perjalanan ke sini,” ucap Sashi menolak tawaran Zidan.“Ah … begitu.” Zidan hanya bisa mengangguk-angguk.“Oh ya, apa besok kamu jadi bertukar shift denganku?” tanya Sashi memastikan karena takut Zidan berubah pikiran.“Tentu,” jawab Zidan dengan seulas senyum manis di wajah.Sashi begitu lega mendengar jawaban Zidan. Dia pun berterima kasih ke pria itu.“Aku pergi dulu.” Sashi pamit lebih dulu pergi meninggalkan Zidan.Zidan hanya diam tak bisa mencegah, memandang punggung Sashi yang berjalan menjauh darinya.Sashi sendiri bernapas