“Jauhi Sashi, jangan terlalu dekat dengannya. Bicaralah sewajarnya itu pun harus ada orang lain di antara kalian, jangan pernah menemuinya hanya berdua.” Kalimat ultimatum itu langsung terlontar dari bibir Nanda, saat menemui Bumi di kafe milik orang tua pemuda itu. Bumi sangat terkejut mendengar ucapan Nanda. Dia awalnya penasaran kenapa Nanda menemuinya, kini tak percaya karena pria itu meminta dia menjauhi Sashi. “Apa maksudmu? Kamu datang sebagai orang baru, lalu sekarang mengatur apa yang ingin kulakukan?” Bumi tersenyum mencibir ke Nanda. Nanda bersikap tenang meski Bumi memperlihatkan tatapan tak senang kepadanya. “Aku suaminya. Aku memiliki hak lebih darimu yang hanya sebagai saudaranya. Aku berhak mengatur siapa yang boleh dan tidak ditemui oleh istriku. Aku memintamu menjaga jarak demi nama baiknya sebagai menantu keluarga Mahendra.” Nanda bicara dengan suara begitu tegas, membawa-bawa nama keluarga sebagai alasan semata. Bumi membuang napas menggunakan mulut mendengar
“Kamu menemui Bumi?” Sashi langsung melontarkan pertanyaan ketika baru saja sampai rumah. Dia melihat Nanda yang duduk di ruang keluarga dengan laptop di pangkuan. Nanda melepas kacamata baca yang dikenakan, lantas memandang Sashi yang berdiri di sampingnya. “Tidak terima?” Nanda langsung menatap tidak senang mendengar Sashi menanyakan hal itu. Dia menebak jika Bumi pasti mengadu. Sashi tak langsung menjawab. Dia pun memilih duduk di single sofa yang ada di sebelah Nanda. “Tidak juga, aku malah berterima kasih kamu sudah menemuinya dulu,” ujar Sashi sambil menyandarkan punggung. Nanda menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Sashi. Dia awalnya berpikir jika Sashi akan marah karena dirinya ikut campur dalam urusan dengan Bumi, tapi siapa sangka reaksi Sashi di luar ekspektasi Nanda. Sashi menoleh Nanda, lantas tersenyum ke pria itu. “Aku sebenarnya sedang bingung cara menyampaikan keinginanku ke Bumi, masih memikirkan cara bicara agar tak menyakiti. Tapi tadi dia menemuiku da
“Apa?” tanya Sashi sedikit panik mendengar ucapan Nanda.Sashi sampai menengok ke kanan dan kiri untuk mengecek apakah ada yang aneh. Dia sempat panik mengira Nanda melihat isi kamarnya, tapi ternyata baru menyadari kamarnya sudah tertutup rapat.“Di bawah dagumu, apa itu? Kamu habis ngapain?” tanya Nanda menunjuk dagu Sashi.Sashi buru-buru mengeluarkan ponsel, lantas bercermin di layar benda pipih itu hingga melihat warna navy di sana. Bola mata Sashi membulat sempurna mendengar ucapan Nanda, hingga otak cerdasnya pun langsung membuat alasan.“Oh ini, sepertinya terkena stabilo saat menandai beberapa laporan,” jawab Sashi sekenanya.“Stabilo? Warna navy?” Nanda mengerutkan alis merasa aneh.“Iya, aku memang suka warna itu.” Sashi mencoba meyakinkan Nanda agar tidak curiga.Nanda pun percaya, hingga kemudian mengajak Sashi untuk makan malam.“Aman,” gumam sashi sambil mengurut dada, lantas mengikuti Nanda.Nanda dan Sashi makan dengan tenang penuh khidmat. Tidak ada pembicaraan di an
“Ada Runa di bawah, kamu tidak mau menemuinya?” Anta masuk ke kamar putranya, memanggil Bumi yang sudah setengah hari hanya berada di kamar. “Aku sedang malas.” Bumi memilih menarik selimut untuk menutupi kepalanya. Anta mengerutkan alis mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian mendekat ke ranjang putranya itu. “Kamu sakit?” tanya Anta yang cemas. Dia ingin mengulurkan tangan untuk mengecek suhu tubuh putranya, tapi terhenti karena jawaban Bumi. “Tidak sakit, hanya sedang malas,” jawab Bumi dari balik selimut. Anta keheranan dengan sikap Bumi yang tak seperti biasanya. Dia pun akhirnya memilih keluar dari kamar untuk menemui Aruna. “Dia sedang sibuk, Paman?” tanya Aruna ketika melihat Anta datang. “Tidak juga,” jawab Anta, “seharian ini dia hanya di kamar. Entah tadi ke mana, tapi tiba-tiba mengurung diri di kamar. Tidak sakit, tapi katanya hanya sedang malas,” jawab Anta kemudian. “Pergi? Ke mana?” tanya Aruna yang penasaran. “Entah. Dia hanya bilang keluar sebentar, lalu saat
“Kamu benar-benar ada acara penting? Tidak masalah jika ingin ganti shift denganku.” “Kapan kamu kembali?” Sashi terlihat senang melihat rekan kerjanya itu sudah kembali dari study yang diadakan rumah sakit di luar negeri. Sebenarnya tidak bisa dibilang rekan kerja juga, karena pria itu termasuk senior Sashi. Pria itu tersenyum kecil sambil mendekat ke Sashi, hingga kemudian menjawab, “Sudah pulang sejak dua hari lalu, tapi baru masuk kerja hari ini.” Pria bernama Zidan itu berdiri tepat di depan Sashi. “Kamu yakin mau menukar shift denganku? Tidak masalahkah?” tanya Sashi memastikan. Zidan memulas senyum, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Tidak apa jika kamu memang butuh bertukar. Aku tak masalah,” jawab dokter berumur 30 tahun itu. Sashi sangat lega, hingga kemudian berterima kasih. “Untung kamu mau bertukar, kalau tidak ada yang mau bertukar shift sepertinya aku harus menggagalkan acara itu,” ujar Sashi. Sashi dan Zidan berjalan menuju ke ruang khusu dokter. “Memang
Nanda tidak fokus bekerja akibat memikirkan pembicaraannya dengan Lukas. Dia membuka laci yang ada di meja, lantas mengeluarkan sebuah stopmap dan membaca berkas di dalamnya yang bertuliskan ‘Surat Perjanjian Kontrak Nikah’. “SEA. Sashi Eldar Abimand.” Nanda membaca berulang nama lengkap istrinya itu. Jika diambil setiap huruf depannya, maka akan menjadi gabungan SEA. “Tapi tidak mungkin, bisa saja ini kebetulan,” gumam Nanda masih mengelak dari pemikiran yang berputar di kepala. Nanda terus berpikir, hingga kemudian mengingat dengan seksama wajah Sashi, sampai akhirnya mengingat istrinya yang menghabiskan waktu di ruang pribadi. “Tunggu! Apa mungkin warna di dagunya adalah cat?” Nanda menerka-nerka sendiri. Semua tak masuk akal baginya, mana mungkin istrinya pelukis yang dicari, gadis kecil yang dulu ditemuinya. Saat Nanda sedang larut dalam pikiran karena menebak serta membandingkan istrinya dengan SEA, sebuah panggilan masuk hingga membuat fokus pria itu beralih ke ponsel.
Nanda duduk di belakang stir, diam cukup lama hingga kemudian membuang napas dengan mulut, lantas tersenyum tak percaya sambil menggelengkan kepala pelan.“Ini gila.”Nanda masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia kembali berpikir, hingga kemudian memilih melajukan mobil meninggalkan halaman parkir sekolah.Dia terus mencoba untuk tak memercayai apa yang baru saja dilihatnya, tapi semua itu fakta. Hingga dia mencoba mencari tahu lagi untuk bisa memastikan agar dirinya tak salah.“Apa yang membawamu ke sini?” Langit langsung mempersilakan menantunya itu duduk.Nanda pergi menemui Langit di perusahaannya. Dia harus memastikan langsung serta tak salah.“Tidak apa, Pa. Hanya kebetulan sedang lewat sambil ingin menanyakan sesuatu,” ujar Nanda.Langit mengerutkan alis, lantas memilih duduk dulu bersama menantunya.“Kamu ingin bertanya apa?” tanya Langit.“Sebenarnya bukan hal penting, Pa. Aku sebenarnya masih tidak percaya, di sela kesibukannya ternyata Sashi pandai melukis bahkan
“Kenapa wajahmu kusut?”Bumi menoleh temannya yang datang ke kafe untuk membahas skripsi yang sedang dikerjakan keduanya.“Entah, aku sedang tak bisa berpikir.” Bumi meletakkan pulpen yang sejak tadi dipegangnya.Ansel—sahabat Bumi yang beda satu tahun, mengerutkan alis melihat Bumi yang tak bersemangat.“Tidak bisa berpikir terus, lama-lama kamu tidak akan bisa menyelesaikan ini. Mau jadi mahasiswa abadi?” Ansel meledek Bumi.Bumi mencebik mendengar ledekan Ansel, hingga kemudian membalas, “Aku sebenarnya sedang banyak beban. Entah, aku bingung dengan yang terjadi.”“Memangnya kamu melakukan apa?” tanya Ansel dengan dahi berkerut halus.Bumi menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan, sebelum akhirnya menjawab, “Hubunganku dengan Sashi memburuk setelah dia menikah. Lalu tiba-tiba saja Runa mengatakan sesuatu yang membuatku pusing.”Ansel menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian bertanya, “Sashi kakak sepupumu itu? Memangnya memburuk kenapa?”Ansel t