Nanda berbaring memandang langit-langit kamar Sashi. Dia diam tanpa suara sebelum akhirnya menoleh dan melihat punggung Sashi.Nanda mendengar pembicaraan Sashi dan Aruna, saat istrinya itu keluar dari kamar Aruna, Sashi langsung pergi ke kamar tanpa menyapanya, bahkan berbaring di ranjang dengan posisi miring sejak tadi.“Kamu baik-baik saja?” tanya Nanda karena cemas Sashi tak bergerak sama sekali sejak tadi.Nanda menoleh ke Sashi karena tak mendapat jawaban dari istrinya itu. Dia melihat punggung Sashi tanpa berani menengok wajah sang istri.“Kamu butuh teman bicara?” tanya Nanda lagi. Dia tahu jika Sashi tak mungkin langsung tidur.Masih tak ada jawaban dari Sashi, hingga tiba-tiba Nanda melihat kedua pundak Sashi yang bergetar hebat. Tentu saja Nanda sangat terkejut melihat hal itu, dia pun langsung meraih pundak Sashi dan mencoba membalikkan wanita itu ke arahnya.Benar dugaannya, Sashi tidak tidur tapi menangis. Semua yang dikatakan Aruna sedikit keterlaluan, membuat siapa pun
Sashi membuka kelopak mata ketika merasakan hangat sinar matahari yang mulai menembus kaca jendela. Dia melihat matahari sudah menyinari jendela hingga menembus gorden yang terpasang di sana.Hingga Sashi melihat telapak tangan besar di hadapannya, menyadari tangan siapa yang menyelinap di bawah lehernya, hingga kini menopang kepalanya.Sashi pun perlahan menggeser posisi berbaring, lantas menghadap ke Nanda yang masih memejamkan mata. Dia ingat semalam pria itu terjaga, memastikannya tidur dengan nyenyak sebelum ikut masuk ke alam mimpi.“Dia tak menyebalkan saat tidur,” gumam Sashi dalam hati.Meski dalam kondisi memejamkan mata, semalam Sashi bisa merasakan jemari besar pria itu mengusap keningnya berulang kali, membuatnya nyaman hingga bisa tidur dengan nyenyak setelah menangis cukup lama.Tersadar jika sejenak mengagumi pria di hadapannya itu. Sashi pun akhirnya memilih untuk bangun membersihkan diri. Hari ini dia harus mulai bekerja lagi setelah ambil cuti menikah.“Bagaimana in
“Jauhi Sashi, jangan terlalu dekat dengannya. Bicaralah sewajarnya itu pun harus ada orang lain di antara kalian, jangan pernah menemuinya hanya berdua.” Kalimat ultimatum itu langsung terlontar dari bibir Nanda, saat menemui Bumi di kafe milik orang tua pemuda itu. Bumi sangat terkejut mendengar ucapan Nanda. Dia awalnya penasaran kenapa Nanda menemuinya, kini tak percaya karena pria itu meminta dia menjauhi Sashi. “Apa maksudmu? Kamu datang sebagai orang baru, lalu sekarang mengatur apa yang ingin kulakukan?” Bumi tersenyum mencibir ke Nanda. Nanda bersikap tenang meski Bumi memperlihatkan tatapan tak senang kepadanya. “Aku suaminya. Aku memiliki hak lebih darimu yang hanya sebagai saudaranya. Aku berhak mengatur siapa yang boleh dan tidak ditemui oleh istriku. Aku memintamu menjaga jarak demi nama baiknya sebagai menantu keluarga Mahendra.” Nanda bicara dengan suara begitu tegas, membawa-bawa nama keluarga sebagai alasan semata. Bumi membuang napas menggunakan mulut mendengar
“Kamu menemui Bumi?” Sashi langsung melontarkan pertanyaan ketika baru saja sampai rumah. Dia melihat Nanda yang duduk di ruang keluarga dengan laptop di pangkuan. Nanda melepas kacamata baca yang dikenakan, lantas memandang Sashi yang berdiri di sampingnya. “Tidak terima?” Nanda langsung menatap tidak senang mendengar Sashi menanyakan hal itu. Dia menebak jika Bumi pasti mengadu. Sashi tak langsung menjawab. Dia pun memilih duduk di single sofa yang ada di sebelah Nanda. “Tidak juga, aku malah berterima kasih kamu sudah menemuinya dulu,” ujar Sashi sambil menyandarkan punggung. Nanda menaikkan satu sudut alis mendengar ucapan Sashi. Dia awalnya berpikir jika Sashi akan marah karena dirinya ikut campur dalam urusan dengan Bumi, tapi siapa sangka reaksi Sashi di luar ekspektasi Nanda. Sashi menoleh Nanda, lantas tersenyum ke pria itu. “Aku sebenarnya sedang bingung cara menyampaikan keinginanku ke Bumi, masih memikirkan cara bicara agar tak menyakiti. Tapi tadi dia menemuiku da
“Apa?” tanya Sashi sedikit panik mendengar ucapan Nanda.Sashi sampai menengok ke kanan dan kiri untuk mengecek apakah ada yang aneh. Dia sempat panik mengira Nanda melihat isi kamarnya, tapi ternyata baru menyadari kamarnya sudah tertutup rapat.“Di bawah dagumu, apa itu? Kamu habis ngapain?” tanya Nanda menunjuk dagu Sashi.Sashi buru-buru mengeluarkan ponsel, lantas bercermin di layar benda pipih itu hingga melihat warna navy di sana. Bola mata Sashi membulat sempurna mendengar ucapan Nanda, hingga otak cerdasnya pun langsung membuat alasan.“Oh ini, sepertinya terkena stabilo saat menandai beberapa laporan,” jawab Sashi sekenanya.“Stabilo? Warna navy?” Nanda mengerutkan alis merasa aneh.“Iya, aku memang suka warna itu.” Sashi mencoba meyakinkan Nanda agar tidak curiga.Nanda pun percaya, hingga kemudian mengajak Sashi untuk makan malam.“Aman,” gumam sashi sambil mengurut dada, lantas mengikuti Nanda.Nanda dan Sashi makan dengan tenang penuh khidmat. Tidak ada pembicaraan di an
“Ada Runa di bawah, kamu tidak mau menemuinya?” Anta masuk ke kamar putranya, memanggil Bumi yang sudah setengah hari hanya berada di kamar. “Aku sedang malas.” Bumi memilih menarik selimut untuk menutupi kepalanya. Anta mengerutkan alis mendengar ucapan Bumi, hingga kemudian mendekat ke ranjang putranya itu. “Kamu sakit?” tanya Anta yang cemas. Dia ingin mengulurkan tangan untuk mengecek suhu tubuh putranya, tapi terhenti karena jawaban Bumi. “Tidak sakit, hanya sedang malas,” jawab Bumi dari balik selimut. Anta keheranan dengan sikap Bumi yang tak seperti biasanya. Dia pun akhirnya memilih keluar dari kamar untuk menemui Aruna. “Dia sedang sibuk, Paman?” tanya Aruna ketika melihat Anta datang. “Tidak juga,” jawab Anta, “seharian ini dia hanya di kamar. Entah tadi ke mana, tapi tiba-tiba mengurung diri di kamar. Tidak sakit, tapi katanya hanya sedang malas,” jawab Anta kemudian. “Pergi? Ke mana?” tanya Aruna yang penasaran. “Entah. Dia hanya bilang keluar sebentar, lalu saat
“Kamu benar-benar ada acara penting? Tidak masalah jika ingin ganti shift denganku.” “Kapan kamu kembali?” Sashi terlihat senang melihat rekan kerjanya itu sudah kembali dari study yang diadakan rumah sakit di luar negeri. Sebenarnya tidak bisa dibilang rekan kerja juga, karena pria itu termasuk senior Sashi. Pria itu tersenyum kecil sambil mendekat ke Sashi, hingga kemudian menjawab, “Sudah pulang sejak dua hari lalu, tapi baru masuk kerja hari ini.” Pria bernama Zidan itu berdiri tepat di depan Sashi. “Kamu yakin mau menukar shift denganku? Tidak masalahkah?” tanya Sashi memastikan. Zidan memulas senyum, hingga kemudian menganggukkan kepala. “Tidak apa jika kamu memang butuh bertukar. Aku tak masalah,” jawab dokter berumur 30 tahun itu. Sashi sangat lega, hingga kemudian berterima kasih. “Untung kamu mau bertukar, kalau tidak ada yang mau bertukar shift sepertinya aku harus menggagalkan acara itu,” ujar Sashi. Sashi dan Zidan berjalan menuju ke ruang khusu dokter. “Memang
Nanda tidak fokus bekerja akibat memikirkan pembicaraannya dengan Lukas. Dia membuka laci yang ada di meja, lantas mengeluarkan sebuah stopmap dan membaca berkas di dalamnya yang bertuliskan ‘Surat Perjanjian Kontrak Nikah’. “SEA. Sashi Eldar Abimand.” Nanda membaca berulang nama lengkap istrinya itu. Jika diambil setiap huruf depannya, maka akan menjadi gabungan SEA. “Tapi tidak mungkin, bisa saja ini kebetulan,” gumam Nanda masih mengelak dari pemikiran yang berputar di kepala. Nanda terus berpikir, hingga kemudian mengingat dengan seksama wajah Sashi, sampai akhirnya mengingat istrinya yang menghabiskan waktu di ruang pribadi. “Tunggu! Apa mungkin warna di dagunya adalah cat?” Nanda menerka-nerka sendiri. Semua tak masuk akal baginya, mana mungkin istrinya pelukis yang dicari, gadis kecil yang dulu ditemuinya. Saat Nanda sedang larut dalam pikiran karena menebak serta membandingkan istrinya dengan SEA, sebuah panggilan masuk hingga membuat fokus pria itu beralih ke ponsel.